Zeino Ardhana, pemuda yang belum mengunjungi barbershop selama tiga bulan terakhir sehingga ujung rambutnya mulai menjangkau kerah baju kemeja berwarna hitam yang dipakainya, terlihat sedang memasang arloji di pergelangan tangan kirinya. Petunjuk waktu itu telah sampai pada jadwal rencana keberangkatannya ke hotel tempat berlangsung pesta ulang tahun Talita.
Bergegas ia meraih benda-benda yang tak mungkin ia lupa, dompet, handphone, kunci mobil, sekotak rokok dan tentunya pemantik api. Setelah memastikan semua masuk ke saku baju dan celananya, pemuda itu segera keluar dari kamar.
Sesampai di ruang tengah kediamannya, Zeino melihat ayahnya sedang berada di sana dalam balutan busana yang juga rapi seperti dirinya. Tak lama kemudian, ibunya menyusul. Wanita yang terlihat anggun itu tersenyum melihat pada putra keduanya.
“Zeino, kamu udah siap juga?” tanyanya sambil menatap tampilan Zeino.
“Papa, Mama mau ke mana?” selidik pemuda itu
“Tentunya ke pesta ulang tahun Talita, dong.” Mama Zeino berkata masih dengan senyum.
“Owh.” Bibir Zeino membulat.
“Mau bareng?” tawar papanya kemudian.
“Ga, Pa. Zei ada janji bareng temen,” elaknya
“Ya udah, ketemu di sana, ya!” Perintah dari papanya itu dijawab dengan anggukan.
Zeino pamit pada orangtuanya. Mereka berpisah menuju kendaraan masing-masing.
Dalam hati pemuda itu sempat tak menyangka jika pesta ulang tahun itu juga mengundang kolega dari papa Talita. Dan tentu saja kedua orangtuanya tak luput dari daftar undangan. Mereka sudah menjadi rekan bisnis sejak dulu.
Zeino memang termasuk anak yang jarang berbagi cerita kehidupan pribadi atau kampus pada keluarga. Biasanya ia hanya akan memberitahu tentang jadwal ujian atau bayar semesteran saja.
Sikap dan tabiat Zeino ketika di luar dan di rumah sama saja. Ia nyaris tak pernah membuat ribut atau mencari gara-gara sejak mulai kuliah. Dia dan kedua saudaranya, juga sangat jarang berlama-lama bertukar cerita.
Kakak perempuannya tinggal terpisah sejak berkeluarga, sedang adiknya masih duduk di bangku SMA. Seperti halnya Zeino dulu, adik laki-lakinya menempuh pendidikan di sekolah yang dilengkapi asrama. Sementara kedua orangtuanya sibuk mengurus usaha showroom mereka. Benar-benar cerminan keluarga masa kini yang modern.
Sebelum menghidupkan mobil, Zeino memeriksa telepon genggamnya sejenak. Pemuda itu mendapati pesan singkat dari Zefanya yang mengabarkan bahwa ia sedang bersiap. Pesan itu terkirim dua jam yang lalu. Setelah ia membalas untuk mengatakan jika ia sedang dalam perjalanan, pemuda itu lalu memacu kendaraannya keluar dari halaman rumah.
Sementara itu di tempat terpisah, Zefanya tak punya pilihan. Gadis itu kembali menganggukan kepala saat atasannya menghampiri sebelum langkahnya menyusul penanggung jawab acara ulang tahun malam ini.
“Zee, kamu nanti masih bisa ikut pesta setelah dinner. Acara selanjutnya ‘kan acara anak muda.”
Gadis itu lalu melanjutkan langkah menyusul ketertiggalannya dari Putri yang tepat berada di belakang Pak Willy. Sambil berjalan, ia teringat akan telepon genggamnya yang masih berada di loker.
Zee berniat memberi kabar pada Zeino tentang tugas tambahannya yang akan membuatnya tak bisa datang bersamaan. Namun belum langkahnya berbelok arah ke basement, suara panggilan dari rekannya membuat ia berhenti.
“Zee, ayo cepetan!”
