Brak! Terdengar suara gebrakan pintu membuat Emir dan Larisa sama-sama terkejut. menghentikan aksinya. Emir bangkit dari atas tubuh Larisa. Gadis itu sendiri dengan cepat menutup bagian dadanya yang sempat terbuka lebar, dia menangis sesengukan. Aarav menatap nyalang ke arah keduanya. Ingin menyalahkan siapa semua tidak bisa dia lakukan. Aarav sendiri merasa dirinya lebih buruk dari mereka berdua. "Apa yang kalian berdua lakukan?" Kalimat Aarav penuh penekanan. "Hei, apa lagi, tentu bermesraan kami sepasang kekasih," jawab Emir mencoba memprovokasi. 'Apa yang Emir katakan? Dia gila!' Larisa terkejut bukan kepalang. Aarav memijat keningnya, "Aku akan membawa calon istriku, setelah ini jangan pernah lagi membawanya pergi dari sisiku!" ancam Aarav. Lelaki itu gegas mendekat ke arah Larisa lalu menariknya pelan keluar rumah tersebut. Terdengar suara sesuatu yang pecah dari dalam sana. Dipastikan Emir pasti tengah mengamuk. "Beraninya mengancamku!" teri
Aarav terlihat tampan dengan setelan tuxedo hitam. Dia sedang memandang dirinya di cermin, merapikan rambut untuk beberapa kali. Adelard masuk ke dalam, Aarav dapat melihat sang ayah dan ibu sambungnya berjalan mendekat. Mereka melempar senyum, ada rasa haru menyelimuti. Siapa sangka bujangan tua itu akhirnya menikah juga. Walau harus dengan beberapa siasat dari Adelard, terpaksa dia melakukan segala cara untuk memprovokasi Aarav. Sudah beberapa kali dia mengatur kencan buta untuk sang anak. Namun, berakhir dan gagal dalam hitungan jam saja. Kalau pun berjalan pasti hanya beberapa hari saja, selebihnya Aarav akan mencampakan wanita yang sudah dia kencani. Tabiat buruk Aarav membuat Adelard benar-benar pusing tujuh keliling. Pernyataan Edzard saat tidak sengaja dia dengar membuat Adelard berpikir dua kali dan memutuskan menjodohkan Aarav dan Larisa. Tidak dia sangka gayung bersambut. Doa terbaik dia panjatkan untuk sang putra. Entah apa yang akan dia lakukan jika rencana perjodo
Malam itu. Bagaimana Risa bisa menemui Emir dan memutuskan untuk berpisah, salah satu alasan tidak lain karena Elizabeth. Sahabat baiknya itu yang membuka mata Larisa lebar-lebar. Malam tadi, saat Elizabeth menemani Risa sebentar, bersenda gurau di kamar Larisa yang luas. Sang sahabat laknatnya itu menunjukkan sebuah gambar di ponselnya. Gambar yang membuat Rere melebarkan mata dan malu dalam kurun waktu bersamaan. “Aku bingung harus berkata apa saat memergoki kalian bermesraan,” keluh Elizabeth. Larisa hanya menunduk malu, “Kau ini mencintai Emir atau Om Aarav?” tanya Elizabeth. Larisa menggeleng. Eliz menghela napas kesal, “Bagaimana perasaanmu saat bersama Emir dan Om Aarav, kau merasa bahagia dengan siapa? Merasa nyaman dengan siapa?” cerocos Elizabeth membabi buta dalam bertanya. “Jika aku berkata aku bingung apa kau akan mengadili perasaanku, Elz?” tanya Larisa pasrah dengan wajah super imut membuat Elizabeth lemah, tidak tega untuk memarahi. “Aku tidak aka
Larisa masih menangis saat di jalan hinggatertidur, Aarav membiarkan saja. Butuh waktu bagi si manja satu itu untuk hidup jauh dari kedua orang tuanya memang. Aarav pun tidak ingin egois mencaci. Dia pun prihatin, dia yang dengan sedikit paksaan mengambil Larisa, menarik gadis mungil tersebut ke arahnya. Meraih untuk hidup baru dalam mahligai rumah tangga yang sebernya terasa ambigu bagi keduanya. Aarav mematikan mesin mobil, berhenti tepat di depan kediamannya. Larisa masih pulas tertidur di dalam mobil sangat pulas. Sungguh manis nan menggoda bagi lelaki tersebut. Tidak tega untuk membangunkan, Aarav lebih memilih menggendong gadis itu. Pelan masuk ke dalam rumah, menaiki anak tangga satu demi satu. Pesona Larisa mampu mengalihkan dunia Aarav, seolah ada musik alami menghampiri saat dia menatap wajah menggiurkan itu. Rungu seolah tidak berfungsi dengan baik, hanya terdengar sayup lantunan kidung cinta. Waktu seperti tertahan dalam kurun beberapa saat. Bayang Larisa seolah me
