Share

6. Si GRO

Author: ayyona
last update Last Updated: 2021-04-20 17:04:25

Lampu penerangan di sepanjang jalan yang menjadi jalur lintas Zefanya menuju tempat kerjanya masih menyala. Jam digital di pergelangan tangan kirinya menunjukan angka lima menit sebelum jam enam pagi, ketika gadis dalam balutan jaket berbahan jeans itu berpamitan pada ibundanya untuk berangkat kerja. Temaram suasana kota menjelang kehadiran sang surya di ufuk timur. Semringah raut wajah gadis yang dipenuhi semangat untuk menunaikan kewajibannya.

Suatu hal tak pernah disesali oleh Zefanya dalam dua bulan belakangan ini, keputusannya menerima perkerjaan yang membuat pola hidupnya berubah. Seperti saat ini, ketika hari Minggu kebanyakan penduduk bumi bermalasan untuk membuka mata, ia sudah berada di atas motor matic-nya untuk mengais rejeki. Ketika sekelompok remaja melintas sambil berlari bersama di hari libur, Zee akan menjadikan tugasnya sebagai GRO yang akan mondar-mandir di lobby hotel sebagai sarana olah raganya. Gadis itu tak akan menaruh cemburu atas semua itu, ia sudah bahagia dengan pilihannya saat ini.

Bagaimana tidak bersyukur, di luar sana banyak lulusan perguruan tinggi dengan gelar sarjana yang menganggur. Sementara dirinya tak perlu repot mengirim surat lamaran kerja, bahkan nyaris tanpa tes berbelit-belit dan lama.

Dengan menggunakan kendaraan roda dua, Zefanya bisa lebih cepat sampai di tempat kerjanya. Hanya butuh waktu lima belas menit di pagi hari sebelum kemacetan menghadang. Dengan cekatan gadis itu memarkirkan motornya di area parkir karyawan. Terdengar sautan saling sapa dari sesama pegawai yang berpapasan. Zee juga melakukan hal yang sama meski ia belum kenal semua karyawan hotel yang berjumlah lebih dari dua ratus orang itu.

Zefanya menuntun langkahnya menuju ruang linen tempat ia akan mengambil seragam kerjanya. Sebuah baju long dress berwarna gelap yang dipasangkan dengan sebuah blazer berlengan tiga perempat akan membalut tubuhnya selama sembilan jam ke depan. Butuh waktu lima belas menit baginya untuk mematut diri di loker karyawati untuk menyempurnakan tampilannya. Jemarinya telah terlatih untuk membuat cepol ala french twist seperti para pramugari maskapai penerbangan.

Setelah semua terlihat sesuai standar grooming sebagai Guest Relation Officer, gadis itu pun membaur dengan rekannya yang lain. Satu per satu berjalan menuju finger print untuk mendata absensi sebelum menuju area tugas masing-masing.

Tepat lima belas menit sebelum jam tujuh pagi, sesuai peraturan perusahaan tentang kehadiran, Zefanya Ayunda telah melapor pada atasannya dan siap memulai rutinitas di bagian Front Office. Dengan sigap gadis itu membaca log book dan memastikan list tamu VIP yang akan datang pada hari ini atau yang akan check out.

Tak ada kendala yang berarti yang dihadapi Zefanya hari ini. Semuanya berjalan lancar. Keberangkatan dan kedatangan tamu VIP tak menemui kendala. Keluhan tamu karena masalah kecil seperti sambungan wifi, pintu kamar yang tidak bisa dibuka atau voucher breakfast yang hilang bisa diselesaikan dengan cekatan sehingga berujung pada ucapan terima kasih dan senyum dari para tamu yang dibantunya. Termasuk ia bisa meredakan tangis dua orang anak yang sedang bermain di kids’ corner karena berebut untuk menaiki seluncuran.

Zefanya sedang menulis handover pekerjaan untuk keesokan hari di log book ketika seorang rekan kerjanya memberi tahu, jika mereka hari ini setelah pulang kerja akan hang out bersama.

“Oh, elo belum tau?” Rekan kerja yang merupakan seniornya itu memastikan. Melihat gelengan dari gadis di sebelahnya, pemuda itu mencoba menjelaskan.

