Di sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Zee benar-benar tak mau membahas lagi tentang tugas ke luar kotanya. Gadis itu memilih memainkan telepon genggam, sekedar memeriksa notifikasi pesan atau apa yang sedang happening di dunia maya. Sementara Zeino menyibukan diri dengan kemudi. Keduanya kembali dilanda sunyi jika saja tak ada suara musik yang mengalun dari radio yang diputar.
Begitu mendekati rumah minimalis berlantai dua di ujung komplek perumahannya, tak sengaja Zee melihat sebuah mobil berhenti di depan pagar. Lampu penerangan yang perpasang di depan rumah itu membantu Zee untuk mengamati penumpang yang turun dari kendaraan yang terasa asing baginya.
“Siapa yang datang?” tanya Zee dalam hati begitu tahu jika dua orang wanita yang baru saja turun dari mobil ternyata masuk ke pekarangan rumahnya.
Zeino menepikan mobilnya tak lama kemudian. Zee yang sudah bisa melihat dengan jelas tamu yang datang, dengan terburu - buru turun. Begitu juga dengan Zeino. Se
Rembulan yang pucat pasi telah bertukar tugas dengan sang mentari ketika di rumah minimalis berlantai dua yang biasanya sunyi terdengar tanda-tanda kehidupan sejak pagi menyapa. Penambahan penghuni sejak semalam, memberi suasana yang berbeda. Nenek Ruwina, walaupun telah berusia lanjut, terlihat telah duduk manis di teras setelah bercengkrama dengan bunga dan tanaman di sudut perkarangan. Zee yang hari itu mendapat jadwal kerja shift ke 2, ikut menemani neneknya sambil berolahraga ringan. Sementara Kartika, yang memutuskan untuk mengambil libur hari itu, menyibukan diri di dapur untuk menyiapkan sarapan dibantu Bi Rahma. “Maaf, Bu. Bu Mauren, udah telepon belum, Bu?” tanya Bi Rahma disela-sela kesibukan menata meja. “Sudah, kemarin malam telepon Zee. Kenapa, Bi?” “Ga kenapa-napa, Bu. Em..itu…” Kalimat Bi Rahma tertahan. Ia sepertinya ragu untuk memulai cerita. “Ada apa di rumah besar, Bi? Pada baik-baik aja, kan?” selidik Kartika. Bi R
Permintaan dan berita yang disampaikan oleh Nenek Ruwina tentu saja membuat Zee terkaget-kaget. Zee yang tak sepenuhnya mengerti akan apa yang sedang terjadi, akhirnya tak berusaha mencampuri urusan itu terlalu jauh. Yang dia tahu, Bunda Kartika sudah berjanji pada Nenek Ruwina untuk tidak menandatangani dokumen persetujuan atas penjualan harta yang termasuk warisan keluarga itu. Zee dan Amara juga diminta melakukan hal yang sama karena mereka juga otomatis tercantum sebagai ahli waris ayah mereka yang telah tiada.Sementara itu, penugasan Zee ke luar kota yang akan membuat Kartika sendiri di rumah, menyebabkan Zee meminta kesediaan Bibi Karlina untuk datang menemani. Kebetulan adik bungsu ibunya itu juga harus mengurus keperluan sekolah anak semata wayangnya yang akan pindah dalam waktu dekat. Karlina memang selama ini menetap di kota kecil, yang berjarak 3 jam perjalanan ke arah Timur dari tempat tinggal Zee, yang lebih dekat ke kampung halaman mereka.Adik ibundanya
Menyelesaikan urusan belanja di supermarket, Zeino dan Zee bertolak ke rumah. Tak seperti biasa, kali ini di sepanjang perjalanan, pemuda yang disibukan dengan pedal dan kemudi itu lebih banyak bicara. Berkali ia mengingatkan Zee untuk benar-benar mempersiapkan segala keperluannya. “Di sana dingin, jangan lupa bawa baju hangat.” “Iya.” “Wajib minum vitamin, perubahan cuaca dari daerah panas ke daerah dingin. Tubuh kamu rentan, Zee.” “Hu um.” “Kalo kamu kecapean, bilang. Jangan ditahan. Istirahat, nanti tumbang lagi.” “Iya,” jawab Zee dengan cepat. Tapi itu hanya di bibir, dalam hati ia kembali berkata,” namanya juga orang kerja, pasti capek. Emang ada kerja yang ga capek.” “Makan yang banyak, jangan suka telat.” “Siap!” “Kalo sudah tahu Senin depan pulang jam berapa, langsung kasih kabar. Jadi aku bisa atur jadwal di showroom. Nanti dijemput.” “Hmm belum juga pergi, udah mau dijemput,” batin Zee.
