Zahrana Laily, gadis berusia dua puluh tahun. Hidup hanya dengan kakaknya saja bernama Rania Bila, kakaknya Rania sedang hamil besar. Zahrana dan Rania adalah kakak beradik yang telah di tinggalkan kedua orang tuanya sejak Zahrana sekolah SMA kelas sepuluh.
Ketika itu, Rania sudah lulus sekolah SMA dan bekerja di kota di ajak oleh temannya. Satu tahun setelah kakaknya Rania bekerja di kota, kehidupan Zahrana dan ibunya membaik. Tetapi satu tahun kakaknya merantau, ibunya meninggal.Sejak itu, Zahrana hidup sendiri. Di tambah lagi sejak ibunya meninggal itu, Rania tidak lagi memberikan kabarnya. Bahkan kiriman uang yang biasanya lancar, justru tidak lagi di kirim.Selama hidup sendiri, Zahrana bekerja apa saja untuk membiayai hidupnya. Karena tidak ada yang mau menanggung makan Zahrana, sekalipun adik dari ibunya.Kini, Rania pulang dengan kondisi sedang hamil muda pada saat itu. Zahrana bertanya tentang siapa laki-laki yang telah menghamilinya, tetapi Rania tidak memberitahu siapa laki-laki itu.Kehidupan Zahrana sangat sederhana, dia kini tinggal dengan kakaknya Rania yang sedang hamil besar. Masih tidak jelas hamil anak siapa kakaknya itu, karena sejak merantau di kota Rania di kabarkan di peristri oleh orang kaya.Rania tidak mau menceritakan siapapun laki-laki yang telah menikahinya bahkan sampai hamil besar, Zahrana tidak tahu siapa suami kakaknya itu."Kak Rania hamil besar begini, apa tahu suami kakak itu?" tanya Zahrana suatu hari ketika mereka sedang santai menonton TV.Rania diam saja, dia masih ngemil makanan di tangannya. Tidak berniat menjawab pertanyaan adiknya, Zahrana pun hanya menarik napas panjang.Setiap kali bertanya masalah suaminya, Rania selalu diam. Bahkan terlihat acuh saja, Zahrana heran dengan sikap tertutup kakaknya itu."Kak, jika suatu saat anak kakak lahir. Dia cari ayahnya, apa kakak akan diam saja seperti ini?" tanya Zahrana lagi."Biarkan dia menemukannya sendiri dek, kakak tidak akan memberitahu siapapun siapa laki-laki itu. Bahkan kelak anakku juga akan mencari sendiri siapa papanya nanti." kata Rania."Ya tapi kak, setidaknya beritahu foto laki-laki itu. Biar aku yang cari, sekalipun dia di lubang semut akan aku cari biar tahu anak dan istrinya disini hidup seadanya." kata Zahrana sedikit kesal dengan sikap diam kakaknya.Rania menatap adiknya, lalu tersenyum tipis. Dia melanjutkan makan cemilan sambil menonton TV kesukaannya. Zarhana mendengus kesal, tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dan akhirnya dia pasrah saja dengan sikap kakaknya itu._Malam hari, Rania merasakan perutnya keram hebat. Dia bangun dari tidurnya, dengan susah payah dia bangun dan melangkah keluar dari kamarnya. Berniat membangunkan adiknya Zarhana, mengantarnya pergi ke bidan desa."Zahra, bangun! Tolong kakak!" teriak Rania menggedor pintu kamar Zahrana.Beberapa kali Rania menggedor pintu kamar Zahrana, tak lama pintu itu terbuka. Tampak Zahrana mengucek matanya dan menguap. Tampak di depannya Rania berdiri dan meringis kesakitan.Zahrana kaget, dia melebarkan matanya dan panik dengan kakaknya yang meringis kesakitan."Kak Rania kenapa?" tanya Zahrana."Tolong kakak, sepertinya mau melahirkan. Eeuuh." ucap Rania menahan sakit perutnya."Eh, melahirkan? Terus harus bagaimana kak?" tanya Zahrana panik."Antar kakak ke bidan desa." jawab Rania."Tapi, ini malam kak. Pasti bidannya sudah tidur." kata Zahrana."Ngga apa-apa, coba saja kesana. Eeuuh, kakak