Ketukan pintu membangunkan Awan. Patik terlihat bergegas keluar dari dapur.
“Oh kamu Nduk,” kata Patik melihat Dayu sudah berada di depannya pagi ini.
“Aku bawakan sarapan Paman, Ibu membuat pecel kembang turi kesukaanmu,” kata Dayu menyerahkan bungkusan daun jati ke tangan Patik.
“Terima kasih, seharusnya kamu tidak usah repot. Awan belum mandi, tunggulah di sini,” kata Patik membuat Awan bergegas ke kamar mandi yang disebut pakiwan oleh Patik.
Bangunan segi empat tanpa atap, berisi pancuran untuk mandi.
Kakinya sudah membaik. Kepalanya sudah tak sepening kemarin. Sepertinya dia harus pelan-pelan menelaah apa yang terjadi di sini.
Sesudah memakan sarapannya Awan menemui Dayu yang duduk di kursi panjang di emperan rumah.
“Kamu sudah membaik?” tanya Dayu begitu Awan duduk di sampingnya.
“Lumayan,” jawab Awan singkat.
“Kamu ingin berjalan-jalan? Suasana sekitar sini sudah banyak berubah setelah 10 tahun kamu pergi,” kata Dayu seraya berdiri.
Awan gamang. Tetapi sepertinya dia harus mengenal tempat ini. Agar ingatannya bisa merefleksikan apa yang sebenarnya terjadi. Dia berdiri, menghampiri Dayu yang lebih dulu berjalan ke halaman.
Mereka menyusuri jalan setapak di tepi hutan.
“Dulu, kita sering masuk ke sana mencari jamur, lalu Paman Patik akan marah kalau kita terlalu jauh masuk ke dalam,” kata Dayu sambil terkekeh mengingat kelakuan mereka dahulu.
“Apakah dulu aku juga seaneh ini?” tanya Awan.
“Kamu selalu aneh bagiku. Dulu, kamu terus mengatakan akan mencari ilmu yang bisa membuatmu memutar waktu. Dan akan menjaga Ibundamu agar tetap hidup,” kata Dayu.
“Ilmu memutar waktu?” tanya Awan heran.
“Iya, kamu selalu mengatakan itu saat bersamaku, sampai aku kesal. Kamu bilang, akan membuat keadaan baik-baik saja dengan memutar kembali waktu ke masa Ayahandamu masih ada,” lanjut Dayu.
“Kita duduk di sana,” kata Dayu menunjuk batu besar di pinggir sungai.
“Dulu kita sering menghabiskan sore di sini. Kamu mencari ikan dan aku menunggumu di sini,” lanjut Dayu membuat Awan mengernyitkan dahinya.
Awan berhenti berjalan matanya bersibobrok dengan bayangan hitam bermata merah di balik pohon di hutan.
“Hei tunggu!” teriak Awan bergegas ke arah bayangan itu berada.
Tetapi bayangan itu sudah tak terlihat lagi. Awan menggosok matanya, tetap tak ditemukannya bayangan itu.
“Ada apa?” tanya Dayu saat Awan terlihat kebingungan.
“Apa kamu melihat sesosok bermata merah di sana tadi?” tanya Awan seraya mengedarkan pandangannya.
“Tidak, tidak ada siapa-siapa di sana,” kata Dayu menunjuk pepohonan lebat itu.
Awan memegang kepalanya yang kembali pening.
“Bantu aku duduk,” desis Awan membuat Dayu memapah Awan ke batu besar itu.
Awan menyandarkan tubuhnya, mengatur nafasnya dan menjernihkan pikirannya. Jelas dia melihat bayangan itu. Berdiri mengawasinya. Kemana dia menghilang? Yang lebih penting adalah siapa dia? Pikiran Awan berkecamuk.
“Kamu kenapa sih? Kamu bukan seperti kamu,” tanya Dayu membuat Awan menghela nafasnya berat.
