Home / Romansa / Deportation / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Deportation : Chapter 31 - Chapter 40

46 Chapters

31. Pisah

"Nick, turunin gue!" ucap Nina spontan. Namun, Nick bergeming. Ia sukses membawa Nina masuk ke dalam kamar. Setelah menutup pintu, barulah ia menurunkan Nina. Nina kesal bukan main, ia hampir saja mengeluarkan jurus sabuk hitamnya. "Alamak, nak besilat," gurau Nick. "Nick!" teriak Nina kesal. "Sst, sorry, tak de maksud nak buat awak marah. Cume tadi saye dengar ade suare kat situ. Kalau setakat Mommy or Arthur, okelah. Tapi kalau dah macam orang EO tadi or sesiapepun kan tak elok kalau die orang dengar," jelas Nick. "Ah, terselah lu dah. Pokoknya gue mau pulang, titik!" Teriak Nina kesal. "Nin! Astagfirullah, sebenanye ade ape? Just talk!" Nick sepertinya mulai kesal dengan sikap Nina. Nina kembali terisak, Nick benar-benar membuatnya kesal. Ingin rasanya ia memukul pria itu sekuatnya, agar rasa kesal ini segera terlampiaskan. Namun, yang
Read more

32. Long Distance Relationship

Nina menatap gumpalan awan di luar pesawat. Wanita itu menghela napasnya yang terasa berat. Wajah Nick terbayang sekali lagi. Nina kesal pada dirinya sendiri, ia punya banyak alasan membenci Nick saat ini. Namun, entah kenapa sulit rasanya menghilangkan jejak wajah Nick di sudut penglihatannya. Apalagi ekspresi Nick saat mereka berpisah tadi. Tak terasa bulir bening turun perlahan dari sudut matanya. Nina mencoba menghela napas, melegakan kegelisahannya. Ia yakin keputusannya saat ini yang paling tepat. Setidaknya mereka berdua butuh waktu untuk saling menilai, seberapa penting kehadiran pasangan bagi keduanya saat ini. Begitupun Nick, ia kehilangan fokusnya saat rapat pagi ini. Beberapa kali moderator harus menyadarkannya. Nick sendiri cukup heran dengan dirinya, tidak pernah ia kehilangan fokus seperti ini. Rasa bersalah pada Nina seakan bayangan yang terus menghantuinya. Rasa perih ia rasakan setiap mengingat wajah Nina yang sedih. "Sorry ...," gumamnya.
Read more

33. Berpaling

Nina tertawa menatap layar ponselnya. Siang ini pria itu janji membocorkan rahasia suksesnya. "Bener kamu gak ikut, Nin?" tanya mamanya lagi. Orang tua Nina tengah berkemas untuk berangkat ke rumah sepupu Nina di Bandung. Bia dan keluarga tidak ikut karena mertua Bia sedang kurang sehat. Sehingga kaka Nina itu harus menyusul ke Malang. "Bener, mending Nina ikut les. Besok ada ujian toefl juga," jawabnya acuh. Mama Nina menghela napas, ia jadi menyesal telah memanjakan Nina. Anaknya itu benar-benar tidak dewasa. Di satu sisi ia juga menyesal memaksakan pernikahan pada Nina. Mama Nina jadi menilai Nina memang belum siap untuk menikah, apalagi dengan pria yang belum dicintainya. "Sudahlah, Ma. Biarkan saja dia. Nina itu sudah dewasa, gak bisa kamu paksakan kemauan kamu. Yang ada dia malah kabur nanti, kayak gak hapal Nina aja," bujuk papa Nina berusaha menenangkan istrinya saat mere
Read more

34. Benang Kusut

Setelah selesai mengikuti ujian toefl, Nina memutuskan untuk kembali ke rumah. Entah kenapa ia tidak enak badan hari ini. Kepalanya terasa pusing, mungkin efek begadang beberapa malam ini. Ia pun memutuskan untuk tidur. Suasana rumah yang sepi juga membuat Nina merasa enggan berlama-lama berada di ruang keluarga. Ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan tidur. Entah berapa lama ia tertidur, bunyi dering ponsel membuatnya terbangun. Tertera nama Luka di layar ponsel pintarnya. Nina pun menggeser layar untuk menerima panggilan. "Kamu sakit, ya, Nin?" tanya Luka setelah mendengar suara Nina yang serak. "Gak apa-apa, kok, cuma masuk angin sedikit," jawab Nina. "Udah makan?" tanya Luka lagi. "Belum, bentar lagi kayaknya." "Loh, katanya masuk angin. Kok jam segini belum makan?" sambungnya. Nina kemudian melirik jam di dinding kamarnya. Terny
Read more

35. Perih Yang Tersisa

Nina dan Luka menoleh ke arah pintu. Di sana sudah berdiri Nick dengan koper di tangannya. Tangan yang kosong terlihat mengepal. Wajah Nick mengeras dan merah padam. Emosinya sudah di puncak. "Nick," ujar Nina yang lebih terdengar seperti bergumam. Nick gelap mata, ia menarik pria yang duduk berhadapan dengan Nina. "Hey, Bro, santai. Dengerin dulu pen ...." Belum selesai kalimat Luka, Nick telah menghadiahinya bogem mentah. Tak hanya sekali, emosi pria itu sepertinya sudah melewati ambang batas. Ia kembali memukuli Luka. Pria itu bahkan belum sempat berdiri. Nina panik, ia berusaha melerai keributan ini. "Nick, stop. Ini gak seperti yang kamu pikirkan," teriak Nina. Namun, pria itu tak perduli. Kata-kata Nina justru makin memacu emosinya. Lagi-lagi ia melayangkan pukulan ke wajah pria itu. Darah segar mengalir dari lubang hidung dan ujung
Read more

