Sore hari menjelang petang, di aman langit berwarna jingga, biru kemerahan, indah menyejukkan mata. Sama halnya dengan rasa yang kini mampir pada atma Aarav. Perasaan bungah bercampur gugup menggelayut dalam ingatan, dia duduk di mobil bagian belakang sedangkan pada bagian depan ada Adelard juga Evelyn, kedua orang tua itu tersenyum. “Kau gugup, Nak?” tanya Adelard. “Ti … tidak,” jawab Aarav mendadak gagap. “Jangan berbohong, kami paham saat ini kau tengah gugup,” ledek Evelyn. Kalah, Aarav mengaku kalah, dia menghela naps panjang nan lama, “Baiklah, aku sangat gugup, seperti orang yang hendak melamar kerja untuk pertama kali bahkan ini lebih terasa gugup dari yang aku perkirakan, kalian puas,” jawab Aarav mencebik. “Hei, Nak, ayolah. Kami memahami keadaanmu sekarang, situasimu memang bagi sebagian orang membuat gugup, kau akan melamar seorang wanita,” kata Adelard. “Hei, Ayah, masalahnya aku tidak mencintai gadis itu, ingat,” kata Aara
Read more