Tetangga Zahrana membantu mbok Lastri menaikan kembali di sofa. Menidurkannya dan segera menyuruh Laila mengambil minyak kayu putih agar di oleskan pada perempuan tua yang sedang tidak sadarkan diri.Beberapa menit belum juga sadar mbok Lastri, Laila menangis terus. Membuat bu Kokom tetangga itu jadi bingung sendiri."Jangan menangis, Laila. Nanti nenekmu sadar kok." kata bu Kokom lagi."Tadi bu bi Midah jahat sekali bu, masa nenekku di tendang dan di injak sama dia. Hik hik hik." ucap Laila sembari menangis saja."Sudah, kamu tunggu saja ya. Nanti kalau belum juga sadar, kamu panggil ibu saja. Ibu pulang dulu, suami ibu belum makan." kata bu Kokom."Iya bu.""Oh ya, kamu hubungi saja Zahrana. Beritahu keadaan nenekmu, kalau pun tidak bisa datang setidaknya dia tahu keadaan nenekmu." kata bu Kokom lagi."Iya bu, terima kasih."Bu Kokom tersenyum tipis, dia kasihan sekali pada mbok Lastri. Sangat kejam dan jahat memang Midah itu, dulu memfitnah Zahrana dan sekarang menganiaya perempua
Laila terus mencari ponsel neneknya, dia benar-benar bingung untuk memberitahu pada Zahrana kalau neneknya itu masuk rumah sakit dan belum sadar. Gadis berusia sepuluh tahun itu banyak mengalami kesusahan, sama halnya dengan neneknya. Beruntung di tolong Zahrana sewaktu sedang kelaparan dan memberikan sisa sayuran untuk di masak oleh neneknya."Laila, apa sudah ketemu dompetnya?" tanya suami bu Kokom."Domoet sudah pak, tapi saya cari ponselnya nenek. Saya mau beritahu kak Zahrana kalau nenek masuk rumah sakit." jawab Laila."Nenekmu taruh di mana ponselnya?" tanya laki-laki yang sudah beruban itu, pak Karto."Saya tidak tahu pak. Makanya saya lagi cari ponselnya." jawab Laila.Saat Laila kebingungan mencari ponsel neneknya, suara dering ponsel terdengar sayup-sayup. Pak Karto menajamkan pendengarannya, begitu juga dengan Laila. Laila dengan cepat menuju sumber suara ponsel yang berbunyi, ternyata ada di dalam kamar yang dulu di tempati Zahrana.Laila langsung masuk dan mencari ponsel
Zahrana dan Ibra akhirnya pulang ke kampung, bersama Raka mereka mengendarai mobil menuju kampung Zahrana. Meski dalam keadaan hamil empat bulan, Zahrana tetap memaksa segera pulang kampung untuk menemui mbok Lastri yang sedang sakit. Kabarnya, mbok Lastri sudah sadar dari pingsannya selama satu hari dua malam itu."Kamu baik-baik saja sayang?" tanya Ibra menoleh ke arah istrinya."Bagaimana aku baik-baik saja mas, mbok Lastri sakit. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengannya, hanya beliau yang aku miliki sebagai orang tuaku. Paman dan bibi itu bukanlah kerabatku, mereka tega sekali menganiaya mbok Lastri sampai masuk rumag sakit." kata Zahrana."Aku sudah menghubungi detektif yang dulu kusewa untuk menyelidiki bibimu waktu itu. Dia harus mencari saksi waktu kejadian ibumu jatuh ke sungai, dia saksi kunci bibimu yang telah sengaja mendorong ibumu ke sungai. Bibimu harus di jebloskan ke dalam penjara." kata Ibra lagi."Kenapa waktu itu kamu tidak segera melaporkannya, mas? Jika sudah tahu
