Semua Bab ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA: Bab 21 - Bab 30

49 Bab

Bab 21

Anindya. Aku gila layaknya lelaki bodoh ditinggal oleh kekasihnya. Nyaris mati karena rasa bersalah yang harus kutanggung saat harus rela melepasmu. Egoku runtuh bersamaan dengan pedihnya rasa rindu. Keangkuhan saat orang tuaku terus mendesak pertanggungjawabanku padamu terkikis satu per satu. Aku lemah karena ditertawakan waktu. Setiap detik dalam 24 jam, kukutuk sikap bajinganku, kebiadabanku terhadapamu. Segala keraguan karena jarak usia kita kini hanya menjadi kepulan asap yang berangsur menghilang. Menjadi pemikiran bodoh yang terabai. Aku rindu, aku sakit, aku mati tanpa Anindya. Aku terlambat jatuh cinta padanya. *** Saat cinta semakin menggerogoti akal sehatku, tiba-tiba Mama mengabari bahwa esok dia akan terbang ke Makassar. Hanya beberapa jam waktuku. Namun egoku kembali menguasai, aku tak boleh terjerumus ke lubang yang kugali sendiri. Bayangan masa depan akan serupa dengan kak Ranu turut menghantui. Aku berencana menghancurkan kelu
Baca selengkapnya

Bab 22

Makassar, aku terlalu menaruh banyak harapan besar, akan sebuah masa depan berbinar, setelah lupa telah menanam bibit kesalahan fatal. Kukira telah entas dari semua derita, ternyata aku baru saja memulainya. Baru. *** "Katakan apa yang sebenarnya terjadi Nin?" Aku menggeleng alot. Meremas rok dalam ketakutan saat desis amarah Mama dibarengi dengan gegat tak biasa oleh kedua giginya. "Jangan bohong Nin..." Dari nadanya, aku tahu Mama mencoba bersabar. Mendengarnya aku justru terisak. Menunduk pilu dalam ketakutan. Hancur duniaku, masa depanku. Aku tahu. "Mana mungkin ini terjadi kalau kamu rutin mengonsumsi obat itu? Katakan!" Mama berusaha mendesakku dengan emosi tertahan di tenggorokan. "Kapan? Kapan kalian melakukan dosa itu lagi?" Air mataku semakin deras mengucur. Sesekali saja tanganku mampu menepis airnya. Selebihnya air iru tumpah bak air bah. "Jujurlah Nin, semua akan lebih mudah." Kali ini Papa
Baca selengkapnya

Bab 23

Kedua kawanku tak habis pikir. Sama-sama menyesap latte nya untuk menjemput kesabaran. Ya aku memang keterlaluan. Bahkan di mata lelaki brengsek seperti mereka. Raka menunduk dengan alis terangkat, mengusap-usap dahinya keheranan. Sementara Tedy memilih mengambil selinting lagi dari bungkus di sakunya. Membakarnya lalu menghisap, memainkan lidahnya di bibir lalu mengulumnya perlahan. Terlihat sesekali melirikku, berusaha melampiaskan kekesalan padaku. Aku tahu, sebenarnya mereka sedang sama-sama memikirkan sikap yang tepat untuk menghadapi penjahat sepertiku. Aku sendiri sudah cukup letih menghadapi diri sendiri, sial! "Andai bukan di tempat umum, penjahat kelamin sepertimu pasti sudah remuk di tanganku.", ancam Tedy lengkap dengan picingan matanya. Heran, padahal dia sendiri berotak cabul tapi seenak itu menjukukiku. "Apa yang ada di otakmu saat menodai anak kecil begitub hm?", lanjutnya. "Aku mabuk." Aku berusaha membela diri karena nyatanya
Baca selengkapnya