sudah sakit banget ini." kata Rania mengigit bibirnya menahan sakitnya."Aah, ya kak. Sebentar aku ambil kerudung dulu." kata Zahrana.Dia masuk ke dalam kamarnya lagi, Rania meninggalkan kamar Zahrana dan masuk kedalam kamarnya mengambil perlengkapan bayi yang sudah dia siapkan sebelumnya.Rasa sakit yang tidak bisa di tahan membuat Rania sedikit mengejan, dia memanggil Zahrana agar cepat mengantarnya ke bidan desa."Zahrana, cepat! Kakak sudah ngga tahan!" teriak Rania.Zahrana pun keluar, dia hanya memakai kerudung instan dan segera menuntun kakaknya keluar dari rumah. Suasana malam hari tampak sepi, karena rasa sakit dan keadaan yang mendesak. Heningnya malam hari dan gelap itu tidak menyurutkan Zahrana dan Rania berjalan menuju rumah bidan desa yang jaraknya dua ratus meter."Apa kakak kuat jalan kaki sampai ke rumah bidan desa?" tanya Zahrana cemas dengan kakaknya."Mau bagaimana lagi, keadaan sepi sekali. Tidak mungkin juga harus meminta bantuan sama tetangga untuk mengantar kita ke rumah bidan desa." kata Rania."Ya sudah, kakak pegangan tanganku. Aku akan jalan pelan-pelan, semoga bayinya tidak keluar di jalan." kata Zahrana.Mereka pun berjalan pelan menuju rumah bidan desa. Menembus gelapnya malam, suara binatang malam saling bersahutan menemani mereka berjalan menuju rumah bidan desa.Setengah jam mereka berjalan, Rania menahan sakitnya yang menusuk tulang. Bukan, sakitnya bagaikan tulang retak beberapa rusuk. Sakitnya luar biasa, tak berapa lama Rania dan Zahrana sampai di depan pintu pagar bidan desa.Zahrana mengetuk pintu pagar dengan keras, dia memanggil bidan desa dengan suara lantang dan gelisah."Bu bidan, tolong kakak saya!" teriak Zahrana.Dia mengetuk beberapa kali pintu pagar yang hanya sebatas dadanya. Dia menoleh ke arah Rania sudah hampir terkulai, Zahrana terus menggedor pintu pagar itu sambil berteriak memanggil bidan desa itu.Saat ini pukul satu malam, memang keadaan kampungnya sangat sepi. Apalagi di waktu jam satu dini hari, waktunya orang tidur pulas. Sedangkan Zahrana dan Rania sedang berjuang untuk mendapatkan pertolongan persalinan Rania."Bu bidan! Tolong kakak saya!" teriak Zahrana lagi.Tak lama, pintu rumah terbuka. Zahrana senang, dia segera menuntun kakaknya Rania untuk bertahan dan sebentar lagi pertolongan datang."Siapa sih malam-malam begini mengetuk pintu keras sekali!" ucap bidan itu terlihat masih mengantuk."Bu bidan. Tolong kakak saya, dia mau melahirkan." kata Zahrana."Zahrana, siapa yang mau melahirkan?" tanya bidan desa itu."Kakak saya bu bidan." kata Zarhana panik."Rania?""Iya bu bidan.""Ish, ganggu saja." ucap bidan itu kesal karena waktu tidurnya terganggu.Dia melihat Rania sedang menahan sakit, dengan malas dia membuka pintu pagar rumahnya. Zahrana menuntun kakaknya masuk ke dalam rumah bidan tersebut, dia membawanya ke bagian persalina. Tampak pucat sekali Rania menahan sakit di perutnya, dia sudah tidak kuat lagi menahan untuk tidak mengejan."Eeuh!"Rania mengejan ketika dia duduk di bangsal, bidan hanya menatapnya saja sambil menggunakan sarung tangannya cepat. Zahrana cemas dan tidak sabar dengan apa yang di lakukan bidan desa itu."Bi bidan, cepatlah. Kakakku sudah tidak tahan." kata Zahrana tidak sabar dengan bidan desa itu karena terlihat santai sekali."Sabar, ini juga sudah cepat. Salah siapa melahirkan malam-malam begini." ucap bidan itu ketus.Zahrana terkejut, dia tidak menyangka bidan desa berkata seperti itu. Jika bukan karena mau melahirkan mendadak di malam hari begini, sudah tentu Zahrana membawa kakaknya ke puskesmas saja. Bukan ke bidan desa itu."Aaaaaargh!""Kak Rania!"