***
Hatiku terlonjak kegirangan bak seorang remaja jatuh cinta saat pulang dan melihat mobil om Ibra di depan pagar. Kemungkinan besar Anindya ikut serta.
Jika kulihat di spion, sepertinya aura wajahku berubah seketika. Dari yang begitu kusut karena lelah menangani pasien IGD, hingga kecut karena terus menelan olokan Raka. Yah beginilah nasibku yang masih saja jadi dokter jaga di IGD. Mungkin aku harus segera mengikuti jejak Raka mengambil spesialis, biar naik kasta.
Bicara kembali soal Raka. Keparat memang kawanku satu itu. Mentang-mentang dia sudah melewati masa sulit dengan Asya istrinya, sekarang jadi hobi mencibirku.
Masalahnya kasusku ini beda, Anin itu masih bocah, sedangkan Asya punya masa depan yang lebih cerah sebagai dokter, dia mahasiswi kedokteran. Anindya? Dia hanya pelajar, akan sangat memalukan jika semua orang tahu aku mencabuli anak di bawah umur.
Aku keluar dari mobil lalu tergopoh bersemangat menuju pintu, memasuki ruang ta
vote dan komentarnya ya say
*** "Apa katamu?" Parau kudengar suara tante Fatma, agak berbarengan dengan Mama. Semua terhenyak. Tersentak. Termasuk Anindya. Maaf Nin, tapi aku puas melakukannya. Aku puas mempermalukan orang tuaku. Sangat puas. "BAJINGAN BIADAB!!" Kemarahan tante Fatma terdengar berkumpul di tengah pekik suara. Om Ibra pun berdiri, menahan istrinya berbuat lebih jauh. Saat itu, Anindya meluruh dengan lusuh. Dia terduduk melemas, melemah. Dan itu menghancurkan kepuasanku yang ternyata bersifat sementara. Refleksku menyusul Anindya yang melantai, tatapannya kosong penuh kekecewaan, penyesalan, juga harapan yang telah kusia-siakan. Apa sebenarnya yang kamu inginkan Nin? Jangan bilang kamu ingin aku menikahimu, jangan... Kuberanikan diri menatapnya, menyeka air matanya, tapi tak ada balasan selain air mata yang terus berlinang. Dia begitu hancur, terlihat tak lagi punya semangat hidup. Dan hatiku tercabik menyaksikannya, sakit sekali. Sungguh pedih.
Langit tampak cerah, penerbangan menuju Makassar sepertinya tanpa kendala. Tak akan tertunda. Meskipun aku berharap ada kelonggaran. Siapa tahu akan ada seseorang yang berlari menerobos petugas bandara seperti di film-film romansa. Dan mungkin itu Kak Rama. Namun sekarang, aku sudah berada di dalam burung besi bersama Mama. Usai ujian nasional, Mama segera memboyongku kesana. Menghindari segala kesialan. Melupakan perasaan dan jalan hidup menyakitkan. Sayangnya hatiku tertinggal di Jakarta. Melekat karena terlanjur jatuh pada Kak Rama. Aku menggadang sebuah dunia tanpa dia, tapi ternyata sesulit ini, sesukar ini. Dia adalah luka membekas dan menghasilkan rasa perih. "Dari siapa?" Sontak aku menoleh pada Mama yang mengamati gelang mutiara di tanganku. Rupanya tanpa sadar, selagi mataku fokus ke luar jendela, jariku terus mengusap gelang itu. "Dari.. Teman, Ma." "Oh." Mama manggut-manggut. Lalu kembali fokus pada buku bacaannya.