“Jadi untuk membangun team work dan agar kita akrab satu sama lain, kita adakan semacam arisan kecil setiap bulan. Kita pilih tempat untuk makan-makan. Yang lagi libur juga wajib datang.”

Informasi yang disampaikan itu disambut lekuk bibirnya Zefanya yang membulat.

“Bulan lalu, elo dapat shift sore ya, jadi ga ikutan?” tanya pemuda yang bernama Hendri itu lebih lanjut.

“Iya, Bang,” sahut Zee pada seniornya itu.

“Pas banget. Berarti sekarang elo harus ikut, biar ngerasain. Belum tentu juga bulan depan lo bisa gabung.”

Tak berdaya Zefanya menolak ajakan yang hampir menyerupai perintah dari seniornya itu. Kata-kata ‘wajib’ yang terucap sudah tak perlu diperdebatkan. Hanya sebuah anggukan kecil pertanda gadis yang baru bekerja dua bulan itu mengerti akan kegiatan tersebut.

Beriringanlah laju beberapa kendaraan roda dua dan roda empat menuju lokasi acara. Sebuah kafe yang cukup cozy menjadi pilihan para panitia kali ini.

Pupus sudah rencana Zefanya untuk pulang lebih awal hari ini. Pekerjaannya yang selesai tepat waktu memberinya ide untuk menyambangi Zeino yang pasti sedang bermain futsal. Entah mengapa sejak semalam pikirannya tertuju pada pemuda itu. Namun semuanya terpaksa diurungkan. Di minggu sore ini dia harus beramah – tamah dengan rekan dan seniornya di tempat kerja.

Riuh rendah suara tawa canda di ruang khusus kafe yang telah dipesan. Terasa kental keakraban di sana. Tim kerja yang lintas gender, usia bahkan jabatan itu sungguh tanpa sekat. Zefanya yang merupakan anggota tim yang baru bekerja serta paling muda terlihat berusaha menyesuaikan diri. Diapun melempar senyum lebar ketika berkali mereka melakukan swafoto dengan semua peserta. Tentu saja tak lengkap jika momen seru itu tak diunggah ke media sosial. Tautan yang disemat juga menyebut nama akun milik Zefanya serta tag lokasi yang makin membuat bersahutan komentar di group chat tempat kerjanya.

Posisi duduk dan pose Zefanya yang berdekatan dengan seorang rekan prianya yang hampir seumuran menjadi bahan candaan. Bahkan ada yang kemudian menggunting gambar tersebut lalu menambah caption ‘segerakan’. Tentu saja hal tersebut belum disadari oleh gadis itu. Sedari tadi ia belum menyentuh telepon genggam yang berada dalam tasnya. Gawainya itu masih dalam mode kerja yang harus diatur senyap.

Seiring lembayung yang hadir mengantar senja, keseruan Zefanya dan tim kerjanya perlahan mulai mereda. Mereka bersiap untuk kembali ke rumah masing – masing. Tagihan makan minum mereka telah dibayar oleh bandar yang memegang uang kas hasil iuran dan uang tips dari tamu yang mereka kumpulkan. Pemenang arisan pun telah mendapat haknya. Semuanya terlihat puas dengan acara mereka sore ini.

“Zefanya, elo pulang ke arah mana?” tanya salah seorang seniornya yang biasa dipanggil Puput.

“Aku putar arah, Mbak,” jawab gadis itu.

“Oh, kirain sama arah kita. Eh, berarti elo bisa iringan sama Sammy tuh.”

Zefanya mengikuti lirikan mata Puput yang tertuju pada pemuda yang tadi duduk di sebelah Zefanya. Gadis itu merasa tak perlu harus pulang beriringan karena dia sudah biasa melewati jalan arteri ke rumahnya meskipun ini agak sedikit berputar jauh.

“Sammy, elo bareng Zefanya aja. Kasihan, dia sendiri tuh.” Puput malah membuat keputusan sepihak tanpa mendengar pendapat dari gadis yang dirisaukannya itu.

‘Siap!” Sammy mengangkat tangannya memberi hormat diiringi sebuah senyum lebar.

