Home / Romansa / ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA: Chapter 11 - Chapter 20

49 Chapters

Bab 11

*** Sepanjang perjalanan Anin hanya diam. Dia tak banyak menanggapi saat aku mencoba berbasa-basi untuk merilekskan suasana di antara kami. Sampai juga aku di depan sekolah Anin. Dia segera memutar tubuhnya untuk turun. Namun dengan sigap tanganku menahan lengannya. "Nin.." "Ehh.." Dia kaget. Kuputar kembali tubuhnya agar menghadapku. "Pulang jam berapa?" "Jam.. Jam lima." "Sore amat?" "Anin ada bimbel." "Oh.. Oke nanti aku jemput di tempat bimbelmu. Cendikia bimbel kan?" Anin mengangguk pelan. Sejenak kemudian dia berubah pikiran. "Anin bisa pulang sendiri. Kak Rama tidak usah jemput." "Tapi aku ingin menjemputmu." Jawabku santai. "Engg.. Kalau begitu terserah kak Rama saja.." Jawabnya malu-malu. Anin segera beranjak meninggalkanku tapi aku belum rela ditinggalkan. Masih ingin bersamanya, menghirup aromanya yang menggugah. Aku mencekal tangannya, memutar tubuhnya
Read more

Bab 12

*** Kueratkan pelukan pada tubuh mungil yang membelakangiku. Terus kukecupi rambutnya yang wangi. Terkadang berselang dengan tengkuknya yang masih menyisakan aroma membara kami. Hari ini entah sudah yang ke berapa kali kami beradu syahwat. Mencari gerakan demi gerakan yang mendatangkan nikmat. "Geli Kak Rama.." Protesnya lirih. Terdengar suaranya yang rendah, rentan, manja memanjang khas anak seusianya. "Geli tapi suka kan?" "Bukan begitu ih!" Tubuh kami memang sedang melekat satu sama lain, tanpa sehelai benangpun dengan selimut membalut. Tentu setelah beberapa seai panas kami lalui di hotel ini. Aku bahagia. Wajar. Bocah kecilku sudah takluk dan dengan rela hati melakukan semua. Semakin kupererat pelukan, seakan berusaha meremukkan tubuhnya. Sejujurnya aku gemas sekali setiap kali memeluknya. Tubuhnya sangat kecil, kontras dengan tubuhku yang berotot besar. Namun herannya di situlah letak letupan gairahku, pusaran naf
Read more

Bab 13

Gila! Jakarta sepanas ini menyambut kepulanganku. Mendidihkan aliran darah. Mungkin karena jauh dari Anindya juga. Seminggu rasanya sebulan kalau hanya kupakai berjauhan dari Anindya. Pasalnya hanya akan terbuang sia-sia untuk memikirkannya. Dia, gadis lugu yang menguasai pikiranku. Jangan, sebut dia bocah lugu saja. Kata gadis terlalu mengiaskan kalau aku mencintainya dan dia mencintaiku. Dan itu kemustahilan. Tidak ada dalam kamusku mencintai bocah. Walaupun memang, selama seminggu mengikuti simposium ini aku hampir tidak bisa berkonsentrasi. Hanya karena dia tidak bisa dihubungi sama sekali. Keluar dari bandara aku pulang ke rumah untuk mengambil mobil, lalu segera menjemputnya di sekolah. Drama sekali seperti kekasih yang memberi kejutan akan kepulangannya setelah lama bertugas. Anggap saja lucu-lucuan. Lumayan lama hingga aku karatan. Sudah satu jam seorang Rama harus kesekian kalinya bengong di dalam mobil menanti kedatangan Anindya. Aku tidak s
Read more