__*********"Kak Rania!""Aaaaargh!"Bug!Rania melahirkan langsung tanpa bantuan bidan desa yang sejak tadi masih saja memakai kaus tangan medis, Zahrana kaget dengan bayi yang jatuh dari bawah Rania. Dia langsung mengambil bayi itu yang masih menggantung tali pusarnya pada bagian bawah Rania.Rania sendiri tidak sadarkan diri tergeletak di bangsal. Zahrana begitu kaget dengan kejadian tak terduga itu, keponakannya jatuh dan dia langsung mengambilnya.Bidan desa itu membantu menggunting tali pusar yang masih menggantung. Zahrana masih memegangi bayi laki-laki itu, tangannya gemetar. Matanya menatap bayi yang sedang menangis, dia pun ikut menangis."Sabar ya, nanti aku akan menjagamu." ucap Zahrana berlinangan air mata.Dia masih syok kejadian bayi jatuh kebawah karena bidan desa tidak juga menanganinya. Setelah selesai di potong tali pusar, tak lama ari-ari pun keluar juga tanpa Rania harus mengejan lagi.Rania sudah tidak sadarkan diri di bangsal itu, bidan melihat semuanya begitu cepat. Dia ha
Satu minggu sudah Rania melahirkan, dia sudah bisa beraktifitas seperti biasanya. Tetapi masih sebatas di dalam rumah saja, Zahrana yang bergantian keluar rumah untuk berjualan di pasar.Dia berjualan sayur-sayuran sejak kakaknya Rania pulang menggantikan ibunya dulu berjualan di pasar, tetapi jualannya tidak ramai seperti pedagang sayur di pasar.Banyak yang enggan membeli sayur pada Zahrana karena mereka mendengar kakaknya hamil di luar nikah entah dengan siapa laki-lakinya karena tidak ada yang tahu siapa. Jika ada yang menggunjingkan lakaknya di depannya secara terang-terangan, Zahrana langsung membelanya. Mengatakan kalau kakaknya itu menikah, bukan hamil di luar nikah."Mana buktinya kalau dia menikah? Kemana suaminya?" tanya para tetangga yang mempertanyakan siapa suami Rania.Zahrana tidak bisa menjawab, dia juga bingung siapa suami kakaknya itu. Bahkan datang ke kampungnya saja tidak pernah, jadi mereka pun sanksi dengan pembelaan Zahrana.Beberapa kali Zahrana tanya pada kak
"Kak Rania!"Zahrana menjerit histeris, dia berjongkok dan menggoyangkan tubuh Rania yang tidak sadarkan diri. Dia panik dan bingung harus melakukan apa, dia bergegas menuju kamarnya mengambil ponselnya. Mencari bantuan pada pamannnya agar mau membawa kakaknya ke rumah sakit.Tuuut.Zahrana menelepon pamannya, belum di jawab. Dia semakin panik karena telepon pamannya belum juga di angkat. Zahrana terus menghubungi pamannya, dan tak lama sambungan telepon itu tersambung."Halo paman.""Ada apa Zahra?" tanya pamannya tenang."Paman, bisa tolong aku. Kak Rania jatuh pingsan." kata Zahrana."Ck, tunggu saja. Dia pasti sadar." kata pamannya dengan malas di seberang sana."Tapi paman, kak Rania berdarah.""Heh! Urus saja kakakmu itu! Jangan minta bantuan pada pamanmu, dia sibuk!"Klik!Sambungan telepon terputus, Zahrana diam. Dia pun kembali menuju kamar kakaknya, berpikir bagaimana harus membawa kakaknya yang pingsan akibat pendarahan itu. Tangannya masih menggendong Raka yang terdiam.Di
