Zefanya, gadis yang telah berganti tampilan itu kembali menjadi penumpang. Ia duduk tenang di sebelah Zeino yang sedang mengendarai mobilnya. Perjalanan sunyi tanpa kata memaksa lantunan suara merdu penyanyi dari playlist yang diputar merajai ruang itu. Kesal di dada yang memaksa Zeino untuk memilih memulangkan Zefanya lebih awal dari waktu yang diperkirakan.
Candaan Dito yang mengungkit kebersamaannya dengan seorang mahasiswa baru beberapa waktu yang lalu membangkitkan emosi Zeino. Dia seakan dijadikan terdakwa atas tuduhan mendua. Padahal Zefanya sendiri mengetahui dan tidak pernah membesarkan masalah itu. Pacarnya itu cukup mengerti dengan penjelasan singkat yang ia sampaikan. Jika dia dan Talita, juniornya di kampus, hanya kebetulan bertemu. Lagi pula gadis yang baru memulai perkuliahan itu adalah anak dari kolega orang tuanya. Sehingga tak heran jika mereka sudah terlihat akrab.
“Ayo habiskan. Setelah itu kita pulang.”
Begitu Zeino berkata setelah kembali menegak cairan dari kaleng soft drink untuk membantu menelan kunyahan terakhirnya.
Zee yang bisa menangkap suasana hati Zeino yang sedang tidak baik, menurut. Tak mau ia membantah. Lagi pula bukankah dari sebelum berangkat dia meminta untuk tidak pulang larut malam.
Keberadaan ibunda Zefanya yang sendiri di rumah menjadi alasan yang bagus untuk disampaikan pada teman mereka yang lain. Sehingga, baik tuan rumah dan tamu – tamu yang hadir tidak keberatan untuk melepas pasangan itu pulang. Meskipun setelah itu mereka saling sikut dan menyalahkan satu sama lain atas keusilan yang berbuah raut kesal di wajah Zeino.
Kendaaran roda empat itu berhenti sebelum mencapai tujuan. Rumah Zefanya masih berada di beberapa blok di depan sana. Zeino menarik rem tangan setelah menepi di dekat taman komplek. Tatapan menyelidik Zefanya tertuju ke arah pemuda di belakang kemudi seakan berusaha mencari jawaban.
“Mau beli minum bentar, haus.” Kalimat itu mengantar tubuh Zeino yang bergerak membuka pintu mobil.
“Haus? Mengapa ga di rumah aja minumnya. Kan udah mau nyampe,” gumam Zefanya terheran.
Tergerak oleh rasa penasaran, Zefanya pun ikut keluar dari mobil. Ia melangkah mendekati Zeino yang tengah bertransaksi dengan pedagang kaki lima. Gadis itu memilih duduk di kursi beton yang tersedia di pinggir taman di bawah sebuah tiang lampu penerangan. Dari sana ia menyaksikan lembaran rupiah yang disodorkan Zeino berganti dengan dua botol minuman dingin yang telah dilengkapi sedotan.
Berdampingan keduanya duduk di kursi beton. Serentak keduanya menyeruput minuman dingin melalui sedotan. Sungguh estetik jika diabadikan dalam sebuah frame. Sempurna tata letak dan bias cahaya berkat temaran lampu jalan yang menjulang. Sesempurna keserasian jika keduanya tidak beradu kesal.
“Jadi liburnya kapan?” Pemuda itu bertanya sambil melirik sekilas pada gadis di sebelahnya.
“Off-nya nanti Senin dan Selasa.” Sang gadispun menjawab sambil menolehkan wajah.
“Besok mau dijemput?” Pertanyaan yang terlontar terdengar biasa. Seperti tawaran seorang kekasih pada gadisnya.
“Hmm bukannya hari Minggu sore Kak Zeino ada jadwal maen futsal sama yang lain?” Jawaban yang berupa pertanyaan yang memungkinkan sebagai cara menolak halus meluncur dari bibir Zefanya.
“Atau mau diantar?” Zeino kembali bertanya dengan nada yang sama.
