Zean berjalan masuk ke dalam kelasnya. Belum sempat masuk langkahnya terhenti kala Fasha, teman satu kelasnya menepuk pundak Zean.
Zean tersenyum paksa. "Tumben berangkat pagi? Ada apa nih?" tanya Fasha pada sahabatnya."Nyari contekan. Bisa ga biarin gua masuk dulu ke dalem? Hawa ga enak nih.""Halo Kak Zean, ini ada coklat buat Kakak.""Ini aja Kak, aku bikin kue ini dari semalem loh, cobain ya?"Benar saja yang di rasa Zean, dua cewek kelas satu kini sudah berada di hadapannya. Zean, ketua geng motor sekaligus ketua tim basket di SMA Brinlight. Semua cewek mau itu kelas satu ataupun dua begitupun tiga. Semuanya pernah memberikan hadiah untuk cowok ini. Hasilnya? Di tolak mentah-mentah!Zean tersenyum kecut. "Makasih, tapi gua lagi diet," ucap Zean sambil melangkah masuk ke dalam kelasnya menghiraukan dua cewek semok itu.Mata Fasha berbinar kala melihat coklat yang di pegang oleh cewek berambut pendek. "Boleh buat gua aja ga coklatnya?"Kedua cewek itu bergidig, mereka melihat sinis ke arah Fasha. "Gak."11 IPS 5. Kelas unggulan yang isinya hanya siswa siswi berprestasi. Itulah kelas Zean, ia duduk di kursi paling belakang pojok sebelah kiri. Tempat yang strategis untuk menyontek atau sekedar ngemil."Pagi Zean." Bianca. Orang yang di nobatkan menjadi siswi tercantik di SMA Brinlight. Dia sangat tergila-gila pada Zean, konon katanya semua siswa sangat tergila-gila padanya. Hanya Zean yang menganggapnya biasa saja."Apa?"Pada Bianca, Zean masih bisa menjawabnya walaupun dengan wajah yang tidak berekspresi. Bianca adalah teman masa kecil Zean, hanya sebatas itu."Lo udah belom tugas sosiologi? Gua udah nih," kata Bianca sambil menyerahkan buku tugas sosiologinya pada Zean.Cowok itu tersenyum puas. Hanya ada tiga hal yang bisa membuat Zean tersenyum. Pertama, saat balapan motor. Kedua, mencetak poin saat main basket. Ketiga, dapat contekan.Ya, apa lagi selain itu? Tidak ada."Thanks Bi," ucap Zean. Tak lama dari itu dia tersadar dengan apa yang baru saja dia katakan.Ada tiga hal yang tidak boleh Zean katakan pada Bianca. Pertama, cewek gatel. Itu akan membuat Bianca semakin gencar mengejar Zean. Kedua, cabe. Sama dengan alasan pertama. Ketiga, menyebutnya dengan panggilan 'Bi'. Itu akan membuatnya seperti ;"AAAAA ZEAN MANGGIL GUA BABY. MULAI HARI INI BERARTI KITA UDAH RESMI PACARAN!"Ya, seperti itu kurang lebihnya."Stttt... berisik banget buntut lo Ze," sahut Fasha dari arah belakang Zean. Sepertinya aksi menyontek Fasha terganggu oleh teriakan Bianca barusan."Heh kutu kupret, diem lo. Zean gua keganggu sama ocehan lo," ketus Bianca pada Fasha.Fasha menaikkan satu alisnya. "Ngaca. Dasar nenek lampir!""Yang berisik tu lo. Sadar dikit apa, cantik si, tapi mulut kek toa," lanjutnya.Fasha. Orang kedua yang menolak kecantikan Bianca. Satu-satunya orang yang paling Fasha cintai adalah, Vica."Hai sayang aku. Udah duduk aja di singgasananya ya. Lupa jemput aku ya?"Wajah Fasha memucat. "Eh sayang, maaf tadi ban mobil aku pecah jadi nebeng Zean.""Bohong," sahut Zean yang masih sibuk berkutat dengan bukunya.Tatapan Vica sudah seperti ingin melahap Fasha. "Sekali-kali tolongin gua apa Ze, tai juga lu."