Home / Fiksi Remaja / Zee 'n Zeino / 34. Tiga Kejutan

Share

34. Tiga Kejutan

Author: ayyona
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Tak terasa hampir delapan jam Zefanya menunaikan kewajibannya sebagai seorang Guest Relation Officer. Hingga tibalah waktu tiga puluh menit sebelum pergantian shift. Saat di mana tim Front Office melakukan briefing sekaligus handover pekerjaan pada shift selanjutnya. Sementara serah terima pekerjaan secara tertulis telah diselesaikan terlebih dahulu.

“Baik, jika tidak ada pertanyaan lagi. Terima kasih untuk hari ini. Dan selamat bertugas untuk shift kedua. Jangan lupa, Smile and the world will smile back to you!”

Kalimat ucapan terima kasih dan motivasi yang diucapkan Pak Rendy menjadi penutup sesi briefing sore.

“Coz the world will be better when everybody smile!” balas tim Front Office serempak sambil melempar senyum satu sama lain.

“Ok, yang lain boleh melanjutkan pekerjaan. Yang mau pulang hati-hati di jalan. Dan kamu Zee, stay dulu, ya,” perintah Front Office

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Zee 'n Zeino   35. Harapan Yang Patah

    Di sebuah bangku taman kota yang terletak di seberang jalan bangunan hotel megah, terlihat seorang gadis sedang duduk sambil bercengkrama dengan telepon genggamnya. Zee, gadis yang beberapa saat yang lalu mendapatkan kejutan beruntun dari atasannya itu, sengaja memilih menunggu di sana agar Zeino tak perlu memutar jauh untuk menghampiri. Selain itu pilihan menunggu di taman kota, bukan di area masuk karyawan, agar ia bisa menghindari ajakan rekan kerjanya yang masih berkumpul di sana. Biasanya setelah nongkrong mereka akan melanjutkan acara kumpul-kumpul lintas departemen itu ke tempat lain sebelum pulang. Dan tentu saja Zee tidak bisa, karena belakangan Zeino selalu menjemput. Sembari menunggu kedatangan Zeino, Zee berbagi kabar bahagia dengan ibu dan kakaknya. Semua kejutan yang diterimanya hari ini ia ceritakan. Mulai dari berhasilnya dia menjalani masa percobaan tiga bulan yang berbuah pengukuhan jabatannya sebagai Guest Relation Supervisor, program peng

  • Zee 'n Zeino   36. Rencana

    Di sebuah kafe yang menjadi salah satu tempat nongkrong hits karena memiliki pemandangan lepas ke pantai, terlihat sekelompok muda-mudi yang sibuk bercengkrama. Terdengar percakapan sahut menyahut di antara mereka. Suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring makan ikut melatar belakangi. Terkadang disertai derai tawa bercampur aksi saling goda. Setelah saling bertukar cerita tentang pekerjaan di taman kota, Zee juga membagi berita bahagia pada teman-teman di gengnya melalui grup chat. Hal itu membuat semuanya sepakat untuk merayakan keberhasilan Zee segera. Sangat kebetulan semua bisa datang. Jeromy dan Shandy yang juga sudah selesai bekerja tidak ada jadwal lembur hari ini. Dito, Lulu, Rayesa dan Lampita yang sedang menunggu sidang skripsi tentunya punya waktu luang yang banyak. “Gaji pertama makan-makan. Lulus masa percobaan makan-makan. Berarti setahun lagi pas udah jadi asisten manajer, kita makan-makan lagi nih, Zee,” celetuk Rayesa yang memang tu

  • Zee 'n Zeino   37. Ada Apa Dengan Nenek?

    Di sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Zee benar-benar tak mau membahas lagi tentang tugas ke luar kotanya. Gadis itu memilih memainkan telepon genggam, sekedar memeriksa notifikasi pesan atau apa yang sedang happening di dunia maya. Sementara Zeino menyibukan diri dengan kemudi. Keduanya kembali dilanda sunyi jika saja tak ada suara musik yang mengalun dari radio yang diputar. Begitu mendekati rumah minimalis berlantai dua di ujung komplek perumahannya, tak sengaja Zee melihat sebuah mobil berhenti di depan pagar. Lampu penerangan yang perpasang di depan rumah itu membantu Zee untuk mengamati penumpang yang turun dari kendaraan yang terasa asing baginya. “Siapa yang datang?” tanya Zee dalam hati begitu tahu jika dua orang wanita yang baru saja turun dari mobil ternyata masuk ke pekarangan rumahnya. Zeino menepikan mobilnya tak lama kemudian. Zee yang sudah bisa melihat dengan jelas tamu yang datang, dengan terburu - buru turun. Begitu juga dengan Zeino. Se

