Aku pernah menjauh, kau datang menarik kembali.
Aku mendekat, kau mengulur jarak.
Beginikah cara semesta bekerja?
_How Far I Can Go_
Sinar matahari mulai beranjak naik meskipun jejak embun pagi masih ada di beberapa helai daun tanaman hias yang berjajar rapi di halaman Villa. Kicauan burung gereja membuatku tersenyum lebar. Ini adalah hari ketiga dimana aku bisa mendapatkan kedamaian dari hiruk pikuk perkotaan serta sebuah masalah yang cukup pelik menanti di depan mata.
“Ini tehnya, Bu.” Aku tersenyum kecil kemudian mengangguk mempersilakan Bu Surti untuk meletakkan cangkir itu di atas meja di sampingku lalu mengucapkan terima kasih sebelum sosok wanita paruh baya itu menghilang di balik
Rumit.Hanya satu kata yang bisa menggambarkanmu dari sudut pandangku._Him_Tak ada satu patah kata pun yang keluar sejak kedatangannya dua jam yang lalu. Alvin yang diam membisu membuatku kelimpungan sendiri. Antara memulai pembicaraan atau tetap memilih diam mengikuti alur cerita yang dipilihnya.Kini aku dan dia tak lagi berada di halaman Villa melainkan di ruang keluarga dengan televisi yang menyala sebagai pemecah keheningan. Aku meliriknya dalam diam, wajah tampannya tengah sibuk menatap gambar kartun yang tengah kutonton tadi, padahal nyatanya Alvin bukanlah penyuka film kartun seperti diriku. Mungkin laki-laki itu melakukannya untuk menghilangkan jenuh juga kesal padaku.Aku tersenyum kecil. Alvin memang memiliki wajah yang tampan dan ditunjang dengan fisik yang sempurna. Wajar saja jika banyak dari kaum kami yang pasti akan meliriknya.Alvin adalah gambaran fisik
“Gimana rasanya keciduk?” Ejek Dewi yang memulai percakapan. Aku terkekeh, memilih mengambil secangkir kopi yang di hidangkan si tuan rumah sebelum menjawab pertanyaannya. “Luar biasa.” Tanganku meletakan kembali cangkir itu di atas meja lalu menatap satu persatu wajah sahabatku. Nissa yang duduk di single sofa mendengus keras. “Lo tau, Wi, tempat gue dijadiin tempat mesum sama nih bocah! Gila, ya! Abis gue dimarahin sama Mas Lukman gara-gara lo, kutu!” Kutu. Panggilan yang telah lama tiada itu muncul kembali ke permukaan. Nissa bilang, tubuhku yang kecil dan jauh di bawah rata-rata ini mirip hewan kecil penghisap darah itu. Padahal tubuhnya sebelas dua belas denganku. Dia lupa berkaca terlebih dulu ketika mengatakannya. “Sembarangan aja lo! Gue anak alim, mana mungkin begitu, ya!” Bantahku. “Bapak lo ganti nama, Ra?” “Hah?”
You are like a light, after the rain has passed.You come up in my heart, like this..You are, like a beautiful dream._U R_Aku terus menatap jalanan yang diguyur hujan lebat. Beberapa orang yang melihatku duduk di emperan butik mencoba membujukku untuk pergi berlindung dari guyuran hujan, beberapa lagi mencibir ulah gilaku yang memilih membiarkan hujan mengguyur tubuh. Dan sisanya, mereka tidak peduli sama sekali denganku.Aku memeluk kedua lututku dengan erat, mencoba menghalau dingin yang datang menyergap tubuh. Daya baterai ponselku sudah habis sejak satu jam yang lalu, dompet serta tasku pun tertinggal hingga aku tidak bisa berbuat apa-apa di sini.Hari sudah mulai petang ketika Alvin sama sekali belum datang. Aku mencoba memikirkan kembali pesan dari Alvin siang tadi. Jelas-jelas laki-laki itu menyuruhku untuk menunggu kedatangannya di butik tempat kami akan memesan
I’m thinking you’ll love me right, but you never will. It’s too much to bear, so I swear.. That this time, this The End. _The End_ Seminggu sudah aku dirawat di Rumah Sakit. Dokter mengatakan jika aku terserang tifus dan radang lambung, hingga mengharuskanku menjalani perawatan di rumah sakit. Hari ini adalah hari terakhir aku berada di ruangan serba putih, aku akan pulang ke rumah saat dokter menyatakan kondisiku nanti. Aku melihat Ibu tengah merapikan beberapa bajuku di sofa yang sebelumnya dibawa ke siniSetelahnya, kami hanya tinggal menunggu dokter untuk memeriksa kondisiku sekali lagi sebelum aku diperbolehkan pulang bersama Ibu.
