Adzan subuh berkumandang, Marisa terbangun dari tidurnya. Ia terkejut mendapati Zahra tidak ada di kamar.
"Tidak biasanya ia seperti ini. Mungkin dia lagi ke kamar mandi," pikir Marisa.
Dirinya mencoba ke kamar mandi tetapi pintunya terbuka dan tidak ada orang di sana. Ia mecoba mencari ke sekitar kamar asrama tetapi hasilnya nihil.
"Mungkin dia sudah duluan ke masjid," pikirnya lagi.
Marisa bersiap-siap hendak ke masjid untuk shalat subuh. Setelah siap, ia pergi seraya mencari keberadaan Zahra. Sesampainya di masjid, ia bertanya kepada seseorang bernama Rita.
"Hey, Rita. Kamu tadi lihat Zahra nggak?"
Rita menoleh dan berkata, "Aku nggak lihat Zahra tuh. Emangnya kenapa?"
"Nggak papa, kok. Makasih ya."
Dirinya mencoba bertanya kepada santriwati lainnya tetapi jawabannya tetap sama, bahwa tidak ada seorang pun yang melihat Zahra berada.
Marisa teringat Yuni, musuh dari Zahra. Mungkin dengan bertanya kepadanya bisa menjadi solusi.
Ia kemudian mendatangi Yuni yang sedang duduk-dudk sendiri menunggu shalat subuh. Dirinya mencoba menyapanya.
"Hay, Yuni," sapa Marisa.
"Hay, Marisa. Sudah lama kita nggak berdua seperti ini." Yuni berusaha menutupi kejahatannya dengan bersikap baik terhadap sahabatnya itu.
"Hmm ... iya. Aku banyak urusan soal kegiatan sekarang."
"Oh ya, mana Zahra? Tumben nggak barengan?" Yuni berpura-pura bertanya.
"Hmm ... nggak tau nih. Aku cari-cari nggak ada."
"Ya ... mungkin dia kemana gitu kan?"
"Positif aja lah bahwa Zahra mungkin nggak betah di sini," sambungnya.
Marisa terkejut dan berkata, "Apa maksudmu, Yuni?"
"Dia pergi dan tak akan pernah kembali lagi ke sini."
"Nggak mungkin! Nggak mungkin dia kabur."
"Terserah. Aku cuma ingin berpendapat."
Marisa kemudian beringsut pergi untuk shalat subuh, sementara Yuni tersenyum licik.
"Hahaha ... kamu nggak akan tau apa yang sebenarnya terjadi, Marisa."
*****
Paginya, Marisa berusaha mencari Zahra di mana pun berada. Semua sudut pesantren ia cari tetapi tidak ketemu juga.
"Aku terpaksa melaporkan ini ke Uztadzah."
Dirinya berlari, sampai akhirnya bertemu dengan Uztadzah Khasanah.
"Assalamu'alaikum, Uztadzah." Marisa berbicara dengan napas terengah-engah.
"Wa'alaikumsalam, ada apa, Marisa?" tanya Uztadzah Khasanah penasaran.
"Uztadzah ada melihat keberadaan Zahra?"
"Tidak. Emangnya kenapa, Marisa?"
"Saya dari kemarin malam sehabis shalat isya tidak melihat Zahra sama sekali. Saya takut akan terjadi apa-apa sama dia. Sudah saya cari kemana-mana tetapi tidak juga ketemu. Saya mohon sama Uztadzah dan lainnya untuk mencarinya. Semoga dia tidak kenapa-kenapa."
Marisa tampak bingung dan gelisah. Uztadzah Khasanah berusaha menenangkannya.
"Sudah, jangan khawatir, Marisa. Kita akan mecarinya sama-sama."
"Terima kasih, Uztadzah."
"Sama-sama, Marisa."
Uztadzah Khasanah kemudian memanggil Fadli dan Yusuf yang kebetulan sedang lewat di hadapan mereka. Dua lelaki yang terpanggil itu langsung datang dan menghampiri mereka.
"Assalamu'alaikum, Ustadzah dan Marisa." Mereka berdua mengucapkan salam secara bersamaan.
"Wa'alaikumsalam, Fadli dan Yusuf." Marisa dan Uztadzah Khasanah bersama-sama mengucapkan salam.
"Ada apa ini?" Fadli memulai penbicaraan. Marisa terdiam. Sementara Uztadzah Khasanah berbicara. "Zahra kelihatannya menghilang, Fadli."
Fadli dan Yusuf terkejut, tak menyangka bahwa Zahra hilang dari pesantren.
"Mungkin Zahra tidak ingin mengakui kejahatannya," ucap Yusuf.
Fadli marah dam memukul kepala Yusuf.
"Aduh! Sakit!" Yusuf kesakitan seraya memegang kepalanya.
