Lisa dan Mischa kaget dengan Zahrana yang berdiri di depan kamar Lisa, menatap keduanya dengan tenang dan santai."Kupikir jika mas Ibra menelepon, aku akan katakan kalau ada tamu menginap di sini." kata Zahrana."Hei! Jangan bilang kamu akan mengadu pada Ibra?!" tanya Mischa mulai cemas dengan ucapan Zahrana."Mengadu? Apa aku terancam dengan kehadiran mantannya itu?" Zahrana balik bertanya.Mischa semakin kesal dengan ucapan Zahrana itu, sebenarnya tidak ada yang salah. Tapi karena tidak suka pada gadis di depannya justru semuanha jadi salah."Baiklah, katakan saja pada Ibra. Kalau Lisa ada di rumahnya, dia pasti akan senang." kata Mischa mencoba memanasi istri sepupunya."Oke, aku akan mengatakan pada mas Ibra nanti." ucap Zahrana.Dia melangkah pergi meninggalkan dua perempuan yang sedang cemas kalau Ibra tahu kehadiran mereka membuat istrinya tidak nyaman dan mengganggunya. Terlebih Lisa, mantan Ibra itu yang tidak tahu apa pun awalnya kini jadi terlibat."Mischa, sebaiknya janga
"Aku memang gadis kampung, tapi tata krama dan sopan santun serta tahu diri masih aku miliki. Menjaga dan memperhatikan apa yang suamiku suka, aku bisa mempelajarinya. Tapi tata krama seorang tamu, apa pantas menghina tuan rumahnya? Apa lagi tinggal di rumahnya, itu namanya tidak tahu diri." kata Zahrana lagi.Lisa diam lagi, dia merasa malu dan hatinya sangat kesal dengan ucapan Zahrana. Entah apa yang dia pikirkan, sebenarnya dia ingin menyerah beradu mulut dengan istri mantan kekasihnya itu. Tapi dia benar-benar terobsesi ingin mengalahkan bahkan ingin menyingkirkan gadis di depannya."Baiklah, aku terima penghinaanmu. Tapi seperti kata Mischa, aku akan menyingkirkanmu dari rumah ini. Aku juga muak mendengar kata-katamu yang terlalu suci itu." kata Lisa."Oh ya? Apa hak anda mau menyingkirkan aku sebagai istri mas Ibra? Anda pikir seorang mantan kekasih yang berkelakuan tidak baik pada mantannya itu akan tetap di pertahankan? Aku bisa melaporkan semuanya sama suamiku, kalau mantan
Raka langsung di tangani di ruang UGD, di berikan infus dan juga penangkal racun yang menyebar di seluruh tubuh anak laki-laki itu. Zahrana sangat cemas dan khawatir dengan keadaan anak sambung sekaligus keponakannya itu, beberapa kali dia menghubungi suaminya belum juga tersambung."Kenapa lagi penting begini mas Ibra susah sekali di hubungi." ucap Zahrana.Dia menatap para dokter yang menangani Raka, termasuk dokter Samuel. Lama juga dokter itu menangani anaknya, hingga satu jam lebih. Zahrana tidak boleh terlalu dekat dengan Raka, karena di takutkan akan jadi histeris melihat anak kecil itu di pasang beberapa alat medis.Setelah selesai, kini dokter Samuel pun merasa lega. Raka sudah di tangani dan sudah stabil keadaannya meski masih belum sadar dari pingsannya. Dokter Samuel juga khawatir akan keadaan Raka, karena dia juga yang akan kena semprot sahabatnya."Raka sudah stabil keadaannya, tapi masih belum sadar. Nanti suster akan membawanya ke ruang rawat inap." kata dokter Samuel.
