Home / Romansa / Terjebak Cinta Segitiga / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of Terjebak Cinta Segitiga: Chapter 61 - Chapter 70

81 Chapters

Malam Mingguan Pertama

“Ja—jadi, mulai senin besok, saya enggak jadi sekretaris Pak Revan lagi?” tanya Venca lagi, tentu saja dia tak percaya dengan jabatan ini.“Ayolah, Ca, jangan panggil ‘Pak’” Revan kesal mendengarnya, sungguh!“Panggil mas aja,”celetuk Gibran. Dia lantas meminum air mineral yang ada di sampingnya.Revan mendengkus, tentu saja makin kesal dalam hati.“Menurut Ayah, apa yang kamu putuskan ini sudah benar, Re,” tuturnya lelaki tengah baya itu. Mulutnya dia elap dengan serbet yang ada di pangkuannya.“Ya, Ayah. Jadi, nanti, Gibran baru akan menyusul dua minggu kemudian. Sementara, Ca, kamu bisa masih bantuin aku selama dua minggu ini. Da dua minggu ke depan, tolong persiapkan rapat dengan semua karyawan. Aku akan mengadakan perombakan besar-besaran soal susunan karyawan.”Ayah manggut-manggut mendengar itu semua. Sementara, Revan menatap mata Ayah, seperti meminta perse
Read more

Malam Mingguan Pertama II

 “Jadi ada yang request lagu “Cinta kan Membawamu,” tebak dari siapa?!” pekiknya sambil tersenyum. “Jangan takut, kita akan mainkan, ada, Adinda yang bernyanyi dan, Bagas yang bermain keyboard. Dan Revan, ini lagu kamu,” serunya sambil menatap ke kursi yang ada di depan panggung.Mata Venca membesar, mulutnya menganga menatap Revan tak percaya. Selera musiknya mengapa hampir sama seperti dirinya?Revan hanya membalas tatapan Caca yang terlihat lucu itu, dengan senyuman juga—yang paling teduh yang pernah Revan berikan. Entah apa maksud dari Revan memilihkan lagu itu dan apakah itu untuk Venca mungkin juga iya.Lagu mulai memgalun, diiringi permainan keyboard yang cantik. Penoton seolah terhanyut juga. Walau sesekali terdengar juga suara yang lain. Ditambah suara Adinda yang merdu dan terdengar bening seperti hal yang paling indah yang pernah Venca rasakan sepanjang hidupnya.Tiba saat mengertiJer
Read more

Pilihan Tara

Mama Tara memang kritis, dia kehilagan banyak darah, menyayat urat nadinya sendiri di kamar mandi. Dan parahnya, Papa Tara terlalu syok, hingga tidak bisa berbuat apa-apa. lelaki tua itu begitu menyesal, hingga badanny pun lemas tak sadarkan diri.  Mama ditolong oleh asisten rumah tangganya yang sore itu mau membersihkan kamar mandi.Fatal akibatnya karena hampir sepuluh menit, wanita itu kehilangan darah. Meski berhasil diselamatkan dan sekarang dalam keadaan stabil, Mama belum sadar. Masih koma.  Anak lelaki satu-satunya, Tara, tentu saja menyesal setengah mati. Bagaimana mungkin Mama punya pikiran seperti ini? Bukankan hidupnya biasa-biasa saja, dan dia bahagia selama dengan Papa.Eta h hari keberapa, anak itu menunggui Mama di rumah sakit dengan setia.Istri sahnya pun prihatin melihat keadaan Tara yang selalu pucat, dia tidak beranjak ke mana-mana. Makan saja harus diigatkan.Papa tak kalah keadaannya memprihatinkan juga.
Read more

