Marisa membawