Share

66

Penulis: Wiwien Wintarto
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-26 12:16:27

Bila dilihat sepintas, tanah lapang tak jauh dari rumah-rumah warga di Wijil Ngisor pagi itu nampak seperti puncak perayaan hari raya, entah Idul Fitri atau Idul Adha. Puluhan orang berkumpul di antara kuda-kuda gagah, beberapa pria tegap berseragam membawa panji-panji kebesaran bergambar matahari kuning pada permukaan kain hitam—lambang kebesaran Keraton Pasir. Dan di sekeliling mereka, belasan lainnya lagi berkerumun menonton dengan bersimpuh. Mereka adalah warga Wijil Ngisor, yang baru saja sembuh dari sirep besar-besaran yang dilancarkan Tanpa Aran sekian hari lalu saat menerabas masuk ke puncak Gunung Wijil.

Di salah satu sudut, Bajul memegangi tali kekang kudanya dengan muka muram.

“Harusnya aku bersama Wisnu dan Rinjani sekarang ini, menyelidiki rumah,” gumamnya pelan.

“Tunggu sampai lukamu benar-benar sembuh. Baru kau bisa ikut mereka ke Karang Bendan,” sahut Jaladri datar.

Bajul mendengus. “Belum apa-apa aku su

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Menuju Matahari   67

    Ki Randu Alas menatap sekeliling.“Sepertinya ada yang tidak beres,” ia menggumam pelan, lalu melambatkan laju kudanya.“Kenapa? Ada apa?” Ki Gede Nipir ikut melihat sekitar.“Entahlah. Biasanya suasana tidak sesepi ini. Selalu ada orang lalu-lalang di sekitar rumah banjar.”Ki Gede Nipir mengikuti Ki Randu Alas membelok. Mereka tiba di rumah banjar Kademangan Kajoran. Ia tak terlalu sering singgah ke tempat ini, tapi yang dikatakan Ki Randu Alas sepertinya benar. Tempat itu agak sepi. Hanya ada kuda-kuda di pekarangan, tapi tak terlihat satu sosok pun orang. Pemandangan yang tentu langka, karena rumah banjar biasanya jadi tempat para pesilat atau jagoan kung fu berkumpul, menunggu pelanggan yang membutuhkan jasa pengawalan melintasi hutan belantara.“Blarak! Blaraaaak!” Ki Randu Alas berteriak keras, setelah menambatkan kudanya di pohon, lalu melangkah mendekati bangunan panjang itu.Sebentar

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-26
  • Menuju Matahari   68

    Pangeran Wiratmaka seketika melambatkan laju kudanya ketika ia melihat di depan sana Senopati Natpada memberi isyarat dengan mengangkat sebelah tangannya. Ia hentikan kuda tepat di sebelah kuda pria itu, yang juga diam berhenti.“Ada apa, Paman?” tanya Wiratmaka waspada.“Regu perintis melaporkan adanya sebuah tempat makan dan beristirahat dalam jarak satu pal di depan, Gusti Pangeran. Jika diperkenankan, hamba ingin mengistirahatkan rombongan sejenak hingga lepas zuhur untuk sekadar makan dan mengaso. Kuda-kuda juga perlu diberi makan. Kedai itu menyediakan pula makanan bagi kuda dan hewan ternak.”Pangeran Wiratmaka mengangguk. “Baik. Tak ada salahnya berhenti sebentar. Nanti selepas salat zuhur kita kembali lanjutkan perjalanan.”“Sendika, Gusti Pangeran. Saya suruh orang untuk menyiapkan tempat bagi Gusti Pangeran di sana.”Senopati Natpada menghentakkan kekang kudanya untuk berderap maju

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-26
  • Menuju Matahari   69

    “Sungguh. Aku benar-benar tidak mengerti. Mengapa dari semua orang, hanya aku yang tetap bangun. Di satu sisi ini menyenangkan dan membanggakan. Aku terlihat berbeda, dan paling kuat. Tapi di sisi lain, aku seperti kena getah nasib jelek semua orang. Kalau ada yang masih nekad datang kemari dan tidur, kan ya aku sendirian yang harus menggotong atau menyeret mereka ke rumah terdekat—entah rumah siapa. Seumur hidup aku belum pernah melihat sesuatu yang seperti ini.”Blarak menggeleng-geleng, sembari ia sibuk membolak-balik ikan dalam panggangan pada arang yang membara dan menguarkan bau yang amat khas. Terlebih ketika kemudian ikannya mulai matang terbakar sedikit demi sedikit.“Dan aku sudah senang sekali tahu-tahu ada Ki Gede Nipir dan Ki Randu Alas. Mereka adalah orang-orang sakti mandraguna yang dihormati seisi dunia dan seluruh kolong langit. Kupikir, Gusti Allah benar-benar menurunkan anugerah terindah yang dimiliki dengan mendatangkan merek

