Semua Bab Kembali Bersama Waktu: Bab 1 - Bab 10

29 Bab

Kembali Kepadamu

Awan sedang berjalan keluar dari kantor saat hujan turun dengan deras dan petir menyambar. “Sial, aku tak membawa payung,” runtuk Awan kesal.Dengan berlari Awan mendapati mobilnya di parkiran. Tergesa dibukanya pintu mobil. Melesakkan dirinya ke balik kemudi dan mengibaskan air yang membasahi rambutnya.Petir menyambar, guntur bergelegar. Awan bergidik ngeri. Sepertinya alam sedang menumpahkan emosinya. Dengan sekali hentak diputarnya kunci membuat mesin mobil berbunyi. Jarak pandang yang menjadi terbatas membuat Awan berhati-hati mengeluarkan mobil dari area parkir.“Dengan kondisi seperti ini, akan lama mencapai Bukit Tiga,” kata Awan pada dirinya sendiri.Pergerakan aneh di Bukit Tiga dari beberapa hari yang lalu sudah membuat kantornya kewalahan un
Baca selengkapnya

Rentang Waktu

Awan tak bisa mengingat apa yang telah terjadi padanya. Dia tersadar di reruntuhan bangunan yang tak dikenalinya. Dia hanya ingat sedang berjalan ke atas Bukit Tiga. Otaknya mencerna. Tak ada reruntuhan apapun di Bukit Tiga. Itu hanya tanah lapang di atas bukit.“Cari orang itu, cepat temukan!” teriakan seseorang diiringi dengan langkah kaki yang setenggah berlari membuat Awan memegang kepalanya yang masih pening.“Kanjeng Sultan mengatakan kita harus membawa orang itu hidup-hidup untuk mempertanggung jawabkan tindakannya,” kata seorang berbaju prajurit.Awan menyembunyikan dirinya sambil berpikir. Dia melesakkan dirinya ke ceruk reruntuhan yang sedikit tertutup. Memastikan tubuhnya muat.“Siapa mereka? Kenapa pakaian mereka seperti prajurit kesultanan jaman Mataram kuno,” pikir Awan sambil sesekali melirik untuk kemastikan tidak ada yang menyadari keberadaannya.Tombak yang dihentakkan k
Baca selengkapnya

Kewalahan Dalam Ingatan

Awan terbangun pagi itu, saat membuka mata yang terlihat adalah atap yang tersusun rapi diantara kayu yang palang melintang. Ini bukan rumahnya, ini di mana?Ingatannya kembali semalam dia lari dari kejaran prajurit yang entah dari mana dan siapa. Lalu memasuki rumah orang yang mengaku abdinya.Kepingan kejadian membuat Awan merasakan pening yang sangat. Apalagi kakinya terasa nyeri.“Pangeran sudah bangun?” tanya Patik membuat Awan tersadar  dari lamunan.Dia tak sedang bermimpi maupun berhalusinasi. “Pangeran mau membersihkan diri dulu di pakiwan atau mau langsung sarapan? Saya sudah memasak bahan yang kebetulan masih tersedia,” lanjut Patik.Awan mencoba berdiri dan badannya sedikit goyang. Pening yang membuat kepalanya serasa berbeban.“Hati-hati, kalau belum bisa biar saya bawakan air kesini untuk menyeka tubuhmu. Nanti saya ambilkan baju Pangeran yang masih ada,” kata Patik.Awan mengangguk, karena masih belum bisa mem
Baca selengkapnya

Siapa Aku?