“Bentar, Mbak. Aku mau ke loker dulu.”
“Udah, nanti aja. Kata Pak Willy kita harus ganti baju di ruang make up ballroom. EO udah sediain semua.”
Zefanya masih bimbang. Melihat hal itu, Putri kembali berkata,”kamu juga harus belajar cara serving 'kan? Ayo waktu kita ga banyak. Ntar salah-salah, diomelin.”
"Benar juga, ini pengalaman pertamanya melayani perjamuan formal," gumam gadis itu.
Berusaha menghalau pikirannya yang bercabang, Zefanya mencoba menenangkan diri. Nanti ia akan mencari cara untuk menghampiri Zeino dan memberitahu jika ia akan bertugas dalam barisan food parade, begitu rencananya.
Pemuda itu pasti akan mengerti, toh setelah dinner selesai, ia bisa bergabung dengan pacarnya itu menikmati pesta yang ternyata juga menghadirkan DJ dan pemain musik yang cukup terkenal.
Begitu sampai di area pre function samping ballroom, Zefanya langsung bergabung dengan tim food parade yang lain. Kedatangannya bersama Putri melengkapi tim tersebut menjadi 20 pasang.
Masing-masing pasangan akan melayani 1 meja bulat yang berisikan 10 orang tamu. Gadis itu memerhatikan dengan seksama urutan dan tata cara petugas wanita menyajikan menu, sementara petugas pria bertugas membawa tray yang berisi makanan.
Gadis itu merasa lega, sebab ia tak kebagian melayani meja tamu VIP yang dapat dipastikan akan menjadi tempat duduk Talita, gadis yang sedang berulang tahun. Terus terang saja, ia merasa sedikit grogi, takut membuat kesalahan.
Kelegaanya pun semakin membantu mengikis rasa khawatirnya ketika seragam yang harus ia kenakan dilengkapi topeng. Setidaknya dengan topeng itu Talita tak akan mengenalinya. Entah kenapa, ia merasa tidak nyaman dengan posisinya saat ini. Menjadi pelayan di pesta anak maba keganjenan yang suka mencari-cari alasan untuk bertemu dengan Zeino.
Sampai satu per satu tamu berdatangan, Zefanya tak menemukan cara untuk mengintip ke pintu utama ballroom. Niatnya untuk mencegat Zeino untuk memberitahukan keberadaannya belum terlaksana.
Pak Willy masih memintanya mengulang kembali tata cara menyajikan makanan. Memastikan jika ia harus melakukan layanan pada tamu perempuan terlebih dahulu dan harus teratur dan konsisten dari sebelah kanan atau kiri saja. Tak boleh digabung-gabung. Termasuk bagaimana cara melampirkan serbet di pangkuan para tamu hingga menuang minuman. Semua memang hal yang baru baginya.
Lima menit lewat dari jam tujuh malam, pemuda dalam balutan kemeja hitam dan blazer berbahan corduroy warna khaki itu mengayunkan langkah sampai di pintu ballroom. Kedua netra hitamnya memindai sekeliling area yang terlihat ramai oleh tamu-tamu yang sudah berdatangan. Hampir sepuluh menit ia menunggu, hingga sepasang wanita dan laki-laki paruh baya mendekatinya.
‘Kamu masih di sini, Zei? Kenapa ga masuk?” tanya wanita anggun dalam dress panjang berwarna pastel yang tak lain adalah mama Zeino.
“Masih nunggu teman, Ma,” jawab pemuda itu.
“Ya udah, nanti kita duduk satu meja saja. Bawa temanmu itu.” Zeino hanya mengangguk membalas perintah orangtuanya.
Setelah kedua orangtuanya berlalu, Zeino meraih telepon genggam di saku kemejanya. Pemuda itu membuka kunci layar, ia berniat menghubungi gadis yang sedari tadi ditunggunya.
Terdengar nada sambung. Namun sampai dering terakhir, permintaan panggilannya tak terjawab. Kembali Zeino melempar pandangan ke sekeliling ballroom. Lalu terbesit niat untuk bertanya pada petugas hotel yang terlihat berlalu lalang.