Tak mungkin Zefanya menolak niat baik dari rekan kerjanya itu. Toh, tidak ada ruginya dan tidak akan ada masalah juga. Mereka masing-masing membawa motor, bukan berboncengan. Akhirnya kedua muda – mudi itu pun berjalan menuju parkiran café.

Baru saja iris mata Zefanya menatap indahnya lembayung di cakrawala, sesosok bayangan pemuda yang sangat dia kenal sedang berdiri menatapnya dari kejauhan. Tubuh pemuda dalam balutan seragam futsal itu bersandar di badan mobil.

“Kak Zeino,” lirih gadis itu hampir tak percaya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Raya Adelia
kyak jailangkung datang tak dijemput 😅
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Zee 'n Zeino   7. Gini Amat Punya Pacar

    Tubuh Zefanya masih terpaku di depan kanopi kafe. Kebingungan atas kehadiran Zeino di depannya membuatnya salah tingkah. Apa lagi tatapan pemuda itu terlihat sangat tidak bersahabat memandang ke arah Sammy yang sedari tadi berada di dekatnya.Belum hilang keterkejutannya, seorang pemuda lain yang baru keluar dari arah kafe semakin membuat Zefanya terpana.“Kak Jeromy!” sapa Zee yang hampir tak percaya melihat pacar Lampita itu.“Eh, Zee. Kebelet tadi, numpang ke toilet.” Dengan wajah cengengesan pemuda berkaca mata itu berkata sambil menggaruk rambutnya.“Hmm, Bang Sammy duluan aja, ya. Aku mau ketemu temen dulu,” ujar Zee pada Sammy.Tentu saja gadis itu tak ingin berlama dengan pria yang pasti akan dipertanyakan oleh Zeino.“Oh, ya udah. Bye, Zee!” pamit Sammy yang bernama asli Samuel.Tak

    Last Updated : 2021-04-20
  • Zee 'n Zeino   8. Kalian serius?

    Sebuah motor sport berwarna hitam legam meluncur membelah jalan aspal yang menuju area salah satu kampus universitas swasta terkenal di kota. Begitu kuda besi itu berhenti di pelataran parkir, kedua pengendara yang masih mengenakan helm turun bergantian dari sadel. Begitu penutup kepala itu terbuka, terlihat pasangan muda-mudi yang berinisial sama ‘ZA’ itu segera merapikan rambut dan tampilan mereka sebelum melanjutkan langkah ke tujuan.Menepati janjinya, hari Senin ini Zefanya yang sedang libur bekerja menemani Zeino untuk melakukan bimbingan skripsi. Gadis itu memang sengaja mempersembahkan hari libur yang seharusnya untuk beristirahat dari lelah bekerja untuk memperbaiki hubungannya yang sedang kurang harmonis dengan Zeino.Walaupun sebenarnya ia sendri belum mengerti standar harmonis yang seharusnya seperti apa. Karena jika dirunut sejak mereka dijodohkan, hubungan mereka seperti air yang mengalir mengikuti alur yang mereka

    Last Updated : 2021-04-20
  • Zee 'n Zeino   9. Berdua Saja

    Melengkung senyum di wajah Zeino yang telah ditutupi helm ketika sepasang tangan gadis di boncengan merengkuh pinggangnya. Ada rasa yang ingin meledak di hatinya ketika teringat bagaimana reaksi Zefanya ketika melihat Talita berada di dekatnya. Berbeda dengan saat ia dan adik kelasnya itu tak sengaja kedapatan sedang berada di café oleh pacarnya itu, kali ini Zee menampakan rasa memilikinya. Gadis itu tanpa malu-malu bergelayut manja di lengannya dengan tatapan lurus pada perempuan yang menghampiri.“Ternyata kamu bisa cemburu juga ya, Zee,” gumam Zeino.Kuda besi hitam legam itu terus melaju meninggalkan sorak – sorai anggota geng lainnya yang sengaja menjadikan pasangan ZA itu sebagai objek candaan. Kedatangan Zefanya ke kampus yang baru ditinggalkannya beberapa bulan, tentu saja masih mendapat sambutan yang hangat dari teman-temannya yang sedang berusaha merampungkan studinya. Termasuk dari para dosen yan

