“Gimana rasanya keciduk?” Ejek Dewi yang memulai percakapan. Aku terkekeh, memilih mengambil secangkir kopi yang di hidangkan si tuan rumah sebelum menjawab pertanyaannya. “Luar biasa.” Tanganku meletakan kembali cangkir itu di atas meja lalu menatap satu persatu wajah sahabatku. Nissa yang duduk di single sofa mendengus keras. “Lo tau, Wi, tempat gue dijadiin tempat mesum sama nih bocah! Gila, ya! Abis gue dimarahin sama Mas Lukman gara-gara lo, kutu!” Kutu. Panggilan yang telah lama tiada itu muncul kembali ke permukaan. Nissa bilang, tubuhku yang kecil dan jauh di bawah rata-rata ini mirip hewan kecil penghisap darah itu. Padahal tubuhnya sebelas dua belas denganku. Dia lupa berkaca terlebih dulu ketika mengatakannya. “Sembarangan aja lo! Gue anak alim, mana mungkin begitu, ya!” Bantahku. “Bapak lo ganti nama, Ra?” “Hah?”
Read more