“Ga usah Kak, besok aku bawa motor, ‘kan masuk pagi. Jam enam sudah berangkat."
Zeino menghela napas sebelum kembali menyeruput minuman dingin di tangannya. Zefanya mencoba menerka suasana hati pemuda di sampingnya saat ini.
“Kakak hari Senin ngampus, 'kan? Jadi janjian sama Pak Luther untuk bimbingan?”
Sebuah anggukan lemah menjawab kalimat tanya itu.
“Ya udah, nanti aku temenin, ya.”
Kedua sudut bibir pemuda itu tertarik menciptakan sebuah lengkung dan tatapan teduh. Tak lama, tangan pemuda itu meraih botol minuman dari tangan Zefanya. Lalu ia berdiri dan berjalan ke arah pedagang kaki lima di pinggir trotoar untuk mengembalikan kedua botol kosong itu.
Kedua muda-mudi itu kembali berjalan beriringan menuju mobil yang terparkir tak jauh dari tempat mereka duduk. Langkah mereka melambat ketika sepasang muda-mudi lain melintas dan berhenti tak jauh dari mereka. Keduanya juga terlihat seperti sepasang kekasih. Namun tingkah mereka yang saling bergelayut manja sangat jauh berbeda dengan sikap Zefanya dan Zeino yang masih berjarak ketika berjalan.
Entah pikiran apa yang terbersit dalam benak Zeino dan Zefanya, keduanya sama-sama memalingkan wajah tak mau menatap lama pada pasangan kekasih di dekat mereka. Langkah kakinya berayun lebih cepat menuju kendaraan yang masih setia menunggu.
Jarak taman yang tak sampai empat ratus meter dari rumah Zefanya, membuat dalam hitungan menit mereka telah berjumpa dengan rumah minimalis bertingkat dua yang tak terlalu besar.
“Kakak mau mampir dulu?” tawar Zefanya pada Zeino.
“Lain kali ya, sudah malam. Kamu 'kan besok harus kerja. Salam aja buat Bunda.”
Bersamaan keduanya lalu membuka pintu. Walaupun tak singgah, Zeino tetap keluar dari mobil untuk mengantarkan Zefanya ke depan pagar yang telah tertutup. Sesampai di depan terali besi, keduanya kembali berdiri berhadapan.
“Terima kasih ya Kak, aku masuk dulu.”
Zeino tersenyum. Jemarinya terulur mengusap pucuk kepala gadis yang tengah sibuk merogoh tas jinjingnya. Sedikit kikuk mendapat perlakuan seperti itu, Zefanya menatap Zeino sambil tersenyum.
“Hmm aku masuk ya, Kak,” ijinnya lagi ketika telah menggenggam kunci di tangannya.
Zeino membantu mendorong pagar besi itu. Setelah cukup lebar untuk meloloskan tubuhnya, Zefanya pun melangkah masuk. Sekarang keduanya berdiri terpisah oleh jeruji besi. Memastikan gadisnya sudah berada di tempat yang semestinya, Zeino membalikan badan. Ia melangkah pasti menuju mobil. Sementara Zefanya masih mempertahankan posisinya.
Kaca pintu mobil Zeino di bagian samping kiri terbuka perlahan. Zefanya bisa melihat pemuda di belakang kemudi sedang menatap ke arahnya. Sebuah lambaian tangan ditemani seulas senyum manis melepas kepergian sang pemuda. Membalas dengan mengulas senyum tipis, pemuda itu pun menekan pedal gas untuk memacu tunggangannya.
Setelah menyambangi ibunya di kamar untuk sekedar bertegur sama, Zefanya lalu menaiki tangga menuju lantai dua di mana kamarnya berada. Tubuhnya langsung mencari tempat ternyaman di sela-sela bantal dan beberapa boneka yang berbagi ruang di atas ranjang.
Meluruskan punggung dan kaki yang terasa pegal setelah aktivitas seharian penuh adalah hal yang dibutuhkannya saat ini. Bekerja delapan jam dengan sepatu hak tinggi, mondar – mandir di area hotel yang luas menyapa dan membantu tamu – tamu yang membutuhkan pelayanan sudah menjadi tugas utamanya, tentu membuat letih kedua kakinya.