  • Zee 'n Zeino   38. Permintaan Nenek

    Rembulan yang pucat pasi telah bertukar tugas dengan sang mentari ketika di rumah minimalis berlantai dua yang biasanya sunyi terdengar tanda-tanda kehidupan sejak pagi menyapa. Penambahan penghuni sejak semalam, memberi suasana yang berbeda. Nenek Ruwina, walaupun telah berusia lanjut, terlihat telah duduk manis di teras setelah bercengkrama dengan bunga dan tanaman di sudut perkarangan. Zee yang hari itu mendapat jadwal kerja shift ke 2, ikut menemani neneknya sambil berolahraga ringan. Sementara Kartika, yang memutuskan untuk mengambil libur hari itu, menyibukan diri di dapur untuk menyiapkan sarapan dibantu Bi Rahma. “Maaf, Bu. Bu Mauren, udah telepon belum, Bu?” tanya Bi Rahma disela-sela kesibukan menata meja. “Sudah, kemarin malam telepon Zee. Kenapa, Bi?” “Ga kenapa-napa, Bu. Em..itu…” Kalimat Bi Rahma tertahan. Ia sepertinya ragu untuk memulai cerita. “Ada apa di rumah besar, Bi? Pada baik-baik aja, kan?” selidik Kartika. Bi R

  • Zee 'n Zeino   39. Mencari Alasan

    Permintaan dan berita yang disampaikan oleh Nenek Ruwina tentu saja membuat Zee terkaget-kaget. Zee yang tak sepenuhnya mengerti akan apa yang sedang terjadi, akhirnya tak berusaha mencampuri urusan itu terlalu jauh. Yang dia tahu, Bunda Kartika sudah berjanji pada Nenek Ruwina untuk tidak menandatangani dokumen persetujuan atas penjualan harta yang termasuk warisan keluarga itu. Zee dan Amara juga diminta melakukan hal yang sama karena mereka juga otomatis tercantum sebagai ahli waris ayah mereka yang telah tiada.Sementara itu, penugasan Zee ke luar kota yang akan membuat Kartika sendiri di rumah, menyebabkan Zee meminta kesediaan Bibi Karlina untuk datang menemani. Kebetulan adik bungsu ibunya itu juga harus mengurus keperluan sekolah anak semata wayangnya yang akan pindah dalam waktu dekat. Karlina memang selama ini menetap di kota kecil, yang berjarak 3 jam perjalanan ke arah Timur dari tempat tinggal Zee, yang lebih dekat ke kampung halaman mereka.Adik ibundanya

  • Zee 'n Zeino   40. Kosakata Ajaib

    Menyelesaikan urusan belanja di supermarket, Zeino dan Zee bertolak ke rumah. Tak seperti biasa, kali ini di sepanjang perjalanan, pemuda yang disibukan dengan pedal dan kemudi itu lebih banyak bicara. Berkali ia mengingatkan Zee untuk benar-benar mempersiapkan segala keperluannya. “Di sana dingin, jangan lupa bawa baju hangat.” “Iya.” “Wajib minum vitamin, perubahan cuaca dari daerah panas ke daerah dingin. Tubuh kamu rentan, Zee.” “Hu um.” “Kalo kamu kecapean, bilang. Jangan ditahan. Istirahat, nanti tumbang lagi.” “Iya,” jawab Zee dengan cepat. Tapi itu hanya di bibir, dalam hati ia kembali berkata,” namanya juga orang kerja, pasti capek. Emang ada kerja yang ga capek.” “Makan yang banyak, jangan suka telat.” “Siap!” “Kalo sudah tahu Senin depan pulang jam berapa, langsung kasih kabar. Jadi aku bisa atur jadwal di showroom. Nanti dijemput.” “Hmm belum juga pergi, udah mau dijemput,” batin Zee.