Awan terbangun karena mendengat suara orang bercakap di depan rumah. Dengan susah payah Awan mencoba bangkit. Suara Patik sedang berbincang dengan perempuan. Apakah perempuan tadi?“Iya Nduk, Awan sudah kembali. Paman juga bingung, dia sepertinya lupa denganku. Coba kamu bicara dengannya. Siapa tahu dia mengingatmu. Kalian kan cukup dekat dulu,” kata Patik membuat Awan hampir tersungkur karena terkejut.“Lho kok bangun. Istirahat saja kalau masih merasa pusing,” kata Patik seraya menahan tubuh Awan.Gadis bernama Dayu itu menyelidik ke arah Awan. Matanya tajam. Membuat Awan merasa dikuliti.“Kamu mau duduk di sini?” tanya Patik menunjuk bangku panjang yang terletak di emperan rumah.Awan mengangguk dan berjalan tertatih. Berat kepalanya dan kakinya yang masih sakit membuat dia terlihat lemah.“Nduk temani dia. Aku harus menyelesaikan masakanku,” kata Patik membuat Dayu mendekat deng
Baca selengkapnya

Satu Per Satu Berbenturan

Ketukan pintu membangunkan Awan. Patik terlihat bergegas keluar dari dapur.“Oh kamu Nduk,” kata Patik melihat Dayu sudah berada di depannya pagi ini.“Aku bawakan sarapan Paman, Ibu membuat pecel kembang turi kesukaanmu,” kata Dayu menyerahkan bungkusan daun jati ke tangan Patik.“Terima kasih, seharusnya kamu tidak usah repot. Awan belum mandi, tunggulah di sini,” kata Patik membuat Awan bergegas ke kamar mandi yang disebut pakiwan oleh Patik.Bangunan segi empat tanpa atap, berisi pancuran untuk mandi.Kakinya sudah membaik. Kepalanya sudah tak sepening kemarin. Sepertinya dia harus pelan-pelan menelaah apa yang terjadi di sini.Sesudah memakan sarapannya Awan menemui Dayu yang duduk di kursi panjang di emperan rumah.“Kamu sudah membaik?” tanya Dayu begitu Awan duduk di sampingnya.“Lumayan,” jawab Awan singkat.“Kamu ingin berj
Baca selengkapnya

Perjalanan Menemukan Ingatan

Perjalanan Menemukan IngatanPagi sekali Dayu sudah tiba di rumah. Patik yang sedang menyapu halaman terkejut karena Dayu sudah membawa bungkusan baju siap untuk bepergian.“Nduk, kita tidak akan berangkat hari ini. Aku harus mempersiapkan uang saku dan lain-lainnya. Aku juga harus bilang pada Ayahmu untuk berpamitan dan menitipkan rumah ini,” kata Patik membuat Dayu kehilangan semangatnya.“Paman ikut?” tanya Dayu memastikan.“Iya, kalian tidak boleh melakukan perjalanan hanya berdua saja,” kata Patik tegas.“Baiklah,” kata Dayu pasrah seraya duduk di emper.“Kalian ini dari dulu memang selalu saja suka bikin aku jantungan,” kata Patik dambil melirik Dayu yang kini tertawa.“Ah, Paman saja yang terlalu cemas terhadap kami,” sergah Dayu disela tawanya.“Ya sudah, tunggu di sini. Kita akan berangkat ke rumahnu sebentar lagi. Awan mungkin sedang bersiap,” kata Patik diangguki oleh Dayu.Awan keluar dari dalam rumah dengan heran mel
Baca selengkapnya

Perlahan Tapi Pasti

Setelah merasa cukup beristirahat mereka melanjutkan perjalanan. Mereka harus sampai di padukuhan sebelah sebelum malam. Patik mempertimbangkan Dayu yang ikut mereka, sebisa mungkin tidak bermalam di alam terbuka. “Paman, kira-kira berapa lama kita akan sampai di tujuan?” tanya Dayu memecah kebisuan di antara mereka. “Aku juga tidak tahu Nduk, kita masih harus menyusuri hutan itu dan melewati gunung,” kata Patik membuat Dayu membayangkan betapa jauhnya itu. “Aku terpaksa mengajakmu, karena aku merasa kamu bisa membantuku menahan gejala yang terjadi saat pikiranku bergejolak,” Awan berterus terang, membuat Dayu berhenti melangkah karena kaget. “Maksudmu?” tanya Dayu setelah kembali menyejajarkan diri dengan Awan. “Aku kesulitan mengatasi pertautan pikiranku dengan kenyataan yang sekarang aku hadapi, tubuhku menolak dengan semua
Baca selengkapnya