“Aku sendiri tak tahu dengan yang sedang terjadi. Aku tidak berasal dari sini. Aku tidak punya ingatan tentang Pangeran atau siapapun itu,” papar Awan membuat Dayu melotot.
“Kamu bicara apa sih?” Dayu tak paham dengan ucapan Awan.
“Lihat aku, apa aku memang Pangeran atau orang yang kamu maksud?” kata Awan.
Dayu kemudian menatap Awan tajam. Tangan meraih wajah Awan dan membingkainya.
“Ini wajahmu. Ini masih raut mukamu saat kamu sedih, dan aku tahu ini kamu,” kata Dayu membuat Awan jengah.
Tetapi entah kenapa ada perasaan dingin menjalar dan meredakan gejolak perasaannya. Kepalanya berhenti berdenyut saat tangan Dayu menyentuh kulitnya.
Dayu kemudian duduk di dekat Awan. Gadis ini bahkan tak jengah seperti kebanyakan gadis di masa lalu yang menjaga jarak dengan laki-laki.
“Kamu tahu, setelah kepergianmu aku merasa sepi. Tak ada yang mengejarku saat aku berlarian di sepanjang jalan itu,” kata Dayu membuat kepala Awan kembali berdenyut.
“Maukah kamu menemaniku ke bukit yang katanya tempat bersemayan Resi yang di cari oleh Pangeran itu?” Dayu menoleh dan menatap Awan heran karena menyebut dirinya sendiri Pangeran itu.
“Itu sangat jauh, aku bahkan tidak tahu tempatnya,” kata Dayu.
“Tapi kalau itu bisa membawa kita berpetualang, aku akan sangat senang. Aku akan membujuk Ayah dan Ibu untuk mengijinkanku pergi,” kata Dayu lebih lanjut.
“Kalau itu bisa membuatku membuktikan sesuatu, kita akan ke sana,” kata Awan.
Dayu berdiri dan mengulurkan tangannya, memberi tanda pada Awan untuk berdiri. Awan meraih tangan itu dan kembali merasakan perasaan ganjil yang menentramkan. Sepertinya gadis ini mempunyai andil dalam kenyataan ini.
Mereka berjalan kembali pulang ke rumah.
“Aku pulang dulu, besok aku akan mengabarimu tentang ijin Ayah dan Ibu,” kata Dayu seraya mengembangkan senyumnya.
“Baiklah,” kata Awan seraya memperhatikan gadis itu sampai menghilang di belokan jalan.
“Pangeran dari mana saja?” tanya Patik begitu Awan memesuki halaman.
“Dayu mengajakku melihat sekeliling,” kata Awan seraya duduk di kursi panjang di emperan.
“Apakah kamu tahu arah mana bukit yang didatangi oleh Pangeranmu itu?” tanya Awan membuat Patik mengernyitkan dahinya.
“Ah maksudku arah mana aku harus pergi kalau ingin ke bukit itu,” Awan meralat kalimatnya.
“Oh itu, Pangeran berjalanlah ke selatan, kemudian mengikuti jalan sepanjang tepi hutan itu. Nanti setelah bertemu dengan desa, Pangeran bisa bertanya tentang bukit itu kepada penduduk di sana. Tanyakan saja tentang bukit yang dihuni oleh seorang Resi,” papar Patik.
“Apakah Pangeran akan ke sana lagi?” lanjut Patik khawatir.
“Aku harus memastikan tentang sesuatu,” kata Awan membuat Patik mengangguk.
“Apakah harus saya temani?” tanya Patik.
“Tidak, aku mengajak Dayu untuk pergi bersamaku,” kata Awan membuat Patik terkejut.
“Pangeran yakin? Tidak baik pemuda berkelana dengan seirang gadis tanpa ikatan,” kata Patik membuat Awan tersadar.
Ini bukan jaman modern, dan Awan lupa kenyataan itu hingga tak berpikir sejauh itu.
“Tapi aku memerlukan Dayu,” kata Awan mencoba membuat Patik mengerti.
“Kalau begitu kita akan pergi bertiga,” kata Patik memutuskan.
“Tapi—“ Awan menggantung kata-katanya karena bingung harus berkata apa.
“Kita pergi bertiga, atau Pangeran tidak boleh pergi bersama Dayu,” jawab Patik tegas.
“Baiklah,” kata Awan menyerah.
Mungkin memang dia harus membawa Patik juga untuk menjaga kalau dia tidak bisa memahami tentang apa yang akan dihadapinya nanti.
“Baik, aku akan meyiapkan perbekalan kita. Besok, aku akan menjual sebagian panenan untuk tambahan uang saku kita selama perjalan,” kata Patik lagi-lagi membuat Awan sadar, bahwa ini berbeda dengan dunia modern yang ditinggalinya.
Patik mengamati Awan yang seolah sedang memikirkan sesuatu. Kalau dengan pergi ke bukit itu lagi bisa membuat Pangerannya kembali ingat dengan dirinya dan semuanya, maka dia akan menemaninya ke sana.
Perjalanan Menemukan IngatanPagi sekali Dayu sudah tiba di rumah. Patik yang sedang menyapu halaman terkejut karena Dayu sudah membawa bungkusan baju siap untuk bepergian.“Nduk, kita tidak akan berangkat hari ini. Aku harus mempersiapkan uang saku dan lain-lainnya. Aku juga harus bilang pada Ayahmu untuk berpamitan dan menitipkan rumah ini,” kata Patik membuat Dayu kehilangan semangatnya.“Paman ikut?” tanya Dayu memastikan.“Iya, kalian tidak boleh melakukan perjalanan hanya berdua saja,” kata Patik tegas.“Baiklah,” kata Dayu pasrah seraya duduk di emper.“Kalian ini dari dulu memang selalu saja suka bikin aku jantungan,” kata Patik dambil melirik Dayu yang kini tertawa.“Ah, Paman saja yang terlalu cemas terhadap kami,” sergah Dayu disela tawanya.“Ya sudah, tunggu di sini. Kita akan berangkat ke rumahnu sebentar lagi. Awan mungkin sedang bersiap,” kata Patik diangguki oleh Dayu.Awan keluar dari dalam rumah dengan heran mel
Setelah merasa cukup beristirahat mereka melanjutkan perjalanan. Mereka harus sampai di padukuhan sebelah sebelum malam. Patik mempertimbangkan Dayu yang ikut mereka, sebisa mungkin tidak bermalam di alam terbuka.“Paman, kira-kira berapa lama kita akan sampai di tujuan?” tanya Dayu memecah kebisuan di antara mereka.“Aku juga tidak tahu Nduk, kita masih harus menyusuri hutan itu dan melewati gunung,” kata Patik membuat Dayu membayangkan betapa jauhnya itu.“Aku terpaksa mengajakmu, karena aku merasa kamu bisa membantuku menahan gejala yang terjadi saat pikiranku bergejolak,” Awan berterus terang, membuat Dayu berhenti melangkah karena kaget.“Maksudmu?” tanya Dayu setelah kembali menyejajarkan diri dengan Awan.“Aku kesulitan mengatasi pertautan pikiranku dengan kenyataan yang sekarang aku hadapi, tubuhku menolak dengan semua
Entah bagaimana akhirnya Dayu dan Awan kembali ke bilik masing-masing dengan perasaan yang tak karuan.Bagi Dayu ini semacam penolakan dengan berbagai alasan. Kenyataan bahwa rasa sakit saat diabaikan itu nyatanya lebih perih lagi. Namun, dengan semua tekadnya, dan seperti apa yang dikatakannya, dia tak akan menghadirkan penyesalan apapun untuk pilihannya.Awan kini bahkan semakin berperang batin. Rasa yang seakan akrab saat bercakap dengan Dayu, dan rasa nyaman itu bahkan membuatnya tak bisa lagi mengelak. Kenyataan bahwa hidupnya kini berubah dan logika akal sehatnya masih belum bisa bertemu. Penolakan demi penolakan pada akalnya membuat pening kembali mendera. Tarik menarik kenyataan dan logika yang sedang dipertahankannya membuat tubuhnya kembali bereaksi berlebihan.Pukul berapa akhirnya mereka memejamkan mata, pagi ini terbangun dengan ketukan pintu.“Bangunlah, sudah pagi, kita harus melanjutkan perjalanan,” kata Patik membuat Awan membuka matanya
“Maaf bila sikap dan keterus teranganku malah membuat jengah,” kata Awan.“Bukan, bukan salahmu. Mungkin hanya aku yang terlalu terbawa suasana,” kata Dayu seraya mencoba tersenyum.“Berjanjilah tak akan lagi memikirkan perasaanku. Lakukan apa yang membuatmu nyaman. Aku tak akan mengharapkan lebih dari sekedar menjadi obat untukmu,” lanjut Dayu semakin membuat Awan merasa tak enak.Tipe gadis yang akan melakukan apapun untuk orang dicintainya seperti Dayu selalu membuat Awan tak bisa bernapas lega. Kini, dia yang mengalaminya sendiri. Inilah yang membuat Awan selalu menghindar terlibat dalam romansa. Jengah yang hadir malah membuat mereka berjeda.“Aku bahkan tak tahu harus bagaimana. Aku bukan menolakmu. Aku bukan tak memikirkanmu. Aku hanya menghindari hal buruk yang mungkin terjadi nanti,” kata Awan mencoba berkompromi dengan perasaannya sendiri.“Jangan pikirkan nanti. Aku tak akan menyesali apapun yang akan terjadi. Aku memikirkan yang sekarang. Ak
Awan menahan teriakannya. Sesaat setelah Dayu memeluknya, perasaannya mulai mengendap. Ingatan yang sedari tadi mencoba keluar dari pikirannya, seolah mulai menjalari otaknya dengan pelan. Kilatan saat dia menyusuri sungai dan mengukur berapa banyak batu yang bisa dia pergunakan untuk membendung sungai itu perlahan memenuhi pikirannya. Rasanya tak asing. Dayu mulai menangis. Membuat Awan tersadar dan mengendurkan pelukannya.“Maaf,” bisik Awan lirih.“Jangan meminta maaf. Tenangkan saja dirimu. Aku tak bisa melihatmu kesakitan seperti tadi,” kata Dayu melepaskan pelukannya dan menyusut air matanya.Awan masih mencerna ingatan yang mendadak jernih tentang dirinya di masa ini. Kalau benar dia berada di sini, dan juga di sana, berarti dia berada di dua dunia yang berbeda secara bersamaan. Bagaimana bisa? Awan kembali meraih lontar itu, kembali menyimak isinya, dan benar it
Dayu terbangun mendapati Awan sudah tidak ada di tempat, begitu juga Patik. Setelah keluar dari bilik dia melihat mereka sudah berkumpul di joglo. Dia segera membersihkan diri ke pakiwan dan menyusul mereka ke joglo.“Maaf aku terlambat bangun,” kata Dayu malu.“Tidak apa-apa Nduk, semalam kamu pasti kelelahan menjaga Awan,” kata Patik.“Kenapa tidak membangunkanku,” desis Dayu di dekat Awan.Awan hanya tersenyum dan mengambilkan wadah untuk Dayu makan.Mereka membereskan setelah selesai makan. Dayu membantu Nyi Demang dan putrinya membawa semua alat ke belakang.“Ki Demang, kami mengucapkan terima kasih banyak sudah menampung kami, dan memaklumi keadaan kami,” kata Patik.“Tidak apa-apa Ki, kami hanya bisa memberikan ini untuk membalas kebaikan Awan kepada kami,” jawab Ki Demang
