Malam itu, Tara merasa ada di ujung hidupnya. Dia terpaksa meminta bantua Venca untuk melihat keadaan Rani. Menelepon gadis itu tentunya, Tara tidak berharap apa-apa, hanya berharap akan diangkat saja.
“Halo?” suara Venca terdengar ketus di sambungan telepon.
Tara mengerti ini tidak akan mudah. “Ca, aku tahu kamu masih marah ke aku. Tapi, untuk kali ini, aku minta tolong ke kamu.”
Suara lelaki itu terdengar bergetaran dan lemah, Venca iba mendengar semua itu.
“Ada apa, Tar?”
“Kamu bisa lihat keadaan Rani, selama aku tinggal nginep di rumah sakit dia pucat dan lemas, tadi dia telepon kayak kesakitan,” tutur Tara. Penuh harapan lelaki itu menghubungi Venca malam ini. Lagi pula, meski Rani tadi bilang tidak apa-apa, tetap saja Tara khawatir. Apapun yang terjadi pada Rani, Tara sadar itu semua tanggung jawabnya sebagai seorang lelaki.
Meski mala mini, dia lebih berat pilihan ke mamanya.
&ldq
Dokter mengatakan kalau Rani mengalami pendarahan hebat.Tara tidak bisa melakukan apa-apa lagi, dia hanya berdiri membeku di depan kamar operasi. Masih ada Revan dan Venca juga. Mereka juga mendengar ketika seorang dokter keluar dari kamar operasi dan memberikan penjelasan.“Mohon maaf, saat ini juga kami sedang berjuang menyelamatkan Ibu Rani. Bayinya tidak dapat kami selamatkan. Kita sama-sama berdoa, semoga Tuhan memberikan yang terbaik,” tuturnya. Lantas dokter itu berlalu pergi kembali masuk ke kamar operasi.Tinggal Tara duduk lemas di bangku tunggu ruang operasi. Dia kkhawatir akan keadaan Rani, mengkhawatirkan Mamanya juga. Kalau saja dia tidak membicarakan hal ini, mungkin segala kejadian buruk ini tidak perlu terjadi.Mata Tara kembali berkaca-kaca, tak sanggup rasanya melewati ini semua. Belum lagi Mama yang tak kalah buruknya dari Rani.Lantas, Tara teringat satu hal.“Ca, tadi masuk rum
“Bu, Pak, saya mau bicara …”Ibu dan bapak Venca mengerutkan dahi, dalam hati mereka bertanya-tanya. Lalu, saling bertatapan sambil bertanya dalam hati: ada apa sebenarnya?Tara mempersilakan Ibu dan Bapak mertuanya duduk di sofa, sementara dia duduk di kursi pagoda.“Ada apa, Tar?”“Saya ingin menceraikan Venca,” ucapnya.“APA?!” Ibu dan Bapak berseru bersamaan, sungguh mereka tidak menyangka akan semua ini.“Apa kurangnya Venca? Bilang ke kami, Nak Tara,” ujar Ibu, suaranya bergetar.“Tidak ada. Saya ingin Venca bahagian dengan pilihan hatinya, bukan dengan saya yang dipaksa untuk memiliki hatinya.” Tara menghela napas. “Saat ini, saya punya istri selain Venca.”Bapak mendengkus geram. “Apa-apaan kamu bicara seperti itu? Apa kamu sadar apa yang kamu lakukan?”“Saya sadar, Pak. Maka dari i
Ibu masih ada di kamar Rani. Entah berapa lama, rasanya sangat lama. Dia hanya menangis tak berhenti sambil menggenggam jemari anak—tirinya itu. Segala penyesalan ada di hatinya, biar bagaimana pun, anak itu adalah anaknya sendiri. dIbu yang waktu itu ngotot juga melegalkan kalau Rani adalah anak Ibu dan Bapak.Rasanya semua itu sia-sia sekarang. Melihat Rani tidak berdaya, juga seperti membuangnya ketika tahu anak itu hamil diluar nikah. Ibu terjatuh dalam lamunan yang dalam. Ingatanya berkelana ke masa lalu, teringat masa itu, berapa puluh tahun silam di Klaten, kampungnya.Waktu itu, sudah dua tahun pernikahan, tetapi Ibu belum juga hamil. Mungkin belum diberi kepercayaan, begitu pikirnya. Ibunya yang dipanggil si mbah mendatanginya ketika dia duduk di bale dapur, membuatkan kopi. Biasanya, ada yang membantunya membuatkan segala camilan kesukaan orang rumah. Namun beberapa hari ini, yang bantu-bantu izin karena sakit.“Nduk, apa
