Di sebuah bangku taman kota yang terletak di seberang jalan bangunan hotel megah, terlihat seorang gadis sedang duduk sambil bercengkrama dengan telepon genggamnya. Zee, gadis yang beberapa saat yang lalu mendapatkan kejutan beruntun dari atasannya itu, sengaja memilih menunggu di sana agar Zeino tak perlu memutar jauh untuk menghampiri.
Selain itu pilihan menunggu di taman kota, bukan di area masuk karyawan, agar ia bisa menghindari ajakan rekan kerjanya yang masih berkumpul di sana. Biasanya setelah nongkrong mereka akan melanjutkan acara kumpul-kumpul lintas departemen itu ke tempat lain sebelum pulang. Dan tentu saja Zee tidak bisa, karena belakangan Zeino selalu menjemput.
Sembari menunggu kedatangan Zeino, Zee berbagi kabar bahagia dengan ibu dan kakaknya. Semua kejutan yang diterimanya hari ini ia ceritakan. Mulai dari berhasilnya dia menjalani masa percobaan tiga bulan yang berbuah pengukuhan jabatannya sebagai Guest Relation Supervisor, program peng
Di sebuah kafe yang menjadi salah satu tempat nongkrong hits karena memiliki pemandangan lepas ke pantai, terlihat sekelompok muda-mudi yang sibuk bercengkrama. Terdengar percakapan sahut menyahut di antara mereka. Suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring makan ikut melatar belakangi. Terkadang disertai derai tawa bercampur aksi saling goda. Setelah saling bertukar cerita tentang pekerjaan di taman kota, Zee juga membagi berita bahagia pada teman-teman di gengnya melalui grup chat. Hal itu membuat semuanya sepakat untuk merayakan keberhasilan Zee segera. Sangat kebetulan semua bisa datang. Jeromy dan Shandy yang juga sudah selesai bekerja tidak ada jadwal lembur hari ini. Dito, Lulu, Rayesa dan Lampita yang sedang menunggu sidang skripsi tentunya punya waktu luang yang banyak. “Gaji pertama makan-makan. Lulus masa percobaan makan-makan. Berarti setahun lagi pas udah jadi asisten manajer, kita makan-makan lagi nih, Zee,” celetuk Rayesa yang memang tu
Di sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Zee benar-benar tak mau membahas lagi tentang tugas ke luar kotanya. Gadis itu memilih memainkan telepon genggam, sekedar memeriksa notifikasi pesan atau apa yang sedang happening di dunia maya. Sementara Zeino menyibukan diri dengan kemudi. Keduanya kembali dilanda sunyi jika saja tak ada suara musik yang mengalun dari radio yang diputar. Begitu mendekati rumah minimalis berlantai dua di ujung komplek perumahannya, tak sengaja Zee melihat sebuah mobil berhenti di depan pagar. Lampu penerangan yang perpasang di depan rumah itu membantu Zee untuk mengamati penumpang yang turun dari kendaraan yang terasa asing baginya. “Siapa yang datang?” tanya Zee dalam hati begitu tahu jika dua orang wanita yang baru saja turun dari mobil ternyata masuk ke pekarangan rumahnya. Zeino menepikan mobilnya tak lama kemudian. Zee yang sudah bisa melihat dengan jelas tamu yang datang, dengan terburu - buru turun. Begitu juga dengan Zeino. Se
Rembulan yang pucat pasi telah bertukar tugas dengan sang mentari ketika di rumah minimalis berlantai dua yang biasanya sunyi terdengar tanda-tanda kehidupan sejak pagi menyapa. Penambahan penghuni sejak semalam, memberi suasana yang berbeda. Nenek Ruwina, walaupun telah berusia lanjut, terlihat telah duduk manis di teras setelah bercengkrama dengan bunga dan tanaman di sudut perkarangan. Zee yang hari itu mendapat jadwal kerja shift ke 2, ikut menemani neneknya sambil berolahraga ringan. Sementara Kartika, yang memutuskan untuk mengambil libur hari itu, menyibukan diri di dapur untuk menyiapkan sarapan dibantu Bi Rahma. “Maaf, Bu. Bu Mauren, udah telepon belum, Bu?” tanya Bi Rahma disela-sela kesibukan menata meja. “Sudah, kemarin malam telepon Zee. Kenapa, Bi?” “Ga kenapa-napa, Bu. Em..itu…” Kalimat Bi Rahma tertahan. Ia sepertinya ragu untuk memulai cerita. “Ada apa di rumah besar, Bi? Pada baik-baik aja, kan?” selidik Kartika. Bi R