"Apa?! Tiga puluh juta?" tanya Zahrana kaget dengan biaya sebesar itu."Iya, mau di bayar lunas atau di cicil dulu mbak?" tanya petugas itu."Emm, bisa bayar pakai ATM?" tanya Zahrana."Bisa."Zahrana pun menyerahkan ATM yang dia pegang pada petugas itu. Petugas itu pun mengecek ATM yang di serahkan oleh Zahrana, dia meminta Zahrana memencet pin pada alat ATM mini tersebut. Tapi dia bingung karena tidak tahu pin ATM milik kakaknya itu."Kalau begitu, cicil saja mbak pakai uang tunai. Ini punya kakaknya yang lagi di operasi ya. Nantu bisa di lunasi melalui ATM atau tunai lagi." kata petugas itu."Oh ya, sebentar pak."Zahrana mengambil dompet kakaknya, melihat isi uang tunai di dompet itu. Di hitung hanya ada beberapa lembar ratusan saja, dia menyerahkan tujuh lembar uang ratusan tersebut."Apa segini dulu ngga apa-apa pak?" tanya Zahrana.Petugas itu menghitung uang yang di serahkan Zahrana. Zahrana memperhatikan apa yang di lakukan oleh petugas itu."Kalau bisa satu juta saja dulu mb
"Saya terima nikah dan kawinnya Rania Marlina dengan mas kawin tersebut di bayar tunai."Ucapan lantang laki-laki dingin itu membuat beku Rania, dia tidak tahu jika akan menikah dengan laki-laki yang tidak dia kenal. Bahkan baru bertemu saat ini juga, dan dalam waktu beberapa jam saja dia sudah jadi seorang suami.Entah apa yang akan dia perbuat, di mana dia harus mengadu dengan kejadian mendadak itu. Melihat sekeliling kamar hotel itu, membuatnya tiba-tiba jadi pengap. Menatap satu persatu orang-orang di depannya, tatapannya pun beralih pada laki-laki yang kini sudah jadi suaminya.Siapa dia?"Terima kasih pak penghulu." kata laki-laki itu datar saja."Aah ya, tuan. Semoga menjadi keluarga yang bahagia." ucap penghulu berbaju batik itu.Laki-laki itu hanya diam saja, tanpa menanggapi dengan anggukan apapun. Penghulu itu pun keluar dari kamar hotel itu, di susul dua perempuan yang sejak tadi menyaksikan perikahan singkat laki-laki dingin itu.Rania masih diam di tempat, pakaian yang d
Kenangan tentang dirinya dengan laki-laki bernama dalam kartu nama yang dia temukan itu, membuat Rania sedih. Apa lagi dia menemukan cek di meja sebesar seratus juta untuknya, sejak itu Rania menyelesaikan pekerjaan di toko lalu dia pun pulang ke kampungnya.Membawa cek serta kartu nama yang dia temukan. Kemudian di simpan di dompetnya tanpa pernah dia lihat lagi kartu nama itu.Dua bulan setelah pulangnya Rania dari rumah sakit, dia terlihat sehat. Tetapi terkadang merasa nyeri di bagian perutnya, dia hanya bisa menahan rasa sakit itu sendiri tanpa memberitahu adiknya Zahrana.Dia tidak mau adiknya ikut memikirkan penyakitnya itu, sedangkan Zahrana berjuang untuk mencukupi kebutuhan di rumah. Meski dia tahu di pasar banyak sekali yang menggunjingkannya karena melahirkan anak yang tidak tahu siapa bapaknya.Tok tok tok.Suara ketukan pintu dengan keras dari luar, Rania bergegas menghentikan menyusui anaknya yang kini sudah berusia dua bulan lebih itu. Dia berjalan menuju pintu dengan
Rania kembali di bawa ke rumah sakit lagi karena dia pingsan setelah bicara dengan pamannya. Zahrana tentu saja sangat panik, dia kembali membawa Rania dengan memesan taksi online. Raka dia titipkan pada pelanggan yang sering dia beri sisa jualannya. Tidak seperti dulu dia pergi mengantar Rania ke rumah sakit, harus di bawa karena tidak ada yang mau membantu menjaga keponakannya.Mempercayakan pada paman dan bibinya sama saja menyerahkan semua hartanya. Apa lagi kakaknya pingsan itu karena tadi ada istri pamannya datang dan meminta sertifikat rumah, bisa jadi karena itu juga kakaknya pingsan."Apa kakak mbaknya tidak minum obat ya?" tanya dokter yang menangani Rania setelah meraka sampai di rumah sakit."Katanya cuma hari ini saja dokter kakakku tidak minum." jawab Zahrana."Ini mustahil, sudah hampir setengah bulan kakak anda tidak minum obat. Kalau cuma hari ini saja tidak minum obat, tidak akan pingsan dan lemah begitu." kata dokter.Zahrana diam, dia bingung dengan ucapan dokter i