No matter how hard I try, I can’t ignore your dying feelings.I pray that before this time ends, you can find happines.Let’s say our last goodbye,Let’s not forget our love._Beautiful Goodbye_Aku memeriksa kembali barang-barang yang akan kubawa nantinya. Ada beberapa tas di sini, tiga tas berisi baju dan satu tas berisi dokumen penting yang akan kubawa ke sana. Aku menghela nafas. Tanganku bergerak untuk mencoret daftar barang yang kubawa dengan pulpen hitam yang kupegang. Tak banyak, namun cukup membuatku lelah setelah mengemasinya.Aku menatap bayangan diriku yang terpantul di cermin lalu menghela nafas setelahnya. Wajahku ter
3 tahun kemudian...Aku berjalan dengan tergesa menuju Taman Kanak-kanak yang menjadi tempatku bekerja selama hampir dua setengah tahun belakangan ini. Untung saja jarak dari rumah Eyang menuju sekolah itu cukup menempuh waktu 20 menit jika berjalan kaki sehingga aku tidak terlalu merasa lelah setelah sampai nanti.Aku menatap langit yang mulai mendung padahal jam baru menunjukkan pukul setengah 8 pagi. Mungkin hujan memang akan turun pagi ini, wajar saja, hari ini adalah satu hari diantara hari-hari di musim hujan yang telah datang.Aku merapatkan jaketku ketika angin berhembus dengan kencang. Awalnya hawa dingin di musim penghujan di kota hujan ini benar-benar membuatku hampir mati rasa karena menggigil. Ayah dan Ibu sempat beberapa kali datang karena aku yang jat
Flashback... “Mama!!” Nyonya Pratama tersenyum menyambut putera sulungnya yang baru saja pulang sekolah. “Ya, sayang? Gimana sekolahnya? Ada tugas? Ayo ganti baju terus makan siang.” Alvin menggeleng sembari senyum-senyum. Bocah kelas 4 sekolah dasar itu menghampiri sang Ibu kemudian memeluknya. “Tadi Al punya temen baru, cantik tau.. namanya Rania.” Nyonya Pratama tertegun sejenak. Firasatnya akan Alvin yang memiliki gangguan psikis sama seperti Ayahnya semakin besar. “Mama?” Nyonya Pratama buru-buru merubah ekspresinya. “Terus? Dia sekelas nggak sama kamu?” Alvin berubah murung. “Dia kelas tiga, Mama... Alvin benci dia beda kelas sama aku. Kalo aku pindah ke kelas 3 bisa nggak?” Ya Tuhan... puteranya, kenapa dia bilang begitu?  