Venca terdiam sejenak dia menegakkan badan di samping Ibu. Sambil meredakan isaknya.“Jadi, Ibu sudah memaafkan Venca?”Ibu mengangguk perlahan.“Bagaimana dengan Bapak?” Venca masih mengkhawatirkan ini.“Ibu akan berbicara, Ca. Meski Ibu tahu, Bapakmu pasti akan bersikukuh kalian harus masih menikah.”“Tapi, apakah Ibu sadar apa akibatnya?”Ibu menggeleng.Selama ini Venca hanya mengira, kalau Ibu adalah segala pusat emosi Bapak. Dalam artian kata, Bapak akan benar-benar meredam segala emosinya kalau ada Ibu.Namun, sepertinya, pendapat anaknya ini salah.“Bagaimana kalau Bapak murka, Bu?”“Itu karena Bapakmu terlanjur memberi dana ke perusahaan ayah Tara, dan Ibu juga tidak tahu berapa banyak jumlahnya.”Ibu berkata dengan pelan, beberapa kali suaranya hampir menghilang.Dan, pada akhirnya setelah sekian kali, Venca akan pasrah
Entah apa yang ada dalam hati Tara saat ini, ketika dia masuk ke ruang ICU, Rani menyambutnya dengan senyuman. Namun, lelaki itu juga tahu kalau senyuman Rani seperti kosong, tidak berasal dari dalam hatinya, sekadar pura-pura saja.Hati Tara juga miris, nelangsa melihat istri—sirinya begitu.“Maafin aku, Tar,” ucap Rani lirih. Dia menyesal juga, meski dikasih tahu dokter akan anaknya yang meninggal, dan kesedihannya sangat dalam.“Jangan begitu, Ran,” balas Tara lagi. Menggenggam jemari istrinya itu erat. “Aku pun salah ke kamu, ke anak kita, jangan menyalahkan diri sendiri.”Rani mengangguk lemah, air matanya kembali menetes tak terkendali.Alat monitor jantungnya saat ini sudah docabut, hanya tinggal infus dan kateter masih menempel.Sebenarnya ada sebersit kebahagiaan yang hinggap di hati Tara, mendengar pernyataan Venca tadi. Ibu sudah memaafkan Rani. Tapi, Tara enggan berkata-kata
“Jadi, habis ini mau pulang?” tanya Revan.Venca melirik jam tangan, sudah cukup malam rasanya. Mungkin dia akan pulang, tapi satu angan terbersit malam ini.Mau ke mana?“Pulang, Re, udah cukup malam, enggak enak juga kalau kita berduaan terlalu lama.” Venca melanjutkan makannya—yang tadi dia pesan, nasi rawon.Berbeda dengan Venca yang bersemangat, Revan menyantap makanannya agak malas. Entah apa yang ada dalam hatinya. Tadi juga tumben-tumbenan Venca memberi tahu Revan kalau Rani sudah siuman. Mau tanya ini dan itu rasanya Revan malas. Atau … tidak enak, rasanya kalau Venca sekali lagi akan diam seperti kemarin, dan hatinya seperti membeku, Reva tidak mau begiu.Dia lebih suka Venca dua hari ini, dia selalu bilang mau apa saja. Termasuk kalau izin ke rumah sakit, setelah ada di rumah Venca selalu bercerita tentang mama Tara atau juga tentang Rani.Mata Revan sekilas menatap Venca yang sedang minimum ai