Ibra memerintahkan bi Iyam untuk mengunci rumahnya agar Mischa tidak bisa pergi dari rumah itu, setelah tahu dirinya mendadak pulang dari Singapura mengetahui anaknya masuk rumah sakit.Ibra melajukan mobilnya kencang, dia benar-benar marah pada sepupunya dan akan memarahinya habis-habisan karena hampir saja membuat nyawa anaknya melayang. Dia ingat akan ucapan dokter Samuel, kalau Raka tidak muntah dan segera di bawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan secepatnya. Maka, nyawa Raka langsung saja lenyap akibat meminum alkohol yang lumayan tinggi kadarnya."Beruntung sekali fisik anakmu itu kuat, kalau tidak. Mungkin saja sudah tinggal nama." kata dokter Samuel."Jadi, Raka meminum minuman milik Mischa?" tanya Ibra."Ya, seperti yang di katakan anakmu. Dia kehausan setelah di panggil sepupumu itu, dia tidak sengaja meminum minuman di botol yang ada di meja. Dan kamu tahu kadar alkohol di dalam minuman Mischa tersebut?" tanya dokter Samuel, Ibra menggeleng."Hampir lima puluh pe
Lisa masuk ke dalam kamar Mischa setelah dia di telepon kalau Ibra pulang dari Singapura. Dia merasa bersalah jika Mischa di salahkan oleh Ibra, sepupunya. Lisa mendekati Mischa yang sedang duduk dan menangis. Duduk di sampingnya, memegang tangannya untuk menguatkan hatinya."Apa Ibra memarahimu?" tanya Lisa menatap Mischa."Dia mengancamku, hik hik hik." jawab Mischa masih terisak.Lisa menarik kepala Mischa, merasa kasihan pada sepupu Ibra itu. Menenangkan hati perempuan itu."Aku akan bicara padanya, agar jangan terlalu kasar dan kejam sama kamu. Masalah ini juga aku ikut bersalah, aku akan memberitahu padanya." kata Lisa."Dia pasti tidak akan mendengar ucapanmu, Lisa. Dia benar-benar marah." kata Mischa lagi."Apa dia masih ada di kamarnya?" tanya Lisa."Ya, tadi dia datang langsung memarahiku dan pergi ke kamarnya. Aku di suruh meminta maaf sama istri kampungnya." kata Mischa lagi."Kamu minta maaf saja, itu lebuh baik. Dan jangan mengulangi lagi, lebih baik kembali saja ke Sing
Ibra sedang menyuapi Raka dengan bubur buatan bi Iyam. Dia makan dengan lahap, Zahrana tersenyum senang melihat suaminya begitu antusias menyuapi Raka makan bubur. "Bunda kok ngga makan?" tanya Raka melirik Zahrana."Bunda belum lapar sayang, tunggu papa selesai suapin Raka makan." jawab Zahrana."Pengen di suapi papa juga makannya bunda?" tanya Raka."Eh, ngga kok. Masa bunda makannya di suapi juga sih sama papa." kata Zahrana."Kalau bunda mau di suapi juga ngga apa-apa kok bunda." kata Ibra menatap istrinya.Zahrana hanya tersenyum saja, lalu menggeleng dengan ucapan suaminya. Bi Iyam masuk ke dalam ruang opname itu, duduk di sebelah Zahrana. Dia senang dengan keluarga majikannya yang sangat hangat itu, yang dulu hanya ada kehampaan di dalam rumah besar milik Ibra. Tapi dengan kehadiran Zahrana dan Raka semakin hangat dan ramai."Neng, bibi punya sesuatu. Apa Neng mau lihat?" tanya bi Iyam."Sesuatu apa?" tanya Zahrana mengerutkan dahinya.Bi Iyam diam, dia memandang Ibra yang mem