~~~Zetta masuk ke dalam ruang kepala sekolah. Hari ini adalah hari pertamanya masuk ke sekolah barunya. Banyak harapan yang Zetta do'akan agar terkabul. Ya, sampai sebelum mengetuk pintu ruang kepala sekolah dia berdo'a terlebih dahulu."Selamat pagi Pak," sapa Zetta pada seorang lelaki paruh baya dengan kacamata dan perut buncitnya."Kamu Zetta ya? Selamat pagi. Silahkan duduk dulu," sambut ramah Pak kepala sekolah pada Zetta.Cewek itu duduk dengan anggun sambil tersenyum pada Pak kepala sekolah SMA Brinlight."Nama saya Baron. Kamu bisa panggil saya Pak Baron."Pak Baron sibuk membuka berkas-berkas Zetta yang ia dapatkan dari sekolah lamanya."Zetta Alvana, kamu masuk di kelas 11 IPS 5 ya. Kamu cukup berprestasi di sekolah lamamu. Nilai kamu juga sangat tinggi dengan skor 90 ke atas. Ini seragam kamu, silahkan ganti dulu di toilet setelah itu kembali lagi ke sini."Zetta menerima satu set seragam barunya. "Baik Pak Baron, tolong tunggu sebentar."Pak Baron mengangguk. "Silahkan Zetta."Zetta berjalan keluar dari ruangan Pak Baron. Salahnya, dia tidak tahu lokasi kamar mandi di sini. Ingin balik lagi ke ruangan Pak Baron tapi akan sangat memalukan."Hai, permisi. Toilet wanita di sebelah mana ya?" tanya Zetta pada seorang cewek yang sedang berdiri di depan Mading yang berada di samping ruang kepala sekolah."Oh hai, kamu bisa lurus ke sebelah kanan ini. Nanti mentok belok kiri di situ toiletnya," arah cewek dengan rambut ikal itu pada Zetta.Zetta berterimakasih lalu menuju ke toilet untuk mengganti pakaiannya."Ini awal baru buat gua, tunggu Noe. Tunggu sampai gua bisa bales apa yang terjadi sama lo."Setelah di rasa cukup, Zetta kembali lagi ke ruangan Pak Baron. Ternyata sudah ada seorang guru yang sangat cantik dan terlihat muda yang sudah menunggu Zetta.Zetta bertaruh kalau guru itu masih kepala dua. Lebih tepatnya setengah dari kepala tiga."Ini wali kelas kamu Zetta," ucap Pak Baron.Zetta mengangguk. "Hai, nama Ibu, Monica. Panggil saja Bu Monic. Selamat datang ya di sekolah ini juga di kelas saya Zetta.""Baik Bu. Terimakasih.""Silahkan Bu Monic, ajak Zetta masuk ke kelas.""Baik Pak.""Mari Pak."Zetta dan Bu Monic berjalan sejajar. Sebentar lagi Zetta akan melaksanakan misinya. Dia sangat berharap, tidak ada masalah yang akan menghambat rencananya."Baik, selamat pagi murid-murid semuanya. Kita kedatangan murid baru dari SMA saudara kita. Yaitu, SMA Starlight. Silahkan Zetta perkenalkan diri kamu."Zetta mengangguk dengan senyum anggunnya. Di sini dia tidak akan menjadi dirinya. Lagipula, yang bisa melihat Zetta dengan sifat