"Menikahlah dengan Mas Farhan!"
Begitulah kalimat pertama yang Nayla ucapkan ketika aku baru saja duduk di seberang mejanya di Kafe Summer. Begitu ringan ia berucap, seolah nama yang baru saja disebutkannya bukanlah nama sang suami. Tidak tahukah jika lawan bicaranya ini adalah mantan kekasih suaminya yang pernah tak sengaja melakukan dosa sebulan lalu?
Entah apa motifnya, tapi harus kuakui jika Nayla unik sekaligus gila. Bisa-bisanya dia melamar perempuan lain untuk suaminya. Padahal aku tahu yakin mereka sangat mencintai satu sama lain meski bulan lalu Farhan sempat menawarkan pernikahan padaku.
"Mbak Nayla lagi ngelindur?" tanyaku tak percaya, sebisa mungkin menunjukkan sikap biasa bagai kecelakaan yang menimpaku dan Farhan tak pernah terjadi.
"Kalau begitu kuulang sekali lagi supaya Mbak Zahira lebih jelas. Menikahlah dengan Mas Farhan, suamiku!"
Kutatap lekat-lekat perempuan yang usianya terpaut dua tahun di bawahku. Tentu dia masih muda, karena aku sendiri pun masih berusia dua puluh tujuh tahun. Kupanggil Mbak juga sebagai bentuk sopan-santun semata. Dari fisiknya, ia cantik, seksi, dan elegan. Sepintas lalu kudengar jika Nayla juga pintar, berasal dari keluarga terpandang, dan memiliki karir cemerlang.
Lalu apa yang membuatnya merasa kurang, hingga harus mengoperkan suaminya pada perempuan lain? Jika bukan gila, aku tak menemukan jawaban lain. Setidaknya untuk saat ini.
"Tak pernah sekali pun aku bercita-cita menjadi madu. Jadi, kutolak permintaan Mbak Nayla," sahutku tanpa ragu. "Lucu sekali permintaanmu," gumamku tak habis pikir.
"Kalau begitu, bercinta dengan suami wanita lain adalah cita-citamu, Mbak Zahira!"
Kalimat itu seketika membuatku tercekat. Senyum yang sejak tadi menghiasi wajahku pun luntur, berganti dengan dentuman keras di dalam dada. Kugenggam erat tanganku yang terasa dingin dan gemetaran.
Tak mungkin Farhan yang bercerita, ia sudah berjanji untuk menutup mulut. Lagipula, mana mungkin ia mau menghancurkan mahligai rumah tangganya yang indah dan mampu membuat siapa pun iri tersebut?
"Tak perlu bingung bagaimana aku bisa tahu, yang pasti kalian sudah menghancurkan duniaku dan sangat melukaiku," ujar wanita bergaun midi warna putih itu.
"Mm-Mbak." Aku hanya bisa tergagap, tak mampu memberikan tanggapan apa pun.
Dalam pandangan orang lain, mungkin saat ini wajahku sudah terlihat pasi. Mungkin juga orang-orang akan mencibir dan mengataiku setelah mengetahui perbuatan amoral itu. Namun, semua tak seperti yang orang pikirkan.
“Mas Farhan dan keluarga kami sudah setuju, segeralah menikah!” pinta Nayla yang sekali lagi membuatku tak bisa menebak apa jalan pikirannya.
“Mbak, maafkan aku, tapi aku tidak bermaksud menjadi benalu dalam rumah tangga kalian. Aku akan pergi jauh dari kota ini, tak lagi menampakkan diri, supaya rumah tangga kalian tetap bahagia,” usulku memberikan solusi. “Kupastikan juga jika kejadian itu tidak membuahkan hasil. Meski kami melakukannya tanpa pengaman, tapi aku sudah mengkonsumsi obat darurat pencegah kehamilan. Mbak Nayla bisa tenang.”