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-26
  • Menuju Matahari   70

    Pangeran Wiratmaka menggeleng-geleng sambil sesekali bersendawa.“Wah, enak sekali ini ikan bandengnya! Juru masak di Keraton maupun di Istana Paranggelung, belum ada yang bisa membuat bandeng seenak ini. Apalagi kalian juga bisa membuat durinya lunak. Itu benar-benar terobosan yang sangat baru! Bandeng duri lunak. Bagaimana kalian membuatnya? Ajaib!”“Itu resep turun temurun keluarga saya,” sahut Maesa Alit, yang sejak tadi menemani mereka bersantap siang. “Dan termasuk ramuan sambalnya juga.”“Lantas itu caranya bagaimana duri ikan bisa dibikin lunak, Paman?” tanya Pramesti. “Saya juga penasaran ini. Masa ada duri ikan bisa lunak? Ini jadinya kan tidak ada sisa. Bahkan durinya pun enak dimakan. Aneh, aneh…!”Maesa Alit tertawa. “Ikannya dimasak dalam panci bertekanan tinggi selama sehari penuh. Dari pagi sampai malam. Itu panci khusus, bisa dibilang merupakan pusaka leluhur. Karena

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-26
  • Menuju Matahari   71

    Bajul membuka mata. Sebentuk aroma yang sangat enak menyelinap hidung. Dan itu membuat kesadarannya datang jauh lebih cepat daripada seharusnya.“Bangun, bangun! Mau kelinci bakar tidak? Ini enak lho…!”Yang kali pertama menyinggahi matanya adalah cahaya redup dari lentera kecil di sudut sana. Berikutnya ada perasaan keras berbatu yang menyesaki setiap bagian punggungnya. Ia merayap bangkit, mengucek-ucek mata untuk mencermati sekeliling. Hampir gelap pekat, dengan hanya berpenerangan lentera kecil itu.Sempat ia kira ini sudah malam. Begitu mata melihat saksama dinding yang tak berupa tembok bata atau kayu atau anyaman bambu, ia jadi mafhum tempat keberadaannya sekarang ini. Saat masih berdiam di Alas Kalimati, tempat huniannya pun seperti ini, yang gelap gulita setiap saat meski pada tengah hari terik benderang.Tak lain karena ini bagian dalam sebuah gua. Tak selapang gua tempat tinggalnya dulu, tapi tetap enak dijadikan tempat hunia

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-26
  • Menuju Matahari   72

    Blarak bersendawa keras sekali. Khas orang kampung yang belum belajar tata krama masyarakat kalangan atas. Dan baru kemudian ia menyadari bahwa yang lainnya, kecuali Begawan Ripu, sudah tertidur pulas.Suami istri Somanagara tertidur sambil berpelukan. Tadi mereka memang sempat bermesraan panas sesaat setelah makan. Sedang Pangeran Candrakumala tidur meringkuk dan tubuhnya hampir masuk sepenuhnya ke kolong meja. Pemuda itu mengeluarkan suara ngorok keras dari kerongkongannya.“Nah, ada pertanyaan sebelum aku menjelaskan semuanya padamu?”Blarak menoleh. Begawan Ripu duduk bersila agak jauh dari meja, diam dan memejamkan mata. Sepertinya dia bersamadi. Sejak tadi pria itu tak ikut makan. Malah hanya sibuk diam saja.“T-tanya apa?” Blarak malah balik bertanya.“Apa saja. Hal-hal yang membuatmu tidak paham. Ah, kalian wong cilik memang tidak terdidik untuk selalu mau tahu, sehingga bisa menemukan pertanyaan-perta

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-26
  • Menuju Matahari   73