Dengan langkah ringan Zeino turun dari rooftop. Pemuda itu melongok ke ruang tamu. Di sana ia mendapati sepasang tamu yang berkunjung sedang berpamitan. Salah satu tamu, seorang wanita dengan wajah blasteran, mengingatkan Zeino pada seseorang. “Seperti perempuan yang bersama Mbak Melisa di mall,” batin Zeino. Langkah Zeino yang tertahan di dekat kaca pemisah ruangan kembali menapak. Ia menghampiri orangtuanya yang telah melepas kepergian kedua tamunya. “Tumben kamu sudah pulang, Zei?” komentar Handoko. Laki-laki paruh baya itu merasa heran menemukan putranya sudah sampai di rumah. Biasanya malam minggu ia akan pulang larut malam. Zeino hanya menarik sedikit sudut bibirnya. “Yang tadi siapa, Pa?” tanya Zeino begitu menjejakan tubuhnya di sofa. “Orang leasing,” jawab Handoko singkat. “Papa mau beli apa pake leasing?” tanya Zeino dengan kening berkerut. “Jadi yang orang leasing itu lagi menawarkan lokasi yang pas buat show
Sesuai janji Zeino dan teman - teman di gengnya, mereka bertemu di batas kota. Setelah saling menyapa dan memastikan bahan bakar kendaraan mereka telah diisi penuh, ketiga kendaraan berkapasitas 4 penumpang itu memulai perjalanan ke arah utara. Satu kendaraan lain diisi oleh Lulu dan Dito, sedang Jeromy dan Lampita menumpang di kendaraan Shandy yang tentu bersama Rayesa. “Harus pake dua mobil saja, Kak. Kita bisa gabung sama Lulu dan Kak Dito. Jadi pas pulang, Kak Zeino ga sendiri," ujar Zee setelah mengetahui jika Jeromy tidak membawa mobil. “Kalo duduk di bangku belakang, kamu ga bisa atur sandaran untuk rebahan, Zee. Mau rebahan ke samping pasti kamu malu, kan?” Zeino beralasan. Agak lama Zee mencerna kalimat Zeino. Setelah mereka-reka, akhirnya Zee mengerti jika pemuda yang saat ini memegang kemudi memikirkan kenyamanannya. Dengan duduk di kursi depan, ia bisa mengatur sandaran agar lebih santai. Tapi, malu kalau rebahan ke samping, maksudnya apa?
Jalan keluar lorong yang dipilih Zee dan Zeino membawa mereka di tepi sebuah pelataran yang menghadap ke sebuah lembah. Zeino melangkah mendekati kursi beton yang bertebaran di beberapa sudut pelataran dengan posisi Zee masih di punggungnya. Begitu sampai di sebuah kursi, Zeino membungkukan badan sehingga Zee bisa menjejakan kaki di beton itu. Keduanya lalu duduk berdampingan. Udara pegunungan yang sejuk semilir mereka hirup dalam-dalam. Tak jauh dari tempat mereka duduk ada gerai berupa caravan yang menjual berbagai minuman. Lalu mereka beranjak untuk mencari pelepas dahaga. Sambil bertransaksi dengan penjual minuman, Zeino menanyakan arah menuju pasar wisata. “Pasar wisata ada di atas. Ikuti saja jalan tangga itu,” ujar pedagang minuman dengan telunjuk mengarah ke sebuah jalan di sebelah kanan mereka. “Jauh ga, Pak?” tanya Zee ragu melihat jalan dengan kemiringan 45 derajat itu. Entah berapa ratus anak tangga yang harus ditapaki untuk mencapai lokasi pasar.