"Coba kamu nggak usah memperkeruh suasana. Zahra belum tentu bersalah."
"Kamu membela dia? Wah wah, jangan-jangan kamu suka sama dia lagi." Yusuf tampak ingin susananya menjadi lebih rumit.
"Kamu ya, kalau bicara nggak pakai mikir!" Marisa berbicara, melawan Yusuf yang berada di depannya.
"Sudah-sudah, sekarang kita cari Zahra. Kalian bertiga jangan ribut."
"Baik, Uztadzah," ucap mereka bertiga serempak.
*****
Sementara di jalanan, Zahra bingung harus kemana. Ia berusaha menjauh dari semua orang. Tasnya yang besar membuatnya merasa sakit di kedua pundaknya.
"Aku harus kemana, ya?" ucapnya bingung. Sesekali ia beristirahat di pinggir jalan. Meminum air minum dari botol besar yang sengaja dibawanya .
"Aku bingung, aku nggak mungkin bisa kembali ke Ayah sama Ibu." Zahra kemudian bergeming, bingung dengan apa yang selama ini ia perbuat.
Ia kemudian berjalan. Langkah demi langkah ia jalani sampai pada akhirnya Zahra beristirahat di sebuah masjid perkampungan. Dirinya duduk di depan masjid itu.
Lelah, itulah yang dirasakannya. Seluruh badannya terasa sakit. Siang yang terik membuatnya ingin pingsan, tetapi ia dikejutkan oleh seseorang.
"Assalamu'alaikum, Mbak. Sedang apa di sini?" Tanya seseorang marbot masjid bernama Yusril.
"Wa'alaikumsalam, eh, Mas! Maafkan saya ya, Mas. Sudah duduk di sini tanpa izin."
"Tidak apa-apa. Kamu di sini istirahat sebagai musafir ya?"
"Musafir?"
"Iya, musafir. Orang yang melakukan perjalanan jarak jauh."
Zahra merasa kebingungan. Ia tidak tau arti dari kata musafir.
"Saya tidak pernah mendengarnya, Mas."
"Mbaknya baru belajar agama, ya?"
"Iya, Mas. Saya baru belajar agama. Saya dari semalam berjalan tak tentu arah."
"Wah, pasti lelah sekali, ya. Begini, saya bawa kamu ke kamar khusus marbot masjid, mau? Kebetulan ada satu tempat tinggalnya sedang kosong, biasanya ada dua buah tempat yang disediakan untuk marbot masjid."
"Saya mau, Mas. Saya ingin tinggal di sini."
"Saya akan tunjukkan tempatnya."
"Makasih banyak."
"Sama-sama."
Yusril menunjukkan satu kamar kepada Zahra. Kamar yang tampak seperti kost membuatnya merasa bahagia. Ia mengucapkan terima kasih sekali lagi kepada orang itu lalu dirinya masuk ke dalam kamar itu.
Zahra duduk di samping ranjang, melihat sekitar kamarnya yang nampak bersih dan rapi. Ada beberapa buku yang tersusun di atas meja, mungkin buku novel atah kumpulan cerpen atau pun majalah.
"Aku ingin membaca semuanya."
Zahra lalu mengambil satu buku. Isinya adalah tentang motivasi supaya menjalani hidup dengan lebih baik. Ingin membacanya sampai habis adalah keinginannya. Selain ibadah tentunya.
"Ini jam berapa, ya?"
Zahra melihat arah jam dinding dan terlihat jam 14.00 WIB. Ia pergi dari jam 22.00 WIB. Berarti, dirinya sudah berjalan lebuh dari 12 jam lamanya.
Zahra istirahat, melepas lelah. Mengingat semuanya yang terjadi. Tentang Marisa, Fadli, Uztadzah Khasanah serta Yuni membuatnya merasakan kesedihan yang mendalam. Tentang fitnah itu, telah menghancurkan semuanya yang dia bangun di pesantren selama ini.
"Mengapa semuanya tidak percaya kepadaku? Padahal, Yuni yang melakukannya. Mereka semua tidak ada yang menyadarinya."
Ia melamun. Sampai tak sadar bahwa ada seseorang yang mengetuk pintunya. Dirinya berjalan ingin membuka pintu itu.
"Asaalamu'alaikum." Yusril membuka pembicaraan.
"Wa'alaikumsalam, Mas."
"Ini, ada makanan buat kamu. Silahkan di makan." Yusril memberikan kotak nasi kepada Zahra. Perempuan itu sangat senang sekali menerimanya.
"Terima kasih, Mas sudah membantu saya banyak hal."
"Sama-sama. Oh iya, kalau boleh tau nama kamu siapa?"
"Nama saya Zahra."
"Kalau nama saya Yusril."
"Oh ya, Mas Yusril. Terima kasih makananya."
"Sama-sama, Zahra."