Zahrana keluar dari rumahnya, dia agak ragu menuju rumah tetangganya untuk meminta bantuan. Keadaan masih sepi dan gelap, tapi ada beberapa orang keluar dari rumahnya untuk pergi ke masjid sholat subuh berjamaah, atau pun ada yang keluar pergi ke pasar berjualan.Rania mendekati seorang laki-laki berpakaian sarung dan koko, sepertinya mau pergi ke masjid di ujung jalan itu. Menjalankan sholat subuh berjamaah."Pak, tolong saya." kata Zahrana agak ragu, wajahnya kebingungan."Kenapa?" tanya laki-laki berpeci itu."Kakak saya meninggal pak, hik hik hik. Tadi malam, saya bingung mau bagaimana." ucapnya sambil menangis dan memeluk Raka erat."Innalilahi wainnailaihirojiuun." ucap laki-laki itu."Tolong saya pak, bagaimana mengurus jenazah kakak saya itu." ucap Zahrana lagi."Sebentar, saya ke masjid dulu ya. Nanti saya bicara sama pak ustad di masjid, kalau kakak kamu meninggal." kata laki-laki itu merasa kasihan pada Zahrana.Meski memang banyak yang tidak menyukai Zahrana dan Rania, tet
Hari demi hari kedekatan Mischa dan dokter Samuel semakin baik. Mereka hidup satu rumah layaknya suami istri sesungguhnya, karena memang mereka pasangan suami istri. Tidak ada kekakuan dari sikap keduanya, Mischa sudah berani bermanja atau bercanda dengan suaminya.Dokter Samuel senang, kini Mischa terlihat manja padanya meski masih malu-malu. Dia juga senang setiap hari berangkat kerja di antar sampai depan rumah, dan pulang dari rumah sakit Mischa sudah ada di rumahnya. Kalau pun Mischa pulang terlambat karena sedang di luar, pasti dia menelepon lebih dulu.Kedua sejoli yang sedang mabuk cinta, tapi masih gengsi untuk mengungkapkan. Kini sedang santai menikmati liburan hari Minggu di rumah. Dokter Samuel mengisi libur Minggunya renang di rumahnya di bagian belakang. Mischa menemani di kursi panjang sambil memainkan ponsel, sesekali memotret suaminya diam-diam ketika sedang berenang.Dokter Samuel pun mendekat pada istrinya, dia duduk di samping dengan tubuh dan wajah yang basah."Ka
Mischa nyaman dalam pelukan dokter Samuel malam ini, makanya dia diam saja tanpa bergeming ketika pelukan suaminya semakin mengerat. Memang awalnya tertidur pulas, tapi gerakan tubuh Mischa membuat dokter Samuel semakin mengeratkan pelukannya."Apa kamu nyaman seperti ini?" tanya dokter Samuel.Tak ada jawaban, hanya gerakan pelan dan hati-hati dari tangan Mischa. Dokter tampan itu membuka matanya, melihat wajah Mischa matanya bergerak-gerak. Wajahnya mendekat, mencoba untuk mencium pipinya apakah ada penolakan atau tidak dari istrinya.Tapi tidak ada penolakan, justru tubuh Mischa menegang ketika ciuman dokter Samuel di pipinya tidak juga lepas. Wajah itu mengarah pada bibir Mischa dengan pelan, mengecupnya beberapa kali. Namun tetap tidak ada perlawanan dari istrinya, seperti memberikan sinyal kalau perlakuannya itu di izinkan untuk terus melakukan eksplor pada wajahnya.Posisi dokter Samuel berubah menjadi di atas, tangannya mengelus pipi Mischa yang halus. Wajahnya turun ke bawah,