Meskipun area pintu masuk pasar wisata ramai oleh pengunjung, Zee dan Zeino bisa menangkap keberadaan teman-temannya yang sedang berpencar dengan berbagai posisi. Keduanya saling tatap sambil mengernyit. Mereka terheran melihat tingkah teman-temannya yang absurd. “Pada ngapain, sih? Lama nunggu, ya?” sapa Zee pada pemain sandiwara itu. “Eh, Zee, Kak Zeino. Udah nyampe?” jawab Lulu yang masih mendalami skenario pura-pura tidak melihat itu. Basa-basi yang penuh kepura-puraan itu berlangsung singkat. Lampita tak tahan bertanya dari mana saja kedua pasangan yang masih saja memperlihatkan kemesraannya itu. Zee tak melepaskan genggaman jemari Zeino. Bersahutan keempat pasang muda-mudi itu saling menyalahkan tingkah masing-masing yang menyebabkan mereka terpisah. “Iya tuh, elo semua difoto. Jadi ketinggalan, kan?” singgung Shandy. “Elo juga, pake ngumpet-ngumpet segala. Kita kan kecarian!” cetus Dito tak mau kalah. “Udah ah jangan pada ribut.
Gadis dalam balutan sweater rajut warna krim susu, yang baru saja melepas keberangkatan sang kekasih hati, masih berdiri di area parkiran. Angin sore pegunungan yang bertiup dingin, membuatnya mendekap kedua lengan. Dari tempatnya berdiri, ia masih bisa melihat iringan tiga kendaraan yang menuruni jalan berkelok menuju jalan utama antar kota. Setelah tak terlihat lagi, gadis itu berbalik arah. Langkah Zee yang tergesa hendak kembali ke hotel, membuatnya seolah mengekor sesosok laki-laki yang sedang menggerek koper. Gadis itu ragu untuk mendahului, pun tak berniat menyapa. Walau ia yakin laki-laki itu pasti salah satu pegawai hotel, tak mungkin tamu. Karena jasa penginapan itu masih dalam tahap penyelesaian, belum dibuka untuk umum. Sesampai di lobby hotel yang masih terlihat sepi, kembali Bayu manajer yang sedang bertugas datang menghampiri. “Selamat Sore! Bapak Batara Bramantyo?” sambut laki-laki yang masih setia memegang handy talky di tangannya. “S
Untuk apa menunggu, jika yang kau mau telah ada di hadapanmu. Untuk apa menunda jika hanya bersamanya kau merasa bahagia. Untuk apa meragu jika hanya dia yang ada di hatimu. Untuk apa bersama jika tak ada ikatan yang sah dan nyata. Kali kedua sepasang anak manusia itu membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Sesaat setelah pembukaan showroom berbulan-bulan yang lalu, mereka sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Memenuhi komitmen pekerjaan dan meresmikan ikatan cinta setelahnya. Sekarang ketika menjalani hubungan jarak jauh, keduanya berusaha mempersingkat jarak. Dan upaya itu bersyarat, harus berlabel sah jika tetap memaksa. Memang lebih cepat dari apa yang mereka rencanakan. Tentu belum semua sempurna seperti angan. Namun apa tolak ukur sempurna itu perlu ketika ada rasa terpenuhi dengan apa yang ada di tangan? Keraguan karena ketakutan akan terulang sejarah pahit dari orang-orang terdekat, tak seharusnya menjadi pemata
Di sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Zeino, Zee tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Bukan karena grogi, ia sudah sering berkunjung ke sana, tapi kali ini Zee tak bisa menghalau kecemasannya. Kepergok oleh orangtua Zeino saat mereka sedang berpelukan, membuat Zee gundah dan malu. Zeino berusaha menenangkan Zee. Genggaman jemarinya tak lepas meski sebelah tangannya harus memegang kemudi. Zeino sendiri tak bisa menerka apa yang akan dilakukan oleh papanya, hingga meminta mereka menyusul ke rumah. Sesampai di kediamannya, Zeino melangkah pasti dengan tak membiarkan Zee menarik genggaman jemarinya. Keduanya memasuki ruang tamu namun tak menemukan Handoko di sana. Seorang pelayan yang datang menghampiri memberitahu jika mereka diminta menunggu di ruang kerja. Pilihan ruang kerja sebagai tempat bertemu tentu memberi kesan berbeda. Zee merasakan ada hal serius yang akan dibicarakan. Dan tentu akan ada hubungannya dengan kejadian di kan
