Beranda / Romansa / Deportation / Bab 11 - Bab 20

Semua Bab Deportation : Bab 11 - Bab 20

46 Bab

11. Pernikahan Bilateral

Subuh belum lagi tiba, tapi kesibukan sudah mulai terdengar di rumah Nina. Meski acara tidak dilangsungkan di rumah, tapi semua persiapan dimulai dari tempat ini. Sebuah taman di komplek rumah Nina akan menjadi lokasi sekaligus latar belakang pengucapan janji suci dan resepsi. Nina mau tak mau harus rela wajahnya didandani full cover meski sebelumnya wajah polosnya itu hampir tak pernah tersentuh kosmetik. Nina sudah berpesan sejak awal kalau make-upnya haruslah minimalis. Ia tak ingin terlihat a memakai topeng, meski topeng itu sendiri melekat di wajahnya, ya, topeng kebahagiaan semu. Ia harus mengatur senyum, meski dalam hatinya kini kembali terluka.Pertemuannya dengan Luka masih membekas di hatinya, menyisakan gelisah yang berkesinambungan. Apalagi karena ponselnya rusak setelah itu. Nick memang sudah membelikan Nina yang baru karena merasa ikut bersalah menarik Nina. Namun, bukan itu yang Nina sesali. "Duh, tahan dikit dong, Mbak
Baca selengkapnya

12. Malam Biru

Mau tak mau Nina dan Nick harus mengulang adegan tadi. Nick menyentuh bahu Nina pelan, lalu mengecup kening istrinya itu dengan lembut. Desir panas mengalir cepat ke jantung Nina, menyisakan perasaan aneh yang memutar perutnya. Mereka menyelesaikan adegan dengan pose pelukan yang kaku. Untunglah setelahnya dilanjut foto keluarga. Kehebohan keluarga akhirnya mampu mencairkan kegugupan pasangan baru itu. *** Nina sudah berusaha agar tidak lekas masuk kamar. Ia menyibukkan diri dengan bermain bersama Hana–keponakannya. Nick sepertinya masih asik ngobrol bersama orang tua Nina dan keluarganya. Hana kemudian terlihat mengantuk dan akhirnya tertidur di pangkuan Nina. Bia pun segera menggendong anaknya menuju kamar. Nina mengekor. "Mau ngapain lu ikutin gue, Lele. Sono ke kamar lu, siap-siap kek," usir Bia. "Siap-siap apa?" tanya Nina polos. "Halah, Lele, sok lugu lu. Ciye... Ciye, ada yang
Baca selengkapnya

13. Belajar Jadi Istri

"Kamu ini, malah nyuruh suaminya bawa beginian," omel Mama. "Yaelah, Ma. Masak gitu aja gak boleh. Papa aku aja gak masalah nyuci piring," bantah Nina. "Ih, beda, Nin. Kamu masih baru, jangan langsung keliatan gragasnya gitu lah. Apalagi masih di rumah mama, nanti kalau udah rumah sendiri baru deh kesepakatan kalian berdua." Kata-kata Mama membuat Nina kaget "Rumah sendiri? Mama mo ngusir Nina? Gak mau, Nina mau tinggal sama Mama Papa." mata Nina berkaca-kaca menatap Mama. "Duh, ni anak, paling bisa aja bikin mamanya mewek. Ya, siapa juga yang gak mau Nin. Tapi mama tahu banget rasanya, kalau udah menikah itu baik di rumah orang tua atau mertua, tetap aja asing rasanya. Lebih nyaman di rumah sendiri lah, meskipun cuma kontrakan kecil." Mama menggenggam tangan bungsunya itu. "Tapi, Ma..." "Mama tahu, kamu sama Nick masih belum ada rasa. Tapi seiring waktu, pasti benih
Baca selengkapnya

