Home / Romansa / ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA: Chapter 31 - Chapter 40

49 Chapters

Bab 31

"Pulang!" sentakku padanya yang masih membuntuti. Aku berniat membeli sesuatu di minimarket saat dia yang sedari tadi menunggu di depan rumah kos mengekori gerak langkahku. Ujung dari balas dendamnya karena aku terus-terusan mengabaikan setiap pertanyaannya selama di rumah sakit beberapa hari ini. Di sela-sela memberi treatment kepada pasien pun dia masih sempat memanfaatkan kesempatan untuk mencari tahu segala hal yang terjadi padaku selama lima tahun terakhir. Muak? Tentu. Walaupun kadang tak habis pikir. Seorang dokter spesialis yang aku tahu punya jadwal padat merayap masih saja menyempatkan waktu untuk menjejaki bekas derap langkahku. Saat aku sibuk memilih roti di dalam minimarket, dia merapatkan diri. Saat aku sibuk memilih susu pun dia menghampiri. "Rasa coklat atau hazelnut?" tanyanya tanpa tahu diri seolah bibirku akan buka suara. Sampai di kasir pun dia masih setia melangkah pasti. Lalu menyodorkan kartu kreditnya sesaat setelah kas
Read more

Bab 32

"Di mana kamu semalam?" Aku menoleh kala mendengar sapaan seseorang dari arah belakang. Rupanya dia sudah datang. Kurasa akan lebih baik jika pertanyaan itu diubah menjadi 'siapa yang membawaku ke hotel semalam?' Meskipun aku tetap tam berkenan menjawab. Lebih baik lanjut menyiapkan ultrasound untuk pasien terapi pertama. Langkah kakinya tertangkap telinga sedang mendekat. Diiringi suara kaki kursi yang diseret. Kurasa dia mulai mengindahkan permintaanku agar tak lagi membahas masa lalu kami. "Nin." Aku menoleh, "Ya, Dok." Sudah kusiapkan jawaban untuk pertanyaan yang bersifat privasi. "Apa diagnosis pasien pertama?" Kepercayaandiriku lenyap. Kukira dia akan terus mendesakku dengan membahas masa lalu kami. Terutama meminta penjelasan soal yang terjadi semalam, saat dia pingsan. Ternyata dia menandai permintaanku dalam ingatan. Mau tak mau kudekati mejanya. Aku harus lebih profesional saat dia profesional. Kusodorkan berkas reka
Read more

Bab 33

"Nin... ." "Tidak. Anakku meninggal... ." Dia terus menerus mengigau tak jelas. Kadang menyebut namaku, kadang bertanya tentang anaknya, kadang hanya merintih. Terlalu banyak menenggak sake menyebabkannya berhalusinasi parah begini. Niatku meninggalkannya di kamar hotel harus gagal karena melihatnya terus menerus menangis dalam keadaan mata terpejam dan tak sadar. Seperti orang hilang akal. Dia sama sekali tidak sadar. Tak kuat membuka mata sambil sesekali mual walaupun tidak sampai memuntahkan isi perutnya. Dari kejauhan aku hanya memperhatikan. Diam. Menonton segala tingkah tak sadarnya tanpa menggumam. Hingga saat nafasnya teratur barulah aku berani mendekati. Jika aku harus menolongnya sekarang, itu bukan karena aku masih cinta atau telah melupakan kesalahannya, tetapi karena dia adalah manusia. Aku pun juga. Aku punya kewajiban untuk membantunya. Sempat meragu, pada akhirnya kubuka bagian atas kancing kemejanya. Pasalnya sedari ta
Read more

