Dimas tak tahu sudah berapa lama ia berada di dalam.
Lorong lantai tiga belas itu... tidak seperti lantai biasa. Panjangnya tidak masuk akal. Saat ia berjalan, langkahnya menggema, tapi dinding tak pernah mendekat. Setiap beberapa meter, cahaya lampu di atas berkedip—ritmis, seakan berdetak. Detak… yang perlahan menyerupai suara jantung. Bukan jantungnya. Seseorang… atau sesuatu… sedang hidup di lorong ini. Ia menoleh ke belakang—pintu masuk telah menghilang. Dinding di belakangnya kini menyatu seperti tak pernah ada pintu di sana. “Tenang... tenang... ini cuma... bangunan tua…” gumam Dimas, mencoba menenangkan diri. Tapi jantungnya justru berdebar lebih keras saat terdengar suara lain… langkah kaki yang bukan miliknya. Berat, lambat, berulang. Dimas berhenti. Langkah itu juga berhenti. Ia mulai berlari. Dan di tengah lari itu, ia melihatnya—ruang 1313. Pintu itu terbuka sedikit. Lampu di dalamnya berpendar merah. Tapi kali ini, ada suara dari dalam. Bukan jeritan. Bukan tawa. Doa. Seseorang sedang berdoa dalam bahasa yang asing. Berulang-ulang. Dengan nada memohon… atau memperingatkan? Dimas mendorong pintu. Suara berhenti. Ruangan itu kosong. Hanya ada ranjang… dan cermin tinggi yang diselubungi kain putih kotor. Dimas mendekat perlahan. Hawa dingin menusuk kulitnya, seolah ruangan ini bukan di dunia yang sama lagi. Ia menarik kain itu. Dan melihat dirinya sendiri di cermin. Tapi pantulan itu… tidak bergerak. Wajahnya tampak lebih pucat. Matanya merah. Bibirnya tersenyum… sendiri. Dimas memundurkan diri. Tapi pantulan itu tetap berdiri. Lalu, ia melihat sesuatu muncul di belakang pantulan, dari sudut cermin. Sosok gelap… tinggi… wajahnya tertutup rambut. Tangannya panjang dan patah, menempel ke lantai. Dan perlahan… sosok itu muncul di belakang Dimas. Bukan di cermin. Di dunia nyata. Napas Dimas memburu. Ia tak berani menoleh. Tapi ia mendengar bisikan: “Kamu sudah terlalu jauh... terlalu dalam... keluar tidak akan mudah.” Seketika lampu padam. Semua menjadi hitam pekat. Hanya suara yang tersisa—napas berat, suara kaki diseret, dan suara-suara lain. Banyak. Seperti satu rumah sakit penuh makhluk bergentayangan kini berada di lorong itu. Dimas berlari membabi buta, menyusuri lorong tanpa ujung, berteriak minta tolong. Tapi suara teriakannya terpantul kembali seperti gema—atau lebih tepatnya, ditertawakan. Saat ia berhenti, kelelahan dan ketakutan, ia menyadari satu hal: Lorong itu… berulang. Ia selalu kembali ke titik yang sama: cermin tinggi di ruang 1313. Dan setiap ia kembali, pantulannya berubah. Wajahnya kini rusak—mata robek, kulit melepuh, bibir menganga penuh cacing. Di kali keempat ia kembali ke ruangan, ia melihat pantulannya berdiri di luar cermin, menatapnya dari belakang. “AKU... DI DALAM SINI…” tulis pantulan itu di permukaan cermin dengan darah. --- Sementara itu, di lantai bawah, dokter kepala rumah sakit mulai menyelidiki keanehan yang terus meningkat. Tiga perawat menghilang dalam seminggu. Seorang pasien ditemukan tergantung di kamar mandi tanpa ada alat bantu apa pun. Dan catatan kepegawaian