“Kamu pasti tahu, untuk membuka cabang showroom di daerah utara, penjualan harus setengah break even point dulu. Kalau tidak, harus ada sumber dana lain.” “Pa, modal kita yang terpakai hanya setengah. Karena yang di sini ada kerjasama dengan Pak Sony. Zei, mau ijin Papa untuk pakai dana yang tesisa untuk memulai buka cabang di wilayah utara.” “Belum cukup Zei. Harga tanah dan bangunan di wilayah utara cukup tinggi. Apa mau kerjasama lagi dengan Pak Sony.” “Kali ini cukup kita saja, Pa.” “Lalu kamu mau dapat tambahan modal dari mana?” “Waktu kunjugan ke kantor lisensi, ada pihak bank yang menawarkan kredit usaha. Beberapa hari ini Zei pelajari, bunganya cukup rendah. Zei akan coba ini, Pa.” Handoko tak langsung menanggapi. Pria paruh baya itu meraih cangkir berisi kopi hitam di atas meja. Menyeruput perlahan lalu menaruh kembali cangkir porselen itu ke tempat semula. “Coba kamu buat proposalnya. Papa mau pelajari
Memenuhi janjinya, Zee menerima kunjungan Batara Bramantyo di restoran hotel sambil sarapan. Gadis itu tak sendiri, tentu Zeino ada di sampingnya. Keduanya menempati sebuah meja yang berkapasitas empat orang. Dua buah kursi masih belum ditempati. Tak lama berselang sejak kedatangan mereka, seorang pria datang mendekat. Pria itu dibalut stelan baju kerja formal lengkap dengan jas dan dasi yang senada. Terlihat ia mengedarkan pandangan ke suluruh penjuru restoran. Ia mengukir senyum begitu menemukan sosok yang dicarinya. Pria yang tak lain adalah Batara Bramantyo itu disambut dengan baik oleh sepasang muda-mudi yang terlihat berdiri sambil menyapa dengan senyuman. “Selamat pagi, Pak Batara.” Zee menyapa terlebih dahulu. Lalu menyusul Zeino mengakat tubuhnya dari kursi. Mereka saling berjabat tangan. “Pagi. Apa kabar kalian?” Percakapan basa-basi sekedar pembuka bicara itu berlangsung singkat. Mereka sepakat untuk melanjutkan bincang santai sambi
Kecenderungan anak laki-laki akan lebih dekat pada ibu daripada ayah, sepertinya berlaku pada Zeino. Pemuda yang sangat irit bicara apalagi mengungkapkan isi hati pada orang lain itu, perlahan memang lebih terbuka pada Utari, sang ibu. Tentu sikapnya itu tak lepas karena tanggapan Utari yang bisa disebut sangat menerima kehadiran Zee sebagai orang terdekatnya. Malam ini sebelum berangkat menenuhi undangan perusahaan lisensi, Zeino berbincang dengan Utari di sudut taman rumah. Hanya ada mereka berdua. Handoko masih ada kegiatan di luar bersama rekan bisnisnya. “Jadi karena alasan Talita akhirnya kamu membawa Zee ikut serta?” tanya Utari yang kemudian mendengar tentang Talita yang mengadu pada mamanya tentang Zeino yang tak berangkat bersama. Tentu saja Silvia langsung menghubungi Utari untuk merubah semua rencana Zeino. “Salah satunya karena itu, Ma. Ini juga sekalian mau meyakinkan Zee tentang pilihan tempat kerjanya yang baru nantinya.” “Zee jadi pin