“Aku cariin di kantin, kamu malah di perpus, Ra.”Rania tersenyum. Jari telunjuknya mengisyaratkan bocah laki-laki dengan seragam putih birunya -- Alvin-- untuk diam.“Aku males ke kantin, fans kamu cemburu nanti liat kamu ketawa-tawa.” Rania menjawab dengan berbisik.Alvin berdecak. “Apaan sih, Ra.”“Aku serius, kamu ketua osis, anak berprestasi, ditambah lagi cogan pula, aku nggak nyaman di deket kamu, Al.”Rania mengalihkan pandangannya kembali pada buku bacaan di depannya meninggalkan Alvin yang masih menatapnya.Alvin menggeram tak suka mendengar
Hari yang ditunggu pun tiba. Setelah memutuskan untuk mengurusnya dengan sabar dan menetapkan tanggal pernikahannya bertepatan dengan tanggal kelahiran sang mempelai wanita, Alvin akhirnya bisa bernapas lega dan tersenyum bahagia.Senyum lebar tak pernah lepas dari bibir pria itu yang tengah berdiri di depan kaca rias itu. Tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu melekat pas di tubuhnya. Sekali lagi Alvin tertawa untuk hal yang hanya dimengerti olehnya.“Bibir lo bisa robek kalo kebanyakan senyum, Bang.”Cibiran itu membuat Alvin menoleh menatap pintu masuk. Seorang pria yang usianya jauh dibawah dirinya melangkah mendekat padanya.“Gue ikhlas kakak gue nikah sama lo. Jaga dia baik-baik, sekali gue denger lo buat kakak gue nangis, saat itu juga gue buat lo ke IGD, Bang.”Alvin tertawa mendengar ancaman tersebut. “Pukulan lo sama sekali nggak sakit buat gue.”“Sialan lo, Bang!” Ryan menyentak Al
“Jadi kapan mau diresmiin?”“Tiga tahun lagi, Yah.”Alvin yang mendengar sontak melotot terkejut. “Lho kok gitu, Ra? Nggak bisa gitu dong!” Pria itu menyahut tak terima.Rania terkekeh, “Ya biar pas umurnya, kamu jadi 33 aku 32.”“Nggak sekalian aja nunggu 40 tahun.” Cibir Alvin.Ryan yang mendengarnya pun mendengus tak suka. “Apa sih lu, Bang. Suka-suka kakak gue lah, udah untung diterima lagi!”Semua yang awalnya tertawa dan tersenyum pun memilih terdiam, termasuk Alvin yang raut wajahnya berubah tak terbaca.“Mending diem kalo emang buka mulut cuma buat bi
“Aku... beneran masih suka sama kamu, Ra..” Alvin menarik napasnya, “Aku tau kamu nggak bisa terima aku lagi, aku cuma mau kamu tau kalo perasaan aku masih sama.”Suasana sore di salah satu taman di kota hujan itu menjadi saksi bagaimana Alvin mengungkapkan perasaannya dengan ikhlas dan tak menuntut balas.3 bulan sudah berlalu sejak usahanya untuk membuat Rania kembali bersamanya namun selama waktu itu juga ia sama sekali tak mendapat balasan.Dan Alvin mencoba menyerah untuk itu.Bukan, bukan karena ia pengecut, namun pria itu hanya berusaha untuk mengikhlaskan Rania jika memang tak ditakdirkan bersama.Sikap Rania yang terkadang berubah dingin setelah ramah padanya membuat Alvin ragu jika wanita itu memang masih mencintainya dan akan kembali padanya. Alvin mencoba untuk menekan perasaannya meski rasa kecewa mulai menyapanya.“Terus?”“Aku... mau coba ikhlasin kamu.” Alvin menunduk den
“Pagi, Ra..”Alvin menyapa Rania yang baru saja membuka pintu rumahnya dan siap untuk berangkat mengajar.Rania yang sudah biasa melihat kehadiran Alvin selama dua minggu sejak pria itu menjadi tamu di taman kanak-kanak hanya tersenyum kecil.“Kamu nggak jawab?”“Pagi, Mas.”Alvin tersenyum lebar. Meski Rania masih sering kali berbicar formal dengannya, namun harus ia akui dirinya begitu menyukai Rania yang memanggilnya dengan embel-embel di depan namanya.“Mau berangkat?”Rania mengangguk.“Aku anter, ya?”“Nggak usah, makasih. Saya biasa jalan kaki.”Alvin menggeleng, “Nggak, aku anterinnya juga jalan kaki kok. Aku lagi nggak bawa mobil.”Kening Rania mengernyit bingung.