14. Perihnya Luka

Nick dalam posisi memeluknya, spontan kantuk Nina hilang dan duduk secara tiba-tiba. Wajahnya terasa memanas, adegan tadi membuat dadanya berdebar-debar. Nick rupanya ikut terkejut dengan gerakan Nina yang tiba-tiba.   "Kenape?" tanyanya kaget, sambil mengucek-ngucek mata.    "Oh, ehm, gak. Itu, azan." Nina pun lekas bangun dari posisinya dan lari menuju kamar mandi.    Nina menghela napas lega. Meski sejak zaman sekolah dulu temannya lebih banyak kaum lelaki, tapi tentu saja saat ini situasinya beda. Ia belum siap menerima sentuhan dari Nick. Ia juga tidak tahu kapan akan siap, membayangkannya saja membuat Nina bergidik ngeri.    *** Nina belum juga menuntaskan cutinya meski ia sendiri sebenarnya sudah bosan di rumah terus.    "Mama mau ke mana?" tanyanya ketika melihat Mama berdandan rapi.    "Mau ke rumah Tante Marina. Ada
Baca selengkapnya

15. Kencan Ke dua

Sudah sekitar lima menit dua orang berlainan jenis itu terjebak dalam perih yang tak berujung. Keheningan seakan menjadi atmosfer yang cukup menyejukkan, membuat keduanya enggan beranjak."Maafkan aku, Nin. Seharusnya aku lupakan saja semua dan melanjutkan hidup. Tapi sepertinya luka yang bercampur rasa cinta dan dendam membuatku sulit menghapus semua. Apalagi ketika kita kembali bertemu, meski saat itu aku tidak tahu kalau semua telah terlambat." Luka terlihat menunduk menahan perih yang Nina tidak tahu seberapa banyak.Nina merasa lukanya tidak ada apa-apanya sekarang. Apa yang dialami Luka sepertinya lebih perih. Nina memberanikan diri menyentuh pelan pundak Luka. Berharap bisa memberi kekuatan pada pria yang pernah merajai hatinya itu. Namun, yang terjadi kemudian di luar dugaannya.Luka menoleh sesaat, lalu meraih Nina ke dalam pelukannya. Nina cukup terkejut, ia tahu hal ini salah. Tetapi pelukan itu terlalu hangat d
Baca selengkapnya

16. Tersentuh

Popcorn ukuran besar dan dua cangkir es kopi menemani mereka menonton. Nick dengan santai dan cuek, merebahkan tubuhnya di samping Nina. Nina mendadak gugup. Santai, Nin. Santai aja, kek gak pernah deket ama cowok aja lu. Biasa dulu templok kayak sarden di kosan Bobo santai aja lu. Mana cowok semua lagi, kenapa lu jadi cupu gini, batinnya. Nina pun menghela napas, lalu ikut berbaring di samping Nick. Ia berusaha secuek mungkin, dan menganggap Nick selevel dengan teman-teman kuliahnya dulu. Namun, tentu saja semua berubah tergantung respon dan keadaan. Entah kenapa, Nick mendekatkan lengannya, dan menaruh kepala Nina di atasnya. Malam itu Nick seakan berubah, dengan santai ia merangkul bahu Nina sambil menikmati popcorn. Usaha Nina untuk tampil cuek tadi gagal total. Sekarang ia benar-benar tidak bisa mengontrol bunyi jantungnya yang seperti hendak melompat keluar. Apalagi ketika aroma maskulin
Baca selengkapnya

17. Chemistry

Nina terkejut, tetapi tubuhnya seakan terpaku di sana. Sentuhan itu lebih kuat dari sengatan listrik yang pernah menyentrumnya  waktu praktik di laboratorium elektrik dulu. Bibir Nick yang sedingin es justru meleburkan rasa beku di hatinya. Nina sempat memejamkan mata sesaat. Aroma feromon menguar seiring suasana, cahaya dan waktu yang tepat. Kedua insan ini cukup terhanyut dalam aroma memabukkan sebelum ingatannya kembali ketika nada dering ponselnya berbunyi. Lekas Nina melepaskan diri. Peristiwa barusan membuat kakinya lemah, hampir saja ia luruh ke lantai kalau saja tidak ada dinding di bagian belakangnya. Dengan tangan gemetar, ia merogoh ponsel di tas tangannya. Panggilan dari Mama. Nina berupaya mengatur napas sebelum menggeser layar ponselnya. Nick sudah meninggalkannya dan lebih dulu masuk. Pria itu juga gugup, beberapa kali ia menarik napas demi mengisi tangki oksigen di paru-parunya. Nina berhasil menguasai kegugupannya.
Baca selengkapnya