Wanita itu tersenyum kecil sembari menyesap teh dari cangkir porselen dengan kelingking yang terangkat. Sikapnya begitu elegan dan terhormat. Tak mungkin aku bersedia menghancurkan hidupnya lebih jauh lagi. Aku bukanlah hama yang mengganggu rumah tangga orang.
“Syukurlah kalau begitu. Dan usulmu menarik juga, Mbak,” timpal Nayla kemudian yang sejenak membuatku lega.
Sayangnya, kalimat Nayla setelah itu justru membuatku semakin tercekat.
“Mbak Zahira silakan pergi, tapi nanti setelah melahirkan anakku dan Mas Farhan,” ujarnya tanpa beban.
Petir menggelegar seperti baru saja terdengar menyapa ruang rungu ini. Kegilaan apalagi yang sedang perempuan ini pikirkan? Aku membutuhkan lebih banyak oksigen supaya otakku mampu bekerja dan mengimbangi jalan pikirannya yang semakin tak tertebak.
“Maksud Mbak Nayla?” tanyaku ragu.
“Anggap saja ini kompensasi setelah luka yang Mbak Zahira torehkan, meski sampai kapan pun tak akan pernah hilang bekasnya,” ujar Nayla sambil menepuk dada kirinya beberapa kali, mengisyaratkan luka yang disebabkan oleh ketidaksengajaanku dan suaminya.
“Mbak, sungguh kami tidak sengaja, kami dijebak!” seruku mempertahankan harga diri.
“Aku tidak peduli,” sanggahnya tak acuh. “Yang kutahu hanya kalian pernah berzina dan menghancurkan hatiku. Jadi, Mbak Zahira harus membayar perbuatan itu dengan mengabulkan keinginanku. Atau kalau tidak, akan kusebarkan rekaman dashcam mobil Mas Farhan tanpa menunjukkan wajah suamiku, lalu akan kukirim pula rekamannya pada orang tua Mbak. Kira-kira, bagaimana reaksi ayah Mbak Zahira yang punya riwayat penyakit jantung itu setelah mengetahui betapa liar putri kesayangannya?”
Aku bergeming, tetapi rahangku mengetat dan jemari ini mengepal erat. Sikap elegan Nayla ternyata mengandung racun. Bukankah seharusnya kepergianku dari hidup mereka sudah cukup? Lalu, mengapa ia malah menambah penyakit dengan memasukkanku dalam hidupnya? Namun, aku juga bukan perempuan lemah yang mudah untuk digertak.
“Silakan kirimkan! Aku juga bisa melaporkan Mbak menggunakan UU ITE karena menyebarkan video tanpa persetujuan,” timpalku tak ingin kalah.
“Mbak lebih memilih masuk hotel prodeo?” kekeh wanita seksi itu. “Oke, aku bisa terjerat UU ITE, tapi apa Mbak gak berpikir kalau Mbak juga bisa terjerat UU pornografi?”
Sial, satu pukulan telak kembali menghantamku. Perempuan ini cukup tangguh. Pintar juga Farhan mencari penggantiku. Sepertinya memang wajar jika dia lebih memilih Nayla daripada aku.
Ah, aku mengatakan ini bukan karena masih menyimpan rasa pada manager pemasaran itu. Tidak sama sekali. Rasaku padanya telah terkikis habis setelah kami putus bertahun-tahun lalu.
“Jadi, pilih mana, Mbak?” desak Nayla.