Hampir terpisah roh dari tubuhnya yang mulai setengah sadar di ambang alam mimpi, sebuah notifikasi dari aplikasi chat di telepon genggamnya samar merayap di indera pendengarannya. Dengan mata setengah memicing, jemari lentik Zefanya meraup benda pipih yang tergeletak di atas nakas.
Sebuah pesan yang tersemat atas nama pemuda yang hampir setengah jam yang lalu mengantarnya pulang terpampang di layar.
Good nite Zee, nice dream…..
Senyum tipis menghias wajah manis gadis yang membaca pesan itu dengan mata setengah terbuka. Jemarinya terlihat lincah mengetik seuntai kalimat balasan.
U 2 K Zeino. Good nite….
“Sweet sih, tapi suka ngatur. Bikin kesel,”lirih Zee pada diri sendiri sambil merapatkan mata dan memeluk salah satu boneka anjing berukuran besar yang merupakan hadiah dari Zeino.
Sementara di sebuah kamar lain, seorang pemuda yang juga tengah berbaring di ranjang besar menatap lekat layar telepon genggam yang menampilkan sebuah pesan yang telah dibacanya.
“Zefanya Ayunda, keras kepala,” ucapnya lirih. Entah apa maksudnya berkata seperti itu sedangkan jemarinya mengusap berkali-kali wajah yang tampil di galeri foto yang ia buka.
Lampu penerangan di sepanjang jalan yang menjadi jalur lintas Zefanya menuju tempat kerjanya masih menyala. Jam digital di pergelangan tangan kirinya menunjukan angka lima menit sebelum jam enam pagi, ketika gadis dalam balutan jaket berbahan jeans itu berpamitan pada ibundanya untuk berangkat kerja. Temaram suasana kota menjelang kehadiran sang surya di ufuk timur. Semringah raut wajah gadis yang dipenuhi semangat untuk menunaikan kewajibannya.Suatu hal tak pernah disesali oleh Zefanya dalam dua bulan belakangan ini, keputusannya menerima perkerjaan yang membuat pola hidupnya berubah. Seperti saat ini, ketika hari Minggu kebanyakan penduduk bumi bermalasan untuk membuka mata, ia sudah berada di atas motor matic-nya untuk mengais rejeki. Ketika sekelompok remaja melintas sambil berlari bersama di hari libur, Zee akan menjadikan tugasnya sebagai GRO yang akan mondar-mandir di lobby hotel sebagai sarana olah raganya. Gadis itu tak akan menaruh c
Tubuh Zefanya masih terpaku di depan kanopi kafe. Kebingungan atas kehadiran Zeino di depannya membuatnya salah tingkah. Apa lagi tatapan pemuda itu terlihat sangat tidak bersahabat memandang ke arah Sammy yang sedari tadi berada di dekatnya.Belum hilang keterkejutannya, seorang pemuda lain yang baru keluar dari arah kafe semakin membuat Zefanya terpana.“Kak Jeromy!” sapa Zee yang hampir tak percaya melihat pacar Lampita itu.“Eh, Zee. Kebelet tadi, numpang ke toilet.” Dengan wajah cengengesan pemuda berkaca mata itu berkata sambil menggaruk rambutnya.“Hmm, Bang Sammy duluan aja, ya. Aku mau ketemu temen dulu,” ujar Zee pada Sammy.Tentu saja gadis itu tak ingin berlama dengan pria yang pasti akan dipertanyakan oleh Zeino.“Oh, ya udah. Bye, Zee!” pamit Sammy yang bernama asli Samuel.Tak
Sebuah motor sport berwarna hitam legam meluncur membelah jalan aspal yang menuju area salah satu kampus universitas swasta terkenal di kota. Begitu kuda besi itu berhenti di pelataran parkir, kedua pengendara yang masih mengenakan helm turun bergantian dari sadel. Begitu penutup kepala itu terbuka, terlihat pasangan muda-mudi yang berinisial sama ‘ZA’ itu segera merapikan rambut dan tampilan mereka sebelum melanjutkan langkah ke tujuan.Menepati janjinya, hari Senin ini Zefanya yang sedang libur bekerja menemani Zeino untuk melakukan bimbingan skripsi. Gadis itu memang sengaja mempersembahkan hari libur yang seharusnya untuk beristirahat dari lelah bekerja untuk memperbaiki hubungannya yang sedang kurang harmonis dengan Zeino.Walaupun sebenarnya ia sendri belum mengerti standar harmonis yang seharusnya seperti apa. Karena jika dirunut sejak mereka dijodohkan, hubungan mereka seperti air yang mengalir mengikuti alur yang mereka