kembali rusak—nama-nama staf yang dulunya ada, kini dicoret otomatis. Tapi yang paling aneh adalah laporan dari anak magang yang sedang bersih-bersih gudang arsip. Ia menemukan lemari tua, terkunci. Saat dibuka, di dalamnya hanya ada satu benda: Foto besar berbingkai. Gambar seorang perawat perempuan berdiri di depan cermin. Rambutnya menutupi wajah. Tapi di permukaan cermin, ada tulisan: “Lantai 13 harus tetap terkunci.” Di bawahnya ada cap nama: Sinta A. --- Kembali di lorong atas, Dimas mulai kehilangan arah. Ruang dan waktu tidak lagi masuk akal. Ia mendengar suara ibunya memanggil dari balik pintu. Lalu suara anak kecil tertawa. Lalu dirinya sendiri… menyanyi lagu masa kecil yang tidak pernah ia nyanyikan lagi sejak SD. Semuanya berputar di kepalanya. Ia jatuh berlutut. Menangis. Tapi lalu… ia mendengar suara seseorang mendekat. Langkah ringan. Kunci berdering. Dan dari kegelapan, muncul seseorang membawa lampu petromaks. “Sinta…?” bisik Dimas. Perempuan itu menatapnya. Tapi kali ini, mata Sinta terlihat normal. Lelah. Dan… sedih. “Dimas… kamu harus pergi. Sebelum terlalu terlambat.” “Terlambat apa?!” Sinta menunduk. “Karena kamu sudah mulai jadi bagian dari lantai ini. Semakin lama kamu di sini, semakin kecil kemungkinan kamu pulang.” “Tapi aku mau nolong kamu!” Dimas setengah berteriak. Sinta menggeleng. Air mata menetes di pipinya. “Aku sudah tidak bisa ditolong. Tapi kamu masih bisa keluar. Ambil jalur belakang. Lewat lorong pendingin. Tapi jangan menoleh... apa pun yang kamu dengar.” Sinta menyerahkan petromaks, lalu berbalik. Ia melangkah menjauh, kembali ke dalam bayangan. Sosoknya memudar, seolah menyatu dengan dinding. Dan Dimas berdiri sendiri… di tengah suara-suara yang mulai bergema lagi. Jeritan. Tawa. Bisikan. Dan satu suara yang terus mengulang: “Satu lagi… satu lagi… kita butuh satu lagi.” --- Bab ini berakhir dengan Dimas menemukan pintu besi besar bertuliskan “Ruang Pendingin” dan mulai membuka tuasnya perlahan… saat suara langkah berat dari belakang mulai terdengar lagi. Dan ia ingat pesan Sinta. “Jangan menoleh.”Dimas berdiri membeku di depan pintu besi besar bertuliskan “Ruang Pendingin”. Tangannya menggenggam erat tuas dingin yang berembun, tapi tubuhnya seolah tak sanggup bergerak. Nafasnya menggantung di udara, berasap, meski seharusnya ruangan itu belum terbuka.Di belakangnya, langkah itu kembali terdengar.Berat. Teratur. Menyeret. Makin dekat.Guguk… guguk… gukkk…Dimas memejamkan mata. Ia ingat pesan Sinta:“Jangan menoleh… apapun yang kamu dengar.”Tapi suara itu… kini bukan hanya langkah.Ada suara bisikan—tak jelas kata-katanya, seperti suara orang berbicara dalam mimpi buruk, berulang-ulang, makin cepat, makin bising. Seolah banyak mulut berteriak langsung ke telinganya.“JANGAN MENOLAK… JANGAN MENOLAK… JANGAN MENOLAK…”Ia hampir menoleh. Tapi gigi bawahnya menggigit bibir sampai darah merembes. Ia menahan.Dengan satu hentakan, Dimas memutar tuas. Suara logam tua berderit panjang, dan udara dingin seperti es menyembur keluar. Kabut tebal menyelimuti tubuhnya saat pintu membuka.
Sudah tiga hari sejak Dimas “keluar” dari lorong itu. Tapi ia tahu, dirinya tidak benar-benar kembali. Ada sesuatu yang tertinggal di sana. Atau lebih parah… ada sesuatu yang ikut dengannya ke dunia ini.Setiap malam, Dimas duduk di ruang jaga dengan pandangan kosong. Ia tidak tidur. Ia tak sanggup. Karena tiap kali ia memejamkan mata, ia kembali ke lorong itu. Kembali ke dinding yang bernafas, ke suara jeritan tanpa bentuk, ke cermin yang retak dan senyum miliknya yang bukan miliknya.Dan tiap kali ia bangun… sesuatu berubah.Pertama, bayangannya di cermin tak selalu mengikuti geraknya.Kedua, jam dinding di ruang jaga berhenti pada pukul 03:13 tiap malam, lalu bergerak kembali lima menit kemudian, seolah tak terjadi apa-apa.Ketiga, dan ini yang paling membuatnya takut—orang-orang mulai menghilang.Awalnya hanya rumor. Seorang pasien di lantai 3 yang kabur tanpa jejak. Lalu seorang perawat yang katanya tidak pulang sejak shift malam. Dan pagi ini, kabar terbaru: dr. Rendra, kepala r
Pukul 03.13.Waktu terlarang. Waktu yang seharusnya tak pernah ada.Di rumah sakit ini, jam 03.13 bukan sekadar angka. Ia adalah jeda antara dunia, celah sempit tempat roh-roh tidak tahu mereka sudah mati, tempat lantai 13 menganga menunggu mangsanya.Dan malam ini... waktunya telah tiba.---Dimas duduk di ruang jaga. Tubuhnya lemas, keringat dingin membasahi punggung. Sejak kejadian semalam, ia tidak bisa tidur. Matanya merah, bibirnya kering, dan pikirannya... pecah.Ia tak tahu mana kenyataan, mana bayangan. Ia tak tahu apakah ia masih manusia, atau hanya refleksi yang belum sadar bahwa tubuhnya sudah digantikan.Karena sejak insiden di ruang pendingin itu, ia merasa ringan. Terlalu ringan.Seperti... ia bukan lagi dirinya.Dimas mengusap wajah. Lalu menatap cermin kecil di meja.Bayangannya... mengedipkan mata tanpa ia ikut mengedip.Jantungnya mencelos. Ia menjatuhkan cermin itu ke lantai—pecah berkeping-keping.Dan dari serpihannya, bayangannya muncul di setiap pecahan, semuany
Sinta berdiri di depan gedung tua itu, napasnya menggumpal dalam udara pagi yang dingin. Rumah Sakit Umum Kartika menjulang di hadapannya, dindingnya kelabu kehijauan seperti lumut yang menempel pada ingatan masa lalu. Kota Salaka mungkin kecil dan tenang, tapi rumah sakit ini menyimpan sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang bahkan sebelum ia melangkah masuk.Hari itu adalah hari pertamanya sebagai perawat magang.“Bismillah,” gumamnya, menarik napas panjang. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu kaca yang berat dan langsung disambut aroma khas antiseptik dan karbol yang menusuk hidung.Di dalam, suasana masih sepi. Jam dinding menunjuk pukul 06.30. Beberapa perawat senior lalu-lalang dengan tatapan lesu. Ada sesuatu yang terasa… berat. Seolah rumah sakit ini menahan napas, menyembunyikan sesuatu di balik lorong-lorong panjang dan lampu yang meredup setiap beberapa detik.“Perawat Sinta?” suara wanita paruh baya menyentaknya dari lamunan. “Saya Bu Rini. Kamu ikut saya ke ruan
Sejak kejadian malam itu, Sinta tak pernah benar-benar merasa bangun. Setiap langkahnya di lorong rumah sakit terasa seperti mimpi buruk yang berkepanjangan—sunyi, dingin, dan berat. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang terjadi di lantai tiga belas hanyalah halusinasi akibat kelelahan. Tapi setiap kali ia mencoba melupakan, secarik kertas bernoda darah yang kini tersembunyi di buku catatannya terus mengingatkannya: "Kamu sudah membuka pintunya. Kami akan menjemputmu kembali."Malam berikutnya, ia kembali mendapat shift jaga malam.“Sinta,” suara Bu Rini terdengar biasa saja, seperti tak ada yang terjadi, “malam ini kamu jagain ruang perawatan kelas 1, ya. Pasiennya cuma dua orang. Gampang. Tapi jangan suka jalan-jalan ke lantai lain sendirian, apalagi ke atas. Sudah saya bilang dari awal.”Sinta hanya mengangguk pelan. Ia tahu Bu Rini tidak mempercayai ceritanya. Bahkan mungkin menganggapnya mulai stres. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia benar-benar naik ke lantai itu?