Bab 34

Dia berlutut di kaki. Tangan kanannya memegang dada, sedangkan yang kiri menahan pintu yang akan kubuka. Entah apa maksudnya bersikap demikian. Mungkin sengaja membuatku layaknya penguasa yang sedang disembah. Tampak bagaikan antagonis yang murka.Aku melayangkan protes keras. Sikapnya sangat menyudutkanku jika sampai dilihat orang. "Berhenti bersikap seperti korban, ini menggangguku, Kak.""Am..puni aku, Nin." Suaranya tersengal. Lalu mendongak menatapku. "Kecewakan aku hingga ratusan kali, tapi jangan Mama dan Papa. Mereka sudah cukup menderita karenaku.""Aku tidak pernah berjanji akan menemui mereka. Coba ingat-ingat, mana ucapanku yang mengatakan akan menemui mereka. Kakak saja yang terlalu percaya diri."Kulihat matanya yang menerawang jauh ke belakang. Lalu terpejam lesu mengidap penyesalan karena telat menyadarinya. Namun yang bisa dilakukan hanya menghakimiku tanpa kekuatan."Jadi pergilah, Kak. Aku mau istirahat." ***
Read more

Bab 35

Terbebani, itu yang kurasakan setelah dokter Bianca mendudukkanku. Mungkin dia memang sengaja membuatku begitu karena ingin menggiringku mendekati kak Rama. Anehnya, yang membuatku tak habis pikir adalah aku mengetahui kenyataan bahwa sedang diarahkan, dijebak, tapi sengaja masuk perangkap. Naluriku bicara, hati kecilku membangunkan perasaan di masa lalu. Benarkah dia hampir gila karena aku dan anaknya? Lalu sekarang kambuh karena tahu anaknya telah tiada. Baiklah, sekalipun kalian tidak mempercayai, hati kecilku kini telah meyakini. Dan itu pula yang mengusik nyenyak tidurku semalam, hingga mengantarku memasuki rumah bersejarah yang menjadi titik mula segala derita. Debar itu menyerang sejak pertama kulangkahkan kaki setelah pintu terbuka. Wanita yang menatap dengan serba salah di hadapanku duduk dengan gelisah. “Tante buatkan minum dulu ya, Nin.” “Tidak usah, Tante,” jawabku tenang, harus cukup dewasa. “Saya cuma sebentar. Cuma m
Read more

Bab 36

Sepanjang perjalanan dari kamar lamaku menuju kamar Kak Rama yang juga terletak di lantai dua, aku terus berusaha menenangkan diri. Berdoa semoga Tuhan memberiku kekuatan juga kepastian untuk  bersikap. Mengampuni dengan sebenar-benarnya memaafkan. Karena ternyata melupakannya tidak sama dengan memaafkan, dan memaafkan tidak semudah yang selalu kuucapkan kala sendirian.   Jika sempat terpikir olehku untuk balas dendam, kurasa itu adalah kesalahan besar. Apa bedanya aku dengan Kak Rama jika demikian? Semua yang menimpaku juga akibat balas dendamnya. Lalu kini semua yang menimpanya adalah akibat balas dendamku. Akan menjadi lucu ketika yang kami alami seperti mata rantai tak berujung.   Dokter Bianca menoleh setelah mendengar suara pintu yang dibuka Tante Nurma. Dia menangkap wajahku dan menyamarkan keterkejutannya pada bibir yang sedikit terbuka. Namun bukan itu yang menjadi fokusku sekarang. Melainkan ses
Read more

Bab 37

Sepanjang perjalanan dari kamar lamaku menuju kamar Kak Rama yang juga terletak di lantai dua, aku terus berusaha menenangkan diri. Berdoa semoga Tuhan memberiku kekuatan juga kepastian untuk  bersikap. Mengampuni dengan sebenar-benarnya memaafkan. Karena ternyata melupakannya tidak sama dengan memaafkan, dan memaafkan tidak semudah yang selalu kuucapkan kala sendirian. Jika sempat terpikir olehku untuk balas dendam, kurasa itu adalah kesalahan besar. Apa bedanya aku dengan Kak Rama jika demikian? Semua yang menimpaku juga akibat balas dendamnya. Lalu kini semua yang menimpanya adalah akibat balas dendamku. Akan menjadi lucu ketika yang kami alami seperti mata rantai tak berujung. Dokter Bianca menoleh setelah mendengar suara pintu yang dibuka Tante Nurma. Dia menangkap wajahku dan menyamarkan keterkejutannya pada bibir yang sedikit terbuka. Namun bukan itu yang menjadi fokusku sekarang. Melainkan seseorang yang duduk menghadap ke luar jendela di belakang s
Read more