Kebahagiaan Zahrana dan Ibra sangat tampak dalam keseharian mereka, sering bercanda dan kadang Zahrana bersikap manja pada suaminya. Sejak kejadian di rumah itu ketika Mischa dan Lisa menginap, Zahrana sudah melupakannya. Bahkan dia sudah memaafkan sepupu Ibra itu."Kamu sudah memaafkan Mischa sayang?" tanya Ibra mengenakan jasnya."Aku tidak ada dendam mas sama Mischa kok, cuma ya kesal saja kenapa dia membenciku." jawab Zahrana merapikan baju suaminya."Dia sebenarnya masih terlalu kekanak-kanakan. Perlu ada yang membimbingnya, dulu saja dia sok bijak ketika menenangkanku dengan rasa kecewa sama Lisa." ucap Ibra.Zahrana menatap suaminya, tangannya menghentikan kegiatannya merapikan dasi suaminya. Ibra mengerutkan dahinya, heran kenapa Zahrana menghentikan aktifitasnya."Kenapa?""Tidak."Ibra menghela napas panjang, itu artinya dia tahu istrinya tidak suka kalau menyebut nama mantannya. Senyumnya mengembang, kemudian satu kecupan di bibir Zahrana dengan cepat."Kenapa ya sekarang i
Sikap aneh Zahrana masih berlanjut. Dia kini bukan hanya menciumi baju bekas di pakai suaminya, tapi juga sering mengendus kepala Ibra ketika tidur atau sedang duduk berdua. Awalnya di anggap biasa saja, Ibra senang istrinya selalu menciumnya di bagian lehernya.Seperti kali ini, hari Minggu ini Ibra berada di rumah saja. Menemani anaknya bermain di ruangan khusus bermain, Zahrana juga duduk di sebelahnya. Duduk menempel dan menciumi kepala dan juga lehernya, Ibra tersenyum senang. Maka dia memanfaatkan sikap Zahrana itu untuk mencumbunya juga."Ish, aku cuma mau cium kepala kamu aja mas." kata Zahrana mendorong wajah suaminya agar menjauh."Lho, kenapa? Kan aku juga mau cium kamu." kata Ibra."Ngga mau, sini kepalanya." kata Zahrana menarik kepala Ibra dengan kuat.Membuat Ibra kaget dan jatuh di pangkuan Zahrana. Dia tertawa senang, tapi Zahrana cemberut. Wajahnya menunduk mencium kepala suaminya kuat-kuat, dan yang menariknya hingga Ibra meringis kesakitan."Aduh, sakit sayang. Ken
Hari demi hari kedekatan Mischa dan dokter Samuel semakin baik. Mereka hidup satu rumah layaknya suami istri sesungguhnya, karena memang mereka pasangan suami istri. Tidak ada kekakuan dari sikap keduanya, Mischa sudah berani bermanja atau bercanda dengan suaminya.Dokter Samuel senang, kini Mischa terlihat manja padanya meski masih malu-malu. Dia juga senang setiap hari berangkat kerja di antar sampai depan rumah, dan pulang dari rumah sakit Mischa sudah ada di rumahnya. Kalau pun Mischa pulang terlambat karena sedang di luar, pasti dia menelepon lebih dulu.Kedua sejoli yang sedang mabuk cinta, tapi masih gengsi untuk mengungkapkan. Kini sedang santai menikmati liburan hari Minggu di rumah. Dokter Samuel mengisi libur Minggunya renang di rumahnya di bagian belakang. Mischa menemani di kursi panjang sambil memainkan ponsel, sesekali memotret suaminya diam-diam ketika sedang berenang.Dokter Samuel pun mendekat pada istrinya, dia duduk di samping dengan tubuh dan wajah yang basah."Ka
Mischa nyaman dalam pelukan dokter Samuel malam ini, makanya dia diam saja tanpa bergeming ketika pelukan suaminya semakin mengerat. Memang awalnya tertidur pulas, tapi gerakan tubuh Mischa membuat dokter Samuel semakin mengeratkan pelukannya."Apa kamu nyaman seperti ini?" tanya dokter Samuel.Tak ada jawaban, hanya gerakan pelan dan hati-hati dari tangan Mischa. Dokter tampan itu membuka matanya, melihat wajah Mischa matanya bergerak-gerak. Wajahnya mendekat, mencoba untuk mencium pipinya apakah ada penolakan atau tidak dari istrinya.Tapi tidak ada penolakan, justru tubuh Mischa menegang ketika ciuman dokter Samuel di pipinya tidak juga lepas. Wajah itu mengarah pada bibir Mischa dengan pelan, mengecupnya beberapa kali. Namun tetap tidak ada perlawanan dari istrinya, seperti memberikan sinyal kalau perlakuannya itu di izinkan untuk terus melakukan eksplor pada wajahnya.Posisi dokter Samuel berubah menjadi di atas, tangannya mengelus pipi Mischa yang halus. Wajahnya turun ke bawah,