Dua tahun kemudian... Jantung Alvin berdegup kencang, kedua telapak tangannya saling bertautan dengan keringat dingin. Hari ini, tepat hari pertama pria itu memutuskan untuk bertemu dengan Rania untuk pertama kalinya setelah pembatalan pernikahan mereka dua tahun yang lalu. Hari ini, ia memutuskan untuk menjadi seorang tamu di taman kanak-kanak tempat Rania mengajar. Padahal hanya dua tahun, namun mengapa rasa gugupnya melebihi saat ia memutuskan untuk melamar Rania untuk menjadi miliknya? Pria itu menghembuskan napasnya, dibukanya pintu mobil itu dan melangkah keluar meski ia tahu pagar sekolah bahkan masih dalam keadaan terkunci. Siapa yang peduli? Ia memang
Satu tahun kemudian...Alvin tersenyum kecil menatap seorang gadis dengan rambut panjangnya tengah mempraktikan gerakan-gerakan senam sederhana kepada anak-anak kecil di depannya.Pria yang menopang wajahnya dengan telapak tangan dan asik memperhatikan itu terkekeh melihat nafas gadis itu memburu sedikit lebih laju dari sebelumnya setelah melompat beberapa kali.“Seharusnya jangan terlalu diforsir, Ra.. kamu nggak biasa olahraga.” Ucapnya tak bertuan.Kedua matanya menatap sendu pada gadis yang mulai membubarkan barisan anak-anak kecil itu. Seandainya saja setahun yang lalu dia tidak mencari masalah, mungkin kini ia bisa melihat wajah itu dari jarak dekat. Bukan malah memilih bersembunyi dibalik kaca hitam mobil mili
Lagi, Alvin kembali ditampar oleh penyesalan saat tau Rania menutupi aibnya. Dia baru tahu jika Rania merahasiakan alasan dibalik pembatalan pernikahan mereka setelah dua bulan kejadian itu berlalu. Rania dan isi kepalanya. Hanya satu hal yang Alvin tak pernah bisa mengerti mengenai gadis itu. Terlalu abu-abu untuk dibacanya, pikiran Rania sangat sulit untuk ditebak. Kadang terlalu abstrak, dilain waktu bisa terlalu mudah ditebak, namun dilain kesempatan pula terlalu sulit dimengerti. Mereka saling mencintai, namun justru terpisah karena kebodohannya sendiri. Haruskah ia tertawa untuk kebodohannya yang berulang kali ini?
“Alvin... ini Mama..”Nyonya Pratama membuka pintu kamar sang putra sepelan mungkin. Beliau berjalan masuk dan menemukan kamar Alvin yang berantakan juga sang putra yang tengah duduk melamun di depan jendela kamarnya.“Alvin nggak mau terima apapun pemberian Amanda, Mama bisa keluar sekarang.” Pria itu berbicara setenang mungkin, kedua matanya memandang kosong halaman belakang rumahnya.Rania sudah pergi...Mungkin ia memang bisa melacak keberadaan gadis itu, namun Rania belum tentu mau menerimanya kembali. Ia sadar, teramat sadar jika Rania sudah terlalu banyak terluka selama hubungan mereka berjalan sebagai sepasang kekasih.Mungkin memang benar kata orang, sebaiknya memang tidak pernah melibatkan hati dalam pertemanan antara pria dan wanita. Namun ia terlalu egois, terlalu menginginkan gadis itu menjadi miliknya seorang diri.
Beberapa bulan setelah pembatalan...“Kamu mau kemana, Alvin?”Alvin menoleh, Nyonya Pratama menatap putra sulungnya dengan cemas. Setelah dua bulan lamanya putranya hanya bisa mengamuk di kamarnya, memilih tidak keluar dari rumah, ini adalah kali pertama ia melihat anaknya berpakaian rapi dan hendak pergi.Alvin menyeringai, “Having fun.”Nyonya Pratama bangkit dari duduknya dan menghampiri sang putra, wanita paruh baya itu mengelus rambut anaknya dengan kasih sayang. “Jangan berbuat macam-macam, Al.. Mama yakin Rania tetap bakal jadi istri kamu.” Nasihatnya.“Nggak bisa. Dia emang harus mati.” Alvin menggeleng, wajahnya berseri-seri kontras dengan perasaan marah yang tersirat di kedua matanya. “Dia yang bikin aku kehilangan Rania. Mata dibalas mata, Mama.”“Al.. dengar Mama.. ap