Kami sampai di rumah Om Aarav, rumah yang sangat nyaman, aku berkeliling ketika Om Aarav bilang akan mengganti pakaian. Ada kamar yang telah dia siapkan untukku juga di sebelah kamar Om Aarav. Penasaran setelah keluar dari kamar yang akan menjadi tempatku, sekarang kaki ini malah melangkah mendekat ke kamar lelaki itu. Ragu tangan ini memegang gangang pintu. Cklek! Aku membuka pintu tersebut, kepala menyembul ke dalam ruangan. Tidak ada Om Aarav, aku mendengar gemericik air dari arah kamar mandi. Lelaki tersebut sedang mandi rupanya. Aku kemudian duduk di sudut ranjang dekat nakas. Tanpa sadar terlihat beda seperti terselip di ujung bagian ranjang, penasaran sudah pasti. Aku membungkuk, tangan ini merogoh ke bagian bawah nakas untuk meraih sesuatu yang terlihat mirip kertas saja. Benar saja, saat tangan ini meraihnya ternyata sebuah kertas. Mungkin para asisten rumah tangga kurang teliti membersihkan ruangan, aku akan mengatakan kepada Om Aarah nanti agar beliau lebih me
Kasih yang tidak sampai bisa membuat seseorang ragu untuk menjalin sebuah hubungan. Ragu untuk kembali mencintai, sungguh menyiksa. Dalam angan di hati Aarav kala melihat rekan yang telah menikah dan memiliki momongan. Dia pun ingin, melihat Larisa kecil, menggendong saat bayi pun Aarav menyukainya. Siapa sangka gadis cilik yang dulu sering mengompolinya sekarang malah menjadi calon istri yang tepat dia pilih. Baginya Larisa gadis muda yang masih bisa dia setir, setidaknya untuk rasa asal Aarav memberi perhatian lebih, dia pasti tidak akan berkomentar lebih menuntut untuk hati dan mencintai. Tanpa Aarav sadari kini dia yang sangat menginginkan Larisa. Walau dia tidak mengekang gadis tersebut menemui kekasihnya Emir. Akan tetapi dalam benak dia begitu sangat ingin memisahkan mereka. Aarav ingin dirinya tempat satu-satunya bagi Larisa untuk bergantung. ‘Akan aku taklukkan dirimu dan menyetirmu sesuai keinginanku, Risa,’ bisik Emir tersenyum smirk. Dia seolah mendap
Sepanjang siang itu Aarav sama sekali tidak fokus pada pekerjaannnya, pikiran dia melayang membayangkan kejadian di parkiran tadi. Melihat Larisa dicium kekasihnya dia merasa geram. Rafael yang menatap lelaki di hadapannya dengan bingung. Dokumen yang seharusnya di tanda tangani diabaikan begitu saja. Malah asik melamun, Rafael berulang kali memanggil nama Aarav tapi tidak ada respon. Bujanga tersebut asik melihat langit dari balik jendela kaca di samping mejanya. ‘Apa aku harus melempar orang itu ke luar jendela, astaga ini sangat membuang waktu,’ cicit Rafael. Dia menghela napas untuk kesekian kali, “Om Aarav!” teriaknya. Aarav bangkit dari duduk saking terkejutnya, bujangan itu menoleh ke arah Rafael kemudian hendak melempar tumpukan dokumen kepada pemuda yang cekikikan menertawakan dirinya tersebut. Rafael menganggap itu sangat lucu, Aarav melonjak bangkit dari duduk, gerakan spontan yang kocak. Salah Aarav sendiri melamun. “Kau, sialan!” cebik Aarav.
Aarav benar-benar tidak habis pikir, cobaan atau sebuah godaan yang ditawarkan orang tua Larisa. Sempat berpikir jernih, dengan menghubungi kedua orang tuanya untuk menitipkan Larisa, apa yang didapat. Kedua orang tua beserta Delon pun sedang pergi keluar kota dengan dalih ada kepentingan. Setan dalam hati Aarav pun bersorak menang, mungkin khayalan dirinya merengkuh Larisa malam ini akan menjadi kenyataan, begitu Aarav tersenyum smirk. Dia penuh semangat menjemput Larisa di kampus setelah sebelumnya mengirim pesan via chat di aplikasi FastApp. Sebelumnya Aarav terlebih dahulu menyuruh para asisten rumah tangga untuk berkemas rumah sebersih mungkin, mengganti gorden juga seprei di kamar Larisa. Tidak lupa dia sendiri mandi dengan bersih menata sedemikian rupa rambutnya agar nampak klimis dan rapi. Tidak berhenti di sana, lelaki itu juga tiga kali mengganti pakaian, berawal, dari setelan jas. “Hei, aku sedang tidak menghadiri acara resmi mengapa mengenakan pakaian
Rembulan melambai-lambai terlihat menawan di atas langit sana. Larisa dan Elizabeth tertidur lelap di kamar dengan ranjang king size empuk. Berbeda dengan ruangan tengah yang masih ramai, para jantan-jantan masih mempermainkan permainan karambol, di mana si kalah akan di hias wajahnya dengan tepung. Posisi ini nampaknya bukan keberuntungan Aarav, bujangan tua tersebut kalah total, Emir dan juga Rafael puas tertawa melihat wajah gagah itu memutih semua. “Lelahnya aku tidur duluan ya,” ujar Rafael. “Lebih baik kalian memang tidur sudah larut malam,” kata Aarav. “Ini bukan berarti Om sedang menghindar lantaran kalah, kan?” ejek Emir. Aarav terkekeh, “Bukan seperti itu,” keluhnya, “aku akan membersihkan diri,” lanjutnya. “Aku mau kopi, ada yang mau?” tanya Emir. “Jika kau mau membuatkan,” sanggah Aarav. “Aku tidak, aku ngantuk, bye.” Lelaki itu berjalan keluar ruang tengah. Aarav dan juga Emir pun berpisah, Emir masuk ke dalam rua
Aarav menoleh ke arah belakang, bernapas lega melihat Rafael, beruntung bukan Larisa yang dia dapati. Jika Larisa yang keluar lalu mendengar ucapan kekasihnya, dia pasti akan merasakan sakit yang teramat sangat. Yah, membayangkan gadis tersebut menangis ketakutan membuat dirinya selalu tidak tega. Kali ini pun Aarav percaya diri akan dapat melindungi Larisa. Rafael terbengong melihat Aarav menatap intens, dia merasa ngeri. “Berhenti melihat saya dengan tatapan seperti orang terpana jatuh cinta, bikin merinding, Om,” keluh Rafael melantur. Bletak! Aw! Teriak Rafael kesakitan saat Aarav menjitak jidatnya. “Kau berhenti berpikir yang tidak-tidak,” keluh Aarav. “Apa kau mendengar apa yang dikatakan bocah itu?” tanyanya. “Maksud Om, Emir, ah dari awal aku sudah menduga dia itu aneh. Setelah mendengar apa yang dia katakan tadi, aku semakin yakin dia harusnya ke psikiater atau psikolog,” keluh Rafael. “Bagaimana pipit manisku itu berhubungan dengan lelaki macam Ars
Aarav masih berangkat ke kantor, ada beberapa hal penting yang harus dilakukan termasuk merekrut sekretaris baru yang akan menggantikan Rafael. Pemuda itu dalam waktu kurang dari tiga bulan akan berhenti dari kantornya dan kembali ke Julian grup, tugasnya hampir selesai, tidak banyak hal yang bisa dilakukan lantaran Rafael cukup jenius mengurus masalah pekerjaan. Ketukan pintu empat kali berturut-turut sebagai pertanda dia adalah Rafael, itu kode yang diberitahukan untuk pembeda. Rafael menyembul masuk ke dalam. “Pak, calon yang lolos dan memenuhi kriteria sudah masuk. Silahkan Anda yang interview untuk terakhir kali, semoga dia sesuai harapan Anda,” kata Rafael. “Baiklah, suruh dia masuk,” ujar Aarav tanpa menoleh. “Saya permisi,” ucap Rafael. Pintu kembali tertutup dan terbuka dengan hadirnya parfum wanita yang menguar ke penjuru ruang. Jika itu Aarav beberapa waktu lalu pasti dia sangat menyukainya. Namun, saat ini nampaknya berbeda, Aarav merasa ris
Pagi subuh Larisa sudah mandi, dia akan pergi ke salon untuk merias diri dan mengambil gaun pernikahan. Perasaan campur aduk, makan tidak enak, tidur tidak nyenyak ah betapa dia sangat merasa gugup sekarang. Dia akan segera menikah dan meninggalkan rumah tercinta untuk hidup dengan sang suami. Dia melihat sekeliling orang-orang tengah sibuk mempersiapkan acara ijab yang akan dilaksanakan di rumah. Sang ibu terlihat sibuk berbincang dengan ayahnya, mengatur sedemikian rupa apa yang akan di tata di tempat. Edzard dan juga Rere menatap ke arah sang putri dengan tersenyum, mereka berjalan mendekat dan memeluk Rere dengan sayang. Air mata mengalir membasahi pipi, kedua orang tua tersebut. ada rasa sedih mengingat gadi kecil yang mereka besarkan akan menikah dan menjadi istri seseorang. Perasaan lega nan bahagia bercampur aduk. Larisa pun menangis, dia menangis bukan hanya terharu tetapi ada sedikit rasa menekan di hati, bila mana apa yang akan dilakukan tidak sesuai harapan or
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A