aslinya hanya Noe. Tidak ada yang lain."Hai, gue Zetta Alvana. Panggil gue Zetta. Gua pindah dari sekolah sebelah karena sudah tidak ada lagi keadilan yang menegak, gue harap SMA Brinlight penuh dengan keadilan. Begitupun dengan kelas ini. Salam kenal."Salah satu cowok dengan kacamata dan rambut rapihnya mengangkat tangan. "Ya, silahkan Dilan."Dilan mengangguk. "Izin bertanya. Keadilan seperti apa yang tidak ada di sana?"Zetta tersenyum getir. Dia melirik ke arah Bu Monic lalu mendapat anggukan tanda di perbolehkannya Zetta menjawab."Ada seorang siswa laki-laki yang sangat pengecut untuk sekedar tanggung jawab dan mengakui atas apa yang telah dia perbuat. Memaksa pihak sekolah untuk tetap bungkam dengan kesalahannya yang patut di bawa ke meja hijau. Berlindung dengan nama orang tuanya yang kebetulan seorang donatur sekolah. Lelaki yang selamanya akan terus jadi banci dengan sekolahnya yang tak lain dari simbol kehancuran moral itu sendiri."Dilan tersenyum puas dengan jawaban Zetta. Terlihat ketertarikan dari sorot matanya. Seluruh siswa di kelas bertepuk tangan atas apa yang Zetta bicarakan. Kecuali, Zean.Zean hanya menatapnya dengan tatapan datar. Tidak berekspresi sama sekali. Namun itu menarik perhatian Zetta."Baik, silahkan Zetta duduk di kursi samping Dilan ya?" Zetta mengangguk. Dia berjalan menuju kursi kosong itu dengan sesekali melirik ke arah Zean."Perilaku Zetta ini patut di contoh anak-anak sekalian, perilaku tegas yang ingin menegakkan keadilan. Kita tidak ada yang tahu kejadian semacam apa yang terjadi, tapi tidak pantas juga untuk menanyakannya.""Hai, gua Dilan," bisik Dilan pada Zetta. Cewek itu menoleh lalu tersenyum dengan sangat manis pada Dilan."Gua Zetta."Langkah Zetta semakin cepat ketika mendapati teriakan Noe yang begitu kencang. "Enggak! Tolong! Zettaaaaa .... "Cewek itu segera masuk ke ruangan dimana Noe berada. "Kenapa?" tanya Zetta begitu masuk ke ruangan.Terdapat tujuh kelas ruangan di RSJ tempat Noe di rawat. Ruang kelas VVIP yang hanya ada satu tempat tidur. Ruang kelas VIP dengan empat tempat tidur. Ruang non kelas dengan lima tempat tidur. Ruang kelas satu dengan sebelas tempat tidur. Ruang kelas dua dengan dua puluh empat tempat tidur. Ruang kelas tiga dengan seratus lima puluh tiga tempat tidur. Terakhir, ruang isolasi dengan tujuh puluh tujuh tempat tidur.Noe berada di ruang kelas VVIP yang hanya di huni oleh satu orang. "Kami mau menyuntikkan obat tenang buat Noe tapi dia berontak," jelas salah satu perawat yang sedang memegangi Noe.Wajah Zetta terlihat sangat marah. "Kenapa? Kenapa di kasih obat tenang?""Dari tadi Noe berontak terus, kami kewalahan." Zetta segera menghampiri Noe yang sudah menatapnya dengan tata