Kritis

Malam itu, Tara merasa ada di ujung hidupnya. Dia terpaksa meminta bantua Venca untuk melihat keadaan Rani. Menelepon gadis itu tentunya, Tara tidak berharap apa-apa, hanya berharap akan diangkat saja.“Halo?” suara Venca terdengar ketus di sambungan telepon.Tara mengerti ini tidak akan mudah. “Ca, aku tahu kamu masih marah ke aku. Tapi, untuk kali ini, aku minta tolong ke kamu.”Suara lelaki itu terdengar bergetaran dan lemah, Venca iba mendengar semua itu.“Ada apa, Tar?”“Kamu bisa lihat keadaan Rani, selama aku tinggal nginep di rumah sakit dia pucat dan lemas, tadi dia telepon kayak kesakitan,” tutur Tara. Penuh harapan lelaki itu menghubungi Venca malam ini. Lagi pula, meski Rani tadi bilang tidak apa-apa, tetap saja Tara khawatir. Apapun yang terjadi pada Rani, Tara sadar itu semua tanggung jawabnya sebagai seorang lelaki.Meski mala mini, dia lebih berat pilihan ke mamanya.&ldq
Read more

Kritis II

Dokter mengatakan kalau Rani mengalami pendarahan hebat. Tara tidak bisa melakukan apa-apa lagi, dia hanya berdiri membeku di depan kamar operasi. Masih ada Revan dan Venca juga. Mereka juga mendengar ketika seorang dokter keluar dari kamar operasi dan memberikan penjelasan. “Mohon maaf, saat ini juga kami sedang berjuang menyelamatkan Ibu Rani. Bayinya tidak dapat kami selamatkan. Kita sama-sama berdoa, semoga Tuhan memberikan yang terbaik,” tuturnya. Lantas dokter itu berlalu pergi kembali masuk ke kamar operasi. Tinggal Tara duduk lemas di bangku tunggu ruang operasi. Dia kkhawatir akan keadaan Rani, mengkhawatirkan Mamanya juga. Kalau saja dia tidak membicarakan hal ini, mungkin segala kejadian buruk ini tidak perlu terjadi. Mata Tara kembali berkaca-kaca, tak sanggup rasanya melewati ini semua. Belum lagi Mama yang tak kalah buruknya dari Rani. Lantas, Tara teringat satu hal. “Ca, tadi masuk rum
Read more

Rani, Anak Ibu ...

“Bu, Pak, saya mau bicara …” Ibu dan bapak Venca mengerutkan dahi, dalam hati mereka bertanya-tanya. Lalu, saling bertatapan sambil bertanya dalam hati: ada apa sebenarnya?Tara mempersilakan Ibu dan Bapak mertuanya duduk di sofa, sementara dia duduk di kursi pagoda. “Ada apa, Tar?” “Saya ingin menceraikan Venca,” ucapnya. “APA?!” Ibu dan Bapak berseru bersamaan, sungguh mereka tidak menyangka akan semua ini. “Apa kurangnya Venca? Bilang ke kami, Nak Tara,” ujar Ibu, suaranya bergetar. “Tidak ada. Saya ingin Venca bahagian dengan pilihan hatinya, bukan dengan saya yang dipaksa untuk memiliki hatinya.” Tara menghela napas. “Saat ini, saya punya istri selain Venca.” Bapak mendengkus geram. “Apa-apaan kamu bicara seperti itu? Apa kamu sadar apa yang kamu lakukan?”“Saya sadar, Pak. Maka dari i
Read more

Penyesalan Ibu

Ibu masih ada di kamar Rani. Entah berapa lama, rasanya sangat lama. Dia hanya menangis tak berhenti sambil menggenggam jemari anak—tirinya itu. Segala penyesalan ada di hatinya, biar bagaimana pun, anak itu adalah anaknya sendiri. dIbu yang waktu itu ngotot juga melegalkan kalau Rani adalah anak Ibu dan Bapak.Rasanya semua itu sia-sia sekarang. Melihat Rani tidak berdaya, juga seperti membuangnya ketika tahu anak itu hamil diluar nikah.  Ibu terjatuh dalam lamunan yang dalam. Ingatanya berkelana ke masa lalu, teringat masa itu, berapa puluh tahun silam di Klaten, kampungnya. Waktu itu, sudah dua tahun pernikahan, tetapi Ibu belum juga hamil. Mungkin belum diberi kepercayaan, begitu pikirnya. Ibunya yang dipanggil si mbah mendatanginya ketika dia duduk di bale dapur, membuatkan kopi. Biasanya, ada yang membantunya membuatkan segala camilan kesukaan orang rumah. Namun beberapa hari ini, yang bantu-bantu izin karena sakit. “Nduk, apa
Read more