  • Zee 'n Zeino   41. Obrolan Sebelum Berangkat

    Dengan langkah ringan Zeino turun dari rooftop. Pemuda itu melongok ke ruang tamu. Di sana ia mendapati sepasang tamu yang berkunjung sedang berpamitan. Salah satu tamu, seorang wanita dengan wajah blasteran, mengingatkan Zeino pada seseorang. “Seperti perempuan yang bersama Mbak Melisa di mall,” batin Zeino. Langkah Zeino yang tertahan di dekat kaca pemisah ruangan kembali menapak. Ia menghampiri orangtuanya yang telah melepas kepergian kedua tamunya. “Tumben kamu sudah pulang, Zei?” komentar Handoko. Laki-laki paruh baya itu merasa heran menemukan putranya sudah sampai di rumah. Biasanya malam minggu ia akan pulang larut malam. Zeino hanya menarik sedikit sudut bibirnya. “Yang tadi siapa, Pa?” tanya Zeino begitu menjejakan tubuhnya di sofa. “Orang leasing,” jawab Handoko singkat. “Papa mau beli apa pake leasing?” tanya Zeino dengan kening berkerut. “Jadi yang orang leasing itu lagi menawarkan lokasi yang pas buat show

  • Zee 'n Zeino   42. Kenangan di Sepanjang Jalan

    Sesuai janji Zeino dan teman - teman di gengnya, mereka bertemu di batas kota. Setelah saling menyapa dan memastikan bahan bakar kendaraan mereka telah diisi penuh, ketiga kendaraan berkapasitas 4 penumpang itu memulai perjalanan ke arah utara. Satu kendaraan lain diisi oleh Lulu dan Dito, sedang Jeromy dan Lampita menumpang di kendaraan Shandy yang tentu bersama Rayesa. “Harus pake dua mobil saja, Kak. Kita bisa gabung sama Lulu dan Kak Dito. Jadi pas pulang, Kak Zeino ga sendiri," ujar Zee setelah mengetahui jika Jeromy tidak membawa mobil. “Kalo duduk di bangku belakang, kamu ga bisa atur sandaran untuk rebahan, Zee. Mau rebahan ke samping pasti kamu malu, kan?” Zeino beralasan. Agak lama Zee mencerna kalimat Zeino. Setelah mereka-reka, akhirnya Zee mengerti jika pemuda yang saat ini memegang kemudi memikirkan kenyamanannya. Dengan duduk di kursi depan, ia bisa mengatur sandaran agar lebih santai. Tapi, malu kalau rebahan ke samping, maksudnya apa?

Latest chapter

  • Zee 'n Zeino   101. Epilog

    Untuk apa menunggu, jika yang kau mau telah ada di hadapanmu. Untuk apa menunda jika hanya bersamanya kau merasa bahagia. Untuk apa meragu jika hanya dia yang ada di hatimu. Untuk apa bersama jika tak ada ikatan yang sah dan nyata. Kali kedua sepasang anak manusia itu membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Sesaat setelah pembukaan showroom berbulan-bulan yang lalu, mereka sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Memenuhi komitmen pekerjaan dan meresmikan ikatan cinta setelahnya. Sekarang ketika menjalani hubungan jarak jauh, keduanya berusaha mempersingkat jarak. Dan upaya itu bersyarat, harus berlabel sah jika tetap memaksa. Memang lebih cepat dari apa yang mereka rencanakan. Tentu belum semua sempurna seperti angan. Namun apa tolak ukur sempurna itu perlu ketika ada rasa terpenuhi dengan apa yang ada di tangan? Keraguan karena ketakutan akan terulang sejarah pahit dari orang-orang terdekat, tak seharusnya menjadi pemata

  • Zee 'n Zeino   100. Menyambut Mentari, Melepas Senja Berdua

    Di sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Zeino, Zee tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Bukan karena grogi, ia sudah sering berkunjung ke sana, tapi kali ini Zee tak bisa menghalau kecemasannya. Kepergok oleh orangtua Zeino saat mereka sedang berpelukan, membuat Zee gundah dan malu. Zeino berusaha menenangkan Zee. Genggaman jemarinya tak lepas meski sebelah tangannya harus memegang kemudi. Zeino sendiri tak bisa menerka apa yang akan dilakukan oleh papanya, hingga meminta mereka menyusul ke rumah. Sesampai di kediamannya, Zeino melangkah pasti dengan tak membiarkan Zee menarik genggaman jemarinya. Keduanya memasuki ruang tamu namun tak menemukan Handoko di sana. Seorang pelayan yang datang menghampiri memberitahu jika mereka diminta menunggu di ruang kerja. Pilihan ruang kerja sebagai tempat bertemu tentu memberi kesan berbeda. Zee merasakan ada hal serius yang akan dibicarakan. Dan tentu akan ada hubungannya dengan kejadian di kan

