Lampu diskotik memeriahkan pesta di rumah Zahra, seorang gadis yang jauh dari agama. Ia hidup di lingkungan pergaulan bebas. Ayah dan Ibunya sibuk bekerja di kantor sehingga tak terlalu mengurus anak gadisnya itu.
Pintu tiba-tiba didobrak. Mereka semua yang ada didalam terkejut. Ada beberapa warga dengan wajah geram tampak sangat marah."Pergi!" teriak salah satu warga. Mereka yang ada didalam pun pergi kocar-kacir dengan keadaan mabuk. Tersisa hanyalah Zahra, yang mabuk seraya memegang botol minuman keras."Kenapa kalian merusah pestaku, hah!" teriak Zahra yang mengejutkan semua orang."Karena hal yang kamu dan teman-temanmu lakukan sudah merusak ketenangan warga serta hal itu sangat merusak diri," jelas salah satu warga."Kalian tidak tau cara bersenang-senang," ucap Zahra.Tak lama kemudian, orang tua Zahra datang. Mereka terkejut melihat apa yang anaknya lakukan."Astagfirullah, Zahra! Apa-apaan ini, hah?" Ayah Zahra menahan marah. Ia sangat tak percaya dengan perilaku anaknya itu."Zahra ... kenapa kamu begini?" tanya Ibu seraya menangis.
"Kalian kenapa baru pulang? Pestanya sudah berakhir. Hahaha," jawab Zahra tertawa keras di ruang tamuAyah mendatanginya dan ....Plakkk!Sebuah tamparan keras darinya telah berhasil membuat perempuan itu sadar. Tanpa basa-basi, Zahra mengungkapkan semua yang dirasakannya selama ini."Ayah dan Ibu tau kenapa aku seperti ini? Karena kalian berdua! Karena kalian nggak urus aku, anak kalian satu-satunya menjadi begini. Kalian membiarkan aku hilang arah. Kalian sibuk kerja terus. Tapi kalian melarang aku untuk ini dan itu seperti burung didalam sangkar. Aku capek, aku nggak mau begini terus!"Zahra langsung berlari meninggalkan Ayah dan Ibunya. Ia merasa hancur. Dirinya meninggalkan rumah dengan cepat. Sementara itu, Ayahnya yakin anaknya pasti akan kembali, "Lihat saja, besok ia pasti pulang ke rumah."*****
Di jalan raya, Zahra tampak frustrasi. Ia keluar dari rumah dalam keadaan emosi. Tidak ada barang yang dibawanya.
"Dasar, semuanya tak adil kepadaku! Aku bodoh hidup bersama dengan mereka!"Ia mengutuk dirinya sendiri. Merasa ingin bebas dari sangkar. Tak ingin terbelenggu dalam aturan. Zahra tak ingin dikekang oleh siapapun.Sebuah mobil melaju dengan kencang dan ....Brakkk!Mobil tersebut menabrak Zahra. Ia pingsan, sementara mobil itu pergi entah kemana tanpa adanya rasa bersalah.Seseorang melihat dan menolong Zahra.*****
Pagi yang cerah. Matahari mulai meninggi. Cahayanya menelusup dari jendela dan menyilaukan mata Zahra. Ia heran dengan tempat yang tak dikenalinya.
"Kamu sedang berada di pesantren, Mbak."Seseorang yang bernama Marisa berjalan membawakan makanan dan obat-obatan. Semua itu ia taruh di nakas kamar tamu yang merupakan tempat Zahra berada."Berapa hari aku disini.""Dua hari Mbak tak sadarkan diri," wajah Zahra tampak keheranan."Siapa yang menolong aku?""Mas Fadli, Mbak.""Bilang ke dia bahwa aku mengucapkan terima kasih atas pertolongannya.""Iya, nanti aku sampaikan."Marisa tampak heran melihat penampilan Zahra yang tidak terurus. Ia sangat prihatin dengan kondisi orang di depannya."Hmm ... apakah kamu beragama islam?" tanya Marisa."Iya, aku beragama islam," jawab Zahra."Kenapa kamu tidak menggunakan hijab?" tanyanya lagi."Karena lingkungan aku memang begitu, bebas," lawan bicaranya menjawab dengan jujur."Kalau begitu, aku ajarkan kamu untuk hijrah," Marisa kemudian tersenyum dan bersemangat mengajarkan Zahra ilmu agama."Kalau aku gagal bagaimana?" tanya Zahra tak yakin."Tidak ada kata gagal di kamus kehidupan manusia," jawab Marisa dengan rasa optimis yang tinggi."Hmm ... akan saya coba," Zahra mengiyakan ajakan dari lawan bicaranya itu."Kamu nggak di cariin orang tuamu?""Tidak, mereka mungkin sudah melupakan aku.""Hmm ... untuk sementara ini kamu tinggal disini saja.""Baiklah." Zahra mengiyakan perkataan Marisa.*****
Adzan zuhur berkumandang. Santriwan dan santriwati mempersiapkan diri untuk menunaikkan shalat berjama'ah. Zahra dan Marisa berjalan berdua menuju masjid pesantren. Di depan masjid, Marisa menunjukkan seseorang.