Sungai yang ditunjukkan Awan benar adanya. Patik mulai menggulung celananya dan masuk ke air untuk mencari ikan yang bisa ditangkapnya.Dayu menggumpulkan ranting kering dan daun kering.“Bagaimana kita akan membuat api?” tanya Dayu.Awan kemudian mengambil dua buah batu dan mulai menggesekkannya. Percikan-percikan api mulai timbul.“Aku masih penasaran bagaimana api bisa ditimbulkan dari batu yang digesekkan,” kata Dayu penasaran.“Karena saat dua benda digesekkan akan menghasilkan panas, nah energi panas itu akan memercik menjadi bunga api dan membakar media yang ada,” papar Awan.“Energi panas? Bunga api? Media?” tanya Dayu bingung.Awan kemudian tersadar kalau dia berbicara dengan orang yang masih awam dengan kata-katanya.“Gosokkan kedua telapak tanganmu,&rdqu
“Raka, sekarang panggil dia Mas Langit, dan dia sedang sakit, sehingga tak bisa mengingat kita. Raka harus membantunya dengan tidak membuat Mas Langit ketakutan ya,” kata Ki Danu.“Kenapa harus berganti nama?” tanya Raka.“Karena ada sesuatu yang tidak boleh kita ketahui. Raka tidak boleh banyak bertanya. Paham?” Beruntung Raka adalah anak yang cerdas sehingga cepat memahami situasinya.Tiba-tiba ada sekumpulan prajurit yang berjalan melewati jalan besar di depan rumah Ki Danu. Patik yang terlihat khawatir membuat Ki Danu tanggap.“Ki, tetaplah di sini. Aku akan melihat kenapa prajurit ke daerah ini. Raka, tolong di rumah bersama mereka ya?” pinta Ki Danu diangguki oleh Raka.Ki Danu berjalan keluar dan mengikuti rombongan prajurit itu bersama warga yang lain. Begitu sampai di banjar padukuhan prajurit itu kemudian ber
Patik, Awan dan Radika berjalan ke arah Kesultanan. Dayu mereka tinggalkan di rumahnya karena nanti pada saatnya akan pergi lagi bersama Awan.Begitu memasuki kota raja, prajurit yang mengenal Radika memberikan penghormatan. Radika hanya mengangguk. Dia belum begitu siap dengan perubahan kedudukan yang akan terjadi pada dirinya sebentar lagi. Bisakah dia?“Pangeran,” sapa prajurit di pintu gerbang Kesultanan.“Aku ingin bertemu dengan Ki Sadewa, katakan padanya untuk menemuiku di pendapa,” kata Radika membuat salah satu dari prajurit itu segera undur diri untuk menyampaikan pesan itu.Radika mengajak Awan dan Patik ke pendapa.“Silakan duduk Kangmas dan Paman Patik, kita menunggu Ki Sadewa,” kata Radika seraya duduk bersama mereka di bawah.Seorang emban datang untuk menanyakan apa yang harus dia suguhkan.“Wah, wah, akhirnya kamu menginjakkan kakimu lagi ke sini,” kata Ki
Resi Sangkala dan Santo sudah berjalan jauh keluar dari hutan dan mulai memasuki daerah yang padat penduduk. Mereka harus berhenti sejenak karena tak ingin menimbulkan kecurigaan. Seharusnya pasukan yang di panggil Ratno bisa mendapati mereka di area ini kalau tidak ada hambatan.Benar dugaan mereka. Dari arah berlawanan sepasukan prajurit datang. Ratno terlihat berada di depan mereka.“Maaf Resi, kami harus menyiapkan Kesultanan dan juga mewartakan kemangkatan Sultan Adiraja sepanjang jalan,” kata Ratno begitu mereka bertemu.“Tak apa. Kami juga baru saja sampai di sini,” kata Resi Sangkala.Setelah merasa cukup beristirahat mereka bergegas untuk kembali ke Kesultanan segera.Beberapa orang mengambil alih tandu yang berisi jenazah Sultan Adiraja. Mereka berjalan beriringan. Sepanjang jalan pedukuhan sudah banyak rakyat yang memberi penghormatan terakhir kepada Sultan mereka. Walaupun banyak kejadian yang tidak