"Cepat panggil dokter!" teriak Ibra panik, dia melihat Zahrana terus menggoyangkan tubuh mbok Lastri tapi perempuan tua itu tidak bereaksi sama sekali."Cepat panggilkan dokter!" kata Ibra lagi, bu Kokom terkejut, dia tergagap tapi kemudian langsung berbalik cepat keluar dari ruang inap tersebut."Mbok Lastri! Cepat bangun!" teriak Zahrana menangis, Laila mendekat menatap neneknya."Sayang, tenanglah." ucap Ibra menenangkan istrinya."Mbok Lastri, mas. Dia kenapa? Hik hik hik!" ucap Zahrana sambil menangis."Nenek, bangun nek. Hik hik hik." Laila ikut menangis dan mendekap mbok Lastri.Di kamar itu Zahrana dan Laila menangis histeris, Ibra menekan hidung mbok Lastri. Napasnya sudah tidak ada, meski masih hangat terasa. Tapi sepertinya memang baru saja menghembuskan napas terakhir, Zahrana terus menangis. Ibra menarik tubuh istrinya dan mendekapnya, Raka duduk di sofa kebingungan kenapa bunyanya menangis.Tak lama dokter datang dengan bu Kokom yang panik juga. Dokter memeriksakan detak
Pak Shalih bergegas pulang ke rumah dengan anaknya Meli. Dia penasaran kenapa ada polisi di rumahnya, dan kenapa juga Midah mau di bawa. Meski dia tahu istrinya itu telah banyak berbuat jahat, tapi warga kampung tidak akan berani melaporkan semua perbuatannya. Kecuali ada seseorang yang melaporkannya, yaitu Zahrana. Itu juga atas pengaduan suaminya, begitu pikir Shalih."Kenapa ada polisi, Meli?" tanya Shalih masih dengan langkah cepat."Aku tidak tahu pak, kata ibu di suruh cari bapak dulu. Di sana juga ada orang juga selain polisi." jawab Meli."Siapa?" tanya Shalih."Tidak tahu pak, tapi pakaiannya rapi. Pakai jas dan dasi, gagah juga pak." jawab Meli"Kamu itu, di tanya orangnya tapi kenapa memperhatikan penampilannya?" ucap Shalih heran dengan anaknya."Ya memang benar pak, dia gagah dan kelihatan orang kaya juga." ujar Meli."Ya sudah, susah kalau tanya sama kamu itu. Tidak nyambung!" ucap Shalih semakin kesal dengan penjelasan anaknya mengenai orang yang bersama polisi di rumah
Shalih kesal dengan tingkah anaknya, dia juga pusing dengan kejadian yang menimpa istrinya Midah. Dia akan datang ke kantor polisi untuk menjenguk Midah dan menanyakan langsung tentang kejadian sepuluh tahun silam. Meski dulu dia tahu kalau istrinya itu tidak suka pada kakak iparnya, tapi motifnya belum jelas dan Shalih tidak tahu."Sebaiknya kamu jangan keluar rumah Mila, bapak mau ke kantor polisi." kata Shalih."Bapak, Mila ikut. Aku ngga mau ibu di penjara pak, suruh gadis sialan itu menarik laporannya pada ibu. Aku tidak terima ibu di penjara!" kata Mila dengan keras."Mila! Jangan berteriak pada bapak. Bapak tidak budek! Lama-lama kamu itu semakin susah di atur seperti ibumu!" ucap Shalih semakin kesal dengan anaknya yang berkata keras padanya."Huh! Bapak ini sebenarnya sayang tidak sama ibu? Kalau bapak tidak mau bicara pada gadis sialan itu, aku yang akan bicara sama dia. Jangan mentang-mentang sudah menjadi istri orang kaya, lalu melaporkan ibu ke polisi. Nenek tua itu saja
Shalih sudah berada di kantor polisi, sepeninggal Mila sewaktu berdebat di rumahnya. Dia tidak mencegah anaknya pergi ke rumah Zahrana, tapi dia malah datang ke kantor polisi untuk menjenguk istrinya yang di tangkap dan kini di tahan di kantor polisi.Dengan menaiki motornya, Shalih segera berangkat ke kantor polisi terdekat. Dia tahu kantor polisi mana yang membawa istrinya itu. Pikiran Shalih beralih pada ucapan pengacara yang mengatakan kalau Midah telah sengaja mendorong kaka iparnya ke sungai sewaktu istrinya itu pergi ke sawah, dan ada yang melihatnya. Siapa orang itu?"Apa benar ada orang yang melihat Midah mendorong mbak yuk ke sungai? Siapa dia? Keterlalua sekali Midah melakukan itu, apa dia sangat iri dengan mbak yuk itu? Iri kenapa?" gumam Shalih sepanjang jalan menuju kantor polsek.Benar-benar dia tidak menyangka kalau istrinya tega melakukan itu. Meski memang dua juga pernah jahat pada Zahrana, memaksa gadis itu untuk di kenalkan pada Suta sang mandornya waktu itu. Akiba