Melengkung senyum di wajah Zeino yang telah ditutupi helm ketika sepasang tangan gadis di boncengan merengkuh pinggangnya. Ada rasa yang ingin meledak di hatinya ketika teringat bagaimana reaksi Zefanya ketika melihat Talita berada di dekatnya. Berbeda dengan saat ia dan adik kelasnya itu tak sengaja kedapatan sedang berada di café oleh pacarnya itu, kali ini Zee menampakan rasa memilikinya. Gadis itu tanpa malu-malu bergelayut manja di lengannya dengan tatapan lurus pada perempuan yang menghampiri.“Ternyata kamu bisa cemburu juga ya, Zee,” gumam Zeino.Kuda besi hitam legam itu terus melaju meninggalkan sorak – sorai anggota geng lainnya yang sengaja menjadikan pasangan ZA itu sebagai objek candaan. Kedatangan Zefanya ke kampus yang baru ditinggalkannya beberapa bulan, tentu saja masih mendapat sambutan yang hangat dari teman-temannya yang sedang berusaha merampungkan studinya. Termasuk dari para dosen yan
Kembali Zefanya tak bisa menyimpulkan apa yang sedang terjadi dengan hubungan pertemanannya dengan Zeino. Satu hari yang mereka lewati kemarin tak secara otomatis menjelaskan semuanya. Gadis itu menganggap kebersamaan mereka adalah quality time tanpa meributkan rutinitas keduanya yang sering bertolak – belakang.“Ga ada ngomong serius, Bun. Habis dari kampus, kita pergi ke pantai, makan doang.”Begitu Zefanya menjawab pertanyaan dari ibundanya ketika pagi hari di meja makan. Seperti kebiasaan ibu dan anak itu memulai hari.“Tadinya Zee mau bicara, Bun. Tapi ga jadi, lagi males. Ntar malah bertengkar lagi.” Zefanya bersungut mengakhiri kalimatnya.Ibu Kartika, wanita yang telah menjadi orang tua tunggal bagi kedua anak gadisnya sejak Zefanya anak bungsunya berusia dua bulan itu, hanya melempar senyum. Wanita paruh baya itu memang sangat terbuka dengan kedua anak
Tatapan mata Zefanya dan Zeino bertemu tatkala daun pintu yang memisahkan mereka terkuak. Keduanya menarik garis senyum di wajah mereka.“Kak Zeino duduk dulu ya, aku mau ambil tas.”Seiring anggukan, pemuda itu menghempaskan tubuhnya di kursi yang berada di teras rumah. Sementara Zee melangkah masuk untuk meneruskan niatnya. Selang berapa lama kemudian, gadis pemilik rumah yang tampak berpenampilan santai dengan rambut tergerai, menghampiri dengan membawa segelas air minum.“Diminum dulu, Kak.”“Kamu yakin bisa datang ke pestanya itu, Zee?” tanya Zeino setelah menyeruput setengah air di dalam gelas.“Hmm apa maksudnya bertanya seperti itu?” gumam Zee yang mengira ada niat lain dari pertanyaan itu.“Kebetulan hari itu, aku jadwal pagi. Acaranya malam 'kan, ya?”Zei
Permulaan hari telah jauh merangkak sejak kokok pertama ayam jantan terdengar. Geliat anak cucu Adam yang mulai berpencaran di muka bumi untuk mencari rejeki ditemani sang mentari yang menyemangati. Sinar penguasa hari itu turut membias di sela jendela kamar Zeino. Perlahan kelopak mata pemuda yang masih bergelung memeluk guling, mengerjap. Pandangan pertamanya di pagi hari tertuju pada jam bundar kecil yang terletak di atas nakas.Hoam!Seiring hawa napas pagi yang masih menyisakan kantuk, tangan Zeino meraih telepon genggam yang berdampingan dengan jam bekernya. Ia memeriksa aplikasi pesan yang menampilkan notifikasi kabar belum terbaca. Senyum merekah ketika mendapati gadis yang menemaninya menikmati senja di Panorama mengirim sebuah pesan yang tercatat pada pukul enam pagi. Pemuda itu mengabaikan tumpukan pesan lainnya yang juga belum terbaca.Kak Zeino, semangat ya revisinya. Jangan lupa sarapan dulu.
