Sore hari menjelang petang, di aman langit berwarna jingga, biru kemerahan, indah menyejukkan mata. Sama halnya dengan rasa yang kini mampir pada atma Aarav. Perasaan bungah bercampur gugup menggelayut dalam ingatan, dia duduk di mobil bagian belakang sedangkan pada bagian depan ada Adelard juga Evelyn, kedua orang tua itu tersenyum. “Kau gugup, Nak?” tanya Adelard. “Ti … tidak,” jawab Aarav mendadak gagap. “Jangan berbohong, kami paham saat ini kau tengah gugup,” ledek Evelyn. Kalah, Aarav mengaku kalah, dia menghela naps panjang nan lama, “Baiklah, aku sangat gugup, seperti orang yang hendak melamar kerja untuk pertama kali bahkan ini lebih terasa gugup dari yang aku perkirakan, kalian puas,” jawab Aarav mencebik. “Hei, Nak, ayolah. Kami memahami keadaanmu sekarang, situasimu memang bagi sebagian orang membuat gugup, kau akan melamar seorang wanita,” kata Adelard. “Hei, Ayah, masalahnya aku tidak mencintai gadis itu, ingat,” kata Aara
Sekuat tenaga aku menutup mulut agar tangis tidak terdengar sampai keluar, sakit sudah pasti menahan. Saat ini aku benar-benar berada di posisi yang tidak menguntungkan. Bagi sebagian gadis mungkin rencana pernikahan adalah hal membahagiakan, pertunangan adalah hal luar biasa. Namun, apa yang terjadi pada diriku berbeda dari yang lain. Ketika harus mengalah kemudian memilih perjodohan tidak disengaja dibandingkan cinta. Yah, cinta hanya semu semata, menempatkan rasa sakit lebih dominan dari bahagia yang pernah dicecap manis. Baru seujung kuku rona bahagia menyergap diri kini berganti luka bernanah saling menyakiti, nasib badan. Aku butuh penghiburan namun, kamar sunyi ini yang menjadi sahabatku saat ini. Ingin menghubungi Delon atau pun Elizabeth rasanya tidak mungkin, situasi akan semakin rumit seratus persen jika ada mereka. Pasti ada saja ulah untuk menggagalkan rencana mengingat mereka begitu peduli kepada diriku. Pintu kamar terbuka, aku tidak peduli yang ingin aku
Kami saling menatap satu sama lain, astaga mata itu sungguh menakutkan aku seperti tertusuk melihatnya. Air mata mulai luruh, sungguh aku sangat ingin berteriak. Namun, aku urungkan ketika melihat tatapan Om Aarav melunak. Apakah lelaki tersebut mulai tersentuh dengan senduku. Tangan berotot Om Aarav menghapus linangan air mata, terasa halus menyentuh kulit pipiku. Sungguh sangat nyaman, akhirnya aku bisa menangis dengan puas. Dia memeluk, dengan satu tangan. Ah, aku menduga tangan satunya digunakan untuk menopang badan. Karena aku tidak merasa tertindih tubuhnya meski beliau berada di atasku. “Menangislah, aku di sini akan menenangkan dirimu, Sayang,” ujar Aarav. Aku membalas pelukannya, bersembunyi di balik tubuh kekar yang mengukungku, hangat. Tidak lama hanya sebentar hingga hati terasa sangat lega, mungkin ini terdengar konyol namun, aku merasa sangat nyman sekarang. Om Aarav meraih sapu tangan di saku jas aku menggunakan untuk mengelap air mata lalu ingus, kulem
Senyuman itu bukan membuat diriku takut namun malam membuat aku penasaran. Sentuhan tangannya memabukkan, astaga aku benar-benar tidak mampu mengelak perasaan yang benar-benar membuat candu, aku tidak mampu berbohong, tubuh ini menginginkan Om Aarav. Lelaki tersebut menarik kerutan dress bagian atas ke bawah bersama bra yang aku kenakan. Terpampang jelas kedua bukit kembar kecil milikku. Lelaki tersebut menatap dan tersenyum. “Ini sangat mungil tapi aku selalu memikirkannya,” ujar Om Aarav yang kemudian menggunakan lidahnya untuk menyentuh bagian ujung. Aku menggigit bibir bawah sensasi yang begitu luar biasa. Suara dari mulut ini tidak mampu lagi aku tahan, aku berteriak. Beruntung kamar kedap suara, bisa dibilang aman. Mataku melebar melihat Om Aarav melepas pakaian lalu menghempaskan ke lantai. “Mengapa Om melepas pakaian?” tanyaku. “Biar tidak kusut, kau juga lepaskan saja!” “Apa?” aku masih terkejut ketika dia membimbingku duduk kemudian menarik dr
