No matter how hard I try, I can’t ignore your dying feelings.
I pray that before this time ends, you can find happines.
Let’s say our last goodbye,
Let’s not forget our love.
_Beautiful Goodbye_
Aku memeriksa kembali barang-barang yang akan kubawa nantinya. Ada beberapa tas di sini, tiga tas berisi baju dan satu tas berisi dokumen penting yang akan kubawa ke sana. Aku menghela nafas. Tanganku bergerak untuk mencoret daftar barang yang kubawa dengan pulpen hitam yang kupegang. Tak banyak, namun cukup membuatku lelah setelah mengemasinya.
Aku menatap bayangan diriku yang terpantul di cermin lalu menghela nafas setelahnya. Wajahku ter
3 tahun kemudian...Aku berjalan dengan tergesa menuju Taman Kanak-kanak yang menjadi tempatku bekerja selama hampir dua setengah tahun belakangan ini. Untung saja jarak dari rumah Eyang menuju sekolah itu cukup menempuh waktu 20 menit jika berjalan kaki sehingga aku tidak terlalu merasa lelah setelah sampai nanti.Aku menatap langit yang mulai mendung padahal jam baru menunjukkan pukul setengah 8 pagi. Mungkin hujan memang akan turun pagi ini, wajar saja, hari ini adalah satu hari diantara hari-hari di musim hujan yang telah datang.Aku merapatkan jaketku ketika angin berhembus dengan kencang. Awalnya hawa dingin di musim penghujan di kota hujan ini benar-benar membuatku hampir mati rasa karena menggigil. Ayah dan Ibu sempat beberapa kali datang karena aku yang jat
Flashback... “Mama!!” Nyonya Pratama tersenyum menyambut putera sulungnya yang baru saja pulang sekolah. “Ya, sayang? Gimana sekolahnya? Ada tugas? Ayo ganti baju terus makan siang.” Alvin menggeleng sembari senyum-senyum. Bocah kelas 4 sekolah dasar itu menghampiri sang Ibu kemudian memeluknya. “Tadi Al punya temen baru, cantik tau.. namanya Rania.” Nyonya Pratama tertegun sejenak. Firasatnya akan Alvin yang memiliki gangguan psikis sama seperti Ayahnya semakin besar. “Mama?” Nyonya Pratama buru-buru merubah ekspresinya. “Terus? Dia sekelas nggak sama kamu?” Alvin berubah murung. “Dia kelas tiga, Mama... Alvin benci dia beda kelas sama aku. Kalo aku pindah ke kelas 3 bisa nggak?” Ya Tuhan... puteranya, kenapa dia bilang begitu?  
“Aku cariin di kantin, kamu malah di perpus, Ra.”Rania tersenyum. Jari telunjuknya mengisyaratkan bocah laki-laki dengan seragam putih birunya -- Alvin-- untuk diam.“Aku males ke kantin, fans kamu cemburu nanti liat kamu ketawa-tawa.” Rania menjawab dengan berbisik.Alvin berdecak. “Apaan sih, Ra.”“Aku serius, kamu ketua osis, anak berprestasi, ditambah lagi cogan pula, aku nggak nyaman di deket kamu, Al.”Rania mengalihkan pandangannya kembali pada buku bacaan di depannya meninggalkan Alvin yang masih menatapnya.Alvin menggeram tak suka mendengar
Langit berwarna kemerahan dengan awan yang bergerak secara perlahan, dedaunan pun terjatuh dari dahannya karena hembusan angin yang kencang. Dua orang berbeda jenis kelamin itu duduk dengan tenang di salah satu kursi taman yang ada. Salah seorang mengenakan pakaian putih abu-abu khas seorang pelajar menengah atas sementara salah seorang lagi mengenakan seragam putih birunya.“Kenapa bisa?” Tanya Alvin. Matanya menatap lurus ke depan tanpa memperhatikan seorang gadis kecil yang duduk di sampingnya.“Karena aku gak sepinter kamu, Al.” Jawab gadis itu. Sebenarnya dia cukup ragu, terlihat dari jari jemarinya yang saling bertautan diatas rok biru yang dikenakannya. Dia takut laki-laki yang sudah ia anggap sahabat itu marah padanya.“Terus mau masuk m
“Oke, rapatnya kita akhiri sampai di sini. Ada pertanyaan?”Sebagai ketua osis, Alvin mengakhiri rapat dengan mengajukan sesi tanya-jawab bagi para anggotanya.“Aku, Kak.”Alvin mengangguk mempersilakan.“Buat budget, kan kita butuh sponsor. Tapi seandainya belum ada juga sponsornya, apa mau minta sumbangan aja ke setiap kelas?”“Apa itu nggak memberatkan setiap kelas? Mau minta uang apa? Kas apa sumbangan per murid? Coba deh di lihat rincian biayanya, di situ tertulis 7 juta, kan? Buat panggung, hadiah dan lain sebagainya aja udah pas-pasan, apa nggak kasian sama murid yang kurang mampu?”
Flashback...Alvin berjalan masuk ke dalam rumahnya yang sepi. Ayah dan Ibunya serta adiknya memang tengah pergi mengunjungi rumah saudara mereka hingga rumah besar tersebut hanya berisikan para pekerja kepercayaannya saja.“Wahh... rumah Kak Alvin gede banget..”“Hooh.. anak orang kaya kalo rumahnya gubuk ya nggak pantes dong..”Alvin mengabaikan bisikan-bisikan di belakangnya. Ia terus berjalan ke dalam rumah diikuti oleh dua orang siswa juga 3 orang siswi yang mengikutinya.“Kak, Mama sama Papa mana?”Alvin mendengus. Mama Papa katanya? Alvin tahu jika Amanda memang sengaj
“Saya mau menikahi Rania, Yah.” Satu kalimat besar, Alvin sama sekali tak ragu mengucapkannya di depan kedua orang tua gadis yang menjadi kekasihnya. Tentu, tanpa kehadiran gadis itu di rumahnya. “Lalu?” Hanya itu. Hanya itu tanggapan seorang pria paruh baya yang merupakan ayah si gadis. Alvin mendongak, menatap tepat pada kedua mata yang sudah dipenuhi keriput. “Saya mencintai Rania sejak di bangku sekolah dasar, kami sudah berteman cukup lama sejak itu. Saya dan Rania sempat pisah sekolah sewaktu SMA dan di perguruan tinggi kemarin, namun rasa cinta saya sama sekali tidak berkurang untuk puteri Ayah.” Wanita paruh baya itu menahan nafasnya terkejut. Sejak sekolah dasar katanya? Hal gila apa ini? “Ka-kamu, emm... Alvin, tapi menurut Ibu, waktu itu nggak bisa menjamin seseorang suka sama orang lainnya.
Alvin menggeram tak suka begitu mendengar celoteh Amanda. Dia berdesis begitu raut penuh ejek Amanda tersenyum di depannya. Alvin tak menyangka bisa bertemu kembali dengan Amanda setelah sekian tahun lamanya perempuan itu menghilang. “Gimana, Kak?” Alvin diam membisu, tahu jika perempuan itu belum usai bicara. “Kalo ngggak mau, nanti rahasia Kakak bocor lho... aku kasih tau ke Rania.” Shit! Rahasia, rahasia, rahasia! Selalu itu yang jadi busur panah yang dilemparkan Amanda padanya. Bukannya tidak tahu, Alvin jelas tahu jika Amanda memang menyukainya sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama. Pria itu juga tahu jika Amanda sengaja mengikutinya dengan masuk SMA yang sama juga universitas yang sama dengan dirinya. Alvin tahu, jika Amanda membenci Rania sejak dulu.