Anindya. Aku gila layaknya lelaki bodoh ditinggal oleh kekasihnya. Nyaris mati karena rasa bersalah yang harus kutanggung saat harus rela melepasmu. Egoku runtuh bersamaan dengan pedihnya rasa rindu. Keangkuhan saat orang tuaku terus mendesak pertanggungjawabanku padamu terkikis satu per satu. Aku lemah karena ditertawakan waktu. Setiap detik dalam 24 jam, kukutuk sikap bajinganku, kebiadabanku terhadapamu. Segala keraguan karena jarak usia kita kini hanya menjadi kepulan asap yang berangsur menghilang. Menjadi pemikiran bodoh yang terabai. Aku rindu, aku sakit, aku mati tanpa Anindya. Aku terlambat jatuh cinta padanya. *** Saat cinta semakin menggerogoti akal sehatku, tiba-tiba Mama mengabari bahwa esok dia akan terbang ke Makassar. Hanya beberapa jam waktuku. Namun egoku kembali menguasai, aku tak boleh terjerumus ke lubang yang kugali sendiri. Bayangan masa depan akan serupa dengan kak Ranu turut menghantui. Aku berencana menghancurkan kelu
Makassar, aku terlalu menaruh banyak harapan besar, akan sebuah masa depan berbinar, setelah lupa telah menanam bibit kesalahan fatal. Kukira telah entas dari semua derita, ternyata aku baru saja memulainya. Baru. *** "Katakan apa yang sebenarnya terjadi Nin?" Aku menggeleng alot. Meremas rok dalam ketakutan saat desis amarah Mama dibarengi dengan gegat tak biasa oleh kedua giginya. "Jangan bohong Nin..." Dari nadanya, aku tahu Mama mencoba bersabar. Mendengarnya aku justru terisak. Menunduk pilu dalam ketakutan. Hancur duniaku, masa depanku. Aku tahu. "Mana mungkin ini terjadi kalau kamu rutin mengonsumsi obat itu? Katakan!" Mama berusaha mendesakku dengan emosi tertahan di tenggorokan. "Kapan? Kapan kalian melakukan dosa itu lagi?" Air mataku semakin deras mengucur. Sesekali saja tanganku mampu menepis airnya. Selebihnya air iru tumpah bak air bah. "Jujurlah Nin, semua akan lebih mudah." Kali ini Papa
Kedua kawanku tak habis pikir. Sama-sama menyesap latte nya untuk menjemput kesabaran. Ya aku memang keterlaluan. Bahkan di mata lelaki brengsek seperti mereka. Raka menunduk dengan alis terangkat, mengusap-usap dahinya keheranan. Sementara Tedy memilih mengambil selinting lagi dari bungkus di sakunya. Membakarnya lalu menghisap, memainkan lidahnya di bibir lalu mengulumnya perlahan. Terlihat sesekali melirikku, berusaha melampiaskan kekesalan padaku. Aku tahu, sebenarnya mereka sedang sama-sama memikirkan sikap yang tepat untuk menghadapi penjahat sepertiku. Aku sendiri sudah cukup letih menghadapi diri sendiri, sial! "Andai bukan di tempat umum, penjahat kelamin sepertimu pasti sudah remuk di tanganku.", ancam Tedy lengkap dengan picingan matanya. Heran, padahal dia sendiri berotak cabul tapi seenak itu menjukukiku. "Apa yang ada di otakmu saat menodai anak kecil begitub hm?", lanjutnya. "Aku mabuk." Aku berusaha membela diri karena nyatanya
Berbekal informasi tentang tempat tugas baru Om Ibra di Makassar, yang kudapat dari kantor lamanya, aku menyusuri jalanan kota Makassar yang sudah jauh berbeda dengan masa kecilku dulu. Banyak yang berubah. Bedanya kota ini jauh lebih baik, sementara diriku berubah menjadi.. Yah kalian lebih tahu. Entahlah mengesalkan jika mengingat kelakuanku sendiri. Mengurut setiap kejadian dari malam saat kumabuk itu, hingga mendamparkanku di sini. Pengadilan Tinggi Makassar. Aku berdiri di depannya dengan gemuruh di dada seperti seorang pesakitan. Takut tapi terus melangkah. Benar kata Raka, bertanggungjawab itu tidak mudah. Maka kubulatkan tekad. Aku sudah pernah membiarkan Riri lepas karena tidak mencintaiku. Rasanya sakit sekali. Jadi aku tidak mau merasakan sakit yang kedua kali karena seseorang yang mencintaiku pun harus pergi. Hembus nafasku cukup berat. Panas. Karena memang cukup terik di luar. Aku turun dan meminta taxi menunggu sebentar. Sabar Pak, aku s