Ibra dan Zahrana janjian dengan pengacara yang dia sewa setelah kematian mbok Lastri itu. Dia memanggil detektif yang dulu di sewanya lalu menunjukkan siapa saksi yang melihat Midah mendorong ibunya Zahrana sampai ke sungai dan hanyut hingga ke kampung sebelah.Seorang laki-laki seusia Shalih itu datang bersama Ibra, dialah yang menjadi saksi ibunya Zahrana di dorong oleh Midah. Dan saksi tersebut untuk menanda tangani berkas BAP sebagai saksi. Selain bu Kokom dan juga Laila saksi ketika Midah menganiaya mbok Lastri."Apa pak Lani sudah di pastikan akan menjadi saksi kita mas? Dia sepertinya takut." kata Zahrana."Dia sudah janji sayang, dan bukannya takut. Mungkin dia enggan bertemu dengan bibimu, aku tidak akan mempertemukan bibimu dengan pak Lani." kata Ibra."Oh, begitu.""Ya, saksi kuncinya hanya dia. Meski bibimu itu di dalam penjara dan tidak akan mempengaruhi orang lain, tapi tetap saja aku harus menjaga dia agar aman dan nyaman." kata Ibra."Bi Midah tega sekali mendorong ibu
Hari demi hari kedekatan Mischa dan dokter Samuel semakin baik. Mereka hidup satu rumah layaknya suami istri sesungguhnya, karena memang mereka pasangan suami istri. Tidak ada kekakuan dari sikap keduanya, Mischa sudah berani bermanja atau bercanda dengan suaminya.Dokter Samuel senang, kini Mischa terlihat manja padanya meski masih malu-malu. Dia juga senang setiap hari berangkat kerja di antar sampai depan rumah, dan pulang dari rumah sakit Mischa sudah ada di rumahnya. Kalau pun Mischa pulang terlambat karena sedang di luar, pasti dia menelepon lebih dulu.Kedua sejoli yang sedang mabuk cinta, tapi masih gengsi untuk mengungkapkan. Kini sedang santai menikmati liburan hari Minggu di rumah. Dokter Samuel mengisi libur Minggunya renang di rumahnya di bagian belakang. Mischa menemani di kursi panjang sambil memainkan ponsel, sesekali memotret suaminya diam-diam ketika sedang berenang.Dokter Samuel pun mendekat pada istrinya, dia duduk di samping dengan tubuh dan wajah yang basah."Ka
Mischa nyaman dalam pelukan dokter Samuel malam ini, makanya dia diam saja tanpa bergeming ketika pelukan suaminya semakin mengerat. Memang awalnya tertidur pulas, tapi gerakan tubuh Mischa membuat dokter Samuel semakin mengeratkan pelukannya."Apa kamu nyaman seperti ini?" tanya dokter Samuel.Tak ada jawaban, hanya gerakan pelan dan hati-hati dari tangan Mischa. Dokter tampan itu membuka matanya, melihat wajah Mischa matanya bergerak-gerak. Wajahnya mendekat, mencoba untuk mencium pipinya apakah ada penolakan atau tidak dari istrinya.Tapi tidak ada penolakan, justru tubuh Mischa menegang ketika ciuman dokter Samuel di pipinya tidak juga lepas. Wajah itu mengarah pada bibir Mischa dengan pelan, mengecupnya beberapa kali. Namun tetap tidak ada perlawanan dari istrinya, seperti memberikan sinyal kalau perlakuannya itu di izinkan untuk terus melakukan eksplor pada wajahnya.Posisi dokter Samuel berubah menjadi di atas, tangannya mengelus pipi Mischa yang halus. Wajahnya turun ke bawah,
Sikap dokter Samuel yang berubah manis dan sedikit romantis akhir-akhir ini membuat Mischa jadi berpikir lagi tentang hubungannya dengan suaminya itu. Ternyata, memang harus terbiasa untuk menumbuhkan rasa cinta di hatinya agar bisa memperbaiki hubungannya dengan suaminya.Duduk di depan cermin, menyisir rambutnya yang sebahu. Masih dengan mengenakan handuk kimono setelah mandi. Dia kini sudah jarang minum-minuman dan juga keluar malam hari, sejak dokter Samuel mecium bibirnya malam itu dan selalu mengecup keningnga ketika mau berangkat ke rumah sakit. Bagi Mischa itu sikap yang manis yang belum dia rasakan, terkadang dia merasa berdebar ketika sikap manis suaminya itu."Apa dia mencoba untuk mengambil hatiku?" gumam Mischa menatap wajahnya sendiri di pantulan cermin kaca.Tok tok tok.Pintu di ketuk dari luar, Mischa bangkit dari duduknya dan melangkah menuju pintu. Membukanya dan tampak bi Sumi berdiri tersenyum tipis."Apa nyonya mau menyambut tuan dokter?" tanya bi Sumi."Oh, dia
Mischa diam saja, dia terpaku ketika dokter Samuel mengecup keningnya. Matanya menatap punggung suaminya yang berjalan menjauh meninggalkannya untuk pergi ke rumah sakit. Dia menarik napas panjang, lalu di lihatnya meja makan hanya ada roti panggang serta air putih dalam teko bening.Mischa mengambil gelas lalu mengisinya dengan air dalam teko. Di minumnya air tersebut, masih diam setelah meminum air."Nyonya mau sarapan sekarang?" tanya bi Sumi."Apa tuanmu itu sudah sarapan?" tanya Mischa."Sudah nyonya, bahkan minum kopi juga sudah." jawab bi Sumi."Jadi dia sudah minum kopi? Kok dia minta lagi sama aku?" tanya Mischa."Mungkin tuan dokter pengen di layani nyonya, sudah beberapa minggu tuan sebenarnya ingin di layani istrinya. Yaitu nyonya, tapi tuan dokter tidak sampai hati membangunkan nyonya kalau pagi hari." kata bi Sumi lagi."Kenapa tidak mau bangunkan? Tinggal bangunkan saja kenapa tidak enak hati?" ucap Mischa."Tuan dokter tidak mau merepotkan, lagi pula ..." ucapan bi Sum
Malam pertama di lewati begitu saja oleh dokter Samuel dan Mischa. Dokter tampan itu justru tidak mau melakukan hubungan suami istri jika Mischa sendiri tidak mau. Tapi mereka pun telah kembali ke rumah dokter Samuel, karena memang Mischa sudah jadi istri dokter Samuel.Bahkan dokter Samuel memberikan penawaran pada Mischa apakah dia akan tidur terpisah di kamar lain, bukan di kamarnya sendiri."Jadi kamu mau tidur di kamarku atau di kamar tamu?" tanya dokter Samuel ketika mereka sampai di rumah besar itu."Baguslah, kamu tidak memaksaku untuk tidur satu kamar. Aku pilih di kamar tamu saja, di mana kamarnya?" tanya Mischa."Oke, nanti bi Sumi yang akan merapikan kamar tamu itu. Tunggu saja, dia pasti datang kesini." kata dokter Samuel.Laki-laki itu meninggalkan Mischa menuju kamarnya. Dia ingin segera mengganti bajunya setelah semalam tidak berganti baju karena lupa tidak membawa baju, tahu begitu dia menyuruh pembantunya datang ke hotel membawakan baju-bajunya. Tapi waktu sudah mala
Ibra tersenyum ketika sepupunya meminta tolong padanya untuk membukakan kancing baju pengantinnya. Dokter Samuel menatapnya, kemudian menyeruput kopi yang dia pesan juga."Apa dia yang meneleponmu?" tanya dokter Samuel."Ya, dia meminta bantuanku untuk melepas kancing bajunya. Dia pikir aku ini laki-laki tidak normal?" ucap Ibra."Hei, apa kamu juga tertarik dengan sepupumu sendiri?" tanya dokter Samuel sedikit cemburu."Kenapa dia minta tolong padaku? Cepat sana pergi ke kamarmu! Dia butuh bantuanmu." ucap Ibra tersenyum sinis karena dokter Samuel seperti cemburu padanya."Dia terlalu angkuh dan gengsi tidak mau minta bantuan padaku, kenapa minta bantuan padamu.""Ya, karena dia gengsi. Makanya dia minta bantuan padaku, sebagai laki-laki jantan harusnya kamu segera pergi ke kamar dan menolong istrimu yang sedang kesusahan. Kupikir kamu bisa langsung mengajaknya bercinta malam pertama kalian." ucap Ibra."Dia terlalu angkuh, makanya aku pergi sendiri ke sini." ucap dokter Samuel."Lep