Sikap dokter Samuel yang berubah manis dan sedikit romantis akhir-akhir ini membuat Mischa jadi berpikir lagi tentang hubungannya dengan suaminya itu. Ternyata, memang harus terbiasa untuk menumbuhkan rasa cinta di hatinya agar bisa memperbaiki hubungannya dengan suaminya.Duduk di depan cermin, menyisir rambutnya yang sebahu. Masih dengan mengenakan handuk kimono setelah mandi. Dia kini sudah jarang minum-minuman dan juga keluar malam hari, sejak dokter Samuel mecium bibirnya malam itu dan selalu mengecup keningnga ketika mau berangkat ke rumah sakit. Bagi Mischa itu sikap yang manis yang belum dia rasakan, terkadang dia merasa berdebar ketika sikap manis suaminya itu."Apa dia mencoba untuk mengambil hatiku?" gumam Mischa menatap wajahnya sendiri di pantulan cermin kaca.Tok tok tok.Pintu di ketuk dari luar, Mischa bangkit dari duduknya dan melangkah menuju pintu. Membukanya dan tampak bi Sumi berdiri tersenyum tipis."Apa nyonya mau menyambut tuan dokter?" tanya bi Sumi."Oh, dia
Mischa diam saja, dia terpaku ketika dokter Samuel mengecup keningnya. Matanya menatap punggung suaminya yang berjalan menjauh meninggalkannya untuk pergi ke rumah sakit. Dia menarik napas panjang, lalu di lihatnya meja makan hanya ada roti panggang serta air putih dalam teko bening.Mischa mengambil gelas lalu mengisinya dengan air dalam teko. Di minumnya air tersebut, masih diam setelah meminum air."Nyonya mau sarapan sekarang?" tanya bi Sumi."Apa tuanmu itu sudah sarapan?" tanya Mischa."Sudah nyonya, bahkan minum kopi juga sudah." jawab bi Sumi."Jadi dia sudah minum kopi? Kok dia minta lagi sama aku?" tanya Mischa."Mungkin tuan dokter pengen di layani nyonya, sudah beberapa minggu tuan sebenarnya ingin di layani istrinya. Yaitu nyonya, tapi tuan dokter tidak sampai hati membangunkan nyonya kalau pagi hari." kata bi Sumi lagi."Kenapa tidak mau bangunkan? Tinggal bangunkan saja kenapa tidak enak hati?" ucap Mischa."Tuan dokter tidak mau merepotkan, lagi pula ..." ucapan bi Sum
Malam pertama di lewati begitu saja oleh dokter Samuel dan Mischa. Dokter tampan itu justru tidak mau melakukan hubungan suami istri jika Mischa sendiri tidak mau. Tapi mereka pun telah kembali ke rumah dokter Samuel, karena memang Mischa sudah jadi istri dokter Samuel.Bahkan dokter Samuel memberikan penawaran pada Mischa apakah dia akan tidur terpisah di kamar lain, bukan di kamarnya sendiri."Jadi kamu mau tidur di kamarku atau di kamar tamu?" tanya dokter Samuel ketika mereka sampai di rumah besar itu."Baguslah, kamu tidak memaksaku untuk tidur satu kamar. Aku pilih di kamar tamu saja, di mana kamarnya?" tanya Mischa."Oke, nanti bi Sumi yang akan merapikan kamar tamu itu. Tunggu saja, dia pasti datang kesini." kata dokter Samuel.Laki-laki itu meninggalkan Mischa menuju kamarnya. Dia ingin segera mengganti bajunya setelah semalam tidak berganti baju karena lupa tidak membawa baju, tahu begitu dia menyuruh pembantunya datang ke hotel membawakan baju-bajunya. Tapi waktu sudah mala