"Nin... Ka..kamu hamil?" Semakin terkejut Anin mendengar pertanyaanku, membentuk bulatan di bibir yang ranum itu, bibir tipis yang kurindu. Ah kenapa pikiran seperti ini masih tertinggal di benakku. Lihat perut yang menggunduk itu sekarang, hasil perbuatan kotor siapa? Anin berusaha kabur, bergegas menuju pintu untuk menghindariku. Yang tentu saja segera kutahan dengan mencekal di tangannya kuat-kuat. Tidak mungkm kusiakan kesempatan yang berbulan lamanya kugadang. Dari dekat perut besar itu semakin kentara. Anin hamil? Anakku? Sial! Memangnya anak siapa lagi? Gadis sepolos dia bukan tipikal yang akan menjual diri. Tentu saja kenyataan ini membuatku terkejut bukan mai. Ini seperti dejavu akan kisah Riri dan Ranu. Seharusnya aku membalas dendam, tapi kenapa aku justru termakan dendam itu. Mungkin salah caraku. Hmph. Yang pentinh sekarang aku tidam boleh seperti Ranu. Aku akan bertanggungjawab. Bukan lari. Walaupun saat itu Ranu memang tidak ber
Lelaki yang selalu tenang dan tidak menunjukkan kegarangan padaku itu berdiri dan mengarahkan tangannya ke tepi teras. "Tidak masalah kan duduk di lantai?", tanyanya sempat membuatku bingung. Kukira dia akan mengajakku berbincang di bangku taman. Ternyata teras rumah yang mirip joglo itu lebih menjadi pilihannya. "Duduk di sini membuat ngobrol akan terasa lebih santai.", lanjutnya tenang lalu mengambil tempat lebih dulu. Degub jantungku berloncatan. Ayah dari bocah yang kurusak bisa setenang ini menghasapiku. Ini baru definisi sangar yang sesungguhnya. Aku jadi takut, jangan-jangan ini hanya pancingan. Bagaimana jika Om Ibra sudah siap dengan senjata di tangan? Ya pikiranku saja sih. Mau tak mau aku menyusulnya duduk di lantai dengan kaki ditekuk dan memijak anak tangga paling bawah, sama seperti yang dilakukan Om Ibra. Bedanya, tangam Om Ibra menyatu di antara lututnya. Sementara tanganku berpasrah di atas paha. Gugup. Aku akan disidang oleh seorang
"Saya terima nikah dan kawinnya Anindya binti Ibrahim dengan mas kawin sebuah klinik fisioterapi dibayar tunai."Nafasku berembus lega kala semua saksi menyebut sah. Artinya, impianku yang sesungguhnya telah menjadi nyata. Kami menikah, bersiap membangun rumah tangga.Meskipun tak paham betul tentang arti sebuah pernikahan, Gio yang duduk di samping Mama tersenyum kepadaku. Dia tampak tampan dalam balutan jas hitam persis yang dikenakan lelaki di sebelahku, ayahnya yang kini sah menjadi suamiku.Soal mas kawin, aku tak menyangka kak Rama akan memberinya. Aku tak pernah meminta. Saat dia bertanya aku ingin mas kawin apa, selalu kujawab terserah. Hasilnya, dia mengonsep semua dengan matang di hari pernikahan.Tak kusangka lelaki tampan yang pernah menjadi masa lalu pahit bagiku adalah lelaki yang sama yang akan menemaniku menggapai cita dan cinta. Mulai hari ini kami a
Serangkaian prosesi menjelang pernikahanku dan kak Rama digelar secara runtut. Dimulai dari prosesi lamaran antar dua keluarga yang baru kemarin diadakan. Kak Rama memang ingin segera menikah. Dia takut aku akan berubah pikiran. Lagi pula Mama khawatir terjadi Gio jilid dua. Takut saja kalau-kalau kami khilaf seperti dulu."Aku boleh main ke kosmu?"Aku hanya melirik judes sambil memainkan ponsel lalu diam pura-pura tak mendengar. Tak lama kemudian kurasakan tangannya mengusik rambutku."Kakak ih!" protesku karena rambut panjangku jadi acak-acakan."Aku butuh jawaban.""Pertanyaan yang mana?" Kupasang wajah tanpa dosa."Jadi tidak boleh main ke kosmu? Kenapa? Masih takut padaku hm?" cecarnya setelah menyahut ponselku.Geram, aku pun merebahkan punggung di beanbag. Menatap ke langit