Kuhela napas kasar. Oksigen ekstra sangat kuperlukan saat ini, setidaknya supaya otakku bisa bekerja lebih lancar. Namun, memang tak banyak yang bisa kulakukan.“Baik, kalau begitu, jelaskan dulu bagaimana skenarionya? Ah, bukan berarti aku akan setuju, aku hanya ingin tahu apa yang Mbak Nayla inginkan,” tantangku.Wanita itu membuka tas tangannya, meraih sebuah dokumen dalam map bening yang langsung diberikannya padaku. Dagunya mengedik, memintaku membuka dokumen itu untuk mempelajarinya. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, aku melakukan perintah tersebut sembari dia menjelaskan secara lisan.“Aku akan menandatangani izin untuk kalian menikah lagi, sehingga pernikahan kalian akan sah secara agama dan negara. Tapi, bukan berarti Mbak dan mas Farhan bisa berhubungan suami istri seperti pernikahan pada umumnya,”“Bahkan tak pernah sekali pun aku ingin mengulangi hal itu, Mbak!” selaku menegaskan posisi.“Baguslah kalau begitu. Jangan menuntut lagi setelah kalian resmi nanti,” timpal Nayla d
Selepas menandatangani dokumen, saatnya kami meminta restu pada orang tua kedua belah pihak. Orang tuaku berderai air mata, menyaksikan putrinya melepas masa lajang. Entah terharu atau sedih karena harus merelakan putri kesayangannya menjadi istri kedua. Mungkin juga malu pada para kerabat.“Maafkan aku, Bu, Yah, aku telah membuat kalian malu,” ujarku sambil bersimpuh di hadapannya.“Tidak, Za! Kamu tetap putri kebanggaan Ayah dan Ibu. Iya ‘kan, Bu?” Ayah melempar pertanyaan.“Benar, apa pun keadaanmu, kami selalu bangga padamu, Zahira. Tetaplah tegak, tetaplah menjadi Zahira kami yang selalu tangguh. Ikhlaskan hatimu dan niatkan pernikahan ini untuk mencari rida ilahi. Lapangkan hatimu dan berusahalah menerima kalau Farhan bukan milikmu satu-satunya. Anak Ibu hebat, berani menyetujui pernikahan ini, berarti berani menanggung segala risikonya. Ibu percaya padamu, Za,” timpal ibu yang seketika membuatku terharu.Ah, ibu, kata-katamu membuat air mata ini kembali luruh. Untung saja riasa
Kelopak mata ini mengerjap saat sayup-sayup terdengar suara azan dari surau terdekat. Kukumpulkan semua kesadaran sebelum beranjak dari atas ranjang. Namun, bibirku lekas mencebik sesaat setelah earphone yang terpasang di telinga terlepas. Suara aiueo manja dari kamar sebelah masih terdengar. “Apa mereka tidak tidur sepanjang malam? Hebat sekali,” cibirku seraya menyibak selimut dan beranjak. Aku tak peduli meski mereka melakukan hal itu sepanjang malam, sepanjang hari, atau kapan pun dan di mana pun selama mataku tak terkontaminasi. Saat ini, kewajiban dua rakaatku lebih utama. Hanya saja, supaya ibadah tidak terganggu, lebih baik aku menunggu mereka selesai sembari membersihkan diri. Syukurlah kamar mandi ini memiliki water heater, sehingga aku tak perlu menggigil kedinginan. Dua puluh menit kemudian, aku kembali masuk ke dalam kamar. Tepat seperti dugaan, suara pertempuran Subuh itu sudah tak lagi terdengar. Segera kuambil mukena serta sajadah dan memulai ibadah pagi ini tanpa m