Pasti mereka tahu dan kenal sama Zee.
“Mas, permisi. Apa lihat Zefanya, yang juga kerja di sini?” tanyanya ketika berhasil mencegat seorang pemuda yang berpakaian seragam hotel lengkap dengan nametag di dada kiri.
“Zefanya?”
“Iya, Zefanya Ayunda. Zee. Itu yang kerja di bagian depan.”
“Maaf, Mas. Saya kurang tahu, coba tanya ke receptionis saja.”
Zeino hanya bisa mengucapkan terima kasih pada petugas hotel itu, ia berniat menuruti sarannya. Namun langkahnya yang baru beberapa depa terhenti ketika suara renyah yang terdengar ceria memanggilnya.
Seorang gadis yang terlihat cantik dan menawan pada perayaan ulang tahunnya itu datang menghampiri.
“Kak Zeino! Mau ke mana? Ayo masuk, acaranya sudah mau dimulai.”
“Sebentar, Talita. Lagi nunggu Zee.”
“Nunggunya di dalam aja, Kak. Ayo, Om sama Tante nyariin tuh.”
Berpikir sejenak, akhirnya Zeino mengikuti langkah Talita yang menggiringnya memasuk ke ballroom.
Di mana kamu, Zee.
Empat pasang mata di meja VIP menatap dengan senyum semringah pada kedua muda-mudi yang sedang menuju ke arah mereka. Langkah Zeino mengekor Talita si gadis yang sedang merayakan ulang tahun pada malam itu dengan pikiran yang masih tertuju pada Zefanya.Sesampai di meja bundar yang telah ditata dengan berbabagai macam peralatan makan serta dekor bunga hidup di bagian tengah, Zeino menganggukan kepala pada papa mamanya dan tentu saja orangtua Talita.Pemuda itu hanya menarik seulas garis tipis di wajahnya ketika mama Talita memuji dan mengatakan jika Zeino makin terlihat gagah. Ia tak terlalu menghiraukan percakapan sahut menyahut antara dua keluarga yang sudah menjadi kolega bisnis sejak lama.Berbeda dengan Talita yang tak bisa menyembunyikan raut bahagia mendengar celotehan orang tua mereka yang membahas masa lalu. Masa di mana ia dan Zeino pernah terlibat dalam kegiatan bersama di usia belia.“Kamu makin ganteng
Zeino kembali ke ballroom dengan tangan hampa. Namun setelah mendengar informasi yang ia terima jika Zefanya sedang bekerja, ia mulai merasa tenang. Kekhawatirannya jika ada hal buruk menimpa gadis itu perlahan sirna, berganti rasa sesal. Ketidaksukaannya dengan pekerjaan Zee yang tak menentu, membuatnya berpikir ulang.Entah bagaimana membuat kamu mengerti, jika pekerjaan ini bukan satu-satunya di dunia, Zee.Setelah menyelesaikan tugas terakhirnya untuk menyajikan dessert, Zefanya segera menghadap pada Pak Willy, manajer yang bertanggungjawab pada malam itu. Beruntung ia hanya diperbantukan sebagai pramusaji tak sampai harus clear up atau membersihkan seluruh meja dari perlengkapan makan yang telah terpakai.“Good job, Zefanya. Tadi kamu luwes sekali. Seperti yang sudah terbiasa.”“Thank you bantuannya ya, Zefanya, Putri.Kedua gadis dengan postur yang seimbang itu
Sang fajar telah lama menyingsing, membawa hari baru setelah malam panjang yang melelahkan. Hari Minggu pagi ini, terasa berbeda. Zefanya yang biasanya telah meninggalkan kamarnya dalam keadaan rapi untuk menunaikan kewajibannya, hari ini masih menggelung dalam selimut. Kedua lengannya memeluk erat boneka anjing ukuran besar berwana cokelat tua yang ikut merasakan hangatnya kain putih tebal yang melilitnya. Bertambah hangat karena suhu tubuh gadis yang memeluknya sudah berada di ambang batas normal.Tok!Tok!Tok!Terdengar bunyi ketukan di pintu kamar seiring seruan suara yang memanggil penghuninya.“Zee!”Perlahan daun pintu terkuak. Kartika datang menghampiri ranjang. Wanita paruh baya itu lalu menyibak helaian rambut yang menutup separuh wajah putrinya. Lama ia menaruh punggung tangannya di dahi gadis itu.“Badan kamu panas. Kamu demam, Zee!”Zefanya menggeliat, perlahan kelopak matanya menge
