Home / Fiksi Sejarah / Menuju Matahari / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of Menuju Matahari: Chapter 61 - Chapter 70

79 Chapters

61

Windyaningrum menengok muka Pramesti yang tergolek di balai-balai bambu ruang tengah kediaman almarhum Ki Lembu Narawara. Tepat saat itu Jaladri muncul bergegas dari luar.“Dia tidur?”Ningrum mengangguk.“Kakang tidak ikut tidur? Semua orang sudah pulas, termasuk Kakang Bajul, Kakang Wisnumurti, dan Kakang Wiratmaka.”Jaladri menguap lebar saat naik ke balai-balai. Ia tak langsung merebahkan diri, tapi malah duduk dan menyandarkan punggung di dinding ruangan.Sekeliling mereka sepi. Semua sudah tidur, termasuk mereka yang mengalami luka-luka akibat peristiwa kacau tadi malam. Yang ribut adalah orang-orang di luar rumah. Para murid padepokan dan warga setempat sibuk menyiapkan segala hal untuk pemakaman semua jenazah itu selepas dzuhur nanti dan acara tahlilan di tempat ini nanti malam.Penggalian lubang kubur raksasa dikerjakan oleh para prajurit anak buah Senopati Natpada. Sedang para tokoh besar seperti Ki Lembu Na
last updateLast Updated : 2021-04-25
Read more

62

Pangeran Candrakumala mengumpat kasar.Tak aneh, sebab ia dilempar sejadinya hingga jatuh bergulingan dan hampir melesak masuk ke api unggun. Masih sambil mengumpat, ia bangkit berdiri dan menoleh ke arah asal lemparannya tadi.“Sialan! Kau siapa!?”Seorang pria gundul terkekeh. Sesaat Candrakumala mengira orang itu naik harimau. Ternyata bukan. Ia nampak mirip harimau karena memakai kulit macan sebagai pakaian. Seluruh tubuh dari pundak dan leher hingga bagian bawah tungkai tertutup kulit harimau, sehingga tinggi tubuhnya yang sesungguhnya sukar ditebak.“Apa yang terakhir kauingat?”Mata pria paruh baya berusia awal 50-an itu sipit, mirip seperti orang-orang peranakan Tiongkok. Namun ia menyipit karena nyala api unggun sangat menyilaukan. Baru Candrakumala menyadari bahwa yang membuat suasana malam terang adalah karena api unggun itu benar-benar besar. Hampir seperti kebakaran, dan bukan lagi sekadar api untuk penerangan s
last updateLast Updated : 2021-04-25
Read more

63

“Psst! Heh! Bangun dulu sebentar!”Pratiwi membuka mata, berat. Dan baru kemudian pelan-pelan otaknya bisa mencerna beberapa hal. Satu, wajah pria yang membangunkannya. Tak lain adalah Wisnumurti. Dan dua, pemuda itu membangunkannya dengan cara mencolek-colek dadanya yang berlapis selimut tebal.“Kurang ajar!” ia mengomel, menyingkirkan tangan Wisnumurti. “Ada apa? Apa sudah subuh?”“Masih lama, tapi aku harus membangunkanmu. Ayo, keluar sebentar!” Wisnumurti menarik tangan Pratiwi.“Ke mana?”“Keluar. Sebentar. Kalau tak kuat jalan, aku akan menggendongmu.”Gadis itu mengucek-ucek matanya, lalu merayap bangun sambil membawa selimut tebal bersamanya.“Ada apa, sih? Edan! Dingin banget…!”“Hati-hati! Jangan sampai mereka terbangun.”Pratiwi menoleh ke tempat tidurnya yang berukuran cukup lebar. Pramesti dan Windyaningrum
last updateLast Updated : 2021-04-25
Read more