“Jadi gimana? Ambil proyek ini lagi ya, Za!” pinta Bu Shasa sekali lagi.Kuhela napas panjang lalu mengangguk. “Iya, Bu.”Lagi-lagi tak bisa menolak permintaan, terutama permintaan seorang yang sudah sangat berjasa untukku. Terpaksa aku kembali menerima proyek yang sudah sempat kutinggalkan tersebut."Apa gunanya menghindar dalam pekerjaan jika akhirnya tetap bertemu di rumah?" desahku lemah.Rasanya aku ingin mendekam di kantor ini hingga larut malam saja. Bila perlu malah tinggal di sini atau di mana pun selama tidak bersama dengan suami dan maduku. Menurutku itu bukan rumah, melainkan indekos saja. Engganku berada di sana bukan karena cemburu apalagi terganggu oleh nyanyian merdu pasangan itu saat malam hari, hanya saja sendirian memang terasa jauh lebih nyaman. Aku juga tak perlu khawatir ada orang yang memandang buruk pada kami bertiga.“Mana mungkin Nayla mengizinkan?” gerutuku mengeluh.Berpisah atap artinya Nayla akan semakin kesulitan memantauku dan juga Farhan. Meski kami t
Keesokan paginya kuawali dengan hal yang serupa seperti kemarin. Tetap dengan disambut suara aduhai dari kamar sebelah tepat saat membuka mata.Ralat, semalam aku juga sempat terbangun saat mendengar suara serupa dan harus kembali mengenakan earphone supaya bisa tidur lebih nyaman tanpa gangguan.“Kapan mereka tidurnya?” gumamku sambil menggelengkan kepala tak habis pikir.Hebat sekali suami dan maduku. Pernikahan mereka sudah berjalan hampir empat tahun, tetapi intensitas hubungan suami istri mereka masih tinggi.Tiba-tiba aku jadi penasaran, vitamin apa yang mereka konsumsi sampai bisa sekuat itu? Olahraga apa yang mampu menjaga tubuh keduanya tetap bugar. Mungkin olahraga malam itulah jawabannya.“Semoga ada keajaiban, usaha keras mereka membuahkan hasil dan rahim Nayla kuat, supaya aku bisa lepas dari hubungan segitiga aneh ini,” doaku tulus.Sudahlah, kenapa pula memikirkan hal itu. Lebih baik aku bergegas dan mengabaikan suara-suara indah mereka. Hari ini sudah ada rencana yang
Sudah sekitar satu minggu aku berhasil kucing-kucingan dengan Farhan yang kukuh ingin mengantar jemput.Salah satu alasan yang membuatku selalu enggan selain takut semakin terikat padanya adalah Nayla. Wanita itu selalu memberikan tatapan tidak menyenangkan, jika Farhan mulai mendesakku.Karena kesulitan menolak, satu-satunya yang kubisa hanya menghindar. Sayangnya, usaha itu seperti sia-sia di minggu ke dua.Bagaimanapun aku dan Farhan memiliki kerjasama yang harus diselesaikan. Aku tak mampu berkelit lagi, karena meeting dijadwalkan pagi ini di kantorku.Mau tak mau kami berangkat bertiga dengan terlebih dahulu mengantarkan Nayla ke butiknya. Wanita itu adalah seorang desainer dan pemilik butik ready to wear.“Awas ya kalau macem-macem!” ancam Nayla saat hendak turun dari mobil.“Macam-macam juga sama istri, Dek,” sahut Farhan seolah tanpa beban.“Maaas!” Nayla menegur dengan nada manjanya. Wajah pun ditekuk dan bibirnya mengerucut.Kubuang pandangan ke samping, pura-pura tak menden
“Nanti sore gak perlu jemput. Aku malas macet-macetan begini,” ujarku beberapa saat kemudian saat laju kendaraan tak sampai tiga puluh kilometer per jam. “Kenapa sih kamu gak mau banget aku antar jemput, sampai harus mengarang alasan supaya bisa menghindar?” tanya Farhan tanpa menyetujui permintaanku. “Males macet,” jawabku singkat dan konsisten. “Pasti gak cuma itu,” tebak pria yang sesekali menengok dan menatapku. “Kamu takut sama Nayla?” Tanpa perlu aku bersuara, harusnya dia sudah bisa memperkirakan jawaban yang akan terlontar dari bibirku. “Sebentar lagi dia pasti bisa ikhlas, bagaimanapun Nayla sendiri yang membawamu dalam pernikahan kami. Terima ataupun tidak, kalian sama-sama istriku dan kewajibanku adalah adil pada kalian. Ya meskipun aku tahu yang namanya adil itu sulit,” ungkap Farhan diakhiri dengan senyuman lembut. “Aku sedang berusaha semampuku. Jadi, maaf kalau masih banyak kekurangan.” “Tidak perlu berusaha terlalu kera