"Hai Zetta."Zetta menoleh ke arah sumber suara setelah dia menutup pintu mobilnya. "Eh, Dilan. Ada apa?""Nyapa aja. Mau bareng ke kelasnya?"Zetta mengangguk, dengan langkah sejajar Zetta dan Dilan menuju ke kelas mereka bersama. "Lo tahu gak kalau minggu depan bakal ada tanding basket di sekolah kita?""Antar mana?" tanya Zetta yang tertarik dengan pertanyaan Dilan."SMA kita sama SMA lo yang dulu. Itu udah final tau," jawab Dilan diakhir dengan senyuman."Starlight?" Dilan mengangguk. Zetta ingat, orang itu dulu adalah ketua basket di Starlight. Ia harus memanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Zetta tersenyum licik."Kenapa?" tanya Dilan heran dengan raut wajah Zetta yang berubah."Gak apa-apa. Eh lo itu ketua OSIS ya?"Dilan mengangguk. "Ko tahu?"Zetta melirik ke bet di tangan kanan Dilan dengan tulisan 'ketua OSIS angkatan 23/24' seakan paham dengan lirikkan Zetta, Dilan tersenyum sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal."Iya gua ketua OSIS, kenapa?""Gua butuh bantuan lo L
"Nah dia orang yang paling populer di kalangan cewe-cewe di semua angkatan Zet. Ketua tim basket, juga ketua geng motor yang terkenal di sekolah kita. Namanya—""Elang, kan?" lanjut Zetta."Loh, tau?""Tau, terkenal banget itu di sekolah gua yang dulu. Cuma kalo ternyata dia ketuanya gua baru tahu."Zetta memang baru tahu kalau ternyata Zean adalah ketua yang baru di geng motor itu. Ah sial, tujuannya pindah ke sini adalah untuk menjadi dekat dengan ketua geng motor elang Brinlight. Tapi kalau ketuanya ternyata cowok nyebelin kaya Zean, akankah Zetta meneruskan tujuannya?"Eh .... " Zetta terlihat sedang memikirkan sesuatu."Apa Zet?""Tadi lo bilang kalo Zean ketua tim basket kan Al?"Alana mengangguk. Cewek itu kembali melahap batagor yang ia beli. "Berarti Zean minggu depan ikut tanding bareng SMA Starlight dong?""Hu'um .... kenapa Zet? Mau nonton?"BRAVO!Sepertinya kali ini ia harus bersikap baik pada Zean. Bagaimanapun Zetta sangat membutuhkan cowok itu untuk melancarkan misiny
Ibu itu mengangguk. "Em ... Ibu mau gak Zetta kasih nama ke Ibu?""Nama? Mau!""Oke ... sekarang nama Ibu itu—""Nama nya Kasih." Zetta menoleh ke arah sumber suara. Sedikit terkejut karena itu adalah Zean. Seakan takdir mempertemukan mereka di tempat yang tidak terduga. "Zean?"Zean berjalan mendekat ke arah Kasih, Ibunya. "Loh belum abis coklatnya? Padahal Zean bawain lagi loh Bu.""Ternyata ini Ibunya Zean?" batin Zetta. Zetta sedikit menjauh dari pasangan serasi Ibu dan anak itu. Ia memilih duduk di kursi besi yang terpasang di taman mini ini. Senyumnya sedikit mengembang."Ibu tadi mau abisin tapi di suruh sama Pipit buat makan sedikit-sedikit aja," keluh Kasih. Pipit adalah perawat yang di khususkan untuk menjaga Kasih.Zean menggeleng. Ia tersenyum manis pada Kasih, Ibunya. "Ya bagus itu, jangan banyak-banyak. Tapi karena Zean bakal sibuk akhir-akhir ini jadi Zean beliin Ibu coklat lagi. Ibu simpen ya, makannya jangan banyak-banyak. Dikit-dikit aja, oke?""Emang mau kemana?""