Pagi itu, Sinta berdiri di depan ruang administrasi lama Rumah Sakit Kartika, tangannya gemetar saat memutar kunci lemari arsip yang sudah berkarat. Setelah kejadian semalam, ia tahu satu hal: semua ini tidak normal. Ia tak bisa lagi berpura-pura bahwa yang ia alami hanya mimpi atau akibat kelelahan.Ia butuh jawaban.Dan satu-satunya tempat yang mungkin menyimpannya… adalah di arsip lama, tempat catatan pasien dari puluhan tahun lalu disimpan.Lemari tua itu berderit saat dibuka. Bau lembab dan kertas berjamur langsung memenuhi hidung. Lampu neon di ruangan itu berkedip lemah, seperti enggan menyala terang. Di dalam lemari, ratusan map tersusun tak teratur, sebagian sudah menguning dan rapuh.Sinta mulai menelusuri satu per satu, mencari sesuatu—apa pun—yang bisa memberinya petunjuk tentang lantai tiga belas.Ia bahkan tak yakin lantai itu pernah benar-benar eksis di cetak biru rumah sakit. Tapi malam itu, ia berdiri di depan pintunya sendiri. Tangannya menyentuh rel tangga yang ding
Sinta tidak tahu di mana ia berada. Yang ia ingat hanya cahaya remang, suara detak jam yang menggaung tak henti, dan tubuhnya sendiri—atau setidaknya, sesuatu yang menyerupai tubuhnya—yang terbaring di ranjang ruang 1313.Sekarang, ia berdiri dalam ruangan serba abu-abu. Dinding-dinding kosong tanpa jendela, dan di setiap sisinya… cermin.Cermin yang memantulkan sosoknya, tapi tak seratus persen identik. Di salah satu cermin, ia tampak tersenyum—senyum yang menyeramkan. Di cermin lain, ia menangis darah. Dan di pojok kanan… ia melihat dirinya sendiri berdiri dengan kepala tertunduk dan rambut menutupi wajah, seperti mayat hidup.Sinta mundur, panik. Tapi lantai di bawahnya terasa seperti lumpur, setiap langkah terasa berat dan lengket. Suaranya menggema, dan untuk pertama kalinya, ia sadar...Ia bukan satu-satunya yang ada di sini.Seseorang—atau sesuatu—mengawasinya dari dalam cermin.Bukan bayangannya. Tapi makhluk lain.Makhluk itu tak berkedip, matanya hitam pekat seperti lubang t
Rumah Sakit Kartika mulai berubah.Bukan secara fisik—lantai, dinding, dan koridornya masih terlihat sama. Tapi ada sesuatu di udara, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Bau obat-obatan digantikan aroma besi karat dan tanah basah. Cahaya matahari yang biasanya menyelinap melalui jendela pagi, kini terasa dingin. Redup.Dan yang paling terasa… adalah suasana. Ketegangan. Sunyi yang tidak wajar.Seluruh staf merasakannya, meskipun mereka tak mengatakannya secara langsung.Termasuk Dimas.Sudah tiga hari berlalu sejak Sinta menghilang. Tidak ada kabar, tidak ada laporan polisi, dan yang paling mengganggu: tidak ada yang mengingat keberadaan Sinta dengan pasti. Data dirinya seperti menguap. Beberapa orang bahkan bertanya, “Sinta siapa ya?”Dimas tahu dia tidak gila.Ia melihat sendiri wajah Sinta. Mendengar ceritanya. Membaca arsip dengan tangan sendiri. Tapi kini, semua itu seperti ilusi.Dan pagi itu, ia melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.Di papan shift ruan