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan pagi dan semua orang yang terlibat dalam proyek iklan kerjasama perusahaan kami telah berkumpul di ruang rapat. Meski pernah mundur, tapi anggota timku telah memberikanbriefingsupaya tak terlalu tertinggal. Lagi pula, sejak semalam Farhan juga sudah mengajakku berdiskusi saat di rumah, padahal sudah cukup larut saat aku pulang. Namun, aku juga cukup berterima kasih, karena setidaknya di rapat ini aku bisa mengikuti dengan baik. “Sesuai dengan produk yang akan dipasarkan, dari tim kami sepakat jika pengambilan gambar dilakukan di pantai. Ada beberapa pilihan lokasi yang masih belum bisa kami putuskan, yaitu antara Lombok, Belitung, dan Kepulauan Kei,” ujar Tara, anggota tim Farhan. Aku tersenyum kecil. Ketiga tempat itu sangat indah dan cocok untuk promosi produksunscreenyang akan mereka luncurkan. Namun, haruskah sejauh itu? Satu hal yang kupikirkan adalah kemungkinan aku d
“Nay,” panggil mbak Zahira bernada prihatin. Ia juga mengusap bahuku yang bergetar menahan perih yang sedang kualami. “Ini adalah hukuman untukku setelah begitu jahat pada kalian, Mas, Mbak. Aku minta maaf, aku menyesal,” timpalku yang semakin tidak tahu malu mengucapkan maaf bertubi pada keduanya. “Semua pasti ada hikmahnya,” balas mbak Zahira menenangkanku. “Kenapa kalian baik sekali dan tidak membalasku? Aku malu,” ungkapku kemudian. “Kami tidak membalas bukan berarti tidak pernah marah atau sakit hati padamu, Nay, tapi kami juga bukan Tuhan yang bisa mengadili kesalahan orang lain. Memang berat, tapi kami belajar untuk ikhlas. Dendam hanya membuat hati terbebani,” jelas Mas Farhan dengan tatapan teduhnya. Aku mengangguk setuju, karena memang itulah yang kurasakan saat dulu bertubi-tubi menyakiti mereka dengan dalih sakit hati. Tak ada keuntungan yang kudapat selain gana-gini, itu pun sekarang sudah hilang dicuri orang. “Mas, aku mau membuat pengakuan,” ujarku kemudian sambi
“Ayo masuk! Barusan Nayla dicek sama perawat, Alhamdulillah katanya sudah semakin baik,” ujar papa menyambut dua tamu yang kian mendekat pada brankar. Aku memejamkan mata, pura-pura tidur. Masih belum siap rasanya bertemu dengan mereka. Rasa bersalah dan malu beruntun menghantam bahkan sejak sebelum melihat pasangan itu. “Nay, ini ada Farhan sama Zahira,” ujar papa sambil menepuk bahuku. “Papa tahu Kamu gak tidur, ayo disapa! Bukannya Kamu mau minta maaf sama mereka?” bisiknya tepat di telinga hingga mau tidak mau aku pun membuka kelopak mata. Mereka, dua orang yang sudah sangat kusakiti demi bisa bersatu dengan kak Dion. Tak sanggup rasanya menunjukkan wajah ini. Namun, aku sangat yakin jika mereka datang bukan untuk menambah penderitaanku. Mas Farhan, mbak Zahira, jika aku tidak salah menilai, mereka bukanlah sosok pendendam. Bahkan saat aku bertubi menyakiti, mereka tak pernah membalas. Bisa-bisanya aku menyakiti orang sebaik mereka. “Kami baru tahu semalam kalau Kamu mengalami