18. Siapa Yang Memulai?

"Ha?" tanya Nina dengan strategi memasang tampang bodoh.   "Luka, hm, something like that? Not really sure, saye cume dengar awak tu sebut hal tu waktu tido. Mase tu saye nak salin baju," jelas Nick.   "Ehm, masak sih? Salah dengar kali. Mungkin maksud gue takut luka kali. Ya, kali aja gue mimpi ngiris bawang." Meski gugup, Nina berhasil mencari alasan bagus untuk menutupi kegelisahannya.   Nina lega, setidaknya Nick tahu nama itu bukan dari riwayat panggilan di ponselnya atau melihat langsung. Jadi Nina masih bisa mengalihkan kecurigaan ke hal lain. Dan sepertinya usaha Nina berhasil, Nick manggut-manggut tanda paham. Nina menghela napas lega.    "Awak nak breakfast ape? Tak de apepun kat sini," tanya Nick sambil membuka laci-laci di dapurnya.    "Nah, itu ada mie instan. Lo gak suka?" Nina mendapati penampakan mie instan saat Nick membuka laci di atas kepalanya. 
Baca selengkapnya

19. Bayang-bayang Nick

Nina merasakan jantungnya berdebar. Tetapi jantung Nick dua kali terasa lebih cepat ketika tangan Nina menyentuh bagian dada Nick, tempat beradanya benda yang merupakan tanda kehidupan itu. Wajah Nick semakin dekat dengan wajahnya. Entah siapa yang memulai, kini jarak itu terpangkas habis.    Entah sejak kapan pula suhu air yang memancar dari shower itu berubah dingin. Nina merasakan bibirnya mulai menggigil. Namun, setelah bibir Nick menempel, kehangatan milik pria itu seakan mengalir di seluruh aliran darahnya. Kehangatan yang menciptakan gejolak aneh di perutnya.    Jiwanya ingin berontak, tetapi tubuhnya merespon berbeda. Kini ia semakin larut dalam ciuman yang terasa semakin intim itu.    Keadaan makin tak terkendali sampai air berhenti mengucur. Mesin otomatis itu tiba-tiba mati. Nina baru sadar, ia sudah terlalu jauh.    Apa ini saatnya? batinnya. Sejujurnya ia belum siap m
Baca selengkapnya

20. Ketahuan

Suasana jam makan siang membuat jalanan ibu kota kembali macet. Panas matahari tak kalah terik, membakar setiap yang berjalan tanpa perisai. Nick menatap enggan rumah makan padang yang cukup terkenal di dekat kantor mereka. Beberapa orang terlihat mengantre hingga ke pintu depan. Nick sudah membayangkan betapa sesak dan panasnya suasana di dalam.   "Tak ade tempat yang lebih sejuk and tak crowded ke?" tanyanya pada Nina.    Nina yang duduk di sampingnya langsung mengingat salah satu tempat yang pernah didatanginya. Sejujurnya bahkan tak pernah lekang dari ingatannya. Tempat itu cukup sejuk, makanannya juga lumayan enak, dan lokasinya pun sebenarnya tidak terlalu jauh dari kantor mereka. Namun, Nina ragu, ia enggan bertemu Luka di sana.    Hm, entar ketemu gak ya? Ah, keknya gak mungkin deh. Sebanyak tempat di kota ini, masak sih dia cuma ke sana? Bodo' ah, yang penting ngadem....    "A
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status