Bab 23

Berbekal informasi tentang tempat tugas baru Om Ibra di Makassar, yang kudapat dari kantor lamanya, aku menyusuri jalanan kota Makassar yang sudah jauh berbeda dengan masa kecilku dulu. Banyak yang berubah. Bedanya kota ini jauh lebih baik, sementara diriku berubah menjadi.. Yah kalian lebih tahu. Entahlah mengesalkan jika mengingat kelakuanku sendiri. Mengurut setiap kejadian dari malam saat kumabuk itu, hingga mendamparkanku di sini. Pengadilan Tinggi Makassar. Aku berdiri di depannya dengan gemuruh di dada seperti seorang pesakitan. Takut tapi terus melangkah. Benar kata Raka, bertanggungjawab itu tidak mudah. Maka kubulatkan tekad. Aku sudah pernah membiarkan Riri lepas karena tidak mencintaiku. Rasanya sakit sekali. Jadi aku tidak mau merasakan sakit yang kedua kali karena seseorang yang mencintaiku pun harus pergi. Hembus nafasku cukup berat. Panas. Karena memang cukup terik di luar. Aku turun dan meminta taxi menunggu sebentar. Sabar Pak, aku s
Baca selengkapnya

Bab 25

"Nin... Ka..kamu hamil?" Semakin terkejut Anin mendengar pertanyaanku, membentuk bulatan di bibir yang ranum itu, bibir tipis yang kurindu. Ah kenapa pikiran seperti ini masih tertinggal di benakku. Lihat perut yang menggunduk itu sekarang, hasil perbuatan kotor siapa? Anin berusaha kabur, bergegas menuju pintu untuk menghindariku. Yang tentu saja segera kutahan dengan mencekal di tangannya kuat-kuat. Tidak mungkm kusiakan kesempatan yang berbulan lamanya kugadang. Dari dekat perut besar itu semakin kentara. Anin hamil? Anakku? Sial! Memangnya anak siapa lagi? Gadis sepolos dia bukan tipikal yang akan menjual diri. Tentu saja kenyataan ini membuatku terkejut bukan mai. Ini seperti dejavu akan kisah Riri dan Ranu. Seharusnya aku membalas dendam, tapi kenapa aku justru termakan dendam itu. Mungkin salah caraku. Hmph. Yang pentinh sekarang aku tidam boleh seperti Ranu. Aku akan bertanggungjawab. Bukan lari. Walaupun saat itu Ranu memang tidak ber
Baca selengkapnya

Bab 26

Lelaki yang selalu tenang dan tidak menunjukkan kegarangan padaku itu berdiri dan mengarahkan tangannya ke tepi teras. "Tidak masalah kan duduk di lantai?", tanyanya sempat membuatku bingung. Kukira dia akan mengajakku berbincang di bangku taman. Ternyata teras rumah yang mirip joglo itu lebih menjadi pilihannya. "Duduk di sini membuat ngobrol akan terasa lebih santai.", lanjutnya tenang lalu mengambil tempat lebih dulu. Degub jantungku berloncatan. Ayah dari bocah yang kurusak bisa setenang ini menghasapiku. Ini baru definisi sangar yang sesungguhnya. Aku jadi takut, jangan-jangan ini hanya pancingan. Bagaimana jika Om Ibra sudah siap dengan senjata di tangan? Ya pikiranku saja sih. Mau tak mau aku menyusulnya duduk di lantai dengan kaki ditekuk dan memijak anak tangga paling bawah, sama seperti yang dilakukan Om Ibra. Bedanya, tangam Om Ibra menyatu di antara lututnya. Sementara tanganku berpasrah di atas paha. Gugup. Aku akan disidang oleh seorang
Baca selengkapnya

Bab 27

Aku berlari. Tergopoh-gopoh dari bandara hingga ke rumah sakit ini.   Camelia 18, di mana letak kamar itu?   Kepanikan membuat semua pintu terbaca sama olehku. Aku pun kembali bertanya pada perawat yang lewat. Ternyata kamar Camelia ada di lantai satu. Baiklah, aku turun lagi sambil berlari-lari. Ini bahkan lebih membakar kalori dari pada olahraga apapun.   Aku memajukan penerbangan yang semula lusa menjadi hari ini. Om Ibra menelepon jika Anindya mulai kontraksi sejak tadi pagi, maka segera kupersiapkan diri. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Om Ibra. Hakim yang bijak itu mengabulkan permintaanku untuk mendampingi Anindya melahirkan.   Sebenarnya Anin dijadwalkan melakukan operasi dua hari lagi. Namun karena tanda melahirkan itu muncul, jadwalnya dimajukan nanti malam.   Mana mungkin aku melewatkan momentum ini? Inilah satu-satunya tanggung jawab yang baru
Baca selengkapnya