Bab 14

Kalau saja bukan karena harus menggantikan jadwal Raka di rumah sakit, mungkin saat ini aku masih mondar mandir di depan kamar Anindya untuk menunggunya keluar. Aku belum mengembalikan ponselnya. Tapi bukan itu alasan sebenarnya. Aku harus memastikan ayahnya belum tahu apa yang terjadi di antara kami. Aku hanya pulang sebentar ke rumah. Sejak Anindya melarikan diri dari hotel, aku belum bertemu dengannya lagi meskipun kata Mama dia sudah di rumah. Apalagi masih harus terdampar di rumah sakit gara-gara menggantikan Raka yang sibuk dengan kuliah spesialisnya. Saat kutanya perawat, ternyata masih ada lima antrean pasien lagi. Lumayan. Pasalnya pikiranku sendiri hampir tak bisa berkonsentrasi. Kacau. Teringat ancaman Anindya. "Kacau banget kamu?" Sapa seseorang yang mendekat seraya sibuk melipat lengan bajunya. Teman dekat yang boleh dibilang tidak dekat-dekat amat tapi sering merepotkan. "Syukurlah kamu datang.." Kedatangan Raka menyirat kebahagi
Read more

Bab 15

Aku tercekat dan hanya bisa menelan ludah yang terasa mengandung racun. Rasanya seperti tercekik hingga sulit bernafas. Situasi ini membuatku merasa baru pertama kali mendengar kata 'hamil'. Seakan kata 'hamil' itu mengandung bubuk sianida 100 miligram -tanpa kopi tentunya-. "Hamil Nin??" Anin mengangguk-anggung lengkap dengan derai air mata. Dia tergugu ketakutan. Tubuhku sendiri melemas pasrah. Keringat dingin mulai mengalir di pelipis, dahi, juga tak ketinggalan di punggung. Ditambah lahi tifus membuat isi perutku bergejolak karena otak yang terus didesak berpikir keras dan cepat dalam waktu singkat. Mirip reaksi tubuh manusia saat lapar, di kepala ada pusing-pusingnya. Masalahnya pengakuan Anin ini tak bisa diatasi dengan sesobek roti atau sepiring nasi padang lauk rendang. Jika benar adanya, kondisi Anin adalah fatal. Kondisiku juga ya? Baru sadar. Baiklah, tifus dan syok sedang bersatu melemahkanku. Sungguh pagi buta yang gelap benar. Me
Read more

Bab 16

"Rama! Aku perlu bicara!" Suara wanita yang kukenal itu memperparah kegalauan karena batal melepas Anindya semalam. Ya, aku batal melepasnya pergi. Belum rela hati. Bukan karena takut kehilangan, hanya saja aku tidak tega jika harus menyaksikan tangis kecewanya. Aku pun menoleh ke belakang. Lalu menemukan wanita dengan getar suara yang masih dan mungkin akan selalu kuhafal. Mau apa dia memanggilku dengan nada setinggi itu? Kasar pula. Emosi berpijar di kedua bingkai matanya. Aku gerah karena dia terus saja memanggil namaku. Apa sih maunya? Daun telingaku saja malas menangkap getar suaranya. Stempel pengkhianat terukir jelas di dahinya. Membuat rasa cintaku dulu berubah menjadi rasa muak yang berkerak. Aku tak menghiraukan, terus berjalan ke kamar meskipun langkahnya terdengar membuntuti. Hingga baru kusadari sesuatu yang mencurigakan, dia baru saja keluar dari kamar Anindya. Lalu kuhubung-hubungkan dan muncul sebuah firasat buruk. Jangan-jangan...
Read more

Bab 17

*** Sudah dua hari aku tak mendengar suara Anin. Tak melihat wajahnya. Tak menghirup aromanya. Kerinduan itu yang kini membuatku terpekur di tepi ranjangnya. Resah. Kuraba bedcover, seakan kudengar tawanya ketika kugoda. Tanpa sadar bibirku melebar, mengingat keluguannya, kepolosannya. Dan yang tiba-tiba menghambat nafasku adalah ketulusannya. Yah, Anin tulus saat menyatakan cinta padaku. Aku bisa menilai dari setiap suku kata yang berikatan dengan mimik muka dan gerak matanya. Ada yang meremas dadaku saat bibir ini justru mengelak, lalu menyakitinya dengan penolakan. Aku ingin dia di sini tapi harapan seperti itu jahat sekali. Dan kenapa di otakku masih ada harapan semacam itu? Aku yakin sudah melakukan hal benar, membiarkannya pergi adalah keputusan yang sahih kan? Sudah lama aku mengambil sari patinya, sudah saatnya aku melepasnya sebelum layu dan berhenti tumbuh lalu menjadi sampah. Jujur aku tidak menyangka, ternyata Anindya tetap bungkam
Read more