64

Adipati Jayapati tepat baru saja selesai berdoa selepas menunaikan salat subuh di kamar pribadinya ketika sudut matanya melihat Mantri Nalacitra duduk bersila menunggu dengan khidmat di dekat ambang pintu. Agak jarang pembantu terpercayanya itu menemuinya seawal ini, sebab sang mantri biasanya baru menyerahkan surat-surat dan jadwal kegiatan harian pada saat matahari sepenggalah nanti.Apa pun itu, biasanya Mantri Nalacitra selalu punya masalah penting untuk disampaikan. Setelah melipat sajadah dan melepas sarungnya, Adipati Jayapati beringsut menghampiri Mantri Nalacitra.“Ada apa, Nalacitra?” tanya sang adipati.Mantri Nalacitra memberi sembah dengan takzim. “Mohon ampun, Gusti Adipati. Ki Somanagara dan istri telah kembali. Ki Soma meminta bertemu Gusti Adipati. Telah hamba katakan bahwa Gusti baru dapat menerima tamu menjelang siang, tapi Ki Soma tetap berkeras menunggu Gusti Adipati. Jika diperkenankan, beliau ingin bertemu Gusti Adipati s
last updateLast Updated : 2021-04-25
Read more

65

“Jadi kapan kau akan melamarnya?”Wisnumurti menghentikan makannya sesaat, lalu sekilas menoleh menatap Rinjani dan sedikit tersenyum malu.“Sesudah semua urusan ini selesai,” katanya pelan, lanjut makan lagi. “Harusnya sekarang ini, jika bukan karena keterangan baru bahwa Lambang Merah kemungkinan tengah akan bergerak menuju Karang Bendan.”Selepas matahari terbit dan perut keroncongan, mereka memutuskan untuk berhenti sejenak di tepi aliran sungai dan membuka bekal makan. Perjalanan berlangsung lumayan lancar. Meski medan terus turun agak terjal, pengalaman mereka sebagai sama-sama manusia tukang keluyuran membuat mereka selalu bisa menemukan medan landai yang bisa dilalui kuda. Hanya sesekali saja mereka terpaksa turun jalan kaki dan menuntun kuda saat jalanan bukan berupa jalan dan semata gerumbul semak lebat yang menutup sama sekali bentuk medan tanah di bawahnya.Saat ini mereka sudah lepas dari wilayah perbukitan
last updateLast Updated : 2021-04-25
Read more

66

Bila dilihat sepintas, tanah lapang tak jauh dari rumah-rumah warga di Wijil Ngisor pagi itu nampak seperti puncak perayaan hari raya, entah Idul Fitri atau Idul Adha. Puluhan orang berkumpul di antara kuda-kuda gagah, beberapa pria tegap berseragam membawa panji-panji kebesaran bergambar matahari kuning pada permukaan kain hitam—lambang kebesaran Keraton Pasir. Dan di sekeliling mereka, belasan lainnya lagi berkerumun menonton dengan bersimpuh. Mereka adalah warga Wijil Ngisor, yang baru saja sembuh dari sirep besar-besaran yang dilancarkan Tanpa Aran sekian hari lalu saat menerabas masuk ke puncak Gunung Wijil.Di salah satu sudut, Bajul memegangi tali kekang kudanya dengan muka muram.“Harusnya aku bersama Wisnu dan Rinjani sekarang ini, menyelidiki rumah,” gumamnya pelan.“Tunggu sampai lukamu benar-benar sembuh. Baru kau bisa ikut mereka ke Karang Bendan,” sahut Jaladri datar.Bajul mendengus. “Belum apa-apa aku su
last updateLast Updated : 2021-04-26
Read more

67

Ki Randu Alas menatap sekeliling.“Sepertinya ada yang tidak beres,” ia menggumam pelan, lalu melambatkan laju kudanya.“Kenapa? Ada apa?” Ki Gede Nipir ikut melihat sekitar.“Entahlah. Biasanya suasana tidak sesepi ini. Selalu ada orang lalu-lalang di sekitar rumah banjar.”Ki Gede Nipir mengikuti Ki Randu Alas membelok. Mereka tiba di rumah banjar Kademangan Kajoran. Ia tak terlalu sering singgah ke tempat ini, tapi yang dikatakan Ki Randu Alas sepertinya benar. Tempat itu agak sepi. Hanya ada kuda-kuda di pekarangan, tapi tak terlihat satu sosok pun orang. Pemandangan yang tentu langka, karena rumah banjar biasanya jadi tempat para pesilat atau jagoan kung fu berkumpul, menunggu pelanggan yang membutuhkan jasa pengawalan melintasi hutan belantara.“Blarak! Blaraaaak!” Ki Randu Alas berteriak keras, setelah menambatkan kudanya di pohon, lalu melangkah mendekati bangunan panjang itu.Sebentar
last updateLast Updated : 2021-04-26
Read more

