Permulaan hari telah jauh merangkak sejak kokok pertama ayam jantan terdengar. Geliat anak cucu Adam yang mulai berpencaran di muka bumi untuk mencari rejeki ditemani sang mentari yang menyemangati. Sinar penguasa hari itu turut membias di sela jendela kamar Zeino. Perlahan kelopak mata pemuda yang masih bergelung memeluk guling, mengerjap. Pandangan pertamanya di pagi hari tertuju pada jam bundar kecil yang terletak di atas nakas.
Hoam!
Seiring hawa napas pagi yang masih menyisakan kantuk, tangan Zeino meraih telepon genggam yang berdampingan dengan jam bekernya. Ia memeriksa aplikasi pesan yang menampilkan notifikasi kabar belum terbaca. Senyum merekah ketika mendapati gadis yang menemaninya menikmati senja di Panorama mengirim sebuah pesan yang tercatat pada pukul enam pagi. Pemuda itu mengabaikan tumpukan pesan lainnya yang juga belum terbaca.
Kak Zeino, semangat ya revisinya. Jangan lupa sarapan dulu.
<Gadis dalam balutan dress berwarna hitam dengan blazer berlengan tiga perempat dan rambut dipilin menyerupai croissant itu, melangkah meninggalkan area kantor Front Office untuk menuju loker terlebih dahulu sebelum ke kantin karyawan.Sesampai di ruang yang biasa digunakan sebagai tempat penyimpanan barang-barang pribadi sekaligus area istirahat karyawan, Zee melepas blazernya dan mengganti sepatu berhak tingginya dengan sepatu tak bertumit.Jam istirahat yang biasanya hanya bisa ia nikmati untuk setengah jam dari satu jam jadwal seharusnya, cukup melepaskan penat di kaki dengan mengganti sepatunya selama makan. Memakai sepatu bertumit tinggi memang salah satu hal yang harus dibiasakannya sejak bekerja di hotel, selain stocking berwarna hitam karena seragam long dressnya berbelahan tinggi dari bagian kaki hingga setengah paha.Tak lupa gadis itu meraih telepon genggamnya, sambil duduk
Arloji di pergelangan tangan kiri Zefanya telah menunjukan pukul lima sore ketika ia menepikan sepeda motor matic-nya di sebuah perkarangan rumah bergaya kolonial. Sebuah rumah bercat putih dengan aksen pecahan batu berwarna hitam menghiasi tembok teras. Bangunan yang telah berdiri kokoh sejak zaman penjajahan itu merupakan kediaman keluarga almarhum ayah gadis itu.Berdampingan dengan bangunan tua yang masih terawat itu berdiri sebuah rumah bertingkat yang lebih modern dan megah. Di sana tinggal kakak tertua dari ayah mereka, Om Peter. Sementara di rumah lama tinggal adik bungsu ayah mereka, Tante Mauren yang belum menikah sampai saat ini, bersama keluarga Om Niko dan nenek mereka yang telah renta.Sambil menenteng kotak karton yang berisi bakpao isi kacang merah, Zefanya membuka pintu pagar samping rumah yang biasanya tidak dikunci. Dari pagar tersebut, Zee bisa langsung menuju paviliun di mana kamar Nenek Ruwina berada.Sep
Bersemu merah pipi Zefanya ketika anggota gengnya Lulu, Rayesa dan Lampita menggoda gadis itu setelah menerima telepon dari Zeino. “Ehem – ehem.” “Jangan lupa maem ya, Sayang.” “Love you, muach muach.” “Love you too, muach!” Bersahutan ketiga gadis centil yang masih sibuk mengurus skripsi itu bertingkah seolah-olah sedang menerima sambungan telepon dari pacar masing-masing. Tentunya mereka sedang mengolok Zefanya. “Ish, apaan sih!” balas Zefanya sambil melangkah kembali ke atas ranjangnya. Keempat gadis yang seumuran itu sedang melewatkan sore hingga malam di rumah Zefanya. Mereka sengaja datang selepas gadis itu selesai bekerja. Tentu saja kedatangan mereka menyambangi rumah gadis itu untuk meminta bantuan mengenai segala hal yang berhubungan dengan skripsi. “Jadi udah baikin nih? Mesra banget kayaknya.” Rayesa menatap dengan mengedipkan sebelah matanya. Zefanya hanya tersenyum tak menjawab. Ia langsung memaink