Hari yang ditunggu pun tiba. Setelah memutuskan untuk mengurusnya dengan sabar dan menetapkan tanggal pernikahannya bertepatan dengan tanggal kelahiran sang mempelai wanita, Alvin akhirnya bisa bernapas lega dan tersenyum bahagia.Senyum lebar tak pernah lepas dari bibir pria itu yang tengah berdiri di depan kaca rias itu. Tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu melekat pas di tubuhnya. Sekali lagi Alvin tertawa untuk hal yang hanya dimengerti olehnya.“Bibir lo bisa robek kalo kebanyakan senyum, Bang.”Cibiran itu membuat Alvin menoleh menatap pintu masuk. Seorang pria yang usianya jauh dibawah dirinya melangkah mendekat padanya.“Gue ikhlas kakak gue nikah sama lo. Jaga dia baik-baik, sekali gue denger lo buat kakak gue nangis, saat itu juga gue buat lo ke IGD, Bang.”Alvin tertawa mendengar ancaman tersebut. “Pukulan lo sama sekali nggak sakit buat gue.”“Sialan lo, Bang!” Ryan menyentak Al
“Jadi kapan mau diresmiin?”“Tiga tahun lagi, Yah.”Alvin yang mendengar sontak melotot terkejut. “Lho kok gitu, Ra? Nggak bisa gitu dong!” Pria itu menyahut tak terima.Rania terkekeh, “Ya biar pas umurnya, kamu jadi 33 aku 32.”“Nggak sekalian aja nunggu 40 tahun.” Cibir Alvin.Ryan yang mendengarnya pun mendengus tak suka. “Apa sih lu, Bang. Suka-suka kakak gue lah, udah untung diterima lagi!”Semua yang awalnya tertawa dan tersenyum pun memilih terdiam, termasuk Alvin yang raut wajahnya berubah tak terbaca.“Mending diem kalo emang buka mulut cuma buat bi
“Aku... beneran masih suka sama kamu, Ra..” Alvin menarik napasnya, “Aku tau kamu nggak bisa terima aku lagi, aku cuma mau kamu tau kalo perasaan aku masih sama.”Suasana sore di salah satu taman di kota hujan itu menjadi saksi bagaimana Alvin mengungkapkan perasaannya dengan ikhlas dan tak menuntut balas.3 bulan sudah berlalu sejak usahanya untuk membuat Rania kembali bersamanya namun selama waktu itu juga ia sama sekali tak mendapat balasan.Dan Alvin mencoba menyerah untuk itu.Bukan, bukan karena ia pengecut, namun pria itu hanya berusaha untuk mengikhlaskan Rania jika memang tak ditakdirkan bersama.Sikap Rania yang terkadang berubah dingin setelah ramah padanya membuat Alvin ragu jika wanita itu memang masih mencintainya dan akan kembali padanya. Alvin mencoba untuk menekan perasaannya meski rasa kecewa mulai menyapanya.“Terus?”“Aku... mau coba ikhlasin kamu.” Alvin menunduk den
“Pagi, Ra..”Alvin menyapa Rania yang baru saja membuka pintu rumahnya dan siap untuk berangkat mengajar.Rania yang sudah biasa melihat kehadiran Alvin selama dua minggu sejak pria itu menjadi tamu di taman kanak-kanak hanya tersenyum kecil.“Kamu nggak jawab?”“Pagi, Mas.”Alvin tersenyum lebar. Meski Rania masih sering kali berbicar formal dengannya, namun harus ia akui dirinya begitu menyukai Rania yang memanggilnya dengan embel-embel di depan namanya.“Mau berangkat?”Rania mengangguk.“Aku anter, ya?”“Nggak usah, makasih. Saya biasa jalan kaki.”Alvin menggeleng, “Nggak, aku anterinnya juga jalan kaki kok. Aku lagi nggak bawa mobil.”Kening Rania mengernyit bingung.