Pukul 03.13.Waktu terlarang. Waktu yang seharusnya tak pernah ada.Di rumah sakit ini, jam 03.13 bukan sekadar angka. Ia adalah jeda antara dunia, celah sempit tempat roh-roh tidak tahu mereka sudah mati, tempat lantai 13 menganga menunggu mangsanya.Dan malam ini... waktunya telah tiba.---Dimas duduk di ruang jaga. Tubuhnya lemas, keringat dingin membasahi punggung. Sejak kejadian semalam, ia tidak bisa tidur. Matanya merah, bibirnya kering, dan pikirannya... pecah.Ia tak tahu mana kenyataan, mana bayangan. Ia tak tahu apakah ia masih manusia, atau hanya refleksi yang belum sadar bahwa tubuhnya sudah digantikan.Karena sejak insiden di ruang pendingin itu, ia merasa ringan. Terlalu ringan.Seperti... ia bukan lagi dirinya.Dimas mengusap wajah. Lalu menatap cermin kecil di meja.Bayangannya... mengedipkan mata tanpa ia ikut mengedip.Jantungnya mencelos. Ia menjatuhkan cermin itu ke lantai—pecah berkeping-keping.Dan dari serpihannya, bayangannya muncul di setiap pecahan, semuany
Sudah tiga hari sejak Dimas “keluar” dari lorong itu. Tapi ia tahu, dirinya tidak benar-benar kembali. Ada sesuatu yang tertinggal di sana. Atau lebih parah… ada sesuatu yang ikut dengannya ke dunia ini.Setiap malam, Dimas duduk di ruang jaga dengan pandangan kosong. Ia tidak tidur. Ia tak sanggup. Karena tiap kali ia memejamkan mata, ia kembali ke lorong itu. Kembali ke dinding yang bernafas, ke suara jeritan tanpa bentuk, ke cermin yang retak dan senyum miliknya yang bukan miliknya.Dan tiap kali ia bangun… sesuatu berubah.Pertama, bayangannya di cermin tak selalu mengikuti geraknya.Kedua, jam dinding di ruang jaga berhenti pada pukul 03:13 tiap malam, lalu bergerak kembali lima menit kemudian, seolah tak terjadi apa-apa.Ketiga, dan ini yang paling membuatnya takut—orang-orang mulai menghilang.Awalnya hanya rumor. Seorang pasien di lantai 3 yang kabur tanpa jejak. Lalu seorang perawat yang katanya tidak pulang sejak shift malam. Dan pagi ini, kabar terbaru: dr. Rendra, kepala r
Dimas berdiri membeku di depan pintu besi besar bertuliskan “Ruang Pendingin”. Tangannya menggenggam erat tuas dingin yang berembun, tapi tubuhnya seolah tak sanggup bergerak. Nafasnya menggantung di udara, berasap, meski seharusnya ruangan itu belum terbuka.Di belakangnya, langkah itu kembali terdengar.Berat. Teratur. Menyeret. Makin dekat.Guguk… guguk… gukkk…Dimas memejamkan mata. Ia ingat pesan Sinta:“Jangan menoleh… apapun yang kamu dengar.”Tapi suara itu… kini bukan hanya langkah.Ada suara bisikan—tak jelas kata-katanya, seperti suara orang berbicara dalam mimpi buruk, berulang-ulang, makin cepat, makin bising. Seolah banyak mulut berteriak langsung ke telinganya.“JANGAN MENOLAK… JANGAN MENOLAK… JANGAN MENOLAK…”Ia hampir menoleh. Tapi gigi bawahnya menggigit bibir sampai darah merembes. Ia menahan.Dengan satu hentakan, Dimas memutar tuas. Suara logam tua berderit panjang, dan udara dingin seperti es menyembur keluar. Kabut tebal menyelimuti tubuhnya saat pintu membuka.
