“Saya mau menikahi Rania, Yah.”
Satu kalimat besar, Alvin sama sekali tak ragu mengucapkannya di depan kedua orang tua gadis yang menjadi kekasihnya.
Tentu, tanpa kehadiran gadis itu di rumahnya.
“Lalu?”
Hanya itu. Hanya itu tanggapan seorang pria paruh baya yang merupakan ayah si gadis.
Alvin mendongak, menatap tepat pada kedua mata yang sudah dipenuhi keriput.
“Saya mencintai Rania sejak di bangku sekolah dasar, kami sudah berteman cukup lama sejak itu. Saya dan Rania sempat pisah sekolah sewaktu SMA dan di perguruan tinggi kemarin, namun rasa cinta saya sama sekali tidak berkurang untuk puteri Ayah.”
Wanita paruh baya itu menahan nafasnya terkejut. Sejak sekolah dasar katanya? Hal gila apa ini?
“Ka-kamu, emm... Alvin, tapi menurut Ibu, waktu itu nggak bisa menjamin seseorang suka sama orang lainnya.
Haii... Ri cuma mau ngingetin, kalo ini cuma sudut pandang Alvin, ya.. jadi buat alur, emang sengaja dilongkap-longkap. Makasih udah baca... ^^
Alvin menggeram tak suka begitu mendengar celoteh Amanda. Dia berdesis begitu raut penuh ejek Amanda tersenyum di depannya. Alvin tak menyangka bisa bertemu kembali dengan Amanda setelah sekian tahun lamanya perempuan itu menghilang. “Gimana, Kak?” Alvin diam membisu, tahu jika perempuan itu belum usai bicara. “Kalo ngggak mau, nanti rahasia Kakak bocor lho... aku kasih tau ke Rania.” Shit! Rahasia, rahasia, rahasia! Selalu itu yang jadi busur panah yang dilemparkan Amanda padanya. Bukannya tidak tahu, Alvin jelas tahu jika Amanda memang menyukainya sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama. Pria itu juga tahu jika Amanda sengaja mengikutinya dengan masuk SMA yang sama juga universitas yang sama dengan dirinya. Alvin tahu, jika Amanda membenci Rania sejak dulu.
"Jangan gila!” Bentak Alvin marah. Nafasnya memburu, menatap marah perempuan di depannya. “Ini nggak ada di perjanjian awal, Amanda!”“Aku mohon, Kak... bantu aku.”Alvin menghembuskan nafasnya, mencoba mengatur emosinya yang selalu meledak setiap kali dia bertemu dengan Amanda.Dan kini, wanita sialan itu kembali berulah dengan meminta dirinya untuk bertunangan di malam kedua orang tua Amanda merayakan hari pernikahan mereka.Kini ia mengerti maksud Amanda dengan mengunjungi toko perhiasan yang sama seperti dirinya dan Rania. Perempuan itu memang telah merencanakannya.“Saya menolak pertunangan itu!”
Rania-nya menghilang.Hanya dua kata yang bisa ditangkap telinganya setelah dua orang anak buanya memberikan laporan.Kedua matanya terpejam sesaat. Berusaha mengontrol emosinya sebelum lepas kendali dan membuat kedua orang yang berdiri takut di depannya itu terlempar ke Rumah Sakit.Sial, sialan!Salahnya. Ini semua salahnya. Rania pasti sakit hati setelah melihat tunangannya melaman wanita lain di depan matanya sendiri.“Kenapa?” Tanyanya pelan. Wajahnya tanpa ekspresi, namun jelas ada amarah di baliknya.“Ma-maaf, ka-kami minta maaf, Tuan.”Brakk...“Saya tanya kenapa, bukan untuk mendengar permintaan maaf kalian!” Bentaknya.Nafasnya memburu. Emosi yang berusaha ia tahan ternyata gagal ia kendalikan. Hmm... mungkin satu atau dua p
“Gimana keadaan anak itu? Semalam dia di PICU, kan?”Suster dengan papan catatan di tangannya itu berjalan mengimbangi langkah kaki Alvin.“Kemarin malam kondisinya belum stabil, Dok. Ada perawat Nadin dan dokter jaga, dokter Naufal. Kondisinya membaik pagi ini, suhu tubuhnya beranjak normal meski masih agak sedikit demam, Dok.”Alvin mengangguk. “Apa dia kejang kembali semalam?”Suster itu menggeleng. “Sudah tidak, Dok. Terakhir kejang pukul 11 malam tadi, waktu terakhir kali dokter cek kondisi pasien.”“Orang tuanya?”“Orang tua pasien masih menunggu di depan ruan