Permintaan dan berita yang disampaikan oleh Nenek Ruwina tentu saja membuat Zee terkaget-kaget. Zee yang tak sepenuhnya mengerti akan apa yang sedang terjadi, akhirnya tak berusaha mencampuri urusan itu terlalu jauh. Yang dia tahu, Bunda Kartika sudah berjanji pada Nenek Ruwina untuk tidak menandatangani dokumen persetujuan atas penjualan harta yang termasuk warisan keluarga itu. Zee dan Amara juga diminta melakukan hal yang sama karena mereka juga otomatis tercantum sebagai ahli waris ayah mereka yang telah tiada.Sementara itu, penugasan Zee ke luar kota yang akan membuat Kartika sendiri di rumah, menyebabkan Zee meminta kesediaan Bibi Karlina untuk datang menemani. Kebetulan adik bungsu ibunya itu juga harus mengurus keperluan sekolah anak semata wayangnya yang akan pindah dalam waktu dekat. Karlina memang selama ini menetap di kota kecil, yang berjarak 3 jam perjalanan ke arah Timur dari tempat tinggal Zee, yang lebih dekat ke kampung halaman mereka.Adik ibundanya
Menyelesaikan urusan belanja di supermarket, Zeino dan Zee bertolak ke rumah. Tak seperti biasa, kali ini di sepanjang perjalanan, pemuda yang disibukan dengan pedal dan kemudi itu lebih banyak bicara. Berkali ia mengingatkan Zee untuk benar-benar mempersiapkan segala keperluannya. “Di sana dingin, jangan lupa bawa baju hangat.” “Iya.” “Wajib minum vitamin, perubahan cuaca dari daerah panas ke daerah dingin. Tubuh kamu rentan, Zee.” “Hu um.” “Kalo kamu kecapean, bilang. Jangan ditahan. Istirahat, nanti tumbang lagi.” “Iya,” jawab Zee dengan cepat. Tapi itu hanya di bibir, dalam hati ia kembali berkata,” namanya juga orang kerja, pasti capek. Emang ada kerja yang ga capek.” “Makan yang banyak, jangan suka telat.” “Siap!” “Kalo sudah tahu Senin depan pulang jam berapa, langsung kasih kabar. Jadi aku bisa atur jadwal di showroom. Nanti dijemput.” “Hmm belum juga pergi, udah mau dijemput,” batin Zee.
Dengan langkah ringan Zeino turun dari rooftop. Pemuda itu melongok ke ruang tamu. Di sana ia mendapati sepasang tamu yang berkunjung sedang berpamitan. Salah satu tamu, seorang wanita dengan wajah blasteran, mengingatkan Zeino pada seseorang. “Seperti perempuan yang bersama Mbak Melisa di mall,” batin Zeino. Langkah Zeino yang tertahan di dekat kaca pemisah ruangan kembali menapak. Ia menghampiri orangtuanya yang telah melepas kepergian kedua tamunya. “Tumben kamu sudah pulang, Zei?” komentar Handoko. Laki-laki paruh baya itu merasa heran menemukan putranya sudah sampai di rumah. Biasanya malam minggu ia akan pulang larut malam. Zeino hanya menarik sedikit sudut bibirnya. “Yang tadi siapa, Pa?” tanya Zeino begitu menjejakan tubuhnya di sofa. “Orang leasing,” jawab Handoko singkat. “Papa mau beli apa pake leasing?” tanya Zeino dengan kening berkerut. “Jadi yang orang leasing itu lagi menawarkan lokasi yang pas buat show
Sesuai janji Zeino dan teman - teman di gengnya, mereka bertemu di batas kota. Setelah saling menyapa dan memastikan bahan bakar kendaraan mereka telah diisi penuh, ketiga kendaraan berkapasitas 4 penumpang itu memulai perjalanan ke arah utara. Satu kendaraan lain diisi oleh Lulu dan Dito, sedang Jeromy dan Lampita menumpang di kendaraan Shandy yang tentu bersama Rayesa. “Harus pake dua mobil saja, Kak. Kita bisa gabung sama Lulu dan Kak Dito. Jadi pas pulang, Kak Zeino ga sendiri," ujar Zee setelah mengetahui jika Jeromy tidak membawa mobil. “Kalo duduk di bangku belakang, kamu ga bisa atur sandaran untuk rebahan, Zee. Mau rebahan ke samping pasti kamu malu, kan?” Zeino beralasan. Agak lama Zee mencerna kalimat Zeino. Setelah mereka-reka, akhirnya Zee mengerti jika pemuda yang saat ini memegang kemudi memikirkan kenyamanannya. Dengan duduk di kursi depan, ia bisa mengatur sandaran agar lebih santai. Tapi, malu kalau rebahan ke samping, maksudnya apa?
Jalan keluar lorong yang dipilih Zee dan Zeino membawa mereka di tepi sebuah pelataran yang menghadap ke sebuah lembah. Zeino melangkah mendekati kursi beton yang bertebaran di beberapa sudut pelataran dengan posisi Zee masih di punggungnya. Begitu sampai di sebuah kursi, Zeino membungkukan badan sehingga Zee bisa menjejakan kaki di beton itu. Keduanya lalu duduk berdampingan. Udara pegunungan yang sejuk semilir mereka hirup dalam-dalam. Tak jauh dari tempat mereka duduk ada gerai berupa caravan yang menjual berbagai minuman. Lalu mereka beranjak untuk mencari pelepas dahaga. Sambil bertransaksi dengan penjual minuman, Zeino menanyakan arah menuju pasar wisata. “Pasar wisata ada di atas. Ikuti saja jalan tangga itu,” ujar pedagang minuman dengan telunjuk mengarah ke sebuah jalan di sebelah kanan mereka. “Jauh ga, Pak?” tanya Zee ragu melihat jalan dengan kemiringan 45 derajat itu. Entah berapa ratus anak tangga yang harus ditapaki untuk mencapai lokasi pasar.