Pemuda jangkung dengan rambut yang mulai gondrong itu dengan tergesa menyelesaikan ritual membersihkan diri di kamar mandi. Setelah bangun kesiangan di hari Minggu pagi, Zeino yang teringat akan Zefanya. Ia melakukan panggilan suara, setelah pesan yang ia kirim dini hari tadi untuk mengabarkan jika ia telah sampai di rumah masih dalam status belum dibaca.Tak biasanya Zefanya tak membalas kabarnya. Jika hari ini ia bekerja, pasti sebelum berangkat akan mengirim kabar padanya.Mendapati kabar yang ia terima langsung dari ibu Kartika jika Zefanya sedang deman, Zeino memutuskan untuk membesuk. Setelah selesai mandi, pemuda itu segera menuju garasi untuk mengambil sepeda motornya.Ketika melewati ruang keluarga yang berdekatan dengan ruang makan, langkah kakinya terhenti begitu mendengar sapaan yang cukup nyaring.“Zeino! Mau ke mana?”Dari tempatnya berdiri, Zeino bisa m
Zeino mengekor langkah Kartika hingga ke dapur. Tentu saja ini pertama kalinya ia memasuki ruang memasak di rumah pacarnya. Biasanya ia hanya sampai di ruang tamu, namun hari ini ia telah sangat jauh melangkah hingga ke ruang pribadi.Pemuda itu mendapati kesan hangat di rumah yang tak mewah tapi ditata dengan apik. Tak terlalu luas, tapi tiap ruang memberi kesan lapang karena tak bayak sekat.Pemuda itu akhirnya menyeruput teh yang telah ikut turut naik turun tangga di meja makan. Ia mengembalikan cangkir ke tadahnya setelah menghabiskan setengah cairan berwarna cokelat keemasan itu.“Maaf ya, Zeino. Bunda belum sempat bikin kudapan.”“Ga apa-apa, Bunda. Beneran tadi sudah sarapan nasi goreng. Masih kenyang,” balas Zeino sambil tersenyum tulus.“Tapi nanti kamu makan siang, ya. Ini Bunda mau bikin sop ceker. Kamu pernah makan ceker ga?” tanya Kartika sambil menunjukan sekantong ceker dalam plas
Ketidakhadiran Zeino di lapangan futsal pada hari Minggu sore membuat Dito cs mencari-cari keberadaannya. Ketika mengetahui jika penyebab tak datangnya Zeino karena Zefanya sedang sakit, tentu saja rasa solidaritas mereka muncul.Alih-alih merebutkan bola di lapangan, sore itu mereka berebut kudapan yang disediakan oleh pemilik rumah saat menjenguk Zefanya. Kursi ruang tamu di rumah minimalis itu terisi seakan penuh oleh tingkah tiga orang pemuda yang sudah terlanjur memakai baju futsal bersama seorang lagi yang belum berganti baju dari pagi.Sementara di lantai dua di kamar, terlihat Zefanya dan teman perempuannya berada di atas ranjang yang menghadap ke televisi. Gadis itu menyandarkan kepalanya pada bahu Lulu, sementara Rayesa ada di sampingya sedangkan Lampita memilih duduk miring sambil memijit-mijit kaki gadis yang masih dalam masa penyembuhan itu.“Kamu tuh pasti kecapean deh,” tebak Lulu“Ho oh. Capek hati s