"Itu Mas Fadli. Dia anak pesatren paling pintar disini. Dia itu banyak memperoleh juara diberbagai daerah.""Oh itu orangnya, aku mau kesana, ya." Zahra ingin menghampiri Fadli dan dicegah oleh Marisa."Jangan. Di sini kita tidak boleh berinteraksi dengan lawan jenis kecuali kalau hal penting dan mendesak saja.""Kenapa? Di tempat saya boleh kok.""Tempat di sini beda, namanya juga pesantren, tempat orang belajar ilmu agama.""Oh gitu ya.""Ayo, kita cepat ke mesjid sebelum terlambat."*****
Sehabis shalat, mereka berdua keluar dari masjid. Zahra menceritakan tentang kehidupannya kepada Marisa. Perempuan itu sangat kehilangan arah dan harus dibimbing ke jalan yang benar. Marisa lalu mengajaknya ke taman pesantren.
Sesampainya disana mereka berdua duduk di bangku sekitar taman bunga. Marisa memulai pembicaraan dengan senyum tipis.
"Kamu tau kehidupan aku sebelumnya?"
"Tidak. Aku tidak tau kehidupanmu."
"Begini, aku sebelumnya juga seperti dirimu. Minuman keras, obat-obatan, bahkan sampai hamil di luar nikah.
Zahra terkejut mendengar penuturan dari orang tersebut."Sehabis itu aku keguguran. Orang tua kemudian tau dan memasukkanku kesini."
"Awalnya aku tak suka dengan tempat ini. Sedikitpun, bahkan aku ingin keluar dari tempat ini. Setelah beberapa lama, aku menyukainya karena disinilah aku bisa belajar tentang agama. Disinilah aku harus berada untuk memperbaiki diri yang sudah rusak," sambungnya.
"Ternyata, disini terasa sejuk ya." Zahra mencairkan susasana. Ia merasa harus disini selama beberapa lama. Dirinya merasa nyaman dengan Marisa, teman yang baru kenal beberapa saat lalu.
"Iya, sejuk karena tempat ini salah satu wajah pembelajaran ilmu agama."
"Hmm ... disini kita harus ngapain ya?" tanya Zahra penasaran.
Marisa tertawa kecil dan berkata, "Kita sahalat, mengaji, sekolah, membantu santri lain, dan masih banyal lagi kegiatan yang ada disini."
"Bisakah kamu mengajarkan semuanya?"
"Tentu, aku bisa mengajarimu banyak hal, Zahra."
"Semuanya?"
"Iya, semuanya."
Zahra sangat bangga bisa tersesat di tempat ini, tempat yang menjadi sarana untuk mengubah seluruh hidupnya menjadi lebih baik.
"Marisa...."
Seseorang memanggil dan menghampiri mereka berdua. Orang itu bernama Yani. Ia kemudian melirik Zahra dari atas hingga ke bawah.
"Ini siapa?" tanya Yani penasaran.
"Ini namanya Zahra," jawab Marisa.
"Hmm ... kenapa dia kesini tidak memakai hijab?"
"Karena dia ditemukan pingsan di jalan."
"Yaudah, pulangin aja. Kan dia udah sadar."
Perkataan Yani seketika membuat hati Zahra hancur. Bagaimana tidak, secara tidak langsung Yani telah menghinanya dihadapan dirinya sendiri.
"Jaga perkataanmu, Yani!"
Seseorang bernama Fadli berteriak. Yani menghadap ke belakang dan terkejut. Pria idaman Yani itu berdiri dan berkata, " Jangan hina dia, hina saja diriku ini!"
"Aku tak bermaksud ...."
"Diam! Kamu pergi dari sini. Cepat!"
"Iya-iya, baiklah."Yani pergi dalam keadaan kesal. Sementara itu Fadli menghampiri mereka berdua.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Ya, aku tidak apa-apa," jawab Zahra dengan sedikit gugup.
"Bawa dia ke kamar," perintah Fadli dan langsung diiyakan oleh Marisa.