    Last Updated : 2021-04-20
  • Zee 'n Zeino   10. Panutan

    Kembali Zefanya tak bisa menyimpulkan apa yang sedang terjadi dengan hubungan pertemanannya dengan Zeino. Satu hari yang mereka lewati kemarin tak secara otomatis menjelaskan semuanya. Gadis itu menganggap kebersamaan mereka adalah quality time tanpa meributkan rutinitas keduanya yang sering bertolak – belakang.“Ga ada ngomong serius, Bun. Habis dari kampus, kita pergi ke pantai, makan doang.”Begitu Zefanya menjawab pertanyaan dari ibundanya ketika pagi hari di meja makan. Seperti kebiasaan ibu dan anak itu memulai hari.“Tadinya Zee mau bicara, Bun. Tapi ga jadi, lagi males. Ntar malah bertengkar lagi.” Zefanya bersungut mengakhiri kalimatnya.Ibu Kartika, wanita yang telah menjadi orang tua tunggal bagi kedua anak gadisnya sejak Zefanya anak bungsunya berusia dua bulan itu, hanya melempar senyum. Wanita paruh baya itu memang sangat terbuka dengan kedua anak

    Last Updated : 2021-04-20
  • Zee 'n Zeino   11. Senja di Panorama

    Tatapan mata Zefanya dan Zeino bertemu tatkala daun pintu yang memisahkan mereka terkuak. Keduanya menarik garis senyum di wajah mereka.“Kak Zeino duduk dulu ya, aku mau ambil tas.”Seiring anggukan, pemuda itu menghempaskan tubuhnya di kursi yang berada di teras rumah. Sementara Zee melangkah masuk untuk meneruskan niatnya. Selang berapa lama kemudian, gadis pemilik rumah yang tampak berpenampilan santai dengan rambut tergerai, menghampiri dengan membawa segelas air minum.“Diminum dulu, Kak.”“Kamu yakin bisa datang ke pestanya itu, Zee?” tanya Zeino setelah menyeruput setengah air di dalam gelas.“Hmm apa maksudnya bertanya seperti itu?” gumam Zee yang mengira ada niat lain dari pertanyaan itu.“Kebetulan hari itu, aku jadwal pagi. Acaranya malam 'kan, ya?”Zei

    Last Updated : 2021-04-20
  • Zee 'n Zeino   12. Kata Artikel

    Permulaan hari telah jauh merangkak sejak kokok pertama ayam jantan terdengar. Geliat anak cucu Adam yang mulai berpencaran di muka bumi untuk mencari rejeki ditemani sang mentari yang menyemangati. Sinar penguasa hari itu turut membias di sela jendela kamar Zeino. Perlahan kelopak mata pemuda yang masih bergelung memeluk guling, mengerjap. Pandangan pertamanya di pagi hari tertuju pada jam bundar kecil yang terletak di atas nakas.Hoam!Seiring hawa napas pagi yang masih menyisakan kantuk, tangan Zeino meraih telepon genggam yang berdampingan dengan jam bekernya. Ia memeriksa aplikasi pesan yang menampilkan notifikasi kabar belum terbaca. Senyum merekah ketika mendapati gadis yang menemaninya menikmati senja di Panorama mengirim sebuah pesan yang tercatat pada pukul enam pagi. Pemuda itu mengabaikan tumpukan pesan lainnya yang juga belum terbaca.Kak Zeino, semangat ya revisinya. Jangan lupa sarapan dulu.

    Last Updated : 2021-04-21
  • Zee 'n Zeino   13. Kelinci, Kutilang dan Singa

    Gadis dalam balutan dress berwarna hitam dengan blazer berlengan tiga perempat dan rambut dipilin menyerupai croissant itu, melangkah meninggalkan area kantor Front Office untuk menuju loker terlebih dahulu sebelum ke kantin karyawan.Sesampai di ruang yang biasa digunakan sebagai tempat penyimpanan barang-barang pribadi sekaligus area istirahat karyawan, Zee melepas blazernya dan mengganti sepatu berhak tingginya dengan sepatu tak bertumit.Jam istirahat yang biasanya hanya bisa ia nikmati untuk setengah jam dari satu jam jadwal seharusnya, cukup melepaskan penat di kaki dengan mengganti sepatunya selama makan. Memakai sepatu bertumit tinggi memang salah satu hal yang harus dibiasakannya sejak bekerja di hotel, selain stocking berwarna hitam karena seragam long dressnya berbelahan tinggi dari bagian kaki hingga setengah paha.Tak lupa gadis itu meraih telepon genggamnya, sambil duduk