Aku memang menjanjikan untuk berkunjung ke rumah ke rumah calon mertuaku pada pagi hari. Namun, tidak aku sangka Om Aarav akan menjemputku jam enam pagi. Aku melongo melihat lelaki itu sudah berdiri di dalam kamarku dengan mengenakan pakaian santai, celana pendek warna putih, senada dengan kaos yang dikenakan. Aku masih berdiri terpaku dengan hanya berbalut handuk di mana tubuhku masih basah kuyup lantaran baru saja selesai mandi. “Kau mau menggoda imanku, Sayang?” tanya Om Aarav. “Mana ada, aku baru selesai mandi, Om,” cicitku membela diri. “Sudah aku katakan, panggil aku Mas atau yang lain asal jangan Om!” pekiknya menyilangkan kedua tangan ke dada. “Mas, ngapain jam segini sudah ada di rumah aku?” Rasanya aku mual memanggil dia dengan sebutan mas, astaga. “Aku menjemputmu, sayang, mari kita ke rumah orang tuaku,” ujarnya. “Sepagi ini, Mas waras?” decakku. “Kalau aku gila aku nggak mungkin tergoda tubuh molek kamu,” seloroh Om Aar
Kami sampai di rumah Om Aarav, rumah yang sangat nyaman, aku berkeliling ketika Om Aarav bilang akan mengganti pakaian. Ada kamar yang telah dia siapkan untukku juga di sebelah kamar Om Aarav. Penasaran setelah keluar dari kamar yang akan menjadi tempatku, sekarang kaki ini malah melangkah mendekat ke kamar lelaki itu. Ragu tangan ini memegang gangang pintu. Cklek! Aku membuka pintu tersebut, kepala menyembul ke dalam ruangan. Tidak ada Om Aarav, aku mendengar gemericik air dari arah kamar mandi. Lelaki tersebut sedang mandi rupanya. Aku kemudian duduk di sudut ranjang dekat nakas. Tanpa sadar terlihat beda seperti terselip di ujung bagian ranjang, penasaran sudah pasti. Aku membungkuk, tangan ini merogoh ke bagian bawah nakas untuk meraih sesuatu yang terlihat mirip kertas saja. Benar saja, saat tangan ini meraihnya ternyata sebuah kertas. Mungkin para asisten rumah tangga kurang teliti membersihkan ruangan, aku akan mengatakan kepada Om Aarah nanti agar beliau lebih me
Kasih yang tidak sampai bisa membuat seseorang ragu untuk menjalin sebuah hubungan. Ragu untuk kembali mencintai, sungguh menyiksa. Dalam angan di hati Aarav kala melihat rekan yang telah menikah dan memiliki momongan. Dia pun ingin, melihat Larisa kecil, menggendong saat bayi pun Aarav menyukainya. Siapa sangka gadis cilik yang dulu sering mengompolinya sekarang malah menjadi calon istri yang tepat dia pilih. Baginya Larisa gadis muda yang masih bisa dia setir, setidaknya untuk rasa asal Aarav memberi perhatian lebih, dia pasti tidak akan berkomentar lebih menuntut untuk hati dan mencintai. Tanpa Aarav sadari kini dia yang sangat menginginkan Larisa. Walau dia tidak mengekang gadis tersebut menemui kekasihnya Emir. Akan tetapi dalam benak dia begitu sangat ingin memisahkan mereka. Aarav ingin dirinya tempat satu-satunya bagi Larisa untuk bergantung. ‘Akan aku taklukkan dirimu dan menyetirmu sesuai keinginanku, Risa,’ bisik Emir tersenyum smirk. Dia seolah mendap
Sepanjang siang itu Aarav sama sekali tidak fokus pada pekerjaannnya, pikiran dia melayang membayangkan kejadian di parkiran tadi. Melihat Larisa dicium kekasihnya dia merasa geram. Rafael yang menatap lelaki di hadapannya dengan bingung. Dokumen yang seharusnya di tanda tangani diabaikan begitu saja. Malah asik melamun, Rafael berulang kali memanggil nama Aarav tapi tidak ada respon. Bujanga tersebut asik melihat langit dari balik jendela kaca di samping mejanya. ‘Apa aku harus melempar orang itu ke luar jendela, astaga ini sangat membuang waktu,’ cicit Rafael. Dia menghela napas untuk kesekian kali, “Om Aarav!” teriaknya. Aarav bangkit dari duduk saking terkejutnya, bujangan itu menoleh ke arah Rafael kemudian hendak melempar tumpukan dokumen kepada pemuda yang cekikikan menertawakan dirinya tersebut. Rafael menganggap itu sangat lucu, Aarav melonjak bangkit dari duduk, gerakan spontan yang kocak. Salah Aarav sendiri melamun. “Kau, sialan!” cebik Aarav.
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A