Ibra tersenyum ketika sepupunya meminta tolong padanya untuk membukakan kancing baju pengantinnya. Dokter Samuel menatapnya, kemudian menyeruput kopi yang dia pesan juga."Apa dia yang meneleponmu?" tanya dokter Samuel."Ya, dia meminta bantuanku untuk melepas kancing bajunya. Dia pikir aku ini laki-laki tidak normal?" ucap Ibra."Hei, apa kamu juga tertarik dengan sepupumu sendiri?" tanya dokter Samuel sedikit cemburu."Kenapa dia minta tolong padaku? Cepat sana pergi ke kamarmu! Dia butuh bantuanmu." ucap Ibra tersenyum sinis karena dokter Samuel seperti cemburu padanya."Dia terlalu angkuh dan gengsi tidak mau minta bantuan padaku, kenapa minta bantuan padamu.""Ya, karena dia gengsi. Makanya dia minta bantuan padaku, sebagai laki-laki jantan harusnya kamu segera pergi ke kamar dan menolong istrimu yang sedang kesusahan. Kupikir kamu bisa langsung mengajaknya bercinta malam pertama kalian." ucap Ibra."Dia terlalu angkuh, makanya aku pergi sendiri ke sini." ucap dokter Samuel."Lep
Dalam kamar pengantin, dokter Samuel atau pun Mischa keduanya sibuk masing-masing dengan ponselnya. Sesekali dokter Samuek melirik ke arah istrinya, moodnya tiba-tiba rusak ketika tahu Mischa masih saja mengkonsumsi minuman beralkohol.Mischa melirik suaminya yang begitu tenang tanpa mengganggunya. Biasanya jika pengantin baru yang normal, maka mereka akan melakukan apa saja yang membuat mereka dekat dan saling membutuhkan. Meski ada kecanggungan, tapi Mischa melihat suaminya tenang-tenang saja."Apa dia seorang suami yang baik? Kenapa diam saja." gumam Mischa melirik dokter Samuel yang sedang menelepon sekarang."Halo?""....""Oh, ya. Ya dokter Boyke, saya cuti beberapa hari. Mungkin hanya lima hari saja, hahah.""....""Waah, tidak tahu. Saya belum berencana kesana, hahah!""...."Mischa masih memperhatikan suaminya menelepon dengan santai dan senang. Dia berdecak kesal, kenapa sejak di bawa masuk paksa bahkan di tarik tangannya justru di dalam malah di diamkan. Tangannya bersedeka
Mischa dan dokter Samuel menyambut tamu yang hadir, tidak menyangka tamu undangan yang datang sebagian adalah dokter dan para perawat serta petugas di rumah sakit dokter Samuel bertugas. Ada juga doktet-dokter lain dari rumah sakit lain yang di kenalnya dan sering bertemu ketika seminar.Begitu juga rekan bisnis tuan Arta juga kedua orang tua Mischa. Gadis itu sendiri tidak banyak mengundang temannya, tapi juga ada yang memaksa datang karena ingin bertemu dengan Mischa."Jadi kamu jodohnya dengan dokter, Mischa?" tanya teman kuliahnya dulu ketika mereka berkumpul dengan teman satu angkatan kuliahnya, hanya beberapa."Ya, jodoh tidak tahu yang kita dapatkan sih." jawab Mischa menenggak minumannya.Dia ingin minuman beralkohol meski, tapi tidak di sediakan oleh pihak hotel. Itu mungkin orang tuanya yang melarang menyediakan minuman beralkohol."Tapi kamu dulu bercita-cita ingin dapat jodoh seorang arsitektur. Edward, teman kita dulu dia sekarang seorang arsitek terkenal. Karyanya banyak
Keputusan tuan Arta tidak bisa di ganggu gugat oleh siapa pun. Baik Mischa atau pun dokter Samuel, dan laki-laki itu pusing bukan main. Dan kali ini, dia masih berada di rumah Ibra setelah lamaran terpaksanya pada tuan Arta untuk meminta Mischa jadi istrinya.Belum lagi Sintya justru tidak datang ketika lamaran dadakan dan terpaksa itu di lakukan. Alasannya dia tidak bisa pulang ke Indonesia karena pekerjaannya belum selesai. Dan kini, dokter tampan itu duduk lesu di ruang kerja sahabatnya.Ibra menatap sinis, tapi sekaligus kasihan karena terlihat lesu sekali. Belum lagi tekanan dari kakeknya agar segera menikah secepatnya."Bagaimana bisa kakekmu menyuruhku menyiapkan semuanya dalam satu minggu ini menikah. Semuanya serba mendadak, apa ini acara bedah rumah atau uang kaget yang semuanya serba mendadak dan cepat." ucap dokter Samuel."Kamu pikir dulu aku juga mendadak menikah, dua pernikahanku semuanya mendadak. Itu bisa di lakukan, kamu cuma izin rumah sakit untuk mendadak menikah.