Sepanjang sisa perjalanan mereka tidak mengisi kabin mobil dengan obrolan lagi, tetapi dengan kesunyian.Hingga Revan menarik rem tangan saat sampai depan garasi indekos Venca.Gadis itu menunggu beberapa saat sebelum dia turun, menghela napas beberapa kali sambil menatap Revan. Pria itu menanggapi, tanpa menoleh sedikit pun ke Venca.Sebenarnya, dia juga ingin bertanya tetapi tak tega rasanya.Hingga akhirnya mereka menggumam bersamaan. “Um …”“Eh, sorry, Re. Kamu duluan,” ujar Venca.“Jangan, Ca, kamu aja duluan, mungkin, segala pertanyaan aku, ada jawabannya.”“Oke.” Venca gugup, dia meremat ujung kemeja birunya. “Ketika mendengar keputusan Tara kemarin, aku sedikit bahagia, Re. Meski, ini enggak ada benarnya. Masa, mau dicerai aku malah bahagia?”Revan memutar badan, mereka saling berhadapan.“Tapi, lama kelamaan, aku mengerti. Bahagia itu bukan
Papa dan Tara masih berselisih tampaknya.Anak itu tak tahu diri, melenggak keluar rumah. Paling tidak, begitu kata Papa, tidak tahu diri!“Mamamu baru wafat saja, berani-beraninya kamu tidak menghadiri tahlilannya?” ujar Papa, matanya masih seperti orang kelelahan. Semalaman dia tidak tidur, sudah pasti. Kematian istrinya itu membuat dia syok tak terkira. Hampir saja mati juga kena serangan jantung.Tara menatap Papa penuh dengan rasa hormat, perlahan dia paham, perkataan Papa tidak sepenuhnya salah dan juga, perasaannya tidak sepenuhnya benar.“Maaf, Pa, apakah Papa mau Tara temani?”Mata Papa yang tadinya galak, sekarang berubah menjadi sendu. Dia duduk di kursi malasnya dengan lemas. Matanya lurus menatap foto pernikahannya dengan pigura besar di atas televisi. Tetamu yang datang mulai menyurut, sejak pagi tadi tak berhenti, lelah rasanya.“Pah,” Tara menyusul Papa yang duduk. “Paling enggak, kal
Revan bersungut-sungut seringnya begitu sejak Venca hamil. Tetapi dalam hati, dia paham. Masa ini harus dilewati.Belikan rujak juhi, es krim malam-malam, ketoprak super pedes, es boba taro bergelas-gelas. Semuanya Venca makan, tidak ada yang dia buang. Jalan-jalan ke mal, beli ini dan itu, apalagi soal belanja barang buat bayi, Venca paling semangat habiskan uang suaminya.Sekilas dalam hati Revan bertanya sendiri, yang dikandung Venca, bener anak manusia atau apa?Meski begitu, hari-hari, Venca masih bekerja sebagai general manajer di tempat Revan. Kehamilan sepertinya bukan halangan untuk dia terus berkarya, mesti sering uring-uringan. Dan mengeluh capek kakinya pegel apalagi kandungan makin besar, punggungnya ikut pegal, pinggang kayak mau patah dan lain-lain."Biar, makanya Venca tinggal aja di rumah Ibu, kan di sini ada yang disuruh-suruh, jadi Nak Revan enggak kecapek-an. Kasian suami kamu udah capek di kantor," tutur Ibu ke Venca,
Penuturan papa Tara memang ada benarnya, yang mendengarnya pun manggut-manggut.Rumah besar itu masih riuhbdengan tamu undangan yang rerata hanya kekuarga dekat saja. Termasuk kakak almarhumah mama Tara. Diskusi para orang tua juga masih berlanjut, kebanyakan mereka bahagia dengan kemajuan yang dicapai oleh anak-anak mereka."Lha, yang dampingi kita ini, Dik, mesti kita rangkul, sayangi juga. Jangan sampe kamu kayak saya. Tidak pernah tahu keinginan istri saya, hanya menekan dia selalu sempurna, mengikuti-kata saya, dia tertekan." Wajah mendung itu kembali muram, hujan mungkin sebentar lagi."Sudah, Mas, sudah jalan Allah seperti itu," ucap ibu Venca. Banyak mengkhawarirkan keadaan papa Tara sebenarnya, apalagi dia mendengar, kalau papa Tara kebanyakan melamun dan juga menghabiskan waktu sendirian.Papa Tara mengangguk, rasa bersalah ini memang selalu hinggap, mungkin ini akan selamanya menempel dalam hati. Sampai nanti, hingga dia mati."S
