Gadis dalam balutan sweater rajut warna krim susu, yang baru saja melepas keberangkatan sang kekasih hati, masih berdiri di area parkiran. Angin sore pegunungan yang bertiup dingin, membuatnya mendekap kedua lengan. Dari tempatnya berdiri, ia masih bisa melihat iringan tiga kendaraan yang menuruni jalan berkelok menuju jalan utama antar kota. Setelah tak terlihat lagi, gadis itu berbalik arah.
Langkah Zee yang tergesa hendak kembali ke hotel, membuatnya seolah mengekor sesosok laki-laki yang sedang menggerek koper. Gadis itu ragu untuk mendahului, pun tak berniat menyapa. Walau ia yakin laki-laki itu pasti salah satu pegawai hotel, tak mungkin tamu. Karena jasa penginapan itu masih dalam tahap penyelesaian, belum dibuka untuk umum.
Sesampai di lobby hotel yang masih terlihat sepi, kembali Bayu manajer yang sedang bertugas datang menghampiri.
“Selamat Sore! Bapak Batara Bramantyo?” sambut laki-laki yang masih setia memegang handy talky di tangannya.
“S
Hari pertama di pergantian minggu telah hadir. Hampir semua orang kembali ke rutinitas setelah melewatkan libur akhir pekan. Zeino yang hari ini tak melakukan kebiasaan antar jemput Zee bekerja, terlihat sudah duduk di ruang makan bersama kedua orang tuanya. Pemuda itu bersiap untuk berangkat ke showroom. Terdengar percakapan ringan di meja makan antara Zeino, Utari dan Handoko. “Bagaimana kabar Alvin, Ma?” tanya Zeino sambil menikmati sarapan. “Baik. Sehat.” “Beneran ga mau pulang Alvin, Ma? Habis ini mau kuliah di sana juga dia?” “Iya. Dia lagi pilih-pilih PTN dan PTS yang cocok.” “Kamu sendiri bagaimana kuliahmu, Zei?” “Bentar lagi sidang skripsi, Pa. Lagi nunggu pengumuman resmi dari kampus. Banyak yang bilang kalo ga minggu ini, mungkin minggu depan paling lambat sudah sidang.” “Lalu rencana kamu setelah wisuda bagaimana? Mau langsung berumah tangga?” Zeino hampir tersedak mendapat pertanyaan yang sepertinya bukan
Sammy adalah orang pertama yang memberitahu pada Zee tentang perlunya dia memakai jenis sepatu olahraga atau sepatu kets selama diperbantukan pada pembukaan hotel. Mobilitas mereka yang akan sangat tinggi serta beragamnya kegiatan yang akan mereka lakukan tentu akan menyulitkan jika memakai sepatu bertumit. Lagi pula selama masa pre-opening suasana memang tidak terlalu formal. Dan omongan Sammy terbukti, jadwal pengenalan area hotel yang sangat luas serta kontur tanah yang tidak rata membuat kedua kaki Zee yang dibalut sepatu tumit tersiksa. Gadis itu menyesal tidak banyak bertanya sebelum berangkat. Ia terlalu fokus pada cara mencari alasan agar rencana Zeino yang memaksa untuk mengantarnya bisa terlaksana, hingga lupa menanyakan detail tentang kondisi pembukaan sebuah hotel yang tentu belum pernah ia alami. Beruntung setelah tur yang cukup melelahkan itu, Zee mendapat tugas untuk memeriksa semua standar pelayanan di bagian guest relation. Ia harus memastikan 4 oran
Selama meninjau lokasi yang ditawarkan Mauren dan Niko, Zeino hanya menjadi pendengar yang baik. Setelah menyimak dengan seksama, ia menarik kesimpulan sementara. Pemuda itu hampir yakin seratus persen jika Mauren dan Niko adalah anak Nenek Ruwina. Jelas mereka mengatakan jika rumah itu adalah peninggalan orangtua mereka. “Tapi kalau benar mereka adalah anak Nenek Ruwina, berarti mereka adalah om dan tantenya Zee. Aneh banget waktu bertemu di mall, Zee dan Mauren tidak saling menunjukan hubungan mereka. Sepertinya waktu itu mereka tidak saling sapa atau menanyakan kabar selayaknya keluarga.” Di dalam mobil yang membawa mereka kembali ke show room, Zeino sibuk dengan pikirannya. Selama berbincang di dalam rumah tadi, ia juga tak melihat keberadaan Nenek Ruwina. Hal itu menambah tanda-tanya di benaknya. Rasa penasaran itu membuat Zeino berniat menghubungi gadis yang saat ini berada ratusan kilometer dari tempatnya berada. Namun mengingat Zee yang pasti saat ini
Pertukaran hari yang sebenarnya sama saja durasinya yaitu setelah 24 jam akan berganti, terasa lebih lama jika kita sedang menunggu sesuatu. Hal itu yang dirasakan Zeino saat ini. Ketika membuka mata di hari yang baru, ia mengeja nama-nama hari dalam hati. “Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu. Hmm 5 hari lagi.” Sadar jika masih berhari-hari lagi menunggu kepulangan Zee dari luar kota, Zeino meraih telepon genggamnya. Ia memeriksa aplikasi pesan. Belum terpampang ucapan selamat pagi dari sang penguasa hatinya saat ini. Dalam pikirannya ia menebak, pasti Zee belum bangun. Ia mengurungkan niat untuk menelepon. Tak ingin mengganggu waktu istirat gadisnya itu, Zeino mengirimkan pesan saja. Sebenarnya tadi malam, Zeino dan Zee menyempatkan waktu bertukar kabar sebelum tidur. Hanya saja tak banyak yang mereka bicarakan. Zee yang kembali ke kamarnya pada pukul 10 malam terlihat sangat lelah. Zeino hanya memastikan jika gadis itu telah bersantap malam, meminum v