"ARGGHH!” Teriak Alvin.Kamar yang biasanya rapi kini terlihat berantakan. Serpihan kaca yang pecah, baju-baju yang berserakan, beberapa halaman buku yang tersobek, serta bantal-bantal yang seharusnya di atas kasur tergeletak begitu saja di lantai.Laki-laki itu jatuh tersungkur di lantai setelah menarik selimut dan melemparnya kasar. Bahunya bergetar dengan air mata yang jatuh dari matanya. Hatinya hancur, pikirannya kalut setelah sosok yang amat dicintainya memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka, padahal hanya tinggal menghitung minggu maka mereka berdua akan bersatu dalam ikatan pernikahan. Seperti impiannya.Ia tidak bisa berbuat apa-apa setelah semuanya. Hati kecilnya mengakui bahwa dirinya sendirilah penyebab kehancuran ini, dialah alasan dari air mata Rania selama ini, dia laki-laki brengsek yang membuat Rania sakit hati.Mengingat kembali Rania yang memaksa untuk membatalkan pernik
Beberapa bulan setelah pembatalan...“Kamu mau kemana, Alvin?”Alvin menoleh, Nyonya Pratama menatap putra sulungnya dengan cemas. Setelah dua bulan lamanya putranya hanya bisa mengamuk di kamarnya, memilih tidak keluar dari rumah, ini adalah kali pertama ia melihat anaknya berpakaian rapi dan hendak pergi.Alvin menyeringai, “Having fun.”Nyonya Pratama bangkit dari duduknya dan menghampiri sang putra, wanita paruh baya itu mengelus rambut anaknya dengan kasih sayang. “Jangan berbuat macam-macam, Al.. Mama yakin Rania tetap bakal jadi istri kamu.” Nasihatnya.“Nggak bisa. Dia emang harus mati.” Alvin menggeleng, wajahnya berseri-seri kontras dengan perasaan marah yang tersirat di kedua matanya. “Dia yang bikin aku kehilangan Rania. Mata dibalas mata, Mama.”“Al.. dengar Mama.. ap
“Alvin... ini Mama..”Nyonya Pratama membuka pintu kamar sang putra sepelan mungkin. Beliau berjalan masuk dan menemukan kamar Alvin yang berantakan juga sang putra yang tengah duduk melamun di depan jendela kamarnya.“Alvin nggak mau terima apapun pemberian Amanda, Mama bisa keluar sekarang.” Pria itu berbicara setenang mungkin, kedua matanya memandang kosong halaman belakang rumahnya.Rania sudah pergi...Mungkin ia memang bisa melacak keberadaan gadis itu, namun Rania belum tentu mau menerimanya kembali. Ia sadar, teramat sadar jika Rania sudah terlalu banyak terluka selama hubungan mereka berjalan sebagai sepasang kekasih.Mungkin memang benar kata orang, sebaiknya memang tidak pernah melibatkan hati dalam pertemanan antara pria dan wanita. Namun ia terlalu egois, terlalu menginginkan gadis itu menjadi miliknya seorang diri.
Lagi, Alvin kembali ditampar oleh penyesalan saat tau Rania menutupi aibnya. Dia baru tahu jika Rania merahasiakan alasan dibalik pembatalan pernikahan mereka setelah dua bulan kejadian itu berlalu. Rania dan isi kepalanya. Hanya satu hal yang Alvin tak pernah bisa mengerti mengenai gadis itu. Terlalu abu-abu untuk dibacanya, pikiran Rania sangat sulit untuk ditebak. Kadang terlalu abstrak, dilain waktu bisa terlalu mudah ditebak, namun dilain kesempatan pula terlalu sulit dimengerti. Mereka saling mencintai, namun justru terpisah karena kebodohannya sendiri. Haruskah ia tertawa untuk kebodohannya yang berulang kali ini?