*****
Marisa membawa Zahra ke kamarnya untuk menenangkan diri. Ia lupa bahwa Zahra belum menggunakan hijab. Dirinya langsung membuka pintu lemari dan mengambil hijab berwarna hijau serta tak lupa gamis dengan warna senada."Kamu pakai ya gamis dan hijab ini.""Aku tak bisa memakainya.""Kalau begitu aku bantu cara memakainya."Marisa membantu memakaikan semuanya untuk Zahra. Perempuan itu bangga bertemu dengan sosok seorang Zahra yang kuat untuk menghadapi cobaan demi cobaan yang ada. Tak lama, semuanya telah selesai."Makasih, Marisa. Kamu sudah membantu aku memakainya.""Sama-sama, Zahra." Marisa tampak tersenyum bahagia."Apakah aku terlihat cantik?" tanya Zahra."Iya, kamu sungguh cantik, Zahra."*****Magrib telah tiba, saatnya santri dan satriwati pergi ke masjid. Sementara didalam kamar Zahra mondar-mandir memikirkan hal yang mungkin mena
Setelah acara selesai, semua santriwati meninggalkan aula kecuali Uztadzah Khasanah, Zahra, Marisa, dan Yuni."Bagaimana, Zahra? Kamu sudah tau 'kan semuanya yang ada di pesantren?" tanya Uztadzah Khasanah."Sudah, Uztadzah," jawab Zahra dengan senyum mengembang yang jarang dimilikinya."Oh iya, aku lupa soal janji kita, Zahra!" Yuni teringat sesuatu tentang janji itu. Janji yang akan membuat hidup Zahra sengsara."Iya ya, janji itu." Zahra juga mengingatnya. Marisa tampak curiga dengan semua ini."Bolehkah aku ikut?" Marisa ingin ikut untuk memastikan bahwa kecurigaannya pun tidak benar."Jangan, cuma kami berdua saja." Yuni tampak serius.Marisa terdiam dam mengizinkan mereka berdua untuk pergi.*****Yuni mengajak Zahra ke suatu tempat. Gelap, suasana yang agak menyeramkan, dan ada satu lampu redup di gubuk kecil paling belakang pesantren yang
Zahra langsung membuka pintunya dan berjalan ke ranjang kemudian menangis dengan menutup wajahnya memakai bantal. Ia tak terima dengan fitnah yang diberikan oleh Yuni. Sangat sakit hatinya jika semua orang tidak percaya dengannya."Sudahlah, jangan menangis, Zahra." Marisa berusaha menenangkan."Aku nggak sanggup lagi, Marisa. Apakah aku nggak pantas menjadi orang yang baik?""Kamu pantas, Zahra. Sangat pantas."Zahra kemudian duduk dan mengusap air matanya."Apakah kamu yakin?""Sangat yakin!"Mereka saling berpelukan. Zahra melepaskan pelukan dari Marisa dan berkata, "Apakah kamu mau jadi sahabat aku, Marisa?"Marisa kemudian tersenyum dan menjawab, "Sungguh, aku sangat menginginkannya, Zahra."Mereka berdua berpelukan lagi. Persahabatan mereka akan dimulai. Berjuang bersama menghadapi fitnah ya
Adzan subuh berkumandang, Marisa terbangun dari tidurnya. Ia terkejut mendapati Zahra tidak ada di kamar."Tidak biasanya ia seperti ini. Mungkin dia lagi ke kamar mandi," pikir Marisa.Dirinya mencoba ke kamar mandi tetapi pintunya terbuka dan tidak ada orang di sana. Ia mecoba mencari ke sekitar kamar asrama tetapi hasilnya nihil."Mungkin dia sudah duluan ke masjid," pikirnya lagi.Marisa bersiap-siap hendak ke masjid untuk shalat subuh. Setelah siap, ia pergi seraya mencari keberadaan Zahra. Sesampainya di masjid, ia bertanya kepada seseorang bernama Rita."Hey, Rita. Kamu tadi lihat Zahra nggak?"Rita menoleh dan berkata, "Aku nggak lihat Zahra tuh. Emangnya kenapa?""Nggak papa, kok. Makasih ya."Dirinya mencoba bertanya kepada santriwati lainnya tetapi jawabannya tetap sama, bahwa tidak ada seorang pun ya
Adzan subuh berkumandang, Marisa terbangun dari tidurnya. Ia terkejut mendapati Zahra tidak ada di kamar."Tidak biasanya ia seperti ini. Mungkin dia lagi ke kamar mandi," pikir Marisa.Dirinya mencoba ke kamar mandi tetapi pintunya terbuka dan tidak ada orang di sana. Ia mecoba mencari ke sekitar kamar asrama tetapi hasilnya nihil."Mungkin dia sudah duluan ke masjid," pikirnya lagi.Marisa bersiap-siap hendak ke masjid untuk shalat subuh. Setelah siap, ia pergi seraya mencari keberadaan Zahra. Sesampainya di masjid, ia bertanya kepada seseorang bernama Rita."Hey, Rita. Kamu tadi lihat Zahra nggak?"Rita menoleh dan berkata, "Aku nggak lihat Zahra tuh. Emangnya kenapa?""Nggak papa, kok. Makasih ya."Dirinya mencoba bertanya kepada santriwati lainnya tetapi jawabannya tetap sama, bahwa tidak ada seorang pun ya