Gadis dalam balutan dress berwarna hitam dengan blazer berlengan tiga perempat dan rambut dipilin menyerupai croissant itu, melangkah meninggalkan area kantor Front Office untuk menuju loker terlebih dahulu sebelum ke kantin karyawan.Sesampai di ruang yang biasa digunakan sebagai tempat penyimpanan barang-barang pribadi sekaligus area istirahat karyawan, Zee melepas blazernya dan mengganti sepatu berhak tingginya dengan sepatu tak bertumit.Jam istirahat yang biasanya hanya bisa ia nikmati untuk setengah jam dari satu jam jadwal seharusnya, cukup melepaskan penat di kaki dengan mengganti sepatunya selama makan. Memakai sepatu bertumit tinggi memang salah satu hal yang harus dibiasakannya sejak bekerja di hotel, selain stocking berwarna hitam karena seragam long dressnya berbelahan tinggi dari bagian kaki hingga setengah paha.Tak lupa gadis itu meraih telepon genggamnya, sambil duduk
Untuk apa menunggu, jika yang kau mau telah ada di hadapanmu. Untuk apa menunda jika hanya bersamanya kau merasa bahagia. Untuk apa meragu jika hanya dia yang ada di hatimu. Untuk apa bersama jika tak ada ikatan yang sah dan nyata. Kali kedua sepasang anak manusia itu membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Sesaat setelah pembukaan showroom berbulan-bulan yang lalu, mereka sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Memenuhi komitmen pekerjaan dan meresmikan ikatan cinta setelahnya. Sekarang ketika menjalani hubungan jarak jauh, keduanya berusaha mempersingkat jarak. Dan upaya itu bersyarat, harus berlabel sah jika tetap memaksa. Memang lebih cepat dari apa yang mereka rencanakan. Tentu belum semua sempurna seperti angan. Namun apa tolak ukur sempurna itu perlu ketika ada rasa terpenuhi dengan apa yang ada di tangan? Keraguan karena ketakutan akan terulang sejarah pahit dari orang-orang terdekat, tak seharusnya menjadi pemata
Di sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Zeino, Zee tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Bukan karena grogi, ia sudah sering berkunjung ke sana, tapi kali ini Zee tak bisa menghalau kecemasannya. Kepergok oleh orangtua Zeino saat mereka sedang berpelukan, membuat Zee gundah dan malu. Zeino berusaha menenangkan Zee. Genggaman jemarinya tak lepas meski sebelah tangannya harus memegang kemudi. Zeino sendiri tak bisa menerka apa yang akan dilakukan oleh papanya, hingga meminta mereka menyusul ke rumah. Sesampai di kediamannya, Zeino melangkah pasti dengan tak membiarkan Zee menarik genggaman jemarinya. Keduanya memasuki ruang tamu namun tak menemukan Handoko di sana. Seorang pelayan yang datang menghampiri memberitahu jika mereka diminta menunggu di ruang kerja. Pilihan ruang kerja sebagai tempat bertemu tentu memberi kesan berbeda. Zee merasakan ada hal serius yang akan dibicarakan. Dan tentu akan ada hubungannya dengan kejadian di kan