Dimas tak tahu sudah berapa lama ia berada di dalam.Lorong lantai tiga belas itu... tidak seperti lantai biasa. Panjangnya tidak masuk akal. Saat ia berjalan, langkahnya menggema, tapi dinding tak pernah mendekat. Setiap beberapa meter, cahaya lampu di atas berkedip—ritmis, seakan berdetak.Detak… yang perlahan menyerupai suara jantung. Bukan jantungnya.Seseorang… atau sesuatu… sedang hidup di lorong ini.Ia menoleh ke belakang—pintu masuk telah menghilang. Dinding di belakangnya kini menyatu seperti tak pernah ada pintu di sana.“Tenang... tenang... ini cuma... bangunan tua…” gumam Dimas, mencoba menenangkan diri.Tapi jantungnya justru berdebar lebih keras saat terdengar suara lain… langkah kaki yang bukan miliknya. Berat, lambat, berulang.Dimas berhenti. Langkah itu juga berhenti.Ia mulai berlari.Dan di tengah lari itu, ia melihatnya—ruang 1313.Pintu itu terbuka sedikit.Lampu di dalamnya berpendar merah. Tapi kali ini, ada suara dari dalam. Bukan jeritan. Bukan tawa.Doa.Se
Rumah Sakit Kartika mulai berubah.Bukan secara fisik—lantai, dinding, dan koridornya masih terlihat sama. Tapi ada sesuatu di udara, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Bau obat-obatan digantikan aroma besi karat dan tanah basah. Cahaya matahari yang biasanya menyelinap melalui jendela pagi, kini terasa dingin. Redup.Dan yang paling terasa… adalah suasana. Ketegangan. Sunyi yang tidak wajar.Seluruh staf merasakannya, meskipun mereka tak mengatakannya secara langsung.Termasuk Dimas.Sudah tiga hari berlalu sejak Sinta menghilang. Tidak ada kabar, tidak ada laporan polisi, dan yang paling mengganggu: tidak ada yang mengingat keberadaan Sinta dengan pasti. Data dirinya seperti menguap. Beberapa orang bahkan bertanya, “Sinta siapa ya?”Dimas tahu dia tidak gila.Ia melihat sendiri wajah Sinta. Mendengar ceritanya. Membaca arsip dengan tangan sendiri. Tapi kini, semua itu seperti ilusi.Dan pagi itu, ia melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.Di papan shift ruan
Sinta tidak tahu di mana ia berada. Yang ia ingat hanya cahaya remang, suara detak jam yang menggaung tak henti, dan tubuhnya sendiri—atau setidaknya, sesuatu yang menyerupai tubuhnya—yang terbaring di ranjang ruang 1313.Sekarang, ia berdiri dalam ruangan serba abu-abu. Dinding-dinding kosong tanpa jendela, dan di setiap sisinya… cermin.Cermin yang memantulkan sosoknya, tapi tak seratus persen identik. Di salah satu cermin, ia tampak tersenyum—senyum yang menyeramkan. Di cermin lain, ia menangis darah. Dan di pojok kanan… ia melihat dirinya sendiri berdiri dengan kepala tertunduk dan rambut menutupi wajah, seperti mayat hidup.Sinta mundur, panik. Tapi lantai di bawahnya terasa seperti lumpur, setiap langkah terasa berat dan lengket. Suaranya menggema, dan untuk pertama kalinya, ia sadar...Ia bukan satu-satunya yang ada di sini.Seseorang—atau sesuatu—mengawasinya dari dalam cermin.Bukan bayangannya. Tapi makhluk lain.Makhluk itu tak berkedip, matanya hitam pekat seperti lubang t