Malam telah merambat jauh ketika Zeino bisa melepaskan penat di atas peraduannya. Kehadirannya kembali ke rumah setelah seharian di kediaman Zefanya menuai tanya dari mama dan kakak perempuannya yang ternyata belum pulang.“Dari mana saja, kamu? Katanya tadi cuma sebentar. Kamu besuk orang satu rumah sakit?” tegur Melisa.“Tadi juga jalan sama temen,” jawab Zeino dengan gaya santainya.“Maen mulu, deh. Gimana? Kapan wisuda?” sindir kakak perempuannya itu.Lagi-lagi pertanyaan yang sama. Kapan wisuda. Zeino akan memainkan kunci motor di tangan setiap kali medapat kalimat tanya itu.“Baru juga telat satu semester, udah kayak mau di DO aja,” gumamnya.Dengan muka datarnya, Zeino membalas,“habis revisi ini, bisa sidang.”“Baru mau sidang semester ini? Bisa-bisa wisudanya semest
Zefanya akhirnya diantar Zeino ke butik Kartika yang berada di pusat perbelanjaan setelah menghabiskan satu porsi bakmi pedas yang dibawanya. Gadis itu merasa suntuk sendirian di rumah. Sedangkan Zeino harus kembali ke kampus sehingga ia tak ikut menemani Zee yang terlihat masih bermasalah dengan hati itu.Berlembar - lembar kertas HVS putih menjadi wadah melampiaskan resah Zefanya. Dia hanya duduk di pojok sambil memainkan pensil, mengoret-ngoret garis tipis membentuk karikatur. Kartika yang setelah pulang kerja mampir untuk memeriksa laporan keuangan usahanya itu, berkali mencoba menenangkan hati anak gadisnya.“Belum tentu juga Zeino malu atau ga anggap kamu pacar.” Kartika berpendapat dan berusaha netral.“Jelas-jelas dia bilangnya ‘temen’, Bun," sungut Zee tanpa menghentikan kegabutannya.“Bunda memang baru beberapa kali ketemu dan ngobrol sama dia, tapi menur
Untuk apa menunggu, jika yang kau mau telah ada di hadapanmu. Untuk apa menunda jika hanya bersamanya kau merasa bahagia. Untuk apa meragu jika hanya dia yang ada di hatimu. Untuk apa bersama jika tak ada ikatan yang sah dan nyata. Kali kedua sepasang anak manusia itu membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Sesaat setelah pembukaan showroom berbulan-bulan yang lalu, mereka sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Memenuhi komitmen pekerjaan dan meresmikan ikatan cinta setelahnya. Sekarang ketika menjalani hubungan jarak jauh, keduanya berusaha mempersingkat jarak. Dan upaya itu bersyarat, harus berlabel sah jika tetap memaksa. Memang lebih cepat dari apa yang mereka rencanakan. Tentu belum semua sempurna seperti angan. Namun apa tolak ukur sempurna itu perlu ketika ada rasa terpenuhi dengan apa yang ada di tangan? Keraguan karena ketakutan akan terulang sejarah pahit dari orang-orang terdekat, tak seharusnya menjadi pemata
Di sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Zeino, Zee tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Bukan karena grogi, ia sudah sering berkunjung ke sana, tapi kali ini Zee tak bisa menghalau kecemasannya. Kepergok oleh orangtua Zeino saat mereka sedang berpelukan, membuat Zee gundah dan malu. Zeino berusaha menenangkan Zee. Genggaman jemarinya tak lepas meski sebelah tangannya harus memegang kemudi. Zeino sendiri tak bisa menerka apa yang akan dilakukan oleh papanya, hingga meminta mereka menyusul ke rumah. Sesampai di kediamannya, Zeino melangkah pasti dengan tak membiarkan Zee menarik genggaman jemarinya. Keduanya memasuki ruang tamu namun tak menemukan Handoko di sana. Seorang pelayan yang datang menghampiri memberitahu jika mereka diminta menunggu di ruang kerja. Pilihan ruang kerja sebagai tempat bertemu tentu memberi kesan berbeda. Zee merasakan ada hal serius yang akan dibicarakan. Dan tentu akan ada hubungannya dengan kejadian di kan