“Kamu pasti tahu, untuk membuka cabang showroom di daerah utara, penjualan harus setengah break even point dulu. Kalau tidak, harus ada sumber dana lain.” “Pa, modal kita yang terpakai hanya setengah. Karena yang di sini ada kerjasama dengan Pak Sony. Zei, mau ijin Papa untuk pakai dana yang tesisa untuk memulai buka cabang di wilayah utara.” “Belum cukup Zei. Harga tanah dan bangunan di wilayah utara cukup tinggi. Apa mau kerjasama lagi dengan Pak Sony.” “Kali ini cukup kita saja, Pa.” “Lalu kamu mau dapat tambahan modal dari mana?” “Waktu kunjugan ke kantor lisensi, ada pihak bank yang menawarkan kredit usaha. Beberapa hari ini Zei pelajari, bunganya cukup rendah. Zei akan coba ini, Pa.” Handoko tak langsung menanggapi. Pria paruh baya itu meraih cangkir berisi kopi hitam di atas meja. Menyeruput perlahan lalu menaruh kembali cangkir porselen itu ke tempat semula. “Coba kamu buat proposalnya. Papa mau pelajari
Memenuhi janjinya, Zee menerima kunjungan Batara Bramantyo di restoran hotel sambil sarapan. Gadis itu tak sendiri, tentu Zeino ada di sampingnya. Keduanya menempati sebuah meja yang berkapasitas empat orang. Dua buah kursi masih belum ditempati. Tak lama berselang sejak kedatangan mereka, seorang pria datang mendekat. Pria itu dibalut stelan baju kerja formal lengkap dengan jas dan dasi yang senada. Terlihat ia mengedarkan pandangan ke suluruh penjuru restoran. Ia mengukir senyum begitu menemukan sosok yang dicarinya. Pria yang tak lain adalah Batara Bramantyo itu disambut dengan baik oleh sepasang muda-mudi yang terlihat berdiri sambil menyapa dengan senyuman. “Selamat pagi, Pak Batara.” Zee menyapa terlebih dahulu. Lalu menyusul Zeino mengakat tubuhnya dari kursi. Mereka saling berjabat tangan. “Pagi. Apa kabar kalian?” Percakapan basa-basi sekedar pembuka bicara itu berlangsung singkat. Mereka sepakat untuk melanjutkan bincang santai sambi
Kecenderungan anak laki-laki akan lebih dekat pada ibu daripada ayah, sepertinya berlaku pada Zeino. Pemuda yang sangat irit bicara apalagi mengungkapkan isi hati pada orang lain itu, perlahan memang lebih terbuka pada Utari, sang ibu. Tentu sikapnya itu tak lepas karena tanggapan Utari yang bisa disebut sangat menerima kehadiran Zee sebagai orang terdekatnya. Malam ini sebelum berangkat menenuhi undangan perusahaan lisensi, Zeino berbincang dengan Utari di sudut taman rumah. Hanya ada mereka berdua. Handoko masih ada kegiatan di luar bersama rekan bisnisnya. “Jadi karena alasan Talita akhirnya kamu membawa Zee ikut serta?” tanya Utari yang kemudian mendengar tentang Talita yang mengadu pada mamanya tentang Zeino yang tak berangkat bersama. Tentu saja Silvia langsung menghubungi Utari untuk merubah semua rencana Zeino. “Salah satunya karena itu, Ma. Ini juga sekalian mau meyakinkan Zee tentang pilihan tempat kerjanya yang baru nantinya.” “Zee jadi pin
“Jadi, elo tetep pindah kota?” Kedua bola mata Rayesa semakin membulat mendengar cerita Zee. “Kak Zeino ngijinin?” tanyanya lagi. Terlihat Zee menganggukan kepala. “Serius?” Kali ini terlihat raut tak percaya terpampang di wajah Lulu. “Bakal LDR-an 2 tahun?” Lampita ikut menimpali. “Iya.” Akhirnya Zee bersuara tak hanya sekedar menggoyang kepala turun naik. “Tujuh ratus tiga puluh hari loh, Zee. Ga bakal ketemuan, gitu?!” timpal Lampita setelah bermain hitung-hitungan dengan jemarinya. “Ya ga gitu juga kali ngitungnya. Emang jadi TKW ga pulang-pulang 2 tahun. Kan ada hari libur, cuti. Aku bisa pulang. Ato Kak Zeino yang nyamperin.” Zee dan teman-teman gengnya menyempatkan diri untuk bertemu di sela-sela kesibukan masing-masing. Lulu yang masih harus memutar otak untuk mendapat restu, Rayesa yang sudah mulai bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi dan Lampita yang menjalankan bisnis onlinenya. Mereka mengh