Maaf dari Ibu

Venca terdiam sejenak dia menegakkan badan di samping Ibu. Sambil meredakan isaknya.“Jadi, Ibu sudah memaafkan Venca?”Ibu mengangguk perlahan.“Bagaimana dengan Bapak?” Venca masih mengkhawatirkan ini.“Ibu akan berbicara, Ca. Meski Ibu tahu, Bapakmu pasti akan bersikukuh kalian harus masih menikah.”“Tapi, apakah Ibu sadar apa akibatnya?”Ibu menggeleng.Selama ini Venca hanya mengira, kalau Ibu adalah segala pusat emosi Bapak. Dalam artian kata, Bapak akan benar-benar meredam segala emosinya kalau ada Ibu.Namun, sepertinya, pendapat anaknya ini salah.“Bagaimana kalau Bapak murka, Bu?”“Itu karena Bapakmu terlanjur memberi dana ke perusahaan ayah Tara, dan Ibu juga tidak tahu berapa banyak jumlahnya.”Ibu berkata dengan pelan, beberapa kali suaranya hampir menghilang.Dan, pada akhirnya setelah sekian kali, Venca akan pasrah
Read more

Cemburu Rani

 Entah apa yang ada dalam hati Tara saat ini, ketika dia masuk ke ruang ICU, Rani menyambutnya dengan senyuman. Namun, lelaki itu juga tahu kalau senyuman Rani seperti kosong, tidak berasal dari dalam hatinya, sekadar pura-pura saja.Hati Tara juga miris, nelangsa melihat istri—sirinya begitu.“Maafin aku, Tar,” ucap Rani lirih. Dia menyesal juga, meski dikasih tahu dokter akan anaknya yang meninggal, dan kesedihannya sangat dalam.“Jangan begitu, Ran,” balas Tara lagi. Menggenggam jemari istrinya itu erat. “Aku pun salah ke kamu, ke anak kita, jangan menyalahkan diri sendiri.”Rani mengangguk lemah, air matanya kembali menetes tak terkendali.Alat monitor jantungnya saat ini sudah docabut, hanya tinggal infus dan kateter masih menempel.Sebenarnya ada sebersit kebahagiaan yang hinggap di hati Tara, mendengar pernyataan Venca tadi. Ibu sudah memaafkan Rani. Tapi, Tara enggan berkata-kata
Read more

Pernyataan Cinta

“Jadi, habis ini mau pulang?” tanya Revan.Venca melirik jam tangan, sudah cukup malam rasanya. Mungkin dia akan pulang, tapi satu angan terbersit malam ini.Mau ke mana?“Pulang, Re, udah cukup malam, enggak enak juga kalau kita berduaan terlalu lama.” Venca melanjutkan makannya—yang tadi dia pesan, nasi rawon.Berbeda dengan Venca yang bersemangat, Revan menyantap makanannya agak malas. Entah apa yang ada dalam hatinya. Tadi juga tumben-tumbenan Venca memberi tahu Revan kalau Rani sudah siuman. Mau tanya ini dan itu rasanya Revan malas. Atau … tidak enak, rasanya kalau Venca sekali lagi akan diam seperti kemarin, dan hatinya seperti membeku, Reva tidak mau begiu.Dia lebih suka Venca dua hari ini, dia selalu bilang mau apa saja. Termasuk kalau izin ke rumah sakit, setelah ada di rumah Venca selalu bercerita tentang mama Tara atau juga tentang Rani.Mata Revan sekilas menatap Venca yang sedang minimum ai
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status