*****
Lampu diskotik memeriahkan pesta di rumah Zahra, seorang gadis yang jauh dari agama. Ia hidup di lingkungan pergaulan bebas. Ayah dan Ibunya sibuk bekerja di kantor sehingga tak terlalu mengurus anak gadisnya itu.Pintu tiba-tiba didobrak. Mereka semua yang ada didalam terkejut. Ada beberapa warga dengan wajah geram tampak sangat marah."Pergi!" teriak salah satu warga. Mereka yang ada didalam pun pergi kocar-kacir dengan keadaan mabuk. Tersisa hanyalah Zahra, yang mabuk seraya memegang botol minuman keras."Kenapa kalian merusah pestaku, hah!" teriak Zahra yang mengejutkan semua orang."Karena hal yang kamu dan teman-temanmu lakukan sudah merusak ketenangan warga serta hal itu sangat merusak diri," jelas salah satu warga."Kalian tidak tau cara bersenang-senang," ucap Zahra.Tak lama kemudian, orang tua Zahra datang. Mereka terkejut mel
Marisa membawa Zahra ke kamarnya untuk menenangkan diri. Ia lupa bahwa Zahra belum menggunakan hijab. Dirinya langsung membuka pintu lemari dan mengambil hijab berwarna hijau serta tak lupa gamis dengan warna senada."Kamu pakai ya gamis dan hijab ini.""Aku tak bisa memakainya.""Kalau begitu aku bantu cara memakainya."Marisa membantu memakaikan semuanya untuk Zahra. Perempuan itu bangga bertemu dengan sosok seorang Zahra yang kuat untuk menghadapi cobaan demi cobaan yang ada. Tak lama, semuanya telah selesai."Makasih, Marisa. Kamu sudah membantu aku memakainya.""Sama-sama, Zahra." Marisa tampak tersenyum bahagia."Apakah aku terlihat cantik?" tanya Zahra."Iya, kamu sungguh cantik, Zahra."*****Magrib telah tiba, saatnya santri dan satriwati pergi ke masjid. Sementara didalam kamar Zahra mondar-mandir memikirkan hal yang mungkin mena
Setelah acara selesai, semua santriwati meninggalkan aula kecuali Uztadzah Khasanah, Zahra, Marisa, dan Yuni."Bagaimana, Zahra? Kamu sudah tau 'kan semuanya yang ada di pesantren?" tanya Uztadzah Khasanah."Sudah, Uztadzah," jawab Zahra dengan senyum mengembang yang jarang dimilikinya."Oh iya, aku lupa soal janji kita, Zahra!" Yuni teringat sesuatu tentang janji itu. Janji yang akan membuat hidup Zahra sengsara."Iya ya, janji itu." Zahra juga mengingatnya. Marisa tampak curiga dengan semua ini."Bolehkah aku ikut?" Marisa ingin ikut untuk memastikan bahwa kecurigaannya pun tidak benar."Jangan, cuma kami berdua saja." Yuni tampak serius.Marisa terdiam dam mengizinkan mereka berdua untuk pergi.*****Yuni mengajak Zahra ke suatu tempat. Gelap, suasana yang agak menyeramkan, dan ada satu lampu redup di gubuk kecil paling belakang pesantren yang
Zahra langsung membuka pintunya dan berjalan ke ranjang kemudian menangis dengan menutup wajahnya memakai bantal. Ia tak terima dengan fitnah yang diberikan oleh Yuni. Sangat sakit hatinya jika semua orang tidak percaya dengannya."Sudahlah, jangan menangis, Zahra." Marisa berusaha menenangkan."Aku nggak sanggup lagi, Marisa. Apakah aku nggak pantas menjadi orang yang baik?""Kamu pantas, Zahra. Sangat pantas."Zahra kemudian duduk dan mengusap air matanya."Apakah kamu yakin?""Sangat yakin!"Mereka saling berpelukan. Zahra melepaskan pelukan dari Marisa dan berkata, "Apakah kamu mau jadi sahabat aku, Marisa?"Marisa kemudian tersenyum dan menjawab, "Sungguh, aku sangat menginginkannya, Zahra."Mereka berdua berpelukan lagi. Persahabatan mereka akan dimulai. Berjuang bersama menghadapi fitnah ya