“Kamu pasti tahu, untuk membuka cabang showroom di daerah utara, penjualan harus setengah break even point dulu. Kalau tidak, harus ada sumber dana lain.” “Pa, modal kita yang terpakai hanya setengah. Karena yang di sini ada kerjasama dengan Pak Sony. Zei, mau ijin Papa untuk pakai dana yang tesisa untuk memulai buka cabang di wilayah utara.” “Belum cukup Zei. Harga tanah dan bangunan di wilayah utara cukup tinggi. Apa mau kerjasama lagi dengan Pak Sony.” “Kali ini cukup kita saja, Pa.” “Lalu kamu mau dapat tambahan modal dari mana?” “Waktu kunjugan ke kantor lisensi, ada pihak bank yang menawarkan kredit usaha. Beberapa hari ini Zei pelajari, bunganya cukup rendah. Zei akan coba ini, Pa.” Handoko tak langsung menanggapi. Pria paruh baya itu meraih cangkir berisi kopi hitam di atas meja. Menyeruput perlahan lalu menaruh kembali cangkir porselen itu ke tempat semula. “Coba kamu buat proposalnya. Papa mau pelajari
Memenuhi janjinya, Zee menerima kunjungan Batara Bramantyo di restoran hotel sambil sarapan. Gadis itu tak sendiri, tentu Zeino ada di sampingnya. Keduanya menempati sebuah meja yang berkapasitas empat orang. Dua buah kursi masih belum ditempati. Tak lama berselang sejak kedatangan mereka, seorang pria datang mendekat. Pria itu dibalut stelan baju kerja formal lengkap dengan jas dan dasi yang senada. Terlihat ia mengedarkan pandangan ke suluruh penjuru restoran. Ia mengukir senyum begitu menemukan sosok yang dicarinya. Pria yang tak lain adalah Batara Bramantyo itu disambut dengan baik oleh sepasang muda-mudi yang terlihat berdiri sambil menyapa dengan senyuman. “Selamat pagi, Pak Batara.” Zee menyapa terlebih dahulu. Lalu menyusul Zeino mengakat tubuhnya dari kursi. Mereka saling berjabat tangan. “Pagi. Apa kabar kalian?” Percakapan basa-basi sekedar pembuka bicara itu berlangsung singkat. Mereka sepakat untuk melanjutkan bincang santai sambi
Kecenderungan anak laki-laki akan lebih dekat pada ibu daripada ayah, sepertinya berlaku pada Zeino. Pemuda yang sangat irit bicara apalagi mengungkapkan isi hati pada orang lain itu, perlahan memang lebih terbuka pada Utari, sang ibu. Tentu sikapnya itu tak lepas karena tanggapan Utari yang bisa disebut sangat menerima kehadiran Zee sebagai orang terdekatnya. Malam ini sebelum berangkat menenuhi undangan perusahaan lisensi, Zeino berbincang dengan Utari di sudut taman rumah. Hanya ada mereka berdua. Handoko masih ada kegiatan di luar bersama rekan bisnisnya. “Jadi karena alasan Talita akhirnya kamu membawa Zee ikut serta?” tanya Utari yang kemudian mendengar tentang Talita yang mengadu pada mamanya tentang Zeino yang tak berangkat bersama. Tentu saja Silvia langsung menghubungi Utari untuk merubah semua rencana Zeino. “Salah satunya karena itu, Ma. Ini juga sekalian mau meyakinkan Zee tentang pilihan tempat kerjanya yang baru nantinya.” “Zee jadi pin