    Last Updated : 2021-04-21
  • Zee 'n Zeino   14. Keluarga Ayah dan Kenangan

    Arloji di pergelangan tangan kiri Zefanya telah menunjukan pukul lima sore ketika ia menepikan sepeda motor matic-nya di sebuah perkarangan rumah bergaya kolonial. Sebuah rumah bercat putih dengan aksen pecahan batu berwarna hitam menghiasi tembok teras. Bangunan yang telah berdiri kokoh sejak zaman penjajahan itu merupakan kediaman keluarga almarhum ayah gadis itu.Berdampingan dengan bangunan tua yang masih terawat itu berdiri sebuah rumah bertingkat yang lebih modern dan megah. Di sana tinggal kakak tertua dari ayah mereka, Om Peter. Sementara di rumah lama tinggal adik bungsu ayah mereka, Tante Mauren yang belum menikah sampai saat ini, bersama keluarga Om Niko dan nenek mereka yang telah renta.Sambil menenteng kotak karton yang berisi bakpao isi kacang merah, Zefanya membuka pintu pagar samping rumah yang biasanya tidak dikunci. Dari pagar tersebut, Zee bisa langsung menuju paviliun di mana kamar Nenek Ruwina berada.Sep

    Last Updated : 2021-04-21

Latest chapter

  • Zee 'n Zeino   101. Epilog

    Untuk apa menunggu, jika yang kau mau telah ada di hadapanmu. Untuk apa menunda jika hanya bersamanya kau merasa bahagia. Untuk apa meragu jika hanya dia yang ada di hatimu. Untuk apa bersama jika tak ada ikatan yang sah dan nyata. Kali kedua sepasang anak manusia itu membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Sesaat setelah pembukaan showroom berbulan-bulan yang lalu, mereka sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Memenuhi komitmen pekerjaan dan meresmikan ikatan cinta setelahnya. Sekarang ketika menjalani hubungan jarak jauh, keduanya berusaha mempersingkat jarak. Dan upaya itu bersyarat, harus berlabel sah jika tetap memaksa. Memang lebih cepat dari apa yang mereka rencanakan. Tentu belum semua sempurna seperti angan. Namun apa tolak ukur sempurna itu perlu ketika ada rasa terpenuhi dengan apa yang ada di tangan? Keraguan karena ketakutan akan terulang sejarah pahit dari orang-orang terdekat, tak seharusnya menjadi pemata

  • Zee 'n Zeino   100. Menyambut Mentari, Melepas Senja Berdua

    Di sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Zeino, Zee tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Bukan karena grogi, ia sudah sering berkunjung ke sana, tapi kali ini Zee tak bisa menghalau kecemasannya. Kepergok oleh orangtua Zeino saat mereka sedang berpelukan, membuat Zee gundah dan malu. Zeino berusaha menenangkan Zee. Genggaman jemarinya tak lepas meski sebelah tangannya harus memegang kemudi. Zeino sendiri tak bisa menerka apa yang akan dilakukan oleh papanya, hingga meminta mereka menyusul ke rumah. Sesampai di kediamannya, Zeino melangkah pasti dengan tak membiarkan Zee menarik genggaman jemarinya. Keduanya memasuki ruang tamu namun tak menemukan Handoko di sana. Seorang pelayan yang datang menghampiri memberitahu jika mereka diminta menunggu di ruang kerja. Pilihan ruang kerja sebagai tempat bertemu tentu memberi kesan berbeda. Zee merasakan ada hal serius yang akan dibicarakan. Dan tentu akan ada hubungannya dengan kejadian di kan