    Wisnumurti dan Rinjani seketika memperlambat laju kuda. Dalam keremangan selepas senja, hanya nyala obor di tepi jalan itu yang membantu penglihatan mereka. Lalu obor dibawa mendekat oleh dua dari enam pria bersenjata yang berjaga tak jauh dari sepasang pohon trembesi raksasa. Ada batang-batang kayu dipasang melintang di sana, dan menyisakan hanya secuil ruang bagi siapapun untuk bisa melintasi jalan dengan lancar.Sepertinya ada penjagaan khusus di Karang Bendan. Jantung Wisnumurti berdegupan.Namun begitu obor tiba, kedua pria itu tertawa.“Woalah! Ternyata kau, Rinjani,” kata salah satunya, yang berjenggot namun tak berkumis. “Lho, ada Wisnumurti juga? Kok kalian bisa barengan?”Wisnumurti kenal dua pria itu. Yang memegang obor dan barusan bicara adalah Jlagra, anggota pengawal Ki Soma yang juga sekaligus berdinas di ketentaraan Karang Bendan. Satunya lagi yang berperut buncit adalah Ki Panyut, prajurit pengawal istana kadipaten

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-26
  • Menuju Matahari   74

    Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-26

Bab terbaru

  • Menuju Matahari   79

    Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den

  • Menuju Matahari   78

    Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta

  • Menuju Matahari   77

    “Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai

  • Menuju Matahari   76

    “Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi

  • Menuju Matahari   75

    Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya

  • Menuju Matahari   74

    Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding

  • Menuju Matahari   73

    Wisnumurti dan Rinjani seketika memperlambat laju kuda. Dalam keremangan selepas senja, hanya nyala obor di tepi jalan itu yang membantu penglihatan mereka. Lalu obor dibawa mendekat oleh dua dari enam pria bersenjata yang berjaga tak jauh dari sepasang pohon trembesi raksasa. Ada batang-batang kayu dipasang melintang di sana, dan menyisakan hanya secuil ruang bagi siapapun untuk bisa melintasi jalan dengan lancar.Sepertinya ada penjagaan khusus di Karang Bendan. Jantung Wisnumurti berdegupan.Namun begitu obor tiba, kedua pria itu tertawa.“Woalah! Ternyata kau, Rinjani,” kata salah satunya, yang berjenggot namun tak berkumis. “Lho, ada Wisnumurti juga? Kok kalian bisa barengan?”Wisnumurti kenal dua pria itu. Yang memegang obor dan barusan bicara adalah Jlagra, anggota pengawal Ki Soma yang juga sekaligus berdinas di ketentaraan Karang Bendan. Satunya lagi yang berperut buncit adalah Ki Panyut, prajurit pengawal istana kadipaten

  • Menuju Matahari   72

    Blarak bersendawa keras sekali. Khas orang kampung yang belum belajar tata krama masyarakat kalangan atas. Dan baru kemudian ia menyadari bahwa yang lainnya, kecuali Begawan Ripu, sudah tertidur pulas.Suami istri Somanagara tertidur sambil berpelukan. Tadi mereka memang sempat bermesraan panas sesaat setelah makan. Sedang Pangeran Candrakumala tidur meringkuk dan tubuhnya hampir masuk sepenuhnya ke kolong meja. Pemuda itu mengeluarkan suara ngorok keras dari kerongkongannya.“Nah, ada pertanyaan sebelum aku menjelaskan semuanya padamu?”Blarak menoleh. Begawan Ripu duduk bersila agak jauh dari meja, diam dan memejamkan mata. Sepertinya dia bersamadi. Sejak tadi pria itu tak ikut makan. Malah hanya sibuk diam saja.“T-tanya apa?” Blarak malah balik bertanya.“Apa saja. Hal-hal yang membuatmu tidak paham. Ah, kalian wong cilik memang tidak terdidik untuk selalu mau tahu, sehingga bisa menemukan pertanyaan-perta

  • Menuju Matahari   71

    Bajul membuka mata. Sebentuk aroma yang sangat enak menyelinap hidung. Dan itu membuat kesadarannya datang jauh lebih cepat daripada seharusnya.“Bangun, bangun! Mau kelinci bakar tidak? Ini enak lho…!”Yang kali pertama menyinggahi matanya adalah cahaya redup dari lentera kecil di sudut sana. Berikutnya ada perasaan keras berbatu yang menyesaki setiap bagian punggungnya. Ia merayap bangkit, mengucek-ucek mata untuk mencermati sekeliling. Hampir gelap pekat, dengan hanya berpenerangan lentera kecil itu.Sempat ia kira ini sudah malam. Begitu mata melihat saksama dinding yang tak berupa tembok bata atau kayu atau anyaman bambu, ia jadi mafhum tempat keberadaannya sekarang ini. Saat masih berdiam di Alas Kalimati, tempat huniannya pun seperti ini, yang gelap gulita setiap saat meski pada tengah hari terik benderang.Tak lain karena ini bagian dalam sebuah gua. Tak selapang gua tempat tinggalnya dulu, tapi tetap enak dijadikan tempat hunia

DMCA.com Protection Status