“Ayo, sesuap lagi terus obatnya diminum biar cepat pulih!”Papa mengulurkan sendok berisi bubur khas rumah sakit dengan tangan tuanya. Kerutan di kulit itu baru kusadari telah bertambah banyak seiring bertambahnya usia. Betapa abainya aku selama ini pada satu-satunya pria yang benar-benar tulus mencintaiku tanpa syarat. Salah paham bahkan membuatku sempat membenci dan menjauhinya.Selama hampir satu bulan dirawat di rumah sakit pasca kecelakaan di Puncak yang kupikir akan merenggut nyawa ini, papa tak sehari pun absen menjagaku. Bahkan Ibun yang kupikir selalu ada untukku belum tentu setiap hari menjenguk. Datang pun paling hanya satu dua jam, lalu pergi lagi.“Sudah kenyang, Pa, langsung minum obat saja,” tolakku menutup mulut.“Sekali lagi!” desak pria berusia kepala enam dengan sebagian rambut memutih tersebut.Kuhela napas panjang sambil mengerucutkan bibir tanda protes. Namun, papa tidak luluh hingga akhirny
Tak terasa sehari sudah aku berkutat dengan desain pakaian untuk koleksi terbaru. Pukul delapan malam aku baru sampai rumah yang kak Dion beli sebelum kami menikah. Beberapa lampu sudah tampak menyala memberikan penerangan. Mobil kak Dion juga sudah berada dicarport.Tumben, biasanya aku yang lebih dulu sampai di rumah, karena ia praktik sampai jam sembilan malam.“Kak!” sapaku setelah membuka pintu ruang tamu.Pemandangan tak biasa segera memenuhi mata. Tas, snelli, hingga stetoskop kak Dion berceceran di lantai. Pria itu juga kutemukan tengah mencengkram rambutnya di atas sofa dengan penampilan yang berantakan. Kaleng-kaleng bir bergelimpangan di atas meja, membuat aroma alkohol menguar tajam.“Kakak kenapa?” tanyaku beringsut mendekat padanya dan meraih bahu kak Dion.Saat kepalanya terangkat, kekacauan di wajah tampan itu semakin jelas terlihat. Matanya pun merah, tetapi menatap kosong.“Nay,&rd
Kuhela napas panjang dengan dengan hati yang diselimuti oleh kekecewaan. Untuk kesekian kalinya gumpalan berwarna merah menunjukkan jejak di celana. Lagi-lagi usaha kami untuk mendapatkan keturunan ternyata harus tertunda. Celana pun segera kuganti dan tak lupa tampon ikut terpasang untuk menampung darah bulanan yang keluar.“Kak, gagal, aku bulanan lagi,” aduku tepat setelah menutup pintu kamar mandi.Di depan cermin rias sana suamiku menghentikan kegiatannya merapikan rambut. Kepalanya menengok dan seperti yang kuduga, wajah tampan itu menunjukkan rasa tidak suka setelah mendengar laporanku.“Kok bisa?” tanyanya tidak masuk akal.“Ya mana aku tahu? Memangnya aku bisa mengontrol kapan haid dan kapan harus hamil?” dengkusku seraya menjatuhkan tubuh di atas peraduan kami.Ia berdecak seraya berkacak pinggang lalu menyuarakan kegundahannya. “Mama pasti bakalan ngomel lagi kalau tahu.”“Teru