Bab 28

Momentum, setahuku didefinisikan sebagai besaran yang dimiliki oleh benda yang bergerak. Setiap benda yang bergerak selalu punya kekuatan. Itu yang kuingat dari sepotong penjelasan yang kuterima saat masih homeschooling. Pemahaman itu menghubungkanku pada sesuatu, pada seseorang, pada diriku sendiri yang malang. Mementum, aku sempat tak memilikinya. Semua rusak karena aku tak bergerak. Langkahku terhenti di suatu masa tanpa koma. Hanya titik henti saat bayi kecil itu hadir di pelukku, di kehidupanku. Aku menyerah pada mimpiku. Mimpi yang sejatinya sudah dirusak oleh seseorang dari masa lalu kurang lebih lima tahun lalu. Saat aku begitu lugu dan sangat mudah dirayu. Siapa yang salah? Dia, lelaki itu? Orang tuaku? Atau justru diriku sendiri? Sayangnya aku sudah mangkir dari titik salah menyalahkan. Aku hanya ingin menatap masa depan tanpa lagi kebingungan. Aku sudah banyak kehilangan. Saatnya aku menata ulang masa depan yang berserakan agar bisa kujadikan pegan
Baca selengkapnya

Bab 29

Kukepalkan tangan untuk mengumpulkan kekuatan. Aku tidak lagi lemah. Aku bukan Anindya versi lama. "Seperti katamu, Nin. Semua terserah Tuhan. Kita berjumpa kembali setelah lima tahun berpisah pun terserah Tuhan." Kulenturkan otot-otot wajah. Begitupun dengan setiap sendi hingga alat gerak tubuh. Dalam beberapa detik yang gawat aku merasa seperti mendapat ilham. Kiranya pertemuan ini adalah saat yang tepat untukku membalaskan segala sakit di masa silam. Segera kuangkat wajah setelah berhasil mengusir ketegangan. Harus kuciptakan suasana yang lebih nyaman. Bukan untuknya, melainkan untukku sendiri. "Apa kabar Kak Rama?" Panggilan itu menegaskan bahwa tak ada yang pernah kulupa. Setitik pun tak pernah. Aku selalu menyimpannya rapat. Hanya saja kini kuanggap sebagai waktu yang tepat bagiku mengobati setiap luka yang belum sembuh. Maka perlu bagiku membuka penutup luka-luka itu. "Nin... ." Kudengar nadanya yang mengandung kekecewaan bergetar renta
Baca selengkapnya

Bab 30

Lama kurenungi surat beramplop putih di atas meja. Haruskah berangkat untuk mengantarnya atau sebaliknya berangkat untuk membagi semangat pada pasien-pasien yang telah terjadwal. Mereka telah menanti, menaruh harapan demi kesembuhan. Bukankah benar pekerjaan ini sangat mulia untuk dilakukan? Entahlah, apa egois namanya jika aku mengorbankan waktu mereka demi pertemuan dengan seseorang yang membawa kenangan suram? Sementara bekerja di rumah sakit besar itu adalah kesempatan yang baik untukku menjejaki karir gemilang di masa depan. Aku ingin menempuh pendidikan profesi lalu membuka klinik fisioterapi sendiri. Mandiri, sukses, membahagiakan orang tuaku yang selama ini belum sempat kulakukan sama sekali. Rasanya punggung ini masih enggan bergerak dari bean bag kamar kosku. Ya Tuhan, aku bimbang. Berikan aku petunjuk. Aku ingin menghapus wajahnya dari memoriku. Lepas darinya secara permanen. Aku takut terpedaya saat dia kembali datang dengan sosok yang berbeda. To
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status