Sikap dokter Samuel yang berubah manis dan sedikit romantis akhir-akhir ini membuat Mischa jadi berpikir lagi tentang hubungannya dengan suaminya itu. Ternyata, memang harus terbiasa untuk menumbuhkan rasa cinta di hatinya agar bisa memperbaiki hubungannya dengan suaminya.Duduk di depan cermin, menyisir rambutnya yang sebahu. Masih dengan mengenakan handuk kimono setelah mandi. Dia kini sudah jarang minum-minuman dan juga keluar malam hari, sejak dokter Samuel mecium bibirnya malam itu dan selalu mengecup keningnga ketika mau berangkat ke rumah sakit. Bagi Mischa itu sikap yang manis yang belum dia rasakan, terkadang dia merasa berdebar ketika sikap manis suaminya itu."Apa dia mencoba untuk mengambil hatiku?" gumam Mischa menatap wajahnya sendiri di pantulan cermin kaca.Tok tok tok.Pintu di ketuk dari luar, Mischa bangkit dari duduknya dan melangkah menuju pintu. Membukanya dan tampak bi Sumi berdiri tersenyum tipis."Apa nyonya mau menyambut tuan dokter?" tanya bi Sumi."Oh, dia
Mischa diam saja, dia terpaku ketika dokter Samuel mengecup keningnya. Matanya menatap punggung suaminya yang berjalan menjauh meninggalkannya untuk pergi ke rumah sakit. Dia menarik napas panjang, lalu di lihatnya meja makan hanya ada roti panggang serta air putih dalam teko bening.Mischa mengambil gelas lalu mengisinya dengan air dalam teko. Di minumnya air tersebut, masih diam setelah meminum air."Nyonya mau sarapan sekarang?" tanya bi Sumi."Apa tuanmu itu sudah sarapan?" tanya Mischa."Sudah nyonya, bahkan minum kopi juga sudah." jawab bi Sumi."Jadi dia sudah minum kopi? Kok dia minta lagi sama aku?" tanya Mischa."Mungkin tuan dokter pengen di layani nyonya, sudah beberapa minggu tuan sebenarnya ingin di layani istrinya. Yaitu nyonya, tapi tuan dokter tidak sampai hati membangunkan nyonya kalau pagi hari." kata bi Sumi lagi."Kenapa tidak mau bangunkan? Tinggal bangunkan saja kenapa tidak enak hati?" ucap Mischa."Tuan dokter tidak mau merepotkan, lagi pula ..." ucapan bi Sum
Malam pertama di lewati begitu saja oleh dokter Samuel dan Mischa. Dokter tampan itu justru tidak mau melakukan hubungan suami istri jika Mischa sendiri tidak mau. Tapi mereka pun telah kembali ke rumah dokter Samuel, karena memang Mischa sudah jadi istri dokter Samuel.Bahkan dokter Samuel memberikan penawaran pada Mischa apakah dia akan tidur terpisah di kamar lain, bukan di kamarnya sendiri."Jadi kamu mau tidur di kamarku atau di kamar tamu?" tanya dokter Samuel ketika mereka sampai di rumah besar itu."Baguslah, kamu tidak memaksaku untuk tidur satu kamar. Aku pilih di kamar tamu saja, di mana kamarnya?" tanya Mischa."Oke, nanti bi Sumi yang akan merapikan kamar tamu itu. Tunggu saja, dia pasti datang kesini." kata dokter Samuel.Laki-laki itu meninggalkan Mischa menuju kamarnya. Dia ingin segera mengganti bajunya setelah semalam tidak berganti baju karena lupa tidak membawa baju, tahu begitu dia menyuruh pembantunya datang ke hotel membawakan baju-bajunya. Tapi waktu sudah mala
Ibra tersenyum ketika sepupunya meminta tolong padanya untuk membukakan kancing baju pengantinnya. Dokter Samuel menatapnya, kemudian menyeruput kopi yang dia pesan juga."Apa dia yang meneleponmu?" tanya dokter Samuel."Ya, dia meminta bantuanku untuk melepas kancing bajunya. Dia pikir aku ini laki-laki tidak normal?" ucap Ibra."Hei, apa kamu juga tertarik dengan sepupumu sendiri?" tanya dokter Samuel sedikit cemburu."Kenapa dia minta tolong padaku? Cepat sana pergi ke kamarmu! Dia butuh bantuanmu." ucap Ibra tersenyum sinis karena dokter Samuel seperti cemburu padanya."Dia terlalu angkuh dan gengsi tidak mau minta bantuan padaku, kenapa minta bantuan padamu.""Ya, karena dia gengsi. Makanya dia minta bantuan padaku, sebagai laki-laki jantan harusnya kamu segera pergi ke kamar dan menolong istrimu yang sedang kesusahan. Kupikir kamu bisa langsung mengajaknya bercinta malam pertama kalian." ucap Ibra."Dia terlalu angkuh, makanya aku pergi sendiri ke sini." ucap dokter Samuel."Lep