“Jadi, elo tetep pindah kota?” Kedua bola mata Rayesa semakin membulat mendengar cerita Zee. “Kak Zeino ngijinin?” tanyanya lagi. Terlihat Zee menganggukan kepala. “Serius?” Kali ini terlihat raut tak percaya terpampang di wajah Lulu. “Bakal LDR-an 2 tahun?” Lampita ikut menimpali. “Iya.” Akhirnya Zee bersuara tak hanya sekedar menggoyang kepala turun naik. “Tujuh ratus tiga puluh hari loh, Zee. Ga bakal ketemuan, gitu?!” timpal Lampita setelah bermain hitung-hitungan dengan jemarinya. “Ya ga gitu juga kali ngitungnya. Emang jadi TKW ga pulang-pulang 2 tahun. Kan ada hari libur, cuti. Aku bisa pulang. Ato Kak Zeino yang nyamperin.” Zee dan teman-teman gengnya menyempatkan diri untuk bertemu di sela-sela kesibukan masing-masing. Lulu yang masih harus memutar otak untuk mendapat restu, Rayesa yang sudah mulai bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi dan Lampita yang menjalankan bisnis onlinenya. Mereka mengh
Senja telah menelan semesta. Lenyap kuasa cahaya sang surya berganti sinar rembulan yang belum bulat sempurna. Ditemani setitik sinar yang berpijar tanpa jeda, sang bintang kejora. Zee dan Zeino beranjak dari Panorama. Keduanya kembali berkendara meninggalkan sepenggal percakapan yang masih diakhiri tanda koma. “Sudah gelap, kita cari makan dulu, ya.” Sebuah restoran yang berada tak jauh dari Panorama menjadi pilihan Zeino. Restoran itu juga memiliki pemandangan lepas ke arah pusat kota karena terletak di dataran yang cukup tinggi. “Kita udah pacaran berapa tahun ya, Zee?” Zeino membuka percakapan lagi sambil menunggu pesanan mereka datang. “Berapa tahun, ya? Ngitungnya dari kapan? Bingung.” Zee menerawang. Kilas peristiwa pertemuan pertama mereka bermain di pelupuk mata. Mereka berdua sering bertemu ketika Lulu dan Dito saling mengunjugi fakultas masing-masing. Atau ketika mereka mengajak bertemu di luar kampus. Baik Zee maupun Zeino
Bagaimana pun untuk menghalau resah, perasaan tetaplah hal yang gampang diombang – ambing oleh kenyataan dan peristiwa. Hal itu yang sedang dirasakan Zee saat ikut menghadiri peresmian showroom. Dari sejak menginjak pelataran parkir, ia sudah tak asing dengan pemandangan yang ditemuinya. Pemandangan yang hampir sama, pernah dilihatnya melalui mimpi. Perlahan satu-satu per satu rekaman alam bawah sadarnya menyesuaikan di alam nyata. Tepat ketika momen yang membuat resah, Zee memutuskan untuk menjauh. Jujur, ia tak punya keberanian untuk mendengar langsung jika kalimat-kalimat yang meluncur dari keluarga Zeino dan Talita setelah keberhasilan mereka berdua membuka showroom akan benar-benar terucap. “Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan? “Kalian sudah cocok, bisa buka bisnis bersama. Jadi berumahtangga juga akan bisa sama-sama.” Zee tak tahu apa benar akhirnya ada percakapan seperti itu di de
Zee mematut diri di depan kaca rias. Pagi ini ia tengah bersiap untuk hadir di acara peresmian showroom sepeda motor yang dipimpin Zeino. Proyek kerjasama, yang menurut Zee penuh drama itu, akhirnya berdiri juga. Tubuh semampainya telah berbalut seragam showroom yang khusus dipesan Zeino untuknya. Berbeda dengan tampilannya ketika menjadi GRO yang harus berblazer dan baju long dress dengan belahan di samping, kali ini Zee terlihat lebih casual. Ia mengikuti gaya pegawai showroom yang memang lebih santai dalam seragam lengan pendek warna hitam atau putih dengan bordiran logo di sana-sini. Seragam itu memang disukai Zeino dari pada padanan dasi dan jas yang terkesan kaku. Agar tak terlalu santai, rambut Zee yang biasa dicepol jika berkerja, sekarang dikuncir agak tinggi seperti gaya genie. Tak lupa riasan ringan untuk acara outdoor di pagi hari menghias wajahnya. Setelah merasa puas dengan tampilannya di kaca, Zee segera turun untuk menikmati sarapan bersama ib