Dua tahun kemudian... Jantung Alvin berdegup kencang, kedua telapak tangannya saling bertautan dengan keringat dingin. Hari ini, tepat hari pertama pria itu memutuskan untuk bertemu dengan Rania untuk pertama kalinya setelah pembatalan pernikahan mereka dua tahun yang lalu. Hari ini, ia memutuskan untuk menjadi seorang tamu di taman kanak-kanak tempat Rania mengajar. Padahal hanya dua tahun, namun mengapa rasa gugupnya melebihi saat ia memutuskan untuk melamar Rania untuk menjadi miliknya? Pria itu menghembuskan napasnya, dibukanya pintu mobil itu dan melangkah keluar meski ia tahu pagar sekolah bahkan masih dalam keadaan terkunci. Siapa yang peduli? Ia memang
Satu tahun kemudian...Alvin tersenyum kecil menatap seorang gadis dengan rambut panjangnya tengah mempraktikan gerakan-gerakan senam sederhana kepada anak-anak kecil di depannya.Pria yang menopang wajahnya dengan telapak tangan dan asik memperhatikan itu terkekeh melihat nafas gadis itu memburu sedikit lebih laju dari sebelumnya setelah melompat beberapa kali.“Seharusnya jangan terlalu diforsir, Ra.. kamu nggak biasa olahraga.” Ucapnya tak bertuan.Kedua matanya menatap sendu pada gadis yang mulai membubarkan barisan anak-anak kecil itu. Seandainya saja setahun yang lalu dia tidak mencari masalah, mungkin kini ia bisa melihat wajah itu dari jarak dekat. Bukan malah memilih bersembunyi dibalik kaca hitam mobil mili
Lagi, Alvin kembali ditampar oleh penyesalan saat tau Rania menutupi aibnya. Dia baru tahu jika Rania merahasiakan alasan dibalik pembatalan pernikahan mereka setelah dua bulan kejadian itu berlalu. Rania dan isi kepalanya. Hanya satu hal yang Alvin tak pernah bisa mengerti mengenai gadis itu. Terlalu abu-abu untuk dibacanya, pikiran Rania sangat sulit untuk ditebak. Kadang terlalu abstrak, dilain waktu bisa terlalu mudah ditebak, namun dilain kesempatan pula terlalu sulit dimengerti. Mereka saling mencintai, namun justru terpisah karena kebodohannya sendiri. Haruskah ia tertawa untuk kebodohannya yang berulang kali ini?
“Alvin... ini Mama..”Nyonya Pratama membuka pintu kamar sang putra sepelan mungkin. Beliau berjalan masuk dan menemukan kamar Alvin yang berantakan juga sang putra yang tengah duduk melamun di depan jendela kamarnya.“Alvin nggak mau terima apapun pemberian Amanda, Mama bisa keluar sekarang.” Pria itu berbicara setenang mungkin, kedua matanya memandang kosong halaman belakang rumahnya.Rania sudah pergi...Mungkin ia memang bisa melacak keberadaan gadis itu, namun Rania belum tentu mau menerimanya kembali. Ia sadar, teramat sadar jika Rania sudah terlalu banyak terluka selama hubungan mereka berjalan sebagai sepasang kekasih.Mungkin memang benar kata orang, sebaiknya memang tidak pernah melibatkan hati dalam pertemanan antara pria dan wanita. Namun ia terlalu egois, terlalu menginginkan gadis itu menjadi miliknya seorang diri.
Beberapa bulan setelah pembatalan...“Kamu mau kemana, Alvin?”Alvin menoleh, Nyonya Pratama menatap putra sulungnya dengan cemas. Setelah dua bulan lamanya putranya hanya bisa mengamuk di kamarnya, memilih tidak keluar dari rumah, ini adalah kali pertama ia melihat anaknya berpakaian rapi dan hendak pergi.Alvin menyeringai, “Having fun.”Nyonya Pratama bangkit dari duduknya dan menghampiri sang putra, wanita paruh baya itu mengelus rambut anaknya dengan kasih sayang. “Jangan berbuat macam-macam, Al.. Mama yakin Rania tetap bakal jadi istri kamu.” Nasihatnya.“Nggak bisa. Dia emang harus mati.” Alvin menggeleng, wajahnya berseri-seri kontras dengan perasaan marah yang tersirat di kedua matanya. “Dia yang bikin aku kehilangan Rania. Mata dibalas mata, Mama.”“Al.. dengar Mama.. ap