Rani galau, tetapi bukan terhadap Tara dan pernikahan ulangnya. Dia memikirkan papa Tara."Kamu enggak khawatir sama Papa kamu, Tar?" tanya Rani pada akhirnya, dia bertanya disela mau berangkat ke kantor, perjalanan macet yang menyebalkan. Matahari jam tujuh pagi seperti sudah tengah hari."Khawatir, tapi mau bagaimana lagi? Masa iya, aku tentang kemauan Papa? Dia sudah menentukan pilihannya, Ran. Mau tinggal di panti jompo, mungkin dia akan sedikit ceria, paling tidak bahagia, bisa bertemu orang yang seumuran dengannya," tutur Tara, sesekali dia menoleh ke arah Rani."Ya, mungkin juga," ucap Rani."Kamu mau undang siapa aja pas akad ulang nanti?" Tara bertanya.Rani tampaknya terlihat memicing, karena sinar matahari yang langsung menusuk retinanya. Dia menarik napas. "Paling Ibu, Bapak, Venca dan keluarga.""Oh iya, gimana kabar Venca?" tanya Tara.Ini hal yang sedikit membuat Rani kesal setengah mati kalau Tara
"Bagaimana, Tara soal akad ulang-mu?"Papa pagi ini bertanya soal akad ulang Tara dengan Rani. Saran dari Papa memang, demi sah secara agama dan juga tercatat di pemerintahan.Pasangan yang sah secara agama itu duduk di seberang Papa. Tampak semringah ketika Papa bertanya seperti itu. Ada rasa lega, ketika Papa bisa menerima, apalagi di rumahnya. Dan meminta tinggal di sana, satu atap, dan Tara anggap, yang penting akur! Karena sulit sekali memahami Papa, begitu menurut Tara dan Rani."Insyaallah, jadi, Pa. Dua minggu lagi. Surat-suratnya sudah jadi, kita tinggal ijab saja," papar Tara. Dia saling bertatap dengan Rani yang ada di sampingnya."Baguslah," sahut Papa datar. Sejak Mama meninggal, Tara dan Rani tinggal di rumah Papa, mereka banyak bersimpatik, tetapi tidak bisa memberikan kebahagiaan yang lain selain, menemani Papa siang dan malam.Tentu saja bergantian, Tara dan Rani dari pagi harus bekerja. Keadaan Papa memprihatinkan, b
Venca masih terdiam sepanjang perjalanan ke rumah. Mungkin Revan mengerti apa yang istrinya itu rasakan malam ini."Kamu cemburu, tadi Bunga ke kantor?" tebak Revan, dia memacu mobilnya dengan cepat, supaya cepat sampai ke rumah. Ingin cepat menyelesaikan masalah ini. Ya, coba saja kalau tidak selesai. Jatah pagi nanti tidak ada, dong? Begitu pikir Revan."Ya, lagian ngapain, si dia ke kantor tadi? Dia jelas banget dulu suka sama kamu," sungut Venca, meninggikan suara, dia sebal setengah mati tadi ketika melihat Bunga sedang menatap suaminya dan jelas sekali bukan tatapan dendam atau marah.Revan mengulum senyuman, dia senang lihat istrinya cemburu begitu. Terus terang saja. Kalau perlu Venca cemburu setiap hari boleh, Revan akan dengan senang hati melihatnya.Cemburu itu tandanya sayang, kan? Menurut Revan begitu, setelah dua bulan menikah, perlahan dia paham sikap istrinya ini. Cemburuan, Revan menolong nenek-nenek mau nyebrang saj