  • Zee 'n Zeino   99. Kenyataan LDR

    “Kamu pasti tahu, untuk membuka cabang showroom di daerah utara, penjualan harus setengah break even point dulu. Kalau tidak, harus ada sumber dana lain.” “Pa, modal kita yang terpakai hanya setengah. Karena yang di sini ada kerjasama dengan Pak Sony. Zei, mau ijin Papa untuk pakai dana yang tesisa untuk memulai buka cabang di wilayah utara.” “Belum cukup Zei. Harga tanah dan bangunan di wilayah utara cukup tinggi. Apa mau kerjasama lagi dengan Pak Sony.” “Kali ini cukup kita saja, Pa.” “Lalu kamu mau dapat tambahan modal dari mana?” “Waktu kunjugan ke kantor lisensi, ada pihak bank yang menawarkan kredit usaha. Beberapa hari ini Zei pelajari, bunganya cukup rendah. Zei akan coba ini, Pa.” Handoko tak langsung menanggapi. Pria paruh baya itu meraih cangkir berisi kopi hitam di atas meja. Menyeruput perlahan lalu menaruh kembali cangkir porselen itu ke tempat semula. “Coba kamu buat proposalnya. Papa mau pelajari

  • Zee 'n Zeino   98. Perubahan

    Memenuhi janjinya, Zee menerima kunjungan Batara Bramantyo di restoran hotel sambil sarapan. Gadis itu tak sendiri, tentu Zeino ada di sampingnya. Keduanya menempati sebuah meja yang berkapasitas empat orang. Dua buah kursi masih belum ditempati. Tak lama berselang sejak kedatangan mereka, seorang pria datang mendekat. Pria itu dibalut stelan baju kerja formal lengkap dengan jas dan dasi yang senada. Terlihat ia mengedarkan pandangan ke suluruh penjuru restoran. Ia mengukir senyum begitu menemukan sosok yang dicarinya. Pria yang tak lain adalah Batara Bramantyo itu disambut dengan baik oleh sepasang muda-mudi yang terlihat berdiri sambil menyapa dengan senyuman. “Selamat pagi, Pak Batara.” Zee menyapa terlebih dahulu. Lalu menyusul Zeino mengakat tubuhnya dari kursi. Mereka saling berjabat tangan. “Pagi. Apa kabar kalian?” Percakapan basa-basi sekedar pembuka bicara itu berlangsung singkat. Mereka sepakat untuk melanjutkan bincang santai sambi

  • Zee 'n Zeino   97. Mencari Celah

    Kecenderungan anak laki-laki akan lebih dekat pada ibu daripada ayah, sepertinya berlaku pada Zeino. Pemuda yang sangat irit bicara apalagi mengungkapkan isi hati pada orang lain itu, perlahan memang lebih terbuka pada Utari, sang ibu. Tentu sikapnya itu tak lepas karena tanggapan Utari yang bisa disebut sangat menerima kehadiran Zee sebagai orang terdekatnya. Malam ini sebelum berangkat menenuhi undangan perusahaan lisensi, Zeino berbincang dengan Utari di sudut taman rumah. Hanya ada mereka berdua. Handoko masih ada kegiatan di luar bersama rekan bisnisnya. “Jadi karena alasan Talita akhirnya kamu membawa Zee ikut serta?” tanya Utari yang kemudian mendengar tentang Talita yang mengadu pada mamanya tentang Zeino yang tak berangkat bersama. Tentu saja Silvia langsung menghubungi Utari untuk merubah semua rencana Zeino. “Salah satunya karena itu, Ma. Ini juga sekalian mau meyakinkan Zee tentang pilihan tempat kerjanya yang baru nantinya.” “Zee jadi pin

  • Zee 'n Zeino   96. Penolakan

    “Jadi, elo tetep pindah kota?” Kedua bola mata Rayesa semakin membulat mendengar cerita Zee. “Kak Zeino ngijinin?” tanyanya lagi. Terlihat Zee menganggukan kepala. “Serius?” Kali ini terlihat raut tak percaya terpampang di wajah Lulu. “Bakal LDR-an 2 tahun?” Lampita ikut menimpali. “Iya.” Akhirnya Zee bersuara tak hanya sekedar menggoyang kepala turun naik. “Tujuh ratus tiga puluh hari loh, Zee. Ga bakal ketemuan, gitu?!” timpal Lampita setelah bermain hitung-hitungan dengan jemarinya. “Ya ga gitu juga kali ngitungnya. Emang jadi TKW ga pulang-pulang 2 tahun. Kan ada hari libur, cuti. Aku bisa pulang. Ato Kak Zeino yang nyamperin.” Zee dan teman-teman gengnya menyempatkan diri untuk bertemu di sela-sela kesibukan masing-masing. Lulu yang masih harus memutar otak untuk mendapat restu, Rayesa yang sudah mulai bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi dan Lampita yang menjalankan bisnis onlinenya. Mereka mengh

  • Zee 'n Zeino   95. Menikah?

    Senja telah menelan semesta. Lenyap kuasa cahaya sang surya berganti sinar rembulan yang belum bulat sempurna. Ditemani setitik sinar yang berpijar tanpa jeda, sang bintang kejora. Zee dan Zeino beranjak dari Panorama. Keduanya kembali berkendara meninggalkan sepenggal percakapan yang masih diakhiri tanda koma. “Sudah gelap, kita cari makan dulu, ya.” Sebuah restoran yang berada tak jauh dari Panorama menjadi pilihan Zeino. Restoran itu juga memiliki pemandangan lepas ke arah pusat kota karena terletak di dataran yang cukup tinggi. “Kita udah pacaran berapa tahun ya, Zee?” Zeino membuka percakapan lagi sambil menunggu pesanan mereka datang. “Berapa tahun, ya? Ngitungnya dari kapan? Bingung.” Zee menerawang. Kilas peristiwa pertemuan pertama mereka bermain di pelupuk mata. Mereka berdua sering bertemu ketika Lulu dan Dito saling mengunjugi fakultas masing-masing. Atau ketika mereka mengajak bertemu di luar kampus. Baik Zee maupun Zeino

  • Zee 'n Zeino   94. Memikirkan Kita

    Bagaimana pun untuk menghalau resah, perasaan tetaplah hal yang gampang diombang – ambing oleh kenyataan dan peristiwa. Hal itu yang sedang dirasakan Zee saat ikut menghadiri peresmian showroom. Dari sejak menginjak pelataran parkir, ia sudah tak asing dengan pemandangan yang ditemuinya. Pemandangan yang hampir sama, pernah dilihatnya melalui mimpi. Perlahan satu-satu per satu rekaman alam bawah sadarnya menyesuaikan di alam nyata. Tepat ketika momen yang membuat resah, Zee memutuskan untuk menjauh. Jujur, ia tak punya keberanian untuk mendengar langsung jika kalimat-kalimat yang meluncur dari keluarga Zeino dan Talita setelah keberhasilan mereka berdua membuka showroom akan benar-benar terucap. “Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan? “Kalian sudah cocok, bisa buka bisnis bersama. Jadi berumahtangga juga akan bisa sama-sama.” Zee tak tahu apa benar akhirnya ada percakapan seperti itu di de

  • Zee 'n Zeino   93. Mimpi dan Kenyataan

    Zee mematut diri di depan kaca rias. Pagi ini ia tengah bersiap untuk hadir di acara peresmian showroom sepeda motor yang dipimpin Zeino. Proyek kerjasama, yang menurut Zee penuh drama itu, akhirnya berdiri juga. Tubuh semampainya telah berbalut seragam showroom yang khusus dipesan Zeino untuknya. Berbeda dengan tampilannya ketika menjadi GRO yang harus berblazer dan baju long dress dengan belahan di samping, kali ini Zee terlihat lebih casual. Ia mengikuti gaya pegawai showroom yang memang lebih santai dalam seragam lengan pendek warna hitam atau putih dengan bordiran logo di sana-sini. Seragam itu memang disukai Zeino dari pada padanan dasi dan jas yang terkesan kaku. Agar tak terlalu santai, rambut Zee yang biasa dicepol jika berkerja, sekarang dikuncir agak tinggi seperti gaya genie. Tak lupa riasan ringan untuk acara outdoor di pagi hari menghias wajahnya. Setelah merasa puas dengan tampilannya di kaca, Zee segera turun untuk menikmati sarapan bersama ib

DMCA.com Protection Status