Ternyata, ingatan kita akan sesuatu akan selalu tersimpan rapih di rak seperti buku-buku yang tertata dalam otak kita. "Hey,"Zetta terperanjat kaget dengan tepukan pelan di pundaknya. Seakan kembali pada dunia nyata, ia mencoba menggelengkan kepalanya supaya ingatan itu hilang. Ingatan yang membuatnya trauma bertahun-tahun lamanya.Zetta tidak berani melihat jalanan. Tidak bisa juga mendengar suara motor. Bahkan untuk sekolah dia selalu menutup matanya agar tidak melihat jalanan."Lo kenapa?""Eh, gak papa Ze. Sorry."Zean mengangguk. "Lo, kenapa pindah dari Starlight?" tanya Zean terdengar ragu-ragu.Zetta tersenyum. Rencananya akan berjalan dengan lancar, sepertinya. "Lo harusnya tahu kalo pas pertama kali gua masuk, lo dengerin gua.""Gua gak perhatiin lo waktu itu," kata Zean menyesal."Ya, kalo gitu suatu hari nanti lo bakal tahu." Zean mengangguk. Meski dirinya masih penasaran dengan alasan Zetta, tapi jika Zetta bilang dia akan segera mengetahuinya seiring dengan berjalannya
Tepat pukul tujuh. Zetta keluar dari dalam mobilnya. Segera ia tutup lalu berjalan menuju kelas 11 IPS 5. Kelas barunya dalam beberapa hari ini."Pagi Zet."Setelah pertemuan dan perbincangannya kemarin dengan Zean. Kini Zetta sudah di pertemukan lagi dengan lelaki itu. Katanya jodoh tidak mungkin kemana kan?"Eh Zean. Pagi juga. Tumben jam segini baru berangkat?" tanya Zetta sambil memasukkan kunci mobil pada tasnya."Iya. Gua udah minta contekan semalem sama Bianca soalnya.""Dia emang jadi ladang tugas lo ya Ze?" sindir Zetta dengan kekehan pelan.Zean mengangguk dengan tawanya. Entah bagaimana tapi rasanya alasan yang akan membuat Zean tertawa bertambah satu.Tidak hanya saat bermain basket. Tidak hanya saat dapat contekan. Tidak hanya saat bermain motor. Sekarang, berbicara dengan Zetta juga sepertinya sudah menjadi alasan ke empat Zean tersenyum.Aneh.Mereka berjalan seiringan menuju kelas. Tatapan murid-murid lainnya tertuju pada Zean dan Zetta. Zetta tidak mengerti, tapi yang
"Ngomong-ngomong makasih ya udah izinin gua masuk di panitia ini," ucap Zetta."Selow aja. Gua kan ketua panitia, gua yang tanggung jawab juga. Gua juga yakin kerja lo bakal bagus."Zetta tersenyum. "Bisa aja lo. Semoga aja ya Lan.""Ya lagian santai aja.""Iya semoga gua gak bikin masalah," ujar Zetta pelan."Maksudnya?"Zetta terkekeh. Ia menepuk pundak Dilan sedikit kencang. "Enggak lah. Gila aja."Cowok itu menggelengkan kepalanya heran. Dengan tawanya yang seakan mengikuti kekehan Zetta."Udah sampe nih, ayo masuk."Zetta mengangguk. Mengekor langkah Dilan memasuki ruang rapat. Sudah banyak panitia yang berkumpul, terhitung oleh pandangan Zetta ada sepuluh orang lebih di dalam ruangan ini.Semuanya menatap ke arah Zetta dengan tatapan penuh tanya. Mereka tidak salah. Dilan berdiri di samping tempat duduknya. "Temen-temen, kenalin ini Zetta. Dia mau ikut di panitia kita. Banyak benefit yang kita dapet kalo dia join di sini. Semoga kita semua bisa bekerja sama dengan baik.""Benefit
"Siapa?" tanya Boy pada Zean yang juga mendengar teriakan Zetta.Zean menggeleng. Ia kembali fokus pada latihannya. Boy menanggapinya dengan mengangkat kedua bahu. Tanda tak tahu.Di sisi itu, Zetta mengeluarkan ponselnya. Dia fokus membidik Zean yang sedang latihan itu menggunakan kamera di ponselnya. Beberapa gambar ia dapatkan. Senyumnya mengembang. "Cakep juga ya," gumam Zetta pelan. Ia kembali memperhatikan sang bintangnya yang sedang sibuk di lapang.Keringat yang terus bercucuran dari dahinya, Zean menggunakan bagian bawah bajunya untuk menghilangkannya. Sudah seperti roti sobek yang terpampang di sana.Berulang kali Zetta mengerjapkan matanya. Juga mencoba mengatur deru nafas yang mulai tak teratur. "Kenapa gua gugup banget liat dia?" batinnya."Duh," umpat Zetta."Oke guys. Sampe sini dulu, lanjut jam satu ya," seru Zean pada keempat temannya. Mereka menjawab dengan seruan juga."Lo mau ke kantin?" tanya Boy kala Zean meninggalkan lapangan."Iya kayanya. Gua laper juga sih."