Adzan subuh berkumandang, Marisa terbangun dari tidurnya. Ia terkejut mendapati Zahra tidak ada di kamar."Tidak biasanya ia seperti ini. Mungkin dia lagi ke kamar mandi," pikir Marisa.Dirinya mencoba ke kamar mandi tetapi pintunya terbuka dan tidak ada orang di sana. Ia mecoba mencari ke sekitar kamar asrama tetapi hasilnya nihil."Mungkin dia sudah duluan ke masjid," pikirnya lagi.Marisa bersiap-siap hendak ke masjid untuk shalat subuh. Setelah siap, ia pergi seraya mencari keberadaan Zahra. Sesampainya di masjid, ia bertanya kepada seseorang bernama Rita."Hey, Rita. Kamu tadi lihat Zahra nggak?"Rita menoleh dan berkata, "Aku nggak lihat Zahra tuh. Emangnya kenapa?""Nggak papa, kok. Makasih ya."Dirinya mencoba bertanya kepada santriwati lainnya tetapi jawabannya tetap sama, bahwa tidak ada seorang pun ya
Zahra langsung membuka pintunya dan berjalan ke ranjang kemudian menangis dengan menutup wajahnya memakai bantal. Ia tak terima dengan fitnah yang diberikan oleh Yuni. Sangat sakit hatinya jika semua orang tidak percaya dengannya."Sudahlah, jangan menangis, Zahra." Marisa berusaha menenangkan."Aku nggak sanggup lagi, Marisa. Apakah aku nggak pantas menjadi orang yang baik?""Kamu pantas, Zahra. Sangat pantas."Zahra kemudian duduk dan mengusap air matanya."Apakah kamu yakin?""Sangat yakin!"Mereka saling berpelukan. Zahra melepaskan pelukan dari Marisa dan berkata, "Apakah kamu mau jadi sahabat aku, Marisa?"Marisa kemudian tersenyum dan menjawab, "Sungguh, aku sangat menginginkannya, Zahra."Mereka berdua berpelukan lagi. Persahabatan mereka akan dimulai. Berjuang bersama menghadapi fitnah ya
Setelah acara selesai, semua santriwati meninggalkan aula kecuali Uztadzah Khasanah, Zahra, Marisa, dan Yuni."Bagaimana, Zahra? Kamu sudah tau 'kan semuanya yang ada di pesantren?" tanya Uztadzah Khasanah."Sudah, Uztadzah," jawab Zahra dengan senyum mengembang yang jarang dimilikinya."Oh iya, aku lupa soal janji kita, Zahra!" Yuni teringat sesuatu tentang janji itu. Janji yang akan membuat hidup Zahra sengsara."Iya ya, janji itu." Zahra juga mengingatnya. Marisa tampak curiga dengan semua ini."Bolehkah aku ikut?" Marisa ingin ikut untuk memastikan bahwa kecurigaannya pun tidak benar."Jangan, cuma kami berdua saja." Yuni tampak serius.Marisa terdiam dam mengizinkan mereka berdua untuk pergi.*****Yuni mengajak Zahra ke suatu tempat. Gelap, suasana yang agak menyeramkan, dan ada satu lampu redup di gubuk kecil paling belakang pesantren yang
Marisa membawa Zahra ke kamarnya untuk menenangkan diri. Ia lupa bahwa Zahra belum menggunakan hijab. Dirinya langsung membuka pintu lemari dan mengambil hijab berwarna hijau serta tak lupa gamis dengan warna senada."Kamu pakai ya gamis dan hijab ini.""Aku tak bisa memakainya.""Kalau begitu aku bantu cara memakainya."Marisa membantu memakaikan semuanya untuk Zahra. Perempuan itu bangga bertemu dengan sosok seorang Zahra yang kuat untuk menghadapi cobaan demi cobaan yang ada. Tak lama, semuanya telah selesai."Makasih, Marisa. Kamu sudah membantu aku memakainya.""Sama-sama, Zahra." Marisa tampak tersenyum bahagia."Apakah aku terlihat cantik?" tanya Zahra."Iya, kamu sungguh cantik, Zahra."*****Magrib telah tiba, saatnya santri dan satriwati pergi ke masjid. Sementara didalam kamar Zahra mondar-mandir memikirkan hal yang mungkin mena
Lampu diskotik memeriahkan pesta di rumah Zahra, seorang gadis yang jauh dari agama. Ia hidup di lingkungan pergaulan bebas. Ayah dan Ibunya sibuk bekerja di kantor sehingga tak terlalu mengurus anak gadisnya itu.Pintu tiba-tiba didobrak. Mereka semua yang ada didalam terkejut. Ada beberapa warga dengan wajah geram tampak sangat marah."Pergi!" teriak salah satu warga. Mereka yang ada didalam pun pergi kocar-kacir dengan keadaan mabuk. Tersisa hanyalah Zahra, yang mabuk seraya memegang botol minuman keras."Kenapa kalian merusah pestaku, hah!" teriak Zahra yang mengejutkan semua orang."Karena hal yang kamu dan teman-temanmu lakukan sudah merusak ketenangan warga serta hal itu sangat merusak diri," jelas salah satu warga."Kalian tidak tau cara bersenang-senang," ucap Zahra.Tak lama kemudian, orang tua Zahra datang. Mereka terkejut mel