Pantulan di kaca rias setinggi badan yang terdapat di sudut loker menampilkan bayangan Zefanya yang telah rapi dengan seragam kerjanya. Ruang ganti sekaligus tempat istirahat karyawan wanita itu tentunya sudah ramai oleh pekerja yang mendapat shift pertama.Semua karyawati dari berbagai departemen atau outlet berlomba untuk segera menuntaskan sesi mematut diri sesuai standar grooming. Mereka berpenampilan professional sesuai dengan jabatan masing-masing. Baik itu dari bagian housekeeping yang bertugas membersihkan kamar, sampai ke bagian Front Office yang menjadi penyambut tamu."GRO? Pelayan?" cecar Mauren waktu Zee berkunjung beberapa hari yang lalu.Memang benar, setinggi apapun jabatan seseorang di sebuah hotel, sebut saja general manager, dia tetaplah seorang pelayan. Karena prinsip utama dalam jasa keramah-tamahan atau hospitality adalah melayani. Hingga tak ada yang salah dari perkataan Tante Mauren itu, ketika ia mengomentari p
Zeino Ardhana, pemuda yang belum mengunjungi barbershop selama tiga bulan terakhir sehingga ujung rambutnya mulai menjangkau kerah baju kemeja berwarna hitam yang dipakainya, terlihat sedang memasang arloji di pergelangan tangan kirinya. Petunjuk waktu itu telah sampai pada jadwal rencana keberangkatannya ke hotel tempat berlangsung pesta ulang tahun Talita.Bergegas ia meraih benda-benda yang tak mungkin ia lupa, dompet, handphone, kunci mobil, sekotak rokok dan tentunya pemantik api. Setelah memastikan semua masuk ke saku baju dan celananya, pemuda itu segera keluar dari kamar.Sesampai di ruang tengah kediamannya, Zeino melihat ayahnya sedang berada di sana dalam balutan busana yang juga rapi seperti dirinya. Tak lama kemudian, ibunya menyusul. Wanita yang terlihat anggun itu tersenyum melihat pada putra keduanya.“Zeino, kamu udah siap juga?” tanyanya sambil menatap tampilan Zeino.“Papa, Mama mau ke mana?” selidik pemuda itu“Tent
Empat pasang mata di meja VIP menatap dengan senyum semringah pada kedua muda-mudi yang sedang menuju ke arah mereka. Langkah Zeino mengekor Talita si gadis yang sedang merayakan ulang tahun pada malam itu dengan pikiran yang masih tertuju pada Zefanya.Sesampai di meja bundar yang telah ditata dengan berbabagai macam peralatan makan serta dekor bunga hidup di bagian tengah, Zeino menganggukan kepala pada papa mamanya dan tentu saja orangtua Talita.Pemuda itu hanya menarik seulas garis tipis di wajahnya ketika mama Talita memuji dan mengatakan jika Zeino makin terlihat gagah. Ia tak terlalu menghiraukan percakapan sahut menyahut antara dua keluarga yang sudah menjadi kolega bisnis sejak lama.Berbeda dengan Talita yang tak bisa menyembunyikan raut bahagia mendengar celotehan orang tua mereka yang membahas masa lalu. Masa di mana ia dan Zeino pernah terlibat dalam kegiatan bersama di usia belia.“Kamu makin ganteng