Bab 18

*** Hatiku terlonjak kegirangan bak seorang remaja jatuh cinta saat pulang dan melihat mobil om Ibra di depan pagar. Kemungkinan besar Anindya ikut serta. Jika kulihat di spion, sepertinya aura wajahku berubah seketika. Dari yang begitu kusut karena lelah menangani pasien IGD, hingga kecut karena terus menelan olokan Raka. Yah beginilah nasibku yang masih saja jadi dokter jaga di IGD. Mungkin aku harus segera mengikuti jejak Raka mengambil spesialis, biar naik kasta. Bicara kembali soal Raka. Keparat memang kawanku satu itu. Mentang-mentang dia sudah melewati masa sulit dengan Asya istrinya, sekarang jadi hobi mencibirku. Masalahnya kasusku ini beda, Anin itu masih bocah, sedangkan Asya punya masa depan yang lebih cerah sebagai dokter, dia mahasiswi kedokteran. Anindya? Dia hanya pelajar, akan sangat memalukan jika semua orang tahu aku mencabuli anak di bawah umur. Aku keluar dari mobil lalu tergopoh bersemangat menuju pintu, memasuki ruang ta
Read more

Bab 19

*** "Apa katamu?" Parau kudengar suara tante Fatma, agak berbarengan dengan Mama. Semua terhenyak. Tersentak. Termasuk Anindya. Maaf Nin, tapi aku puas melakukannya. Aku puas mempermalukan orang tuaku. Sangat puas. "BAJINGAN BIADAB!!" Kemarahan tante Fatma terdengar berkumpul di tengah pekik suara. Om Ibra pun berdiri, menahan istrinya berbuat lebih jauh. Saat itu, Anindya meluruh dengan lusuh. Dia terduduk melemas, melemah. Dan itu menghancurkan kepuasanku yang ternyata bersifat sementara. Refleksku menyusul Anindya yang melantai, tatapannya kosong penuh kekecewaan, penyesalan, juga harapan yang telah kusia-siakan. Apa sebenarnya yang kamu inginkan Nin? Jangan bilang kamu ingin aku menikahimu, jangan... Kuberanikan diri menatapnya, menyeka air matanya, tapi tak ada balasan selain air mata yang terus berlinang. Dia begitu hancur, terlihat tak lagi punya semangat hidup. Dan hatiku tercabik menyaksikannya, sakit sekali. Sungguh pedih.
Read more

Bab 20

Langit tampak cerah, penerbangan menuju Makassar sepertinya tanpa kendala. Tak akan tertunda. Meskipun aku berharap ada kelonggaran. Siapa tahu akan ada seseorang yang berlari menerobos petugas bandara seperti di film-film romansa. Dan mungkin itu Kak Rama. Namun sekarang, aku sudah berada di dalam burung besi bersama Mama. Usai ujian nasional, Mama segera memboyongku kesana. Menghindari segala kesialan. Melupakan perasaan dan jalan hidup menyakitkan. Sayangnya hatiku tertinggal di Jakarta. Melekat karena terlanjur jatuh pada Kak Rama. Aku menggadang sebuah dunia tanpa dia, tapi ternyata sesulit ini, sesukar ini. Dia adalah luka membekas dan menghasilkan rasa perih. "Dari siapa?" Sontak aku menoleh pada Mama yang mengamati gelang mutiara di tanganku. Rupanya tanpa sadar, selagi mataku fokus ke luar jendela, jariku terus mengusap gelang itu. "Dari.. Teman, Ma." "Oh." Mama manggut-manggut. Lalu kembali fokus pada buku bacaannya.
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status