Malam kian larut. Sepi. Anakku, yang pernah sekian lama menjadi impianku, sudah lelap dalam pelukku. Gioksa Anrama, terima kasih untuk akronim nama yang kamu berikan, Nin. Pertanda kamu tak pernah melupakanku barang sedikitpun. Andai hal-hal yang selama ini selalu mengingatkanmu padaku itu mengarah kepada kebencian sekalipun, aku rela. Sekali lagi kuucapkan terima kasih, Nin. Kamu telah mematri cinta kita agar melekat selalu pada diri Gio. Pukul sepuluh malam. Kurasa semua orang sudah tidur. Tante Fatma, Om Ibra, bahkan Anindya, tak satupun di antara mereka kujumpai saat mengambil minum di dapur. Tak kudengar pula suara mereka. Sementara aku sendiri tak bisa tidur. Kebahagiaan ini terlalu nyata untuk mengantarku dalam lelap. Aku masih ingin menikmatinya. Seteguk kuminum, menyandarkan pantat di meja dapur dengan pandangan menjelajah ke seisi rumah. Memang posisi dapur menjangkau semua. Rumah berlantai satu ini hampir tak bersekat selain kamar. Hingga dengan mudahnya s
"Menginaplah di sini, Rama."Semua mata tertuju pada Papa. Tak terkecuali Mama yang mendelik ingin melayangkan protes. Namun Papa segera menggenggam tangannya."Kita tidak boleh egois, Ma. Kita sama-sama tahu apa yang Gio butuhkan."Kulihat Mama mencabut tangannya, lalu meninggalkan meja makan dan dengan dalih membawa piring kotornya ke dapur. Tinggi, Mama membentengi hatinya tinggi sekali."Temani Gio tidur. Besok kamu libur kan?"Kak Rama mengangguk kaku. "Tapi, saya takut merepotkan Om dan Tante.""Selama kamu tidak masuk ke kamar Anindya, tidak ada yang merepotkan bagi kami."Wajahku merah padam. Apa-apaan sih Papa. Malah sengaja menggoda. Kak Rama bahkan kesulitan menutupi senyum malu-malunya. Kulihat tangannya yang mengusap tengkuk berkali-kali karena gerogi.***"Aku masih mencintainya, Deco.""Aku tahu. Sudah kukatakan akan sabar menunggu bukan?" Lelaki berkursi roda itu tampak mantap."Sama seperti
Kumajukan bibir setelah lama berdiri di tepi jalan. Aku menunggu, sesekali melangkah maju dengan kedua tangan menggenggam tali backpack yang kupakai. Kutoleh ke kanan, menanti seseorang.Ah ini sudah hampir setengah jam. Apa susahnya menghubungiku dulu jika masih ada kepentingan, bukan malah membuatku menunggu serasa tahun-tahunan. Terus timbul niat kembali ke kamar kos saja, tapi selalu kubatalkan jika ingat mungkin yang kutunggu segera tiba.Kulihat lagi jam di layar ponsel. Jika lima belas menit lagi dia tak datang, aku kembali ke kamar. Semua orang akan setuju jika kukatakan lama menunggu adalah hal yang sangat menjengkelkan. Tapi, aku jadi ingat satu hal. Saat meminta kak Rama menungguku beberapa waktu lalu, jangan-jangan salah satu alasannya melepasku adalah karena rasa jengkel yang sama. Ah entahlah.Lima belas menit sia-siaku pun berlalu. Aku memutar badan ke kiri. Berjalan lurus dengan perasaan dongkol di hati. Sayangnya, cukup beberapa langkah kutapaki