Zeino kembali ke ballroom dengan tangan hampa. Namun setelah mendengar informasi yang ia terima jika Zefanya sedang bekerja, ia mulai merasa tenang. Kekhawatirannya jika ada hal buruk menimpa gadis itu perlahan sirna, berganti rasa sesal. Ketidaksukaannya dengan pekerjaan Zee yang tak menentu, membuatnya berpikir ulang.Entah bagaimana membuat kamu mengerti, jika pekerjaan ini bukan satu-satunya di dunia, Zee.Setelah menyelesaikan tugas terakhirnya untuk menyajikan dessert, Zefanya segera menghadap pada Pak Willy, manajer yang bertanggungjawab pada malam itu. Beruntung ia hanya diperbantukan sebagai pramusaji tak sampai harus clear up atau membersihkan seluruh meja dari perlengkapan makan yang telah terpakai.“Good job, Zefanya. Tadi kamu luwes sekali. Seperti yang sudah terbiasa.”“Thank you bantuannya ya, Zefanya, Putri.Kedua gadis dengan postur yang seimbang itu
Sang fajar telah lama menyingsing, membawa hari baru setelah malam panjang yang melelahkan. Hari Minggu pagi ini, terasa berbeda. Zefanya yang biasanya telah meninggalkan kamarnya dalam keadaan rapi untuk menunaikan kewajibannya, hari ini masih menggelung dalam selimut. Kedua lengannya memeluk erat boneka anjing ukuran besar berwana cokelat tua yang ikut merasakan hangatnya kain putih tebal yang melilitnya. Bertambah hangat karena suhu tubuh gadis yang memeluknya sudah berada di ambang batas normal.Tok!Tok!Tok!Terdengar bunyi ketukan di pintu kamar seiring seruan suara yang memanggil penghuninya.“Zee!”Perlahan daun pintu terkuak. Kartika datang menghampiri ranjang. Wanita paruh baya itu lalu menyibak helaian rambut yang menutup separuh wajah putrinya. Lama ia menaruh punggung tangannya di dahi gadis itu.“Badan kamu panas. Kamu demam, Zee!”Zefanya menggeliat, perlahan kelopak matanya menge
Untuk apa menunggu, jika yang kau mau telah ada di hadapanmu. Untuk apa menunda jika hanya bersamanya kau merasa bahagia. Untuk apa meragu jika hanya dia yang ada di hatimu. Untuk apa bersama jika tak ada ikatan yang sah dan nyata. Kali kedua sepasang anak manusia itu membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Sesaat setelah pembukaan showroom berbulan-bulan yang lalu, mereka sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Memenuhi komitmen pekerjaan dan meresmikan ikatan cinta setelahnya. Sekarang ketika menjalani hubungan jarak jauh, keduanya berusaha mempersingkat jarak. Dan upaya itu bersyarat, harus berlabel sah jika tetap memaksa. Memang lebih cepat dari apa yang mereka rencanakan. Tentu belum semua sempurna seperti angan. Namun apa tolak ukur sempurna itu perlu ketika ada rasa terpenuhi dengan apa yang ada di tangan? Keraguan karena ketakutan akan terulang sejarah pahit dari orang-orang terdekat, tak seharusnya menjadi pemata
Di sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Zeino, Zee tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Bukan karena grogi, ia sudah sering berkunjung ke sana, tapi kali ini Zee tak bisa menghalau kecemasannya. Kepergok oleh orangtua Zeino saat mereka sedang berpelukan, membuat Zee gundah dan malu. Zeino berusaha menenangkan Zee. Genggaman jemarinya tak lepas meski sebelah tangannya harus memegang kemudi. Zeino sendiri tak bisa menerka apa yang akan dilakukan oleh papanya, hingga meminta mereka menyusul ke rumah. Sesampai di kediamannya, Zeino melangkah pasti dengan tak membiarkan Zee menarik genggaman jemarinya. Keduanya memasuki ruang tamu namun tak menemukan Handoko di sana. Seorang pelayan yang datang menghampiri memberitahu jika mereka diminta menunggu di ruang kerja. Pilihan ruang kerja sebagai tempat bertemu tentu memberi kesan berbeda. Zee merasakan ada hal serius yang akan dibicarakan. Dan tentu akan ada hubungannya dengan kejadian di kan