“Kamu mau aku gituin juga?” tanyanya menawari, membuatku mengernyit. Perempuan ini malu-malu, tapi liar juga ternyata. Mengejutkan. “Memangnya bisa?” tanyaku sangsi. “Ajari, Kamu sukanya yang gimana?” balasnya sambil menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresinya yang semakin membuatku membuncah. Senyumku tak diberi kesempatan untuk luntur. Mumpung sudah ditawari, tak mungkin kutolak. Jadi, kuurungkan niat membuka sendiri celana dan mendekat pada istriku. “Bukain, setelah itu manjain dia,” ujarku meminta. Walau awalnya ragu, sampai juga tangannya pada celanaku. Diturunkannya perlahan, membuatku menahan napas berkat rasa yang membuncah. Ia sempat terkesiap saat tubuhku pun sama polosnya. Kepalanya mendongak, menatapku seperti kucing yang sedang meminta bantuan. Kuraih tangannya lalu menukar posisi hingga kini akulah yang berada di bawah, tetapi setengah duduk. Setelah itu kuajari Ira cara untuk menyenangkanku. Sentuhannya yang amatir anehnya mampu menerbangkanku ke atas awan. Tak
Sebelah tangan menahan tengkuk Ira, sebelah lagi menekan tomboloff remote TV. Bukan hanya aku yang modus menyentuh dengan dalih pijatan, istriku pun sengaja memilihfilmyang ternyata memang sesuai dengan judulnya. Misteri thriller yang dibumbui adegan panas tokoh utama pada beberapascene.Tak ada lagi suara lain di kamar ini selain decapan ciuman kami yang saling bersambut. Sepertinya inilah hasil dari latihan kami selama ini. Istriku sudah lebih luwes membalas pagutanku, bahkan tanpa aba-aba pun ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya.Perlahan kurebahkan tubuhnya hingga telentang dan mengungkungnya di bawahku. Suhu udara semakin naik, AC telah kehilangan wibawanya. Deru napas meningkat, begitupula dengan degup jantung yang berangsur semakin cepat.Lengan Ira mengalung di leher dan seperti biasa ia mulai mengacak rambutku saat sudah terbawa suasana. Jika biasanya saat tanganku menjelajah Ira akan memekik terke
Setelah makan malam serta membersihkan alat makan bekas pakai bersama-sama, kami kembali ke kamar. Bukan langsung melakukan kegiatan yang sudah diberi lampu hijau oleh istriku, tetapi untuk menjalankan salat Isya serta dua rakaat sunnah.“Net*flix, yuk!” ajakku sembari melipat sajadah, mengalihkan kegugupan yang sekali lagi tampak dari gelagat istriku.Sudah seperti anak perawan yang mau malam pertama saja, padahal sudah punya anak. Eh, tapi bisa dikatakan Ira memang masih gadis, sih. Aku terkekeh dalam hati.“Yuk!” sahutnya antusias. “Sambil ngemilcakeyang Kamu beli tadi. Tunggu sebentar, aku ambil dulu,” lanjutnya seraya menyimpan mukena.“Yes, sugar rush!” selorohku.“Apaan, sih?” Istriku berdecak sambil menggelengkan kepala kemudian berlalu ke arah pintu.“Sekalian isi kadoku tadi dipakai,” pekikku mengantar kepergiannya.&l
“Boleh ‘kan? Aku menginginkanmu, Sayang,” jujurku dengan degup jantung bergemuruh, menunggu jawaban Ira yang tak kunjung terucap.Apa ia masih ragu padaku? Apa ia masih belum bisa menerimaku setelah tubuh ini pernah dinikmati oleh wanita lain? Mungkinkah Ira seidealis itu, padahal kini aku hanyalah miliknya?Bergemingnya wanita itu membuatku semakin bertanya-tanya. Namun, hati ini sangat yakin jika Ira tak akan seperti itu. Kenapa? Karena jika ia keberatan, pasti akan memilih berpisah dariku walau ada Faza di antara kami.Meskipun Ira juga kerap kali tidak peka pada orang lain, tapi ia adalah tipe perempuan yang tahu apa yang dirinya inginkan. Apa pun risikonya, akan ia hadapi. Ya, aku yakin ini hanya masalah waktu dan kesiapan Ira saja.“Aku lapar, makan malam dulu,” ujarnya melepas kaitan jemarinya di balik leherku. “Sebentar lagi Isya terus kita salat, baru setelah itu kita bicarakan lagi keinginanm