Pagi subuh Larisa sudah mandi, dia akan pergi ke salon untuk merias diri dan mengambil gaun pernikahan. Perasaan campur aduk, makan tidak enak, tidur tidak nyenyak ah betapa dia sangat merasa gugup sekarang. Dia akan segera menikah dan meninggalkan rumah tercinta untuk hidup dengan sang suami. Dia melihat sekeliling orang-orang tengah sibuk mempersiapkan acara ijab yang akan dilaksanakan di rumah. Sang ibu terlihat sibuk berbincang dengan ayahnya, mengatur sedemikian rupa apa yang akan di tata di tempat. Edzard dan juga Rere menatap ke arah sang putri dengan tersenyum, mereka berjalan mendekat dan memeluk Rere dengan sayang. Air mata mengalir membasahi pipi, kedua orang tua tersebut. ada rasa sedih mengingat gadi kecil yang mereka besarkan akan menikah dan menjadi istri seseorang. Perasaan lega nan bahagia bercampur aduk. Larisa pun menangis, dia menangis bukan hanya terharu tetapi ada sedikit rasa menekan di hati, bila mana apa yang akan dilakukan tidak sesuai harapan or
Brak! Terdengar suara gebrakan pintu membuat Emir dan Larisa sama-sama terkejut. menghentikan aksinya. Emir bangkit dari atas tubuh Larisa. Gadis itu sendiri dengan cepat menutup bagian dadanya yang sempat terbuka lebar, dia menangis sesengukan. Aarav menatap nyalang ke arah keduanya. Ingin menyalahkan siapa semua tidak bisa dia lakukan. Aarav sendiri merasa dirinya lebih buruk dari mereka berdua. "Apa yang kalian berdua lakukan?" Kalimat Aarav penuh penekanan. "Hei, apa lagi, tentu bermesraan kami sepasang kekasih," jawab Emir mencoba memprovokasi. 'Apa yang Emir katakan? Dia gila!' Larisa terkejut bukan kepalang. Aarav memijat keningnya, "Aku akan membawa calon istriku, setelah ini jangan pernah lagi membawanya pergi dari sisiku!" ancam Aarav. Lelaki itu gegas mendekat ke arah Larisa lalu menariknya pelan keluar rumah tersebut. Terdengar suara sesuatu yang pecah dari dalam sana. Dipastikan Emir pasti tengah mengamuk. "Beraninya mengancamku!" teri
Aarav terlihat tampan dengan setelan tuxedo hitam. Dia sedang memandang dirinya di cermin, merapikan rambut untuk beberapa kali. Adelard masuk ke dalam, Aarav dapat melihat sang ayah dan ibu sambungnya berjalan mendekat. Mereka melempar senyum, ada rasa haru menyelimuti. Siapa sangka bujangan tua itu akhirnya menikah juga. Walau harus dengan beberapa siasat dari Adelard, terpaksa dia melakukan segala cara untuk memprovokasi Aarav. Sudah beberapa kali dia mengatur kencan buta untuk sang anak. Namun, berakhir dan gagal dalam hitungan jam saja. Kalau pun berjalan pasti hanya beberapa hari saja, selebihnya Aarav akan mencampakan wanita yang sudah dia kencani. Tabiat buruk Aarav membuat Adelard benar-benar pusing tujuh keliling. Pernyataan Edzard saat tidak sengaja dia dengar membuat Adelard berpikir dua kali dan memutuskan menjodohkan Aarav dan Larisa. Tidak dia sangka gayung bersambut. Doa terbaik dia panjatkan untuk sang putra. Entah apa yang akan dia lakukan jika rencana perjodo
Malam itu. Bagaimana Risa bisa menemui Emir dan memutuskan untuk berpisah, salah satu alasan tidak lain karena Elizabeth. Sahabat baiknya itu yang membuka mata Larisa lebar-lebar. Malam tadi, saat Elizabeth menemani Risa sebentar, bersenda gurau di kamar Larisa yang luas. Sang sahabat laknatnya itu menunjukkan sebuah gambar di ponselnya. Gambar yang membuat Rere melebarkan mata dan malu dalam kurun waktu bersamaan. “Aku bingung harus berkata apa saat memergoki kalian bermesraan,” keluh Elizabeth. Larisa hanya menunduk malu, “Kau ini mencintai Emir atau Om Aarav?” tanya Elizabeth. Larisa menggeleng. Eliz menghela napas kesal, “Bagaimana perasaanmu saat bersama Emir dan Om Aarav, kau merasa bahagia dengan siapa? Merasa nyaman dengan siapa?” cerocos Elizabeth membabi buta dalam bertanya. “Jika aku berkata aku bingung apa kau akan mengadili perasaanku, Elz?” tanya Larisa pasrah dengan wajah super imut membuat Elizabeth lemah, tidak tega untuk memarahi. “Aku tidak aka