Hari yang ditunggu pun tiba. Setelah memutuskan untuk mengurusnya dengan sabar dan menetapkan tanggal pernikahannya bertepatan dengan tanggal kelahiran sang mempelai wanita, Alvin akhirnya bisa bernapas lega dan tersenyum bahagia.Senyum lebar tak pernah lepas dari bibir pria itu yang tengah berdiri di depan kaca rias itu. Tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu melekat pas di tubuhnya. Sekali lagi Alvin tertawa untuk hal yang hanya dimengerti olehnya.“Bibir lo bisa robek kalo kebanyakan senyum, Bang.”Cibiran itu membuat Alvin menoleh menatap pintu masuk. Seorang pria yang usianya jauh dibawah dirinya melangkah mendekat padanya.“Gue ikhlas kakak gue nikah sama lo. Jaga dia baik-baik, sekali gue denger lo buat kakak gue nangis, saat itu juga gue buat lo ke IGD, Bang.”Alvin tertawa mendengar ancaman tersebut. “Pukulan lo sama sekali nggak sakit buat gue.”“Sialan lo, Bang!” Ryan menyentak Al
“Jadi kapan mau diresmiin?”“Tiga tahun lagi, Yah.”Alvin yang mendengar sontak melotot terkejut. “Lho kok gitu, Ra? Nggak bisa gitu dong!” Pria itu menyahut tak terima.Rania terkekeh, “Ya biar pas umurnya, kamu jadi 33 aku 32.”“Nggak sekalian aja nunggu 40 tahun.” Cibir Alvin.Ryan yang mendengarnya pun mendengus tak suka. “Apa sih lu, Bang. Suka-suka kakak gue lah, udah untung diterima lagi!”Semua yang awalnya tertawa dan tersenyum pun memilih terdiam, termasuk Alvin yang raut wajahnya berubah tak terbaca.“Mending diem kalo emang buka mulut cuma buat bi
“Aku... beneran masih suka sama kamu, Ra..” Alvin menarik napasnya, “Aku tau kamu nggak bisa terima aku lagi, aku cuma mau kamu tau kalo perasaan aku masih sama.”Suasana sore di salah satu taman di kota hujan itu menjadi saksi bagaimana Alvin mengungkapkan perasaannya dengan ikhlas dan tak menuntut balas.3 bulan sudah berlalu sejak usahanya untuk membuat Rania kembali bersamanya namun selama waktu itu juga ia sama sekali tak mendapat balasan.Dan Alvin mencoba menyerah untuk itu.Bukan, bukan karena ia pengecut, namun pria itu hanya berusaha untuk mengikhlaskan Rania jika memang tak ditakdirkan bersama.Sikap Rania yang terkadang berubah dingin setelah ramah padanya membuat Alvin ragu jika wanita itu memang masih mencintainya dan akan kembali padanya. Alvin mencoba untuk menekan perasaannya meski rasa kecewa mulai menyapanya.“Terus?”“Aku... mau coba ikhlasin kamu.” Alvin menunduk den
“Pagi, Ra..”Alvin menyapa Rania yang baru saja membuka pintu rumahnya dan siap untuk berangkat mengajar.Rania yang sudah biasa melihat kehadiran Alvin selama dua minggu sejak pria itu menjadi tamu di taman kanak-kanak hanya tersenyum kecil.“Kamu nggak jawab?”“Pagi, Mas.”Alvin tersenyum lebar. Meski Rania masih sering kali berbicar formal dengannya, namun harus ia akui dirinya begitu menyukai Rania yang memanggilnya dengan embel-embel di depan namanya.“Mau berangkat?”Rania mengangguk.“Aku anter, ya?”“Nggak usah, makasih. Saya biasa jalan kaki.”Alvin menggeleng, “Nggak, aku anterinnya juga jalan kaki kok. Aku lagi nggak bawa mobil.”Kening Rania mengernyit bingung.