“Kamu pasti tahu, untuk membuka cabang showroom di daerah utara, penjualan harus setengah break even point dulu. Kalau tidak, harus ada sumber dana lain.” “Pa, modal kita yang terpakai hanya setengah. Karena yang di sini ada kerjasama dengan Pak Sony. Zei, mau ijin Papa untuk pakai dana yang tesisa untuk memulai buka cabang di wilayah utara.” “Belum cukup Zei. Harga tanah dan bangunan di wilayah utara cukup tinggi. Apa mau kerjasama lagi dengan Pak Sony.” “Kali ini cukup kita saja, Pa.” “Lalu kamu mau dapat tambahan modal dari mana?” “Waktu kunjugan ke kantor lisensi, ada pihak bank yang menawarkan kredit usaha. Beberapa hari ini Zei pelajari, bunganya cukup rendah. Zei akan coba ini, Pa.” Handoko tak langsung menanggapi. Pria paruh baya itu meraih cangkir berisi kopi hitam di atas meja. Menyeruput perlahan lalu menaruh kembali cangkir porselen itu ke tempat semula. “Coba kamu buat proposalnya. Papa mau pelajari
Memenuhi janjinya, Zee menerima kunjungan Batara Bramantyo di restoran hotel sambil sarapan. Gadis itu tak sendiri, tentu Zeino ada di sampingnya. Keduanya menempati sebuah meja yang berkapasitas empat orang. Dua buah kursi masih belum ditempati. Tak lama berselang sejak kedatangan mereka, seorang pria datang mendekat. Pria itu dibalut stelan baju kerja formal lengkap dengan jas dan dasi yang senada. Terlihat ia mengedarkan pandangan ke suluruh penjuru restoran. Ia mengukir senyum begitu menemukan sosok yang dicarinya. Pria yang tak lain adalah Batara Bramantyo itu disambut dengan baik oleh sepasang muda-mudi yang terlihat berdiri sambil menyapa dengan senyuman. “Selamat pagi, Pak Batara.” Zee menyapa terlebih dahulu. Lalu menyusul Zeino mengakat tubuhnya dari kursi. Mereka saling berjabat tangan. “Pagi. Apa kabar kalian?” Percakapan basa-basi sekedar pembuka bicara itu berlangsung singkat. Mereka sepakat untuk melanjutkan bincang santai sambi
Kecenderungan anak laki-laki akan lebih dekat pada ibu daripada ayah, sepertinya berlaku pada Zeino. Pemuda yang sangat irit bicara apalagi mengungkapkan isi hati pada orang lain itu, perlahan memang lebih terbuka pada Utari, sang ibu. Tentu sikapnya itu tak lepas karena tanggapan Utari yang bisa disebut sangat menerima kehadiran Zee sebagai orang terdekatnya. Malam ini sebelum berangkat menenuhi undangan perusahaan lisensi, Zeino berbincang dengan Utari di sudut taman rumah. Hanya ada mereka berdua. Handoko masih ada kegiatan di luar bersama rekan bisnisnya. “Jadi karena alasan Talita akhirnya kamu membawa Zee ikut serta?” tanya Utari yang kemudian mendengar tentang Talita yang mengadu pada mamanya tentang Zeino yang tak berangkat bersama. Tentu saja Silvia langsung menghubungi Utari untuk merubah semua rencana Zeino. “Salah satunya karena itu, Ma. Ini juga sekalian mau meyakinkan Zee tentang pilihan tempat kerjanya yang baru nantinya.” “Zee jadi pin