Aarav tidak bisa tidur, dia berjalan menuruni anak tangga menuju ke dapur. Perut terasa Keroncong, berharap sang asisten rumah tangga menyiapkan makan sebelum mereka pulang tadi. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Baru sampai di bawah, Aarav mencium aroma teh bercampur aroma masakan. Lelaki itu menabur senyum di bibir. Tidak ada orang lain di rumah ini kecuali dia dan sang istri. Aarav mempercepat langkah, dan benar dia mendapati Larisa berkutat memasak. Rambut diikat asal, pakaiannya sudah berganti dengan lingerie warna maroon setinggi lutut, plus dengan mantelnya. Meski tertutup, namun bentuk tubuh ramping Larisa tercetak jelas membuat Aarav yang sudah pernah berhubungan dengan berbagai macam bentuk wanita merasa memanas. 'Astaga, kenapa kau selalu bereaksi?' cicit Aarav pada sang Junior yang menggembung di balik mantel tidur yang dikenakan. Aarav memukul ke udara bersamaan dengan Larisa yang menoleh ke arahnya. "Mas," sapa Larisa. "Ah!" Aarav meleba
Beberapa saat sebelumnya. Aarav dan Larisa menyelesaikan makan malam, gadis itu bangkit berdiri kemudian menaruh ping kotor ke wastafel dan langsung membersihkannya. Gadis itu kembali duduk di kursi, melirik sebentar Aarav yang tengah menyesap kopi. Gadis itu terbengong sebentar lalu tersenyum melihat gelas teh yang ada di depannya. Ah, Aarav membuatkan teh untuknya juga. Larisa meraih, mencium sebentar aroma dengan mata tertutup dan bibir tersenyum di mana kepala sedikit mendongak memperlihatkan leher putih mulus. Aarav sedikit membayangkan, aroma tubuh juga momen ketika dia menyusupkan kepala ke ceruk leher itu. Masih ada bekas tanda merah, entah miliknya atau pun Emir. Aarav lupa berapa kali dan berapa banyak dia menutup tanda Emir, yang jelas pada bagian dada ada beberapa tanda baru yang dia sematkan. Mengharapkan Larisa tidak menyadari kemesuman dirinya. Melihat gadis tersebut terdiam tanpa komentar tentang tanda tersebut, sepertinya dia terlalu memperhatikan. “Terima
Aarav mendekat ke arah Larisa lalu merangkulnya, seolah mengejek Emir dengan tindakan. Elizabeth dan Delon menatap intimidasi. Rasanya Larisa bimbang seketika. Namun, cengkraman lembut Aarav di pundaknya membuat dia tersadar. Bukan saat dirinya memikirkan diri sendiri, nasehat kedua orang tuanya membayang, di mana mereka berharap Larisa berusaha menjadi istri yang baik. Terdengar suara guntur beberapa kali di luar sana, kilat juga terlihat berkelebatan sesekali. “Jadilah istri yang baik Sayang, jangan nakal atau aku akan menghukumu!” ancam Aarav. Menghukum, apa hukuman yang Aarav maksud, pasti itu bukan hal baik, terakhir saat Aarav marah, lelaki itu menjamah dan membuat tubuhnya melemas. “Lebih baik kalian pulang,” kata Larisa. Hanya itu yang dia katakan, saat ini Larisa berusaha agar tidak memprovokasi Aarav, juga sebisa mungkin menjauh jika bisa. “Mengapa kamu sekejam ini Risa?” tanya Delon. “Tolong pahami keadaanku sekarang, kalian tahu aku wanita bers
Aarav bertelanjang dada dengan seringainya yang membuat bergidik ngeri, lelaki tersebut merangkak di ranjang mendekat ke arah Larisa. Gadis tersebut beringsut hingga tubuhnya terkantuk sudut ranjang. Tatapannya lurus bersirobok dengan manik mata Aarav, jantung berdegup kencang, bukan pesona yang dia dapati. Namun, ketakutan nyata Larisa rasakan, napasnya sesak seketika keringat dingin mengucur di pelipis dan terasa di telapak tangan. “Mas.” Suara Larisa tertahan. “Hibur aku, maka aku akan mengampuni dirimu dan kekasihmu!” titah Aarav. Larisa menatap Aarav dengan wajah pias, bibirnya memucat seketika. “Mengapa, kita suami istri, apa sekarang kau merasa sungkan untuk bercumbu mesra denganku, Sayang” sarkas Aarav. Tangan berotot Aarav menjeremba paha mulus Larisa, gadis itu tercekat saat jemari Aarav menyentuh bagian inti dari balik celana dalamnya. Belum sempat berkomentar, Aarav sudah menarik Larisa hingga gadis itu telentang di bawahnya. Larisa melebarkan mata saat