"Siapa?" tanya Boy pada Zean yang juga mendengar teriakan Zetta.Zean menggeleng. Ia kembali fokus pada latihannya. Boy menanggapinya dengan mengangkat kedua bahu. Tanda tak tahu.Di sisi itu, Zetta mengeluarkan ponselnya. Dia fokus membidik Zean yang sedang latihan itu menggunakan kamera di ponselnya. Beberapa gambar ia dapatkan. Senyumnya mengembang. "Cakep juga ya," gumam Zetta pelan. Ia kembali memperhatikan sang bintangnya yang sedang sibuk di lapang.Keringat yang terus bercucuran dari dahinya, Zean menggunakan bagian bawah bajunya untuk menghilangkannya. Sudah seperti roti sobek yang terpampang di sana.Berulang kali Zetta mengerjapkan matanya. Juga mencoba mengatur deru nafas yang mulai tak teratur. "Kenapa gua gugup banget liat dia?" batinnya."Duh," umpat Zetta."Oke guys. Sampe sini dulu, lanjut jam satu ya," seru Zean pada keempat temannya. Mereka menjawab dengan seruan juga."Lo mau ke kantin?" tanya Boy kala Zean meninggalkan lapangan."Iya kayanya. Gua laper juga sih."
"Ngomong-ngomong makasih ya udah izinin gua masuk di panitia ini," ucap Zetta."Selow aja. Gua kan ketua panitia, gua yang tanggung jawab juga. Gua juga yakin kerja lo bakal bagus."Zetta tersenyum. "Bisa aja lo. Semoga aja ya Lan.""Ya lagian santai aja.""Iya semoga gua gak bikin masalah," ujar Zetta pelan."Maksudnya?"Zetta terkekeh. Ia menepuk pundak Dilan sedikit kencang. "Enggak lah. Gila aja."Cowok itu menggelengkan kepalanya heran. Dengan tawanya yang seakan mengikuti kekehan Zetta."Udah sampe nih, ayo masuk."Zetta mengangguk. Mengekor langkah Dilan memasuki ruang rapat. Sudah banyak panitia yang berkumpul, terhitung oleh pandangan Zetta ada sepuluh orang lebih di dalam ruangan ini.Semuanya menatap ke arah Zetta dengan tatapan penuh tanya. Mereka tidak salah. Dilan berdiri di samping tempat duduknya. "Temen-temen, kenalin ini Zetta. Dia mau ikut di panitia kita. Banyak benefit yang kita dapet kalo dia join di sini. Semoga kita semua bisa bekerja sama dengan baik.""Benefit
Tepat pukul tujuh. Zetta keluar dari dalam mobilnya. Segera ia tutup lalu berjalan menuju kelas 11 IPS 5. Kelas barunya dalam beberapa hari ini."Pagi Zet."Setelah pertemuan dan perbincangannya kemarin dengan Zean. Kini Zetta sudah di pertemukan lagi dengan lelaki itu. Katanya jodoh tidak mungkin kemana kan?"Eh Zean. Pagi juga. Tumben jam segini baru berangkat?" tanya Zetta sambil memasukkan kunci mobil pada tasnya."Iya. Gua udah minta contekan semalem sama Bianca soalnya.""Dia emang jadi