Larisa masih menangis saat di jalan hinggatertidur, Aarav membiarkan saja. Butuh waktu bagi si manja satu itu untuk hidup jauh dari kedua orang tuanya memang. Aarav pun tidak ingin egois mencaci. Dia pun prihatin, dia yang dengan sedikit paksaan mengambil Larisa, menarik gadis mungil tersebut ke arahnya. Meraih untuk hidup baru dalam mahligai rumah tangga yang sebernya terasa ambigu bagi keduanya. Aarav mematikan mesin mobil, berhenti tepat di depan kediamannya. Larisa masih pulas tertidur di dalam mobil sangat pulas. Sungguh manis nan menggoda bagi lelaki tersebut. Tidak tega untuk membangunkan, Aarav lebih memilih menggendong gadis itu. Pelan masuk ke dalam rumah, menaiki anak tangga satu demi satu. Pesona Larisa mampu mengalihkan dunia Aarav, seolah ada musik alami menghampiri saat dia menatap wajah menggiurkan itu. Rungu seolah tidak berfungsi dengan baik, hanya terdengar sayup lantunan kidung cinta. Waktu seperti tertahan dalam kurun beberapa saat. Bayang Larisa seolah me
Aarav tidak bisa tidur, dia berjalan menuruni anak tangga menuju ke dapur. Perut terasa Keroncong, berharap sang asisten rumah tangga menyiapkan makan sebelum mereka pulang tadi. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Baru sampai di bawah, Aarav mencium aroma teh bercampur aroma masakan. Lelaki itu menabur senyum di bibir. Tidak ada orang lain di rumah ini kecuali dia dan sang istri. Aarav mempercepat langkah, dan benar dia mendapati Larisa berkutat memasak. Rambut diikat asal, pakaiannya sudah berganti dengan lingerie warna maroon setinggi lutut, plus dengan mantelnya. Meski tertutup, namun bentuk tubuh ramping Larisa tercetak jelas membuat Aarav yang sudah pernah berhubungan dengan berbagai macam bentuk wanita merasa memanas. 'Astaga, kenapa kau selalu bereaksi?' cicit Aarav pada sang Junior yang menggembung di balik mantel tidur yang dikenakan. Aarav memukul ke udara bersamaan dengan Larisa yang menoleh ke arahnya. "Mas," sapa Larisa. "Ah!" Aarav meleba
Beberapa saat sebelumnya. Aarav dan Larisa menyelesaikan makan malam, gadis itu bangkit berdiri kemudian menaruh ping kotor ke wastafel dan langsung membersihkannya. Gadis itu kembali duduk di kursi, melirik sebentar Aarav yang tengah menyesap kopi. Gadis itu terbengong sebentar lalu tersenyum melihat gelas teh yang ada di depannya. Ah, Aarav membuatkan teh untuknya juga. Larisa meraih, mencium sebentar aroma dengan mata tertutup dan bibir tersenyum di mana kepala sedikit mendongak memperlihatkan leher putih mulus. Aarav sedikit membayangkan, aroma tubuh juga momen ketika dia menyusupkan kepala ke ceruk leher itu. Masih ada bekas tanda merah, entah miliknya atau pun Emir. Aarav lupa berapa kali dan berapa banyak dia menutup tanda Emir, yang jelas pada bagian dada ada beberapa tanda baru yang dia sematkan. Mengharapkan Larisa tidak menyadari kemesuman dirinya. Melihat gadis tersebut terdiam tanpa komentar tentang tanda tersebut, sepertinya dia terlalu memperhatikan. “Terima
Aarav mendekat ke arah Larisa lalu merangkulnya, seolah mengejek Emir dengan tindakan. Elizabeth dan Delon menatap intimidasi. Rasanya Larisa bimbang seketika. Namun, cengkraman lembut Aarav di pundaknya membuat dia tersadar. Bukan saat dirinya memikirkan diri sendiri, nasehat kedua orang tuanya membayang, di mana mereka berharap Larisa berusaha menjadi istri yang baik. Terdengar suara guntur beberapa kali di luar sana, kilat juga terlihat berkelebatan sesekali. “Jadilah istri yang baik Sayang, jangan nakal atau aku akan menghukumu!” ancam Aarav. Menghukum, apa hukuman yang Aarav maksud, pasti itu bukan hal baik, terakhir saat Aarav marah, lelaki itu menjamah dan membuat tubuhnya melemas. “Lebih baik kalian pulang,” kata Larisa. Hanya itu yang dia katakan, saat ini Larisa berusaha agar tidak memprovokasi Aarav, juga sebisa mungkin menjauh jika bisa. “Mengapa kamu sekejam ini Risa?” tanya Delon. “Tolong pahami keadaanku sekarang, kalian tahu aku wanita bers
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A