  • Zee 'n Zeino   99. Kenyataan LDR

    “Kamu pasti tahu, untuk membuka cabang showroom di daerah utara, penjualan harus setengah break even point dulu. Kalau tidak, harus ada sumber dana lain.” “Pa, modal kita yang terpakai hanya setengah. Karena yang di sini ada kerjasama dengan Pak Sony. Zei, mau ijin Papa untuk pakai dana yang tesisa untuk memulai buka cabang di wilayah utara.” “Belum cukup Zei. Harga tanah dan bangunan di wilayah utara cukup tinggi. Apa mau kerjasama lagi dengan Pak Sony.” “Kali ini cukup kita saja, Pa.” “Lalu kamu mau dapat tambahan modal dari mana?” “Waktu kunjugan ke kantor lisensi, ada pihak bank yang menawarkan kredit usaha. Beberapa hari ini Zei pelajari, bunganya cukup rendah. Zei akan coba ini, Pa.” Handoko tak langsung menanggapi. Pria paruh baya itu meraih cangkir berisi kopi hitam di atas meja. Menyeruput perlahan lalu menaruh kembali cangkir porselen itu ke tempat semula. “Coba kamu buat proposalnya. Papa mau pelajari

  • Zee 'n Zeino   98. Perubahan

    Memenuhi janjinya, Zee menerima kunjungan Batara Bramantyo di restoran hotel sambil sarapan. Gadis itu tak sendiri, tentu Zeino ada di sampingnya. Keduanya menempati sebuah meja yang berkapasitas empat orang. Dua buah kursi masih belum ditempati. Tak lama berselang sejak kedatangan mereka, seorang pria datang mendekat. Pria itu dibalut stelan baju kerja formal lengkap dengan jas dan dasi yang senada. Terlihat ia mengedarkan pandangan ke suluruh penjuru restoran. Ia mengukir senyum begitu menemukan sosok yang dicarinya. Pria yang tak lain adalah Batara Bramantyo itu disambut dengan baik oleh sepasang muda-mudi yang terlihat berdiri sambil menyapa dengan senyuman. “Selamat pagi, Pak Batara.” Zee menyapa terlebih dahulu. Lalu menyusul Zeino mengakat tubuhnya dari kursi. Mereka saling berjabat tangan. “Pagi. Apa kabar kalian?” Percakapan basa-basi sekedar pembuka bicara itu berlangsung singkat. Mereka sepakat untuk melanjutkan bincang santai sambi

  • Zee 'n Zeino   97. Mencari Celah

    Kecenderungan anak laki-laki akan lebih dekat pada ibu daripada ayah, sepertinya berlaku pada Zeino. Pemuda yang sangat irit bicara apalagi mengungkapkan isi hati pada orang lain itu, perlahan memang lebih terbuka pada Utari, sang ibu. Tentu sikapnya itu tak lepas karena tanggapan Utari yang bisa disebut sangat menerima kehadiran Zee sebagai orang terdekatnya. Malam ini sebelum berangkat menenuhi undangan perusahaan lisensi, Zeino berbincang dengan Utari di sudut taman rumah. Hanya ada mereka berdua. Handoko masih ada kegiatan di luar bersama rekan bisnisnya. “Jadi karena alasan Talita akhirnya kamu membawa Zee ikut serta?” tanya Utari yang kemudian mendengar tentang Talita yang mengadu pada mamanya tentang Zeino yang tak berangkat bersama. Tentu saja Silvia langsung menghubungi Utari untuk merubah semua rencana Zeino. “Salah satunya karena itu, Ma. Ini juga sekalian mau meyakinkan Zee tentang pilihan tempat kerjanya yang baru nantinya.” “Zee jadi pin

  • Zee 'n Zeino   96. Penolakan

    “Jadi, elo tetep pindah kota?” Kedua bola mata Rayesa semakin membulat mendengar cerita Zee. “Kak Zeino ngijinin?” tanyanya lagi. Terlihat Zee menganggukan kepala. “Serius?” Kali ini terlihat raut tak percaya terpampang di wajah Lulu. “Bakal LDR-an 2 tahun?” Lampita ikut menimpali. “Iya.” Akhirnya Zee bersuara tak hanya sekedar menggoyang kepala turun naik. “Tujuh ratus tiga puluh hari loh, Zee. Ga bakal ketemuan, gitu?!” timpal Lampita setelah bermain hitung-hitungan dengan jemarinya. “Ya ga gitu juga kali ngitungnya. Emang jadi TKW ga pulang-pulang 2 tahun. Kan ada hari libur, cuti. Aku bisa pulang. Ato Kak Zeino yang nyamperin.” Zee dan teman-teman gengnya menyempatkan diri untuk bertemu di sela-sela kesibukan masing-masing. Lulu yang masih harus memutar otak untuk mendapat restu, Rayesa yang sudah mulai bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi dan Lampita yang menjalankan bisnis onlinenya. Mereka mengh