Zahra langsung membuka pintunya dan berjalan ke ranjang kemudian menangis dengan menutup wajahnya memakai bantal. Ia tak terima dengan fitnah yang diberikan oleh Yuni. Sangat sakit hatinya jika semua orang tidak percaya dengannya."Sudahlah, jangan menangis, Zahra." Marisa berusaha menenangkan."Aku nggak sanggup lagi, Marisa. Apakah aku nggak pantas menjadi orang yang baik?""Kamu pantas, Zahra. Sangat pantas."Zahra kemudian duduk dan mengusap air matanya."Apakah kamu yakin?""Sangat yakin!"Mereka saling berpelukan. Zahra melepaskan pelukan dari Marisa dan berkata, "Apakah kamu mau jadi sahabat aku, Marisa?"Marisa kemudian tersenyum dan menjawab, "Sungguh, aku sangat menginginkannya, Zahra."Mereka berdua berpelukan lagi. Persahabatan mereka akan dimulai. Berjuang bersama menghadapi fitnah ya
Setelah acara selesai, semua santriwati meninggalkan aula kecuali Uztadzah Khasanah, Zahra, Marisa, dan Yuni."Bagaimana, Zahra? Kamu sudah tau 'kan semuanya yang ada di pesantren?" tanya Uztadzah Khasanah."Sudah, Uztadzah," jawab Zahra dengan senyum mengembang yang jarang dimilikinya."Oh iya, aku lupa soal janji kita, Zahra!" Yuni teringat sesuatu tentang janji itu. Janji yang akan membuat hidup Zahra sengsara."Iya ya, janji itu." Zahra juga mengingatnya. Marisa tampak curiga dengan semua ini."Bolehkah aku ikut?" Marisa ingin ikut untuk memastikan bahwa kecurigaannya pun tidak benar."Jangan, cuma kami berdua saja." Yuni tampak serius.Marisa terdiam dam mengizinkan mereka berdua untuk pergi.*****Yuni mengajak Zahra ke suatu tempat. Gelap, suasana yang agak menyeramkan, dan ada satu lampu redup di gubuk kecil paling belakang pesantren yang
Marisa membawa Zahra ke kamarnya untuk menenangkan diri. Ia lupa bahwa Zahra belum menggunakan hijab. Dirinya langsung membuka pintu lemari dan mengambil hijab berwarna hijau serta tak lupa gamis dengan warna senada."Kamu pakai ya gamis dan hijab ini.""Aku tak bisa memakainya.""Kalau begitu aku bantu cara memakainya."Marisa membantu memakaikan semuanya untuk Zahra. Perempuan itu bangga bertemu dengan sosok seorang Zahra yang kuat untuk menghadapi cobaan demi cobaan yang ada. Tak lama, semuanya telah selesai."Makasih, Marisa. Kamu sudah membantu aku memakainya.""Sama-sama, Zahra." Marisa tampak tersenyum bahagia."Apakah aku terlihat cantik?" tanya Zahra."Iya, kamu sungguh cantik, Zahra."*****Magrib telah tiba, saatnya santri dan satriwati pergi ke masjid. Sementara didalam kamar Zahra mondar-mandir memikirkan hal yang mungkin mena
Lampu diskotik memeriahkan pesta di rumah Zahra, seorang gadis yang jauh dari agama. Ia hidup di lingkungan pergaulan bebas. Ayah dan Ibunya sibuk bekerja di kantor sehingga tak terlalu mengurus anak gadisnya itu.Pintu tiba-tiba didobrak. Mereka semua yang ada didalam terkejut. Ada beberapa warga dengan wajah geram tampak sangat marah."Pergi!" teriak salah satu warga. Mereka yang ada didalam pun pergi kocar-kacir dengan keadaan mabuk. Tersisa hanyalah Zahra, yang mabuk seraya memegang botol minuman keras."Kenapa kalian merusah pestaku, hah!" teriak Zahra yang mengejutkan semua orang."Karena hal yang kamu dan teman-temanmu lakukan sudah merusak ketenangan warga serta hal itu sangat merusak diri," jelas salah satu warga."Kalian tidak tau cara bersenang-senang," ucap Zahra.Tak lama kemudian, orang tua Zahra datang. Mereka terkejut mel