“Awan, kamu urus Dayu, aku akan mengurus Radika. Pastikan peluru itu keluar. Aku hanya mempunyai pinset dan pisau kecil ini, buat luka baru jika tak memungkinkan,” perintah Resi Sangkala sangat jelas.“Apakah kamu punya obat bius Guru?” tanya Awan berharap ada obat bius untuk menghalau rasa sakit yang mungkin timbul.“Sayangnya tak ada. Suruh saja mereka menggigit kain yang kita gulung untuk menahan gemeretak gigi karena kesakitan,” usul Resi Sangkala.Ratno dan Patik tanggap segera mengambil kain di lemari yang di sudut dan mengangsurkan ke Radika dan Dayu yang terlihat menahan sakit dan semakin lemah.“Dayu, dengarkan aku. Dengarkan baik-baik, aku tidak akan membiarkanmu mati. Akan kulakukan semampuku untuk menolongmu. Bekerja samalah denganku,” kata Awan seraya mengangsurkan kain itu ke mulut Dayu.Dengan anggukan lemah Dayu membuka mulutnya dan menggigit kain itu. Awan membalik posis
Patik yang melihat wajah kesal Sultan Adiraja hanya bisa menahan napasnya. Bila ingin membuat semua ini adil, maka harus ada perang tanding. Bukan keroyokan.“Kita akan berperang atau kamu lebih memilih perang tanding?” tawar Patik pada akhirnya.Sultan Adiraja menimbang keputusannya. Bila berperang mungkin dia akan kalah karena Ratno dan Santo belum pada tataran yang bisa disandingkan dengan musuhnya itu. Dia tidak tahu kekuatan Resi Sangkala, Patik juga pasti mempunyai kekuatan yang besar, dilihat dari sikapnya yang tenang. Awan juga terlihat tenang, dia akan menjadi lawan yang seimbang untuk Radika. Walaupun dia tak tahu gadis di samping Awan itu, akan tetapi bila dia ada di sana, kemungkinan besar gadis itu juga mempunyai kekuatan.“Biarkan anak muda yang memperlihatkan bagaimana beradu kekuatan. Aku akan mengajukan Radika untuk berperang tanding dengan Awan,” kata Sultan Adiraja pada akhirnya.Awan yang mendengar
Sapto terengah-engah saat berlari dari pekatnya hutan di malam hari. Keadaan yang mengharuskannya segera menyampaikan pesan itu membuat dia harus berkejaran dengan waktu. Tujuan berada di depan. Orang yang dia cari ternyata sudah jauh pergi dari keramaian.Bulan yang separo mengiringi langkahnya, dengan kecepatan yang di atas rata-rata Sapto seolah tak punya beban tubuh. Tenaganya hampir habis, tapi pesan ini harus tersampaikan sebelum hari berganti.Bukit kecil itu tetap dengan susah payah harus didakinya. Rumah ganjil dan segala sesuatu yang lain di sana sejenak membuat Sapto merasa di dunia lain. Benar kata orang, bahwa bukit ini adalah tempat aneh.Tergesa diketuknya pintu yang sangat ganjil baginya. Tulisan dari arang yang berisi kode-kode aneh dan pegangan pintu yang berisi angka yang sangat asing bagi Sapto.Seseorang membuka pintu. Lelaki tua yang belum terlalu tua.“Ada apa?” tanya lelaki itu.“Saya m