Dalam kamar pengantin, dokter Samuel atau pun Mischa keduanya sibuk masing-masing dengan ponselnya. Sesekali dokter Samuek melirik ke arah istrinya, moodnya tiba-tiba rusak ketika tahu Mischa masih saja mengkonsumsi minuman beralkohol.Mischa melirik suaminya yang begitu tenang tanpa mengganggunya. Biasanya jika pengantin baru yang normal, maka mereka akan melakukan apa saja yang membuat mereka dekat dan saling membutuhkan. Meski ada kecanggungan, tapi Mischa melihat suaminya tenang-tenang saja."Apa dia seorang suami yang baik? Kenapa diam saja." gumam Mischa melirik dokter Samuel yang sedang menelepon sekarang."Halo?""....""Oh, ya. Ya dokter Boyke, saya cuti beberapa hari. Mungkin hanya lima hari saja, hahah.""....""Waah, tidak tahu. Saya belum berencana kesana, hahah!""...."Mischa masih memperhatikan suaminya menelepon dengan santai dan senang. Dia berdecak kesal, kenapa sejak di bawa masuk paksa bahkan di tarik tangannya justru di dalam malah di diamkan. Tangannya bersedeka
Mischa dan dokter Samuel menyambut tamu yang hadir, tidak menyangka tamu undangan yang datang sebagian adalah dokter dan para perawat serta petugas di rumah sakit dokter Samuel bertugas. Ada juga doktet-dokter lain dari rumah sakit lain yang di kenalnya dan sering bertemu ketika seminar.Begitu juga rekan bisnis tuan Arta juga kedua orang tua Mischa. Gadis itu sendiri tidak banyak mengundang temannya, tapi juga ada yang memaksa datang karena ingin bertemu dengan Mischa."Jadi kamu jodohnya dengan dokter, Mischa?" tanya teman kuliahnya dulu ketika mereka berkumpul dengan teman satu angkatan kuliahnya, hanya beberapa."Ya, jodoh tidak tahu yang kita dapatkan sih." jawab Mischa menenggak minumannya.Dia ingin minuman beralkohol meski, tapi tidak di sediakan oleh pihak hotel. Itu mungkin orang tuanya yang melarang menyediakan minuman beralkohol."Tapi kamu dulu bercita-cita ingin dapat jodoh seorang arsitektur. Edward, teman kita dulu dia sekarang seorang arsitek terkenal. Karyanya banyak
Keputusan tuan Arta tidak bisa di ganggu gugat oleh siapa pun. Baik Mischa atau pun dokter Samuel, dan laki-laki itu pusing bukan main. Dan kali ini, dia masih berada di rumah Ibra setelah lamaran terpaksanya pada tuan Arta untuk meminta Mischa jadi istrinya.Belum lagi Sintya justru tidak datang ketika lamaran dadakan dan terpaksa itu di lakukan. Alasannya dia tidak bisa pulang ke Indonesia karena pekerjaannya belum selesai. Dan kini, dokter tampan itu duduk lesu di ruang kerja sahabatnya.Ibra menatap sinis, tapi sekaligus kasihan karena terlihat lesu sekali. Belum lagi tekanan dari kakeknya agar segera menikah secepatnya."Bagaimana bisa kakekmu menyuruhku menyiapkan semuanya dalam satu minggu ini menikah. Semuanya serba mendadak, apa ini acara bedah rumah atau uang kaget yang semuanya serba mendadak dan cepat." ucap dokter Samuel."Kamu pikir dulu aku juga mendadak menikah, dua pernikahanku semuanya mendadak. Itu bisa di lakukan, kamu cuma izin rumah sakit untuk mendadak menikah.