Senja telah menelan semesta. Lenyap kuasa cahaya sang surya berganti sinar rembulan yang belum bulat sempurna. Ditemani setitik sinar yang berpijar tanpa jeda, sang bintang kejora. Zee dan Zeino beranjak dari Panorama. Keduanya kembali berkendara meninggalkan sepenggal percakapan yang masih diakhiri tanda koma. “Sudah gelap, kita cari makan dulu, ya.” Sebuah restoran yang berada tak jauh dari Panorama menjadi pilihan Zeino. Restoran itu juga memiliki pemandangan lepas ke arah pusat kota karena terletak di dataran yang cukup tinggi. “Kita udah pacaran berapa tahun ya, Zee?” Zeino membuka percakapan lagi sambil menunggu pesanan mereka datang. “Berapa tahun, ya? Ngitungnya dari kapan? Bingung.” Zee menerawang. Kilas peristiwa pertemuan pertama mereka bermain di pelupuk mata. Mereka berdua sering bertemu ketika Lulu dan Dito saling mengunjugi fakultas masing-masing. Atau ketika mereka mengajak bertemu di luar kampus. Baik Zee maupun Zeino
Bagaimana pun untuk menghalau resah, perasaan tetaplah hal yang gampang diombang – ambing oleh kenyataan dan peristiwa. Hal itu yang sedang dirasakan Zee saat ikut menghadiri peresmian showroom. Dari sejak menginjak pelataran parkir, ia sudah tak asing dengan pemandangan yang ditemuinya. Pemandangan yang hampir sama, pernah dilihatnya melalui mimpi. Perlahan satu-satu per satu rekaman alam bawah sadarnya menyesuaikan di alam nyata. Tepat ketika momen yang membuat resah, Zee memutuskan untuk menjauh. Jujur, ia tak punya keberanian untuk mendengar langsung jika kalimat-kalimat yang meluncur dari keluarga Zeino dan Talita setelah keberhasilan mereka berdua membuka showroom akan benar-benar terucap. “Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan? “Kalian sudah cocok, bisa buka bisnis bersama. Jadi berumahtangga juga akan bisa sama-sama.” Zee tak tahu apa benar akhirnya ada percakapan seperti itu di de
Zee mematut diri di depan kaca rias. Pagi ini ia tengah bersiap untuk hadir di acara peresmian showroom sepeda motor yang dipimpin Zeino. Proyek kerjasama, yang menurut Zee penuh drama itu, akhirnya berdiri juga. Tubuh semampainya telah berbalut seragam showroom yang khusus dipesan Zeino untuknya. Berbeda dengan tampilannya ketika menjadi GRO yang harus berblazer dan baju long dress dengan belahan di samping, kali ini Zee terlihat lebih casual. Ia mengikuti gaya pegawai showroom yang memang lebih santai dalam seragam lengan pendek warna hitam atau putih dengan bordiran logo di sana-sini. Seragam itu memang disukai Zeino dari pada padanan dasi dan jas yang terkesan kaku. Agar tak terlalu santai, rambut Zee yang biasa dicepol jika berkerja, sekarang dikuncir agak tinggi seperti gaya genie. Tak lupa riasan ringan untuk acara outdoor di pagi hari menghias wajahnya. Setelah merasa puas dengan tampilannya di kaca, Zee segera turun untuk menikmati sarapan bersama ib