Dayu dengan konsentrasi penuh membuat aliran energinya menyelimuti Awan sehingga dia tak merasakan lagi serangan Patik dan Resi Sangkala. Semakin lama kekuatan Dayu semakin mantap dan berkembang.“Aku menyerah!” teriak Awan kelelahan.Kekuatannya sudah berada diambang batas. Dia merebahkan badannya dan mengangkat tangannya tanda tak kuat lagi melawanPatik dan Resi Sangkala yang juga terengah-engah akhirnya menyelesaikan latihan itu. Mereka berdua kemudian mengatur napas dan berlalu dari ruang bawah itu.“Aku akan masak untuk kalian,” kata Resi Sangkala.“Aku akan memastikan nasinya cukup untuk mengisi tenaganya lagi,” timpal Patik menggoda Awan yang hanya bisa memejamkan mata karena sudah tak sanggup berkata-kata.Dayu kemudian menghampirinya. Duduk di sampingnya dan menatap Awan lekat. Laki-laki ini bahkan tidak mengeluh untuk menerima serangan itu hanya agar dia bisa berkembang. Tanp
Dayu bergabung dengan mereka.“Kekuatanmu itu bisa kamu maksimalkan, kamu hanya perlu berusaha lebih keras. Fokusmu hanya bagaimana kekuatan itu bisa kamu gunakan. Salurkan melalui udara, maka bila kamu bisa mengendalikannya, semuanya akan lebih mudah bagimu,” kata Resi Sangkala.Dayu hanya mengangguk dan menghela napasnya. Semoga dia bisa memenuhi harapan Gurunya itu. Keinginannya agar bisa menjadi berguna dan membantu Awanlah yang membuat tekatnya semakin besar.Sultan Adiraja sedang mondar-mandir di ruangannya. Memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi bila benar Awan bisa kembali dari dunia lain itu. Dia bahkan tidak tahu apa yang Awan bawa kemari, bisa saja dia membawa benda yang lebih berbahaya dari Barretanya. Mengingat Awan sangat lama di dunia itu.Pintu kamarnya diketuk, membuatnya tersentak kaget.“Siapa ?” tanya Sultan Adiraja gusar.“Hamba Ayah, Radika.” Suara berat terdeng
Dayu sangat bersemangat menjalani hari itu. Karena dia akan mempelajari hal baru dan mengembangkan yang dia punya. Dia bahkan bersemangat membantu Awan menata meja makan yang masih asing baginya itu.Patik dan Awan bergantian membersihkan diri. Patik yang juga merasa aneh dengan keadaan kamar mandi itu mencoba memahaminya. Semua kemajuan yang ada di rumah ini bahkan membuatnya takjub.“Aku akan memulai dengan melihat kemampuanmu nanti. Tapi jangan terlalu terburu-buru, kita akan memulai dengan pelan-pelan,” kata Resi Sangkala kepada Dayu.“Baik Resi,” jawab Dayu khidmat.“Panggil aku Guru, hahaha.” Resi Sangkala tertawa sendiri.“Baiklah Guru,” jawab Dayu rikuh.“Kamu harus memanfaatkan kesempatan ini untuk belajar banyak,” kata Patik.Awan hanya mengangguk-angguk seraya mengunyah makanan, perutnya lapar karena harus menguras tenaga untuk latihan tadi.Se
Awan masih menggulung dirinya di dalam selimut, hawa dingin perbukitan membuatnya enggan untuk bangun. Sementara itu Patik sudah bersama Resi Sangkala di halaman rumah. Dayu sibuk mengagumi benda bulat seperti baling-baling itu.“Resi bukan berasal dari dunia ini?” tanya Patik penasaran.“Benar Ki, aku berasal dari dunia dengan jaman yang sudah maju. Itulah kenapa semua yang kamu lihat di sini berbeda dengan yang ada di dunia ini,” kata Resi Sangkala membuat Patik mengangguk.“Di sana sudah ditemukan listrik yang bisa menghidupkan lampu tanpa minyak. Atap itu, menangkap cahaya matahari untuk dijadikan energi yang bisa menghasilkan listrik itu.” Resi Sangkala menunjuk ke arah atap yang berbentuk kerucut dan mengkilap itu.“Listrik?” tanya Patik heran.“Iya semacam api yang menghasilkan panas, maka cahaya matahari yang diserap atap itu menghasilkan energi yang bernama listrik.”