Penolakan

Entah bagaimana akhirnya Dayu dan Awan kembali ke bilik masing-masing dengan perasaan yang tak karuan.Bagi Dayu ini semacam penolakan dengan berbagai alasan. Kenyataan bahwa rasa sakit saat diabaikan itu nyatanya lebih perih lagi. Namun, dengan semua tekadnya, dan seperti apa yang dikatakannya, dia tak akan menghadirkan penyesalan apapun untuk pilihannya.Awan kini bahkan semakin berperang batin. Rasa yang seakan akrab saat bercakap dengan Dayu, dan rasa nyaman itu bahkan membuatnya tak bisa lagi mengelak. Kenyataan bahwa hidupnya kini berubah dan logika akal sehatnya masih belum bisa bertemu. Penolakan demi penolakan pada akalnya membuat pening kembali mendera. Tarik menarik kenyataan dan logika yang sedang dipertahankannya membuat tubuhnya kembali bereaksi berlebihan.Pukul berapa akhirnya mereka memejamkan mata, pagi ini terbangun dengan ketukan pintu.“Bangunlah, sudah pagi, kita harus melanjutkan perjalanan,” kata Patik membuat Awan membuka matanya
Baca selengkapnya

Mungkin Begini Lebih Baik

“Maaf bila sikap dan keterus teranganku malah membuat jengah,” kata Awan.“Bukan, bukan salahmu. Mungkin hanya aku yang terlalu terbawa suasana,” kata Dayu seraya mencoba tersenyum.“Berjanjilah tak akan lagi memikirkan perasaanku. Lakukan apa yang membuatmu nyaman. Aku tak akan mengharapkan lebih dari sekedar menjadi obat untukmu,” lanjut Dayu semakin membuat Awan merasa tak enak.Tipe gadis yang akan melakukan apapun untuk orang dicintainya seperti Dayu selalu membuat Awan tak bisa bernapas lega. Kini, dia yang mengalaminya sendiri. Inilah yang membuat Awan selalu menghindar terlibat dalam romansa. Jengah yang hadir malah membuat mereka berjeda.“Aku bahkan tak tahu harus bagaimana. Aku bukan menolakmu. Aku bukan tak memikirkanmu. Aku hanya menghindari hal buruk yang mungkin terjadi nanti,” kata Awan mencoba berkompromi dengan perasaannya sendiri.“Jangan pikirkan nanti. Aku tak akan menyesali apapun yang akan terjadi. Aku memikirkan yang sekarang. Ak
Baca selengkapnya

Dua Ingatan

Awan menahan teriakannya. Sesaat setelah Dayu memeluknya, perasaannya mulai mengendap. Ingatan yang sedari tadi mencoba keluar dari pikirannya, seolah mulai menjalari otaknya dengan pelan. Kilatan saat dia menyusuri sungai dan mengukur berapa banyak batu yang bisa dia pergunakan untuk membendung sungai itu perlahan memenuhi pikirannya. Rasanya tak asing. Dayu mulai menangis. Membuat Awan tersadar dan mengendurkan pelukannya. “Maaf,” bisik Awan lirih. “Jangan meminta maaf. Tenangkan saja dirimu. Aku tak bisa melihatmu kesakitan seperti tadi,” kata Dayu melepaskan pelukannya dan menyusut air matanya. Awan masih mencerna ingatan yang mendadak jernih tentang dirinya di masa ini. Kalau benar dia berada di sini, dan juga di sana, berarti dia berada di dua dunia yang berbeda secara bersamaan. Bagaimana bisa?   Awan kembali meraih lontar itu, kembali menyimak isinya, dan benar it
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123
DMCA.com Protection Status