36. Setahun Kemudian

Nina mengemas netbook dari mejanya ke dalam tas ransel yang ia bawa. Mata kuliah terakhir hari ini. Wanita berjilbab krem itu menghela napas lega. Semenjak kembali menyandang status mahasiswa, harinya kini menjadi lebih sibuk."Nin, ikut kita gak?" tanya salah seorang teman pria sekelasnya."Emang pada mau ke mana, sih?""Biasa, nongkrong," ujar pria itu sambil mengerlingkan mata.Ujung minggu seperti sekarang biasanya mereka memang sering menghabiskan waktu di kafe langganan yang tidak jauh dari kampus."Gak ah, gue pengen pulang aja," tolak Nina.Nina pun kemudian berpisah dari rombongan rekan kelasnya yang kebanyakan pria. Nina menyusuri lorong kampus yang mulai sepi. Kampus yang teduh makin terlihat temaram saat langit mulai redup.Nina mendadak cemas ketika ia merasakan pergerakan yang mencurigakan di belakangnya. Sosok itu sepertinya mengikutinya men
Read more

37. Di mana Nick?

Kedua wanita yang terpaut usia cukup jauh itu akhirnya saling melepaskan pelukan meski isak tangis masih memberi jejak basah di wajah mereka. Nina tahu, bukan mertuanya itu ingin mengabaikannya selama ini. Kondisi ayah Nick lah yang membuat ibu mertuanya itu jarang berkunjung. Makanya Nina heran, apa Nick mengabaikan kondisi daddynya?"Maafkan mommy, Nina." ujarnya berulang-ulang. "It's okey, Mom. Nina paham kok kalau kondisinya memang sulit. Daddy, you look so good," sapa Nina pada ayah mertuanya yang memang tampak jauh lebih baik. Pria yang tubuhnya kini terlihat lebih berisi itu tersenyum menatap Nina. Kedua tangannya seolah tak ingin melepaskan kedua tangan menantu satu-satunya itu. "Yes, Darl. As you see, feel more better. Nina, I think we need to meet your parents. Kite tak nak die orang pikir macam-macam."Nina bisa melihat kekhawatiran di wajah kedua mertuanya itu. Ia pun sedikit cemas tentang bagaimana reaksi keluarganya
Read more

38. Sakit Yang Sesungguhnya

Di belahan bumi sebelah barat sedang  berada pada puncak musim dingin. Nick merapatkan kembali selimut tebal miliknya meski semua itu seolah tidak berarti. Tubuhnya terasa memburuk saja. Hari ini adalah pertama bagi Nick menjalani kemoterapi setelah berusaha berulang kali menolak. Bibinya yang merawat Nick selama di Inggris telah berulang kali membujuk, tapi Nick sulit sekali memutuskan. Ia masih menolak mengakui keberadaan penyakit itu di tubuhnya. Nick meraih ponselnya di samping tempat tidurnya. Ia harus berusaha mengalihkan pikiran untuk mengatasi mual yang teramat sangat. Mungkin isi perutnya sudah lebih dari dua puluh kali menyesak ingin keluar. Beberapa kali sudah ia bolak-balik wastafel. Jarinya lagi-lagi menekan galeri foto. Wajah wanita itu masih memenuhi isi galeri fotonya. Nina yang sedang tersenyum, cemberut, tertawa, bahkan sedang tertidur pulas di pelukannya, itu lagi yang ia lihat berulang-ulang. Sejenakp semua
Read more

39. I'll Be Waiting for you

Tamu-tamu sudah pulang, menuju malam Nina pun telah menuju kamar. Perasaannya terasa lapang. Kabar Nick membuatnnya memang terguncang, tapi di sisi lain ia tenang. Ternyata Nick tidaklah berniat meninggalkannya, atau berlarut marah pada peristiwa terakhir yang menerpa. Ia yakin Nick saat ini pun memikirkannya, merindukannya.  Nina memandangi wajahnya di cermin. Lingkaran hitam di matanya harus segera hilang. Ia tak ingin Nick melihatnya dalam kondisi begini. Bagaimana pun, ia harus tampir prima ketika bertemu Nick yang direncanakan dalam beberapa hari lagi.  "Nick ...." Tangis Nina kembali pecah saat menatap foto pernikahan mereka di atas meja. Mungkin untuk pertama kali, ia merasa benar-benar sangat takut kehilangan Nick. Tanpa ia sadari, cinta itu telah tumbuh di hatinya. Entah sejak kapan, tapi akarnya sangat kuat menghujam di dasar paling terdalam hatinya.  "Nick, Please, bertahanl
Read more

40. Wajah Lain Nick

Nina berusaha menutupi jetlag parah yang dirasakannya setelah menempuh perjalanan lebih dari empat belas jam itu. Mereka mendarat di London tepat saat jam makan siang.  Nina kemudian menuju toilet saat orang tua Nick dan Arthur nemilih meja di salah satu restauran. Saat di toilet Nina membasuh wajahnya untuk mengurangi rasa pusing yang dirasakannya, tapi tentu saja itu tidak terlalu membantu. Bahkan segelas kopi yang diberikan oleh Arthur pun masih membuatnya mual. Entah karena jetlag, atau stres karena tidak sabar bertemu dengan Nick, yang jelas Nina memilih diam dan enggan nenyentuh makan siangnya. Setelah dibujuk sedemikian rupa Nina akhirnya berhasil menelan sepotong puding susu yang kemudian dipesannya.  Birmingham tidak terlalu dekat, butuh sekitar dua jam lebih jika ditempuh melalui jalan darat. Keluarga Nick sudah memesan sebuah jet pribadi langganannya untuk menuju kota bagian negeri Britania Raya itu. Tentu saja hal itu m
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status