Bab 38

"Selamat pagi, Nin." Sapaan awal hari yang beberapa waktu lalu serupa momok kini telah kembali mengisi ruang fisioterapi. Syukurlah, usahaku meringankan bebannya membuahkan hasil. Dia sembuh dan kembali beraktivitas seperti sedia kala. Tinggal memikirkan bagaimana hubungan kami  berjalan setelahnya. "Selamat pagi juga, Dok," balasku memamerkan senyum. "Harus ya memanggil dengan sebutan 'Dokter' begitu?" Dia tampak tak suka. "Dokter maupun fisioterapis adalah profesi. Harus profesional saat bekerja." Aku beralasan logis. "Baiklah, alasan diterima," jawabnya riang sembari menduduki kursinya. Mengeluarkan sebotol jus dari kantung plastik yang dia bawa. Meletakkannya satu di depanku yang baru saja menghampirinya dan satu untuknya sendiri. "Aku punya dua pasien baru. Satu pasien stroke ringan dan satu lagi seorang pemain bola yang cidera ligamen. Kamu bisa membaca rekam medis mereka agar lebih tahu detil kondisi mereka karena mulai hari ini me
Read more

Bab 39

"Aku mungkin bisa hanya diam, Nin. Tapi kurasa terus-terusan memendam pertanyaan membuatku berpikir yang bukan-bukan." Kak Abel memang tidak mendesak, tidak memaksaku angkat bicara. Namun aku cukup paham dengan rasa ingin tahunya padaku yang kini menjadi buah bibir di kalangan pegawai rumah sakit. Sesuai dugaan, kabar burung selalu berembus lebih cepat dari muson. Kecepatannya kurang dari sehari tapi tinggal berhari-hari. "Sejauh ini apa yang Kak Abel dengar?" Aku penasaran seberapa banyak mereka menambahkan bumbu dalam sebuah kabar. "Kamu dan dokter Rama ada hubungan gelap. Bahkan kamu dicap sebagai perayu." Aku tersenyum kecut. Kecewa tapi mau bagaimana. "Selalu saja wanita yang disalahkan." "Begitulah. Tidak adil sama sekali." Kak Abel mengiyakan. "Siapapun dokter Rama bagimu, atau siapapun kamu bagi dokter Rama, juga hubungan kalian bagaimana, kuharap kamu sekarang berhati-hati. Karena peraturan di rumah sakit ini tidak mengizinkan pasanga
Read more

Bab 40

Pelukan erat Mama mengartikan penjelasan yang masih berdumpul di angan. Sekalipun kecewa, aku tahu Mama punya alasan. Dan aku setia menunggu beliau bicara. Aku percaya seorang ibu tahu yang terbaik untuk anaknya. Setidaknya itulah harapku sekarang. Derai di pipi Mama menghasudku untuk menurunkan ego. Mendudukkan kembali Mama di kursinya setelah menghalau nada-nada tinggi yang sempat terbesit. "Hiks... Mama tidak akan meminta maaf untuk kesalahan itu." Kusetel mata dan telinga agar memklumi. Selalu kupegang kepercayaan bahwa Mama punya alasan yang masuk akal. Masih ada harapan Nin, batinku menggumam. "Mama yang meminta Papa untuk diam. Bagi Mama, kedatangan Rama saat itu akan menjadi penghalangmu berbenah. Saat itu kamu sudah berjanji untuk melupakannya jika dia tak lagi datang menemuimu dan Gio." Mama beralasan. "Dan saat itu Mama juga berjanji akan memaafkan kak Rama jika sekali saja dia datang lagi menemuiku dan Gio," sahutku sedikit gemas.
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status