68

Pangeran Wiratmaka seketika melambatkan laju kudanya ketika ia melihat di depan sana Senopati Natpada memberi isyarat dengan mengangkat sebelah tangannya. Ia hentikan kuda tepat di sebelah kuda pria itu, yang juga diam berhenti.“Ada apa, Paman?” tanya Wiratmaka waspada.“Regu perintis melaporkan adanya sebuah tempat makan dan beristirahat dalam jarak satu pal di depan, Gusti Pangeran. Jika diperkenankan, hamba ingin mengistirahatkan rombongan sejenak hingga lepas zuhur untuk sekadar makan dan mengaso. Kuda-kuda juga perlu diberi makan. Kedai itu menyediakan pula makanan bagi kuda dan hewan ternak.”Pangeran Wiratmaka mengangguk. “Baik. Tak ada salahnya berhenti sebentar. Nanti selepas salat zuhur kita kembali lanjutkan perjalanan.”“Sendika, Gusti Pangeran. Saya suruh orang untuk menyiapkan tempat bagi Gusti Pangeran di sana.”Senopati Natpada menghentakkan kekang kudanya untuk berderap maju
last updateLast Updated : 2021-04-26
Read more

69

“Sungguh. Aku benar-benar tidak mengerti. Mengapa dari semua orang, hanya aku yang tetap bangun. Di satu sisi ini menyenangkan dan membanggakan. Aku terlihat berbeda, dan paling kuat. Tapi di sisi lain, aku seperti kena getah nasib jelek semua orang. Kalau ada yang masih nekad datang kemari dan tidur, kan ya aku sendirian yang harus menggotong atau menyeret mereka ke rumah terdekat—entah rumah siapa. Seumur hidup aku belum pernah melihat sesuatu yang seperti ini.”Blarak menggeleng-geleng, sembari ia sibuk membolak-balik ikan dalam panggangan pada arang yang membara dan menguarkan bau yang amat khas. Terlebih ketika kemudian ikannya mulai matang terbakar sedikit demi sedikit.“Dan aku sudah senang sekali tahu-tahu ada Ki Gede Nipir dan Ki Randu Alas. Mereka adalah orang-orang sakti mandraguna yang dihormati seisi dunia dan seluruh kolong langit. Kupikir, Gusti Allah benar-benar menurunkan anugerah terindah yang dimiliki dengan mendatangkan merek
last updateLast Updated : 2021-04-26
Read more

70

Pangeran Wiratmaka menggeleng-geleng sambil sesekali bersendawa.“Wah, enak sekali ini ikan bandengnya! Juru masak di Keraton maupun di Istana Paranggelung, belum ada yang bisa membuat bandeng seenak ini. Apalagi kalian juga bisa membuat durinya lunak. Itu benar-benar terobosan yang sangat baru! Bandeng duri lunak. Bagaimana kalian membuatnya? Ajaib!”“Itu resep turun temurun keluarga saya,” sahut Maesa Alit, yang sejak tadi menemani mereka bersantap siang. “Dan termasuk ramuan sambalnya juga.”“Lantas itu caranya bagaimana duri ikan bisa dibikin lunak, Paman?” tanya Pramesti. “Saya juga penasaran ini. Masa ada duri ikan bisa lunak? Ini jadinya kan tidak ada sisa. Bahkan durinya pun enak dimakan. Aneh, aneh…!”Maesa Alit tertawa. “Ikannya dimasak dalam panci bertekanan tinggi selama sehari penuh. Dari pagi sampai malam. Itu panci khusus, bisa dibilang merupakan pusaka leluhur. Karena
last updateLast Updated : 2021-04-26
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status