Share

Bab 3

Dengan penuh kemarahan, tanganku gemetar saat mencoba menelepon ulang Sheldon. Namun kali ini, menara kontrol benar-benar memutuskan semua komunikasi dengan pesawat kami. Bukan hanya Sheldon yang tidak mau membantu, aku juga tak bisa lagi menghubungi rekan-rekan lainnya untuk meminta pertolongan.

Pesawat terus berguncang hebat. Suara ribut, teriakan, dan tangisan dari kabin penumpang terdengar hingga ke dalam kokpit. Ketika seorang pramugari masuk, suara makian penumpang pun terdengar jelas.

"Pesawat macam apa ini? Apa aku akan mati di sini hari ini?"

"Aku dengar ini semua karena masalah pribadi si pilot! Gila, perempuan sialan ini menyeret kita semua ke dalam bencana!"

"Apa lagi yang dia tunggu? Cepat keluar untuk minta maaf!"

Bahkan ada yang memaki putriku, "Katanya anak ini anak pilot! Kalau bukan karena dia, kita nggak akan mengalami kecelakaan ini!"

Namun, ada juga yang masih berpikir jernih dan mencoba menenangkan yang lain, "Tolong jaga sikap kalian! Kita semua belum mati, 'kan? Kita harus percaya sama pilot!"

Semua ucapan mereka, berbagai ekspresi dan sikap manusia, semuanya tampak jelas di saat genting seperti ini.

Dengan suara gemetaran, pramugari berkata, "Bu Jeanette, situasi di luar semakin sulit dikendalikan ...."

Aku menatap panel instrumen yang penuh dengan tombol dan indikator, lalu menarik napas panjang dan menoleh ke kopilot, "Hector, kita hanya bisa mengandalkan diri kita sendiri."

Wajah Hector pucat pasi dan berkeringat deras.

"Kau siap?" tanyaku. Dia menarik napas dalam, lalu menatapku dengan mantap dan mengangguk, "Siap."

Kami benar-benar telah ditinggalkan oleh menara kontrol. Agar tidak mengganggu penerbangan lain dan tidak mengacaukan jalur mereka, aku memutuskan untuk terbang ke arah perairan yang tak dilalui rute penerbangan biasa.

Dengan penuh perjuangan, kami berhasil menghindari badai petir dan akhirnya mendarat darurat di lautan dengan selamat.

Di saat-saat terakhir itu, hampir semua penumpang yang tadinya mencaci maki kini telah terdiam. Semua orang menutup mata. Ada yang diam, ada yang menangis, semuanya seolah-olah tengah menunggu "kematian" menghampiri mereka.

Namun, saat pesawat berhasil mendarat dengan aman di permukaan laut, seluruh penumpang langsung berdiri. Mereka membungkuk hormat padaku. Tiga ratus enam puluh nyawa di pesawat ini. Semua selamat, kecuali putriku.

Di rumah sakit, aku menatap tubuh putriku yang kini tertutup kain putih lekat-lekat. Emosi yang telah lama kutahan akhirnya pecah. Mataku memerah dan aku tak mampu lagi menahan isak tangis. Tak pernah terbayangkan olehku bahwa aku berhasil menyelamatkan lebih dari 300 orang, termasuk diriku sendiri. Namun, aku justru kehilangan putriku sendiri.

Hector menghela napas panjang dan mencoba menenangkanku, "Bu Jeanette, di luar sudah banyak wartawan yang menunggu untuk mewawancarai Anda. Bagaimana kalau Anda keluar dulu, biar saya yang urus anak Anda di sini ...."

Aku mengusap air mataku, lalu memegang tangan putriku yang kini dingin dan kaku. Setelah menguatkan diri, aku beranjak keluar. Namun di tengah jalan, aku bertemu dengan Sheldon dan Wina.

Begitu melihatku, Sheldon langsung tertawa dingin, "Lihat siapa yang datang, sang pilot heroik. Jadi, bukannya tadi bilang anak kita sudah mati? Anak kita sudah mati, tapi kamu masih punya waktu untuk diwawancarai?"

Amarahku membuncah hingga ke ubun-ubun. Tanpa berpikir panjang, aku langsung maju dan mencengkeram kerah bajunya sambil berteriak marah, "Sheldon, kamu ngomong apaan! Itu anak kandungmu!"

Sheldon menepis tanganku dengan tawa dingin, "Anak kandung apaan? Anak itu sama sepertimu, egois dan munafik! Memang benar kata pepatah, 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya'. Punya ibu seperti kamu, nggak heran kalau dia tumbuh jadi pembohong yang menjijikkan!"

Tubuhku gemetar hebat karena marah dan wajahku semakin pucat. Aku nyaris tak mampu berdiri tegak, tetapi Sheldon tidak peduli. Dia justru merangkul Wina dengan lembut, lalu berkata dengan penuh perhatian, "Wina terlalu baik, sampai-sampai bisa kamu perlakukan seperti ini ...."

Aku tertawa getir, "Sheldon, kamu tahu nggak, putri kita benar-benar sudah tiada ...."

Sheldon hanya tertawa sinis, "Mati? Bagus sekali! Aku malah berharap dia pergi jauh, jadi kalian berdua nggak bisa lagi mengganggu Wina!"

Dendam dalam hatiku semakin membara, "Sheldon, jangan menyesal."

Dia hanya tertawa remeh, "Kalau aku sampai menyesal, kupotong kepalaku untuk dijadikan bola."

Baru saja dia selesai bicara, seorang perawat datang tergesa-gesa dari ujung lorong, "Bu Jeanette, surat kematian putri Anda sudah kami siapkan. Tolong segera hubungi pihak pemakaman agar jenazah anak Anda bisa segera diurus."

Wajah Sheldon berubah pucat seketika.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Chantiqa Chiqa
sdh tau laki selingkuh, bukan cerai malah bertahan. sampah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status