Pagi itu, Sinta berdiri di depan ruang administrasi lama Rumah Sakit Kartika, tangannya gemetar saat memutar kunci lemari arsip yang sudah berkarat. Setelah kejadian semalam, ia tahu satu hal: semua ini tidak normal. Ia tak bisa lagi berpura-pura bahwa yang ia alami hanya mimpi atau akibat kelelahan.Ia butuh jawaban.Dan satu-satunya tempat yang mungkin menyimpannya… adalah di arsip lama, tempat catatan pasien dari puluhan tahun lalu disimpan.Lemari tua itu berderit saat dibuka. Bau lembab dan kertas berjamur langsung memenuhi hidung. Lampu neon di ruangan itu berkedip lemah, seperti enggan menyala terang. Di dalam lemari, ratusan map tersusun tak teratur, sebagian sudah menguning dan rapuh.Sinta mulai menelusuri satu per satu, mencari sesuatu—apa pun—yang bisa memberinya petunjuk tentang lantai tiga belas.Ia bahkan tak yakin lantai itu pernah benar-benar eksis di cetak biru rumah sakit. Tapi malam itu, ia berdiri di depan pintunya sendiri. Tangannya menyentuh rel tangga yang ding
Sejak kejadian malam itu, Sinta tak pernah benar-benar merasa bangun. Setiap langkahnya di lorong rumah sakit terasa seperti mimpi buruk yang berkepanjangan—sunyi, dingin, dan berat. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang terjadi di lantai tiga belas hanyalah halusinasi akibat kelelahan. Tapi setiap kali ia mencoba melupakan, secarik kertas bernoda darah yang kini tersembunyi di buku catatannya terus mengingatkannya: "Kamu sudah membuka pintunya. Kami akan menjemputmu kembali."Malam berikutnya, ia kembali mendapat shift jaga malam.“Sinta,” suara Bu Rini terdengar biasa saja, seperti tak ada yang terjadi, “malam ini kamu jagain ruang perawatan kelas 1, ya. Pasiennya cuma dua orang. Gampang. Tapi jangan suka jalan-jalan ke lantai lain sendirian, apalagi ke atas. Sudah saya bilang dari awal.”Sinta hanya mengangguk pelan. Ia tahu Bu Rini tidak mempercayai ceritanya. Bahkan mungkin menganggapnya mulai stres. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia benar-benar naik ke lantai itu?
Sinta berdiri di depan gedung tua itu, napasnya menggumpal dalam udara pagi yang dingin. Rumah Sakit Umum Kartika menjulang di hadapannya, dindingnya kelabu kehijauan seperti lumut yang menempel pada ingatan masa lalu. Kota Salaka mungkin kecil dan tenang, tapi rumah sakit ini menyimpan sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang bahkan sebelum ia melangkah masuk.Hari itu adalah hari pertamanya sebagai perawat magang.“Bismillah,” gumamnya, menarik napas panjang. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu kaca yang berat dan langsung disambut aroma khas antiseptik dan karbol yang menusuk hidung.Di dalam, suasana masih sepi. Jam dinding menunjuk pukul 06.30. Beberapa perawat senior lalu-lalang dengan tatapan lesu. Ada sesuatu yang terasa… berat. Seolah rumah sakit ini menahan napas, menyembunyikan sesuatu di balik lorong-lorong panjang dan lampu yang meredup setiap beberapa detik.“Perawat Sinta?” suara wanita paruh baya menyentaknya dari lamunan. “Saya Bu Rini. Kamu ikut saya ke ruan