"Ketemu! Itulah masalahnya. Dia mungkin memutuskanmu karena itu, dia tidak ingin kamu dipecat dari rumah sakit ini, tidak mau menghambat karirmu."Masuk akal. Kak Rama adalah bagian dari direksi, kemungkinan kecil rumah sakit akan memecatnya. Dari janji untuk mempertahankanku di rumah sakit ini tempo hari, kurasa suaranya banyak berpengaruh. Sementara aku yang hanya pegawai biasa akan lebih mudah dihentikan jalannya. Itukah alasannya?"Bukankah itu bisa ditutupi dengan menjalin hubungan diam-diam?""Diam-diam sampai kapan? Sampai kalian menikah?" Dia bangun, duduk bersedekap lalu kembali terkekeh saat otakku yang buntu masih berusaha mencerna jawabannya. "Dia sudah melepaskanmu, Anindya. Menyerahlah, buka pintu hatimu untukku. Dia sudah menyerah meskipun masih mencintaimu. Demi kebaikanmu."Aku tertegun sejenak. Menela saliva encer agar membasahi tenggorokan. Kutekuk wajah sambil memejamkan mata."Kurasa suasana hatimu sedang tak baik. Antarkan aku
Saat aku membuka tirai jendela, kulihat matahari pagi ini cukup terik. Kilaunya menyilau, menyipit aku dibuatnya. Kurasa cuaca hari ini akan panas menyengat, tapi dingin mengering khas musim kemarau.Semalam aku tidur sangat lelap. Kembali sendiri di kamar kos ini setelah kemarin berdrama panjang dengan Gio yang tak mau ditinggalkan. Dia memaksa ikut denganku agar bisa bertemu dengan Kak Rama. Entahlah. Mereka bahkan baru bertemu sekali tapi ikatan itu sudah terjalin sekuat ini.Dia terbangun di minggu pagi sambil merengek-rengek mencari Kak Rama. Merasa ditipu karena ditinggalkan saat sedang terlelap. Orang tuaku sibuk membujuk dengan berbagai hal, tapi dia masih saja bertanya tentang cara menemui Kak Rama. Di saat itulah aku merasa harus melakukan sesuatu. Terus kuusahakan membujuknya melalui pelukan demi pelukan yang sebelumnya jarang kuberikan. Memang aku ibu yang kejam, bukan penyayang, tapi juga bukan pembenci.Setelah berhasil membuatku tercengang, dia pe
Aku kembali setelah membereskan tangis kesedihan. Kulihat Kak Rama sedang duduk melantai. Menghadapi Gio yang masih duduk di sofa. Sementara Papa dan Mama mengawasi kedatanganku seraya membuang nafas lelah. Semacam peringatan untukku yang kini duduk di samping Gio. "Sekalang Gio sudah boleh panggil 'Om Lama' lagi kan?" Kak Rama tersenyum lebar. Mencubit pipi Gio dengan gemas lalu mengangguk menyetujui. Dia luar biasa dengan segala pengertian dan keikhlasannya sekarang. "Terima kasih Gio sudah mau memanggil ayah. Nanti kalau Om Rama sedih karena kangen anak Kak Rama lagi, Gio mau kan panggil Om Rama 'Ayah' lagi?" "Siap!" sahut Gio sambil menempelkan telapak tangannya di kening kanan. Berusaha bersikap hormat walau masih belepotan. "Gio senang kan bertemu Om Rama?" tanya Kak Rama setelah mengabsen wajahku, Papa, dan Mama. "Senang. Gio senang kenal dengan banyak olang. Papa selalu bilang, Gio halus lamah dan baik pada semua olang. Om Lama
Di luar sudah petang, sudah jadi kewajiban kami sebagai tuan rumah yang baik untuk mempersilahkan masuk tamu yang datang. Memberi hidangan penyambutan meskipun hanya berupa minuman. Di atas sofa, kak Rama duduk gelisah. Jelas sekali jika raganya di sana tapi isi pikirannya menjalar ke arah Gio yang dibawa Papa dan Mama masuk ke kamar. Aku salut pada orang tuaku. Di luar tekanan yang mereka berikan padaku di masa lalu, baik Papa dan Mama barusan sepakat memberiku kesempatan menyambut Kak Rama, yang artinya mereka pun memberiku kebebasan untuk membeberkan segala kejadian di masa lampu. Sekaligus menilai yang dilakukan orang tuaku sendiri dari sudut pandangku. Ya walaupun aku paham, di rumah yang hanya berlantai satu ini, Mama yang jelas-jelas menunjukkan sikap tak suka atas kehadiran Kak Rama pasti memasang telinga lebar-lebar. Memaksimalkan kemampuan mengupingnya. "Minumlah, Kak." Dia tak mengindahkan jamuan teh hangatku. Sorot matanya yang gegab