Aktivitas pagi, rasanya tidak pernah terlewat oleh Revan, jadi hobi sendiri sekarang."Gue liat sebulanan ini, lo telat mulu dateng ke kantor," sindir Gibran.Setelah meeting direksi, lelaki itu membereskan barang sendiri. Revan punya sekretaris baru sekarang. Meski dia tetap ingin Venca yang menjadi sekretarisnya."Kayak enggak tahu aja," balas Revan sambil menaikkan satu alisnya. Lelaki itu lantas mencatat sebagian hasil dari meeting hari itu."Ya, gue tahu, tapi, hampir tiap hari lo telat! Masa bos telat hampir tiap hari," sindir Gibran lagi."Iya, iya, besok gue enggak telat lagi," rutuk Revan. Dia bersungut dalam hati, tidak mungkin juga ditunjukkan ada karyawan yang masih duduk-duduk di ruangan ini, meski perlahan tapi pasti mereka keluar ruangan juga.Seorang resepsionis mencoba menghentikan seorang gadis yang mencoba masuk secara paksa, mencari Revan. Apa daya? Gadis itu terlalu kuat untuk dicegah, percuma kalau panggil s
Mengendusi rambutnya yang terasa harum. Revan rasanya enggan beranjak ada sesuatu yang bangkit tatkala dia memejam dan merasa terpaku, tidak mau pergi sepertinya.Lantas ada sesuatu menggeliat dalam diri mereka, ketika mata saling bertemu. Tentu saja Venca gugup setengah mati, Revan pun tak kalah gugup.Lantas, wanita itu teringat dalam pejam, dia bangkit lalu menatap suaminya yang ada di depan wajahnya."Makan malamnya jadi, Re?" tanya Venca pelan.Revan langsung menegakkan badan. "Eng, udah datang temenku. Um, aku mandi dulu sebentar," katanya.Venca mengangguk, deru dalam dadanya masih berlanjut. Bagaimana kalau Revan melanjutkan yang tadi? Tentu saja mereka kan sudah berstatus beda, kegiatan ranjang tentu saja menjadi kewajiban bukan?Revan dan Venca tercengang begitu keluar dari kamar. Ruang makan sudah ditata sedemikian rupa. Jadi bernuansa candle light dinner. Tentu saja ini menambah gelegak dalam diri Revan dan Venca.&nbs
“Jadi, tadi malam kakak ngapain aja?” tanya Safia penasaran. Sangat.Venca—gadis yang ditanya itu tidak menjawab apa-apa, dia hanya tersipu-sipu penuh arti. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Revan yang duduk di berlainan meja dengannya.“Aku bukain kado. Seru, deh,” jawab Venca.Safia yang mendengar itu melemaskan pundak. Enggak mungkin kalau misalnya hanya buka kado saja. Masa iya?“Masa, si, Kak? Enggak ada adegan di ranjang gitu?” tanya Safia penasaran.Mata Venca membulat. Lantas menggeleng. “Paling di ranjang tadi kita tidur berdua. Terus, ngobrol, terus saling tahu kebiasaan sebelum dan sesudah tidur, begitu aja,” tutur Caca sambil menerawang.Safia menghela napas hampir tak percaya rasanya, kakak iparnya ini ugu sekali. Sarapan kali ini, Revan dan Venca terpaksa turun ke bawah. Bapak Venca yang memintanya pagi ini. Lagi pula Bapak meminta Venc
Aula hotel seperti disulap menjadi lebih indah.Kalau saja pernikahan pertama Venca besar-besaran, tak kalah, pernikahan keduanya pun megah.Revan anak pertama, dan juga anak lelaki satu-satunya, tidak mungkin kalau pernikahannya biasa-biasa saja.Meski Venca menyandang status janda. Dan Revan setengah mati meyakinkan Ambu soal statusnya ini.Dalam hati Ambu yakin, kalau Venca jujur soal dia bilang tidak pernah disentuh oleh mantan suaminya.Hari bersejarah untuk Revan dan Venca tiba.Meski dalam hati Venca sempat malu akan statusnya. Bukannya apa-apa, keluarga Revan sangat terhormat. Tampil jadi saksi akad nikah saja, walikota Bandung. Bagaimana Venca tidak minder?Venca mungkin minder, tetapi, bapak Venca bangga bisa sebelah-sebelahan dengan walikota. Meski dia juga kadang bertemu dengan pejabat-pejabat daerah.Prosesi akad dipimpin oleh penghulu, sementara Venca akan keluar dari ruang tunggu ketika akad s