“Jadi, elo tetep pindah kota?” Kedua bola mata Rayesa semakin membulat mendengar cerita Zee. “Kak Zeino ngijinin?” tanyanya lagi. Terlihat Zee menganggukan kepala. “Serius?” Kali ini terlihat raut tak percaya terpampang di wajah Lulu. “Bakal LDR-an 2 tahun?” Lampita ikut menimpali. “Iya.” Akhirnya Zee bersuara tak hanya sekedar menggoyang kepala turun naik. “Tujuh ratus tiga puluh hari loh, Zee. Ga bakal ketemuan, gitu?!” timpal Lampita setelah bermain hitung-hitungan dengan jemarinya. “Ya ga gitu juga kali ngitungnya. Emang jadi TKW ga pulang-pulang 2 tahun. Kan ada hari libur, cuti. Aku bisa pulang. Ato Kak Zeino yang nyamperin.” Zee dan teman-teman gengnya menyempatkan diri untuk bertemu di sela-sela kesibukan masing-masing. Lulu yang masih harus memutar otak untuk mendapat restu, Rayesa yang sudah mulai bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi dan Lampita yang menjalankan bisnis onlinenya. Mereka mengh
Senja telah menelan semesta. Lenyap kuasa cahaya sang surya berganti sinar rembulan yang belum bulat sempurna. Ditemani setitik sinar yang berpijar tanpa jeda, sang bintang kejora. Zee dan Zeino beranjak dari Panorama. Keduanya kembali berkendara meninggalkan sepenggal percakapan yang masih diakhiri tanda koma. “Sudah gelap, kita cari makan dulu, ya.” Sebuah restoran yang berada tak jauh dari Panorama menjadi pilihan Zeino. Restoran itu juga memiliki pemandangan lepas ke arah pusat kota karena terletak di dataran yang cukup tinggi. “Kita udah pacaran berapa tahun ya, Zee?” Zeino membuka percakapan lagi sambil menunggu pesanan mereka datang. “Berapa tahun, ya? Ngitungnya dari kapan? Bingung.” Zee menerawang. Kilas peristiwa pertemuan pertama mereka bermain di pelupuk mata. Mereka berdua sering bertemu ketika Lulu dan Dito saling mengunjugi fakultas masing-masing. Atau ketika mereka mengajak bertemu di luar kampus. Baik Zee maupun Zeino
Bagaimana pun untuk menghalau resah, perasaan tetaplah hal yang gampang diombang – ambing oleh kenyataan dan peristiwa. Hal itu yang sedang dirasakan Zee saat ikut menghadiri peresmian showroom. Dari sejak menginjak pelataran parkir, ia sudah tak asing dengan pemandangan yang ditemuinya. Pemandangan yang hampir sama, pernah dilihatnya melalui mimpi. Perlahan satu-satu per satu rekaman alam bawah sadarnya menyesuaikan di alam nyata. Tepat ketika momen yang membuat resah, Zee memutuskan untuk menjauh. Jujur, ia tak punya keberanian untuk mendengar langsung jika kalimat-kalimat yang meluncur dari keluarga Zeino dan Talita setelah keberhasilan mereka berdua membuka showroom akan benar-benar terucap. “Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan? “Kalian sudah cocok, bisa buka bisnis bersama. Jadi berumahtangga juga akan bisa sama-sama.” Zee tak tahu apa benar akhirnya ada percakapan seperti itu di de
Zee mematut diri di depan kaca rias. Pagi ini ia tengah bersiap untuk hadir di acara peresmian showroom sepeda motor yang dipimpin Zeino. Proyek kerjasama, yang menurut Zee penuh drama itu, akhirnya berdiri juga. Tubuh semampainya telah berbalut seragam showroom yang khusus dipesan Zeino untuknya. Berbeda dengan tampilannya ketika menjadi GRO yang harus berblazer dan baju long dress dengan belahan di samping, kali ini Zee terlihat lebih casual. Ia mengikuti gaya pegawai showroom yang memang lebih santai dalam seragam lengan pendek warna hitam atau putih dengan bordiran logo di sana-sini. Seragam itu memang disukai Zeino dari pada padanan dasi dan jas yang terkesan kaku. Agar tak terlalu santai, rambut Zee yang biasa dicepol jika berkerja, sekarang dikuncir agak tinggi seperti gaya genie. Tak lupa riasan ringan untuk acara outdoor di pagi hari menghias wajahnya. Setelah merasa puas dengan tampilannya di kaca, Zee segera turun untuk menikmati sarapan bersama ib