Dua tahun kemudian... Jantung Alvin berdegup kencang, kedua telapak tangannya saling bertautan dengan keringat dingin. Hari ini, tepat hari pertama pria itu memutuskan untuk bertemu dengan Rania untuk pertama kalinya setelah pembatalan pernikahan mereka dua tahun yang lalu. Hari ini, ia memutuskan untuk menjadi seorang tamu di taman kanak-kanak tempat Rania mengajar. Padahal hanya dua tahun, namun mengapa rasa gugupnya melebihi saat ia memutuskan untuk melamar Rania untuk menjadi miliknya? Pria itu menghembuskan napasnya, dibukanya pintu mobil itu dan melangkah keluar meski ia tahu pagar sekolah bahkan masih dalam keadaan terkunci. Siapa yang peduli? Ia memang
Satu tahun kemudian...Alvin tersenyum kecil menatap seorang gadis dengan rambut panjangnya tengah mempraktikan gerakan-gerakan senam sederhana kepada anak-anak kecil di depannya.Pria yang menopang wajahnya dengan telapak tangan dan asik memperhatikan itu terkekeh melihat nafas gadis itu memburu sedikit lebih laju dari sebelumnya setelah melompat beberapa kali.“Seharusnya jangan terlalu diforsir, Ra.. kamu nggak biasa olahraga.” Ucapnya tak bertuan.Kedua matanya menatap sendu pada gadis yang mulai membubarkan barisan anak-anak kecil itu. Seandainya saja setahun yang lalu dia tidak mencari masalah, mungkin kini ia bisa melihat wajah itu dari jarak dekat. Bukan malah memilih bersembunyi dibalik kaca hitam mobil mili
Lagi, Alvin kembali ditampar oleh penyesalan saat tau Rania menutupi aibnya. Dia baru tahu jika Rania merahasiakan alasan dibalik pembatalan pernikahan mereka setelah dua bulan kejadian itu berlalu. Rania dan isi kepalanya. Hanya satu hal yang Alvin tak pernah bisa mengerti mengenai gadis itu. Terlalu abu-abu untuk dibacanya, pikiran Rania sangat sulit untuk ditebak. Kadang terlalu abstrak, dilain waktu bisa terlalu mudah ditebak, namun dilain kesempatan pula terlalu sulit dimengerti. Mereka saling mencintai, namun justru terpisah karena kebodohannya sendiri. Haruskah ia tertawa untuk kebodohannya yang berulang kali ini?
“Alvin... ini Mama..”Nyonya Pratama membuka pintu kamar sang putra sepelan mungkin. Beliau berjalan masuk dan menemukan kamar Alvin yang berantakan juga sang putra yang tengah duduk melamun di depan jendela kamarnya.“Alvin nggak mau terima apapun pemberian Amanda, Mama bisa keluar sekarang.” Pria itu berbicara setenang mungkin, kedua matanya memandang kosong halaman belakang rumahnya.Rania sudah pergi...Mungkin ia memang bisa melacak keberadaan gadis itu, namun Rania belum tentu mau menerimanya kembali. Ia sadar, teramat sadar jika Rania sudah terlalu banyak terluka selama hubungan mereka berjalan sebagai sepasang kekasih.Mungkin memang benar kata orang, sebaiknya memang tidak pernah melibatkan hati dalam pertemanan antara pria dan wanita. Namun ia terlalu egois, terlalu menginginkan gadis itu menjadi miliknya seorang diri.
Beberapa bulan setelah pembatalan...“Kamu mau kemana, Alvin?”Alvin menoleh, Nyonya Pratama menatap putra sulungnya dengan cemas. Setelah dua bulan lamanya putranya hanya bisa mengamuk di kamarnya, memilih tidak keluar dari rumah, ini adalah kali pertama ia melihat anaknya berpakaian rapi dan hendak pergi.Alvin menyeringai, “Having fun.”Nyonya Pratama bangkit dari duduknya dan menghampiri sang putra, wanita paruh baya itu mengelus rambut anaknya dengan kasih sayang. “Jangan berbuat macam-macam, Al.. Mama yakin Rania tetap bakal jadi istri kamu.” Nasihatnya.“Nggak bisa. Dia emang harus mati.” Alvin menggeleng, wajahnya berseri-seri kontras dengan perasaan marah yang tersirat di kedua matanya. “Dia yang bikin aku kehilangan Rania. Mata dibalas mata, Mama.”“Al.. dengar Mama.. ap