Kedua mata gadis yang baru saja berteriak itu masih tertutup karena menghindari percikan air yang menerpa tiba-tiba. Refleks ia mengangkat tangan, lalu mengusapkan lengannya ke mata. Ketika kedua bola matanya telah kembali menerima biasan cahaya, ia melihat sesosok laki-laki dengan bertelanjang dada menyembul dari dalam kolam. Zee seketika membuang muka. Ia bergidik membayangkan bagaimana rasanya berenang di suhu udara pagi yang menurutnya cukup ekstrem. Terperciki air saja sudah membuatnya merasakan dinginnya air kolam. “Kamu lagi cek air kolam, atau lagi cuci tangan, Zee?” tanya laki-laki yang dengan santai duduk di tepian kolam. “Iya, Pak Tyo. Ini lagi cek beberapa fasilitas,” jawab Zee pada pejabat utusan kantor pusat itu. Tak disangka, jawaban polos Zee membuat laki-laki bertubuh tegap yang hanya memakai celana renang itu terkekeh. Ia lalu berlalu ke arah meja pool di mana ia meletakan handuk berenangnya. Zee mengernyit. “Apanya yang lucu
Pertemuan kedua keluarga yang terkenal handal di bidang masing-masing itu berjalan hangat. Tentu saja kehadiran sosok Talita yang ceria dan ceriwis membuat ada saja obrolan sambung menyambung di antara mereka. Zeino yang seperti biasa tak banyak mengumbar kata sangat jarang memperhatikan gerak-gerik gadis itu. Ia lebih memilih melihat-lihat kondisi deretan ruko empat pintu berlantai 3 yang sedang ditawarkan oleh Sony. Zeino bahkan tak menyadari adanya perubahan penampilan pada diri Talita. Adalah Utari yang kemudian menyadari ada yang berubah pada gaya rambut Talita. Ketika mereka akhirnya melanjutkan perbincangan di sebuah restoran yang tak jauh dari ruko, wanita yang telah berusia 50 tahun itu menyuarakan hasil pengamatannya. “Talita, Tante sampai pangling. Kamu ganti gaya rambut, ya? Terakhir ketemu kayaknya wavy caramel brown gitu, deh?” Dengan senyum malu-malu, Talita mengelus sambutnya sendiri. Gadis itu tak langsung menjawab. Sekilas ia melirik ke arah
Gadis dengan stelan baju polo shirt dan celana panjang serta sepatu kets yang baru saja mendapat perintah untuk menghadap Batara Bramantyo di lantai 2, segera menyeret langkah. Ia memilih menaiki tangga yang ada di ujung lobby dari pada menaiki lift. Gadis itu mematuhi kampanye hemat energi yang didengung-dengungkan manajemen hotel selama ini. Gunakan tangga jika hanya naik atau turun 1 lantai dan tidak membawa beban. Sesampai di ruang yang bertuliskan nama holding company The Mountain View Hotel, tanda tanya besar masih menyelimuti pikiran Zee. Setelah mengetuk daun pintu 3 kali, ia mendapati seseorang membukakan akses masuk. Zee melempar senyum dan mengangguk sebelum melangkah masuk. Gadis itu dipersilakan mengambil tempat di sebuah sofa panjang. Sementara di depan sofa terlihat Batara Bramantyo dan Andrew Smith sedang duduk di kursi di depan meja menghadap Bu Cokro. Tak berniat menguping pembicaraan, tapi Zee bisa mendengar ketiga orang yang sedang serius
Semua orang yang berkerumun di bawah tangga bisa melihat raut ketakukan masih membias di wajah Zee. Bulir keringat dingin masih nampak di sekitar keningnya. Wajahnya masih pucat pasi. Tenggorokannya terasa kering. “Are you OK?” tanya Tyo. Zee mengangguk pelan. Tak lama terlihat Vanda menyeruak dari kerumun dengan membawa segelas air. Gadis itu meminta Zee untuk meneguk cairan bening itu di bawah tatapan Batara Bramantyo dan berapa pegawai hotel lain yang masih tersisa. Melihat tidak ada hal yang mengkhawatirkan dari gadis yang mulai tenang itu, satu per satu rekannya menjauh dari area tangga meninggalkan Vanda, Zee dan penolongnya di sofa. Membayang di pelupuk mata Zee, detik-detik ia terpeleset di tangga karena hilang fokus. Saat ia sudah pasrah tubuhnya akan berakhir di dinginnya lantai granit di bawah tangga, tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan menarik tubuhnya. Ia tersentak ke teralis tangga. Tubuhnya tertumpuk pada sebuah tubuh lain yang mendeka