  • Zee 'n Zeino   95. Menikah?

    Senja telah menelan semesta. Lenyap kuasa cahaya sang surya berganti sinar rembulan yang belum bulat sempurna. Ditemani setitik sinar yang berpijar tanpa jeda, sang bintang kejora. Zee dan Zeino beranjak dari Panorama. Keduanya kembali berkendara meninggalkan sepenggal percakapan yang masih diakhiri tanda koma. “Sudah gelap, kita cari makan dulu, ya.” Sebuah restoran yang berada tak jauh dari Panorama menjadi pilihan Zeino. Restoran itu juga memiliki pemandangan lepas ke arah pusat kota karena terletak di dataran yang cukup tinggi. “Kita udah pacaran berapa tahun ya, Zee?” Zeino membuka percakapan lagi sambil menunggu pesanan mereka datang. “Berapa tahun, ya? Ngitungnya dari kapan? Bingung.” Zee menerawang. Kilas peristiwa pertemuan pertama mereka bermain di pelupuk mata. Mereka berdua sering bertemu ketika Lulu dan Dito saling mengunjugi fakultas masing-masing. Atau ketika mereka mengajak bertemu di luar kampus. Baik Zee maupun Zeino

  • Zee 'n Zeino   94. Memikirkan Kita

    Bagaimana pun untuk menghalau resah, perasaan tetaplah hal yang gampang diombang – ambing oleh kenyataan dan peristiwa. Hal itu yang sedang dirasakan Zee saat ikut menghadiri peresmian showroom. Dari sejak menginjak pelataran parkir, ia sudah tak asing dengan pemandangan yang ditemuinya. Pemandangan yang hampir sama, pernah dilihatnya melalui mimpi. Perlahan satu-satu per satu rekaman alam bawah sadarnya menyesuaikan di alam nyata. Tepat ketika momen yang membuat resah, Zee memutuskan untuk menjauh. Jujur, ia tak punya keberanian untuk mendengar langsung jika kalimat-kalimat yang meluncur dari keluarga Zeino dan Talita setelah keberhasilan mereka berdua membuka showroom akan benar-benar terucap. “Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan? “Kalian sudah cocok, bisa buka bisnis bersama. Jadi berumahtangga juga akan bisa sama-sama.” Zee tak tahu apa benar akhirnya ada percakapan seperti itu di de

  • Zee 'n Zeino   93. Mimpi dan Kenyataan

    Zee mematut diri di depan kaca rias. Pagi ini ia tengah bersiap untuk hadir di acara peresmian showroom sepeda motor yang dipimpin Zeino. Proyek kerjasama, yang menurut Zee penuh drama itu, akhirnya berdiri juga. Tubuh semampainya telah berbalut seragam showroom yang khusus dipesan Zeino untuknya. Berbeda dengan tampilannya ketika menjadi GRO yang harus berblazer dan baju long dress dengan belahan di samping, kali ini Zee terlihat lebih casual. Ia mengikuti gaya pegawai showroom yang memang lebih santai dalam seragam lengan pendek warna hitam atau putih dengan bordiran logo di sana-sini. Seragam itu memang disukai Zeino dari pada padanan dasi dan jas yang terkesan kaku. Agar tak terlalu santai, rambut Zee yang biasa dicepol jika berkerja, sekarang dikuncir agak tinggi seperti gaya genie. Tak lupa riasan ringan untuk acara outdoor di pagi hari menghias wajahnya. Setelah merasa puas dengan tampilannya di kaca, Zee segera turun untuk menikmati sarapan bersama ib

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status