Dalam kamar pengantin, dokter Samuel atau pun Mischa keduanya sibuk masing-masing dengan ponselnya. Sesekali dokter Samuek melirik ke arah istrinya, moodnya tiba-tiba rusak ketika tahu Mischa masih saja mengkonsumsi minuman beralkohol.Mischa melirik suaminya yang begitu tenang tanpa mengganggunya. Biasanya jika pengantin baru yang normal, maka mereka akan melakukan apa saja yang membuat mereka dekat dan saling membutuhkan. Meski ada kecanggungan, tapi Mischa melihat suaminya tenang-tenang saja."Apa dia seorang suami yang baik? Kenapa diam saja." gumam Mischa melirik dokter Samuel yang sedang menelepon sekarang."Halo?""....""Oh, ya. Ya dokter Boyke, saya cuti beberapa hari. Mungkin hanya lima hari saja, hahah.""....""Waah, tidak tahu. Saya belum berencana kesana, hahah!""...."Mischa masih memperhatikan suaminya menelepon dengan santai dan senang. Dia berdecak kesal, kenapa sejak di bawa masuk paksa bahkan di tarik tangannya justru di dalam malah di diamkan. Tangannya bersedeka
Mischa dan dokter Samuel menyambut tamu yang hadir, tidak menyangka tamu undangan yang datang sebagian adalah dokter dan para perawat serta petugas di rumah sakit dokter Samuel bertugas. Ada juga doktet-dokter lain dari rumah sakit lain yang di kenalnya dan sering bertemu ketika seminar.Begitu juga rekan bisnis tuan Arta juga kedua orang tua Mischa. Gadis itu sendiri tidak banyak mengundang temannya, tapi juga ada yang memaksa datang karena ingin bertemu dengan Mischa."Jadi kamu jodohnya dengan dokter, Mischa?" tanya teman kuliahnya dulu ketika mereka berkumpul dengan teman satu angkatan kuliahnya, hanya beberapa."Ya, jodoh tidak tahu yang kita dapatkan sih." jawab Mischa menenggak minumannya.Dia ingin minuman beralkohol meski, tapi tidak di sediakan oleh pihak hotel. Itu mungkin orang tuanya yang melarang menyediakan minuman beralkohol."Tapi kamu dulu bercita-cita ingin dapat jodoh seorang arsitektur. Edward, teman kita dulu dia sekarang seorang arsitek terkenal. Karyanya banyak
Keputusan tuan Arta tidak bisa di ganggu gugat oleh siapa pun. Baik Mischa atau pun dokter Samuel, dan laki-laki itu pusing bukan main. Dan kali ini, dia masih berada di rumah Ibra setelah lamaran terpaksanya pada tuan Arta untuk meminta Mischa jadi istrinya.Belum lagi Sintya justru tidak datang ketika lamaran dadakan dan terpaksa itu di lakukan. Alasannya dia tidak bisa pulang ke Indonesia karena pekerjaannya belum selesai. Dan kini, dokter tampan itu duduk lesu di ruang kerja sahabatnya.Ibra menatap sinis, tapi sekaligus kasihan karena terlihat lesu sekali. Belum lagi tekanan dari kakeknya agar segera menikah secepatnya."Bagaimana bisa kakekmu menyuruhku menyiapkan semuanya dalam satu minggu ini menikah. Semuanya serba mendadak, apa ini acara bedah rumah atau uang kaget yang semuanya serba mendadak dan cepat." ucap dokter Samuel."Kamu pikir dulu aku juga mendadak menikah, dua pernikahanku semuanya mendadak. Itu bisa di lakukan, kamu cuma izin rumah sakit untuk mendadak menikah.