“Jadi, elo tetep pindah kota?” Kedua bola mata Rayesa semakin membulat mendengar cerita Zee. “Kak Zeino ngijinin?” tanyanya lagi. Terlihat Zee menganggukan kepala. “Serius?” Kali ini terlihat raut tak percaya terpampang di wajah Lulu. “Bakal LDR-an 2 tahun?” Lampita ikut menimpali. “Iya.” Akhirnya Zee bersuara tak hanya sekedar menggoyang kepala turun naik. “Tujuh ratus tiga puluh hari loh, Zee. Ga bakal ketemuan, gitu?!” timpal Lampita setelah bermain hitung-hitungan dengan jemarinya. “Ya ga gitu juga kali ngitungnya. Emang jadi TKW ga pulang-pulang 2 tahun. Kan ada hari libur, cuti. Aku bisa pulang. Ato Kak Zeino yang nyamperin.” Zee dan teman-teman gengnya menyempatkan diri untuk bertemu di sela-sela kesibukan masing-masing. Lulu yang masih harus memutar otak untuk mendapat restu, Rayesa yang sudah mulai bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi dan Lampita yang menjalankan bisnis onlinenya. Mereka mengh
Senja telah menelan semesta. Lenyap kuasa cahaya sang surya berganti sinar rembulan yang belum bulat sempurna. Ditemani setitik sinar yang berpijar tanpa jeda, sang bintang kejora. Zee dan Zeino beranjak dari Panorama. Keduanya kembali berkendara meninggalkan sepenggal percakapan yang masih diakhiri tanda koma. “Sudah gelap, kita cari makan dulu, ya.” Sebuah restoran yang berada tak jauh dari Panorama menjadi pilihan Zeino. Restoran itu juga memiliki pemandangan lepas ke arah pusat kota karena terletak di dataran yang cukup tinggi. “Kita udah pacaran berapa tahun ya, Zee?” Zeino membuka percakapan lagi sambil menunggu pesanan mereka datang. “Berapa tahun, ya? Ngitungnya dari kapan? Bingung.” Zee menerawang. Kilas peristiwa pertemuan pertama mereka bermain di pelupuk mata. Mereka berdua sering bertemu ketika Lulu dan Dito saling mengunjugi fakultas masing-masing. Atau ketika mereka mengajak bertemu di luar kampus. Baik Zee maupun Zeino
Bagaimana pun untuk menghalau resah, perasaan tetaplah hal yang gampang diombang – ambing oleh kenyataan dan peristiwa. Hal itu yang sedang dirasakan Zee saat ikut menghadiri peresmian showroom. Dari sejak menginjak pelataran parkir, ia sudah tak asing dengan pemandangan yang ditemuinya. Pemandangan yang hampir sama, pernah dilihatnya melalui mimpi. Perlahan satu-satu per satu rekaman alam bawah sadarnya menyesuaikan di alam nyata. Tepat ketika momen yang membuat resah, Zee memutuskan untuk menjauh. Jujur, ia tak punya keberanian untuk mendengar langsung jika kalimat-kalimat yang meluncur dari keluarga Zeino dan Talita setelah keberhasilan mereka berdua membuka showroom akan benar-benar terucap. “Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan? “Kalian sudah cocok, bisa buka bisnis bersama. Jadi berumahtangga juga akan bisa sama-sama.” Zee tak tahu apa benar akhirnya ada percakapan seperti itu di de
Zee mematut diri di depan kaca rias. Pagi ini ia tengah bersiap untuk hadir di acara peresmian showroom sepeda motor yang dipimpin Zeino. Proyek kerjasama, yang menurut Zee penuh drama itu, akhirnya berdiri juga. Tubuh semampainya telah berbalut seragam showroom yang khusus dipesan Zeino untuknya. Berbeda dengan tampilannya ketika menjadi GRO yang harus berblazer dan baju long dress dengan belahan di samping, kali ini Zee terlihat lebih casual. Ia mengikuti gaya pegawai showroom yang memang lebih santai dalam seragam lengan pendek warna hitam atau putih dengan bordiran logo di sana-sini. Seragam itu memang disukai Zeino dari pada padanan dasi dan jas yang terkesan kaku. Agar tak terlalu santai, rambut Zee yang biasa dicepol jika berkerja, sekarang dikuncir agak tinggi seperti gaya genie. Tak lupa riasan ringan untuk acara outdoor di pagi hari menghias wajahnya. Setelah merasa puas dengan tampilannya di kaca, Zee segera turun untuk menikmati sarapan bersama ib