ladang tugas lo ya Ze?" sindir Zetta dengan kekehan pelan.Zean mengangguk dengan tawanya. Entah bagaimana tapi rasanya alasan yang akan membuat Zean tertawa bertambah satu.Tidak hanya saat bermain basket. Tidak hanya saat dapat contekan. Tidak hanya saat bermain motor. Sekarang, berbicara dengan Zetta juga sepertinya sudah menjadi alasan ke empat Zean tersenyum.Aneh.Mereka berjalan seiringan menuju kelas. Tatapan murid-murid lainnya tertuju pada Zean dan Zetta. Zetta tidak mengerti, tapi yang
Ternyata, ingatan kita akan sesuatu akan selalu tersimpan rapih di rak seperti buku-buku yang tertata dalam otak kita. "Hey,"Zetta terperanjat kaget dengan tepukan pelan di pundaknya. Seakan kembali pada dunia nyata, ia mencoba menggelengkan kepalanya supaya ingatan itu hilang. Ingatan yang membuatnya trauma bertahun-tahun lamanya.Zetta tidak berani melihat jalanan. Tidak bisa juga mendengar suara motor. Bahkan untuk sekolah dia selalu menutup matanya agar tidak melihat jalanan."Lo kenapa?""Eh, gak papa Ze. Sorry."Zean mengangguk. "Lo, kenapa pindah dari Starlight?" tanya Zean terdengar ragu-ragu.Zetta tersenyum. Rencananya akan berjalan dengan lancar, sepertinya. "Lo harusnya tahu kalo pas pertama kali gua masuk, lo dengerin gua.""Gua gak perhatiin lo waktu itu," kata Zean menyesal."Ya, kalo gitu suatu hari nanti lo bakal tahu." Zean mengangguk. Meski dirinya masih penasaran dengan alasan Zetta, tapi jika Zetta bilang dia akan segera mengetahuinya seiring dengan berjalannya
Ibu itu mengangguk. "Em ... Ibu mau gak Zetta kasih nama ke Ibu?""Nama? Mau!""Oke ... sekarang nama Ibu itu—""Nama nya Kasih." Zetta menoleh ke arah sumber suara. Sedikit terkejut karena itu adalah Zean. Seakan takdir mempertemukan mereka di tempat yang tidak terduga. "Zean?"Zean berjalan mendekat ke arah Kasih, Ibunya. "Loh belum abis coklatnya? Padahal Zean bawain lagi loh Bu.""Ternyata ini Ibunya Zean?" batin Zetta. Zetta sedikit menjauh dari pasangan serasi Ibu dan anak itu. Ia memilih duduk di kursi besi yang terpasang di taman mini ini. Senyumnya sedikit mengembang."Ibu tadi mau abisin tapi di suruh sama Pipit buat makan sedikit-sedikit aja," keluh Kasih. Pipit adalah perawat yang di khususkan untuk menjaga Kasih.Zean menggeleng. Ia tersenyum manis pada Kasih, Ibunya. "Ya bagus itu, jangan banyak-banyak. Tapi karena Zean bakal sibuk akhir-akhir ini jadi Zean beliin Ibu coklat lagi. Ibu simpen ya, makannya jangan banyak-banyak. Dikit-dikit aja, oke?""Emang mau kemana?""
"Nah dia orang yang paling populer di kalangan cewe-cewe di semua angkatan Zet. Ketua tim basket, juga ketua geng motor yang terkenal di sekolah kita. Namanya—""Elang, kan?" lanjut Zetta."Loh, tau?""Tau, terkenal banget itu di sekolah gua yang dulu. Cuma kalo ternyata dia ketuanya gua baru tahu."Zetta memang baru tahu kalau ternyata Zean adalah ketua yang baru di geng motor itu. Ah sial, tujuannya pindah ke sini adalah untuk menjadi dekat dengan ketua geng motor elang Brinlight. Tapi kalau ketuanya ternyata cowok nyebelin kaya Zean, akankah Zetta meneruskan tujuannya?"Eh .... " Zetta terlihat sedang memikirkan sesuatu."Apa Zet?""Tadi lo bilang kalo Zean ketua tim basket kan Al?"Alana mengangguk. Cewek itu kembali melahap batagor yang ia beli. "Berarti Zean minggu depan ikut tanding bareng SMA Starlight dong?""Hu'um .... kenapa Zet? Mau nonton?"BRAVO!Sepertinya kali ini ia harus bersikap baik pada Zean. Bagaimanapun Zetta sangat membutuhkan cowok itu untuk melancarkan misiny
"Hai Zetta."Zetta menoleh ke arah sumber suara setelah dia menutup pintu mobilnya. "Eh, Dilan. Ada apa?""Nyapa aja. Mau bareng ke kelasnya?"Zetta mengangguk, dengan langkah sejajar Zetta dan Dilan menuju ke kelas mereka bersama. "Lo tahu gak kalau minggu depan bakal ada tanding basket di sekolah kita?""Antar mana?" tanya Zetta yang tertarik dengan pertanyaan Dilan."SMA kita sama SMA lo yang dulu. Itu udah final tau," jawab Dilan diakhir dengan senyuman."Starlight?" Dilan mengangguk. Zetta ingat, orang itu dulu adalah ketua basket di Starlight. Ia harus memanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Zetta tersenyum licik."Kenapa?" tanya Dilan heran dengan raut wajah Zetta yang berubah."Gak apa-apa. Eh lo itu ketua OSIS ya?"Dilan mengangguk. "Ko tahu?"Zetta melirik ke bet di tangan kanan Dilan dengan tulisan 'ketua OSIS angkatan 23/24' seakan paham dengan lirikkan Zetta, Dilan tersenyum sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal."Iya gua ketua OSIS, kenapa?""Gua butuh bantuan lo L
Langkah Zetta semakin cepat ketika mendapati teriakan Noe yang begitu kencang. "Enggak! Tolong! Zettaaaaa .... "Cewek itu segera masuk ke ruangan dimana Noe berada. "Kenapa?" tanya Zetta begitu masuk ke ruangan.Terdapat tujuh kelas ruangan di RSJ tempat Noe di rawat. Ruang kelas VVIP yang hanya ada satu tempat tidur. Ruang kelas VIP dengan empat tempat tidur. Ruang non kelas dengan lima tempat tidur. Ruang kelas satu dengan sebelas tempat tidur. Ruang kelas dua dengan dua puluh empat tempat tidur. Ruang kelas tiga dengan seratus lima puluh tiga tempat tidur. Terakhir, ruang isolasi dengan tujuh puluh tujuh tempat tidur.Noe berada di ruang kelas VVIP yang hanya di huni oleh satu orang. "Kami mau menyuntikkan obat tenang buat Noe tapi dia berontak," jelas salah satu perawat yang sedang memegangi Noe.Wajah Zetta terlihat sangat marah. "Kenapa? Kenapa di kasih obat tenang?""Dari tadi Noe berontak terus, kami kewalahan." Zetta segera menghampiri Noe yang sudah menatapnya dengan tata
Zean berjalan masuk ke dalam kelasnya. Belum sempat masuk langkahnya terhenti kala Fasha, teman satu kelasnya menepuk pundak Zean.Zean tersenyum paksa. "Tumben berangkat pagi? Ada apa nih?" tanya Fasha pada sahabatnya."Nyari contekan. Bisa ga biarin gua masuk dulu ke dalem? Hawa ga enak nih.""Halo Kak Zean, ini ada coklat buat Kakak.""Ini aja Kak, aku bikin kue ini dari semalem loh, cobain ya?"Benar saja yang di rasa Zean, dua cewek kelas satu kini sudah berada di hadapannya. Zean, ketua geng motor sekaligus ketua tim basket di SMA Brinlight. Semua cewek mau itu kelas satu ataupun dua begitupun tiga. Semuanya pernah memberikan hadiah untuk cowok ini. Hasilnya? Di tolak mentah-mentah!Zean tersenyum kecut. "Makasih, tapi gua lagi diet," ucap Zean sambil melangkah masuk ke dalam kelasnya menghiraukan dua cewek semok itu.Mata Fasha berbinar kala melihat coklat yang di pegang oleh cewek berambut pendek. "Boleh buat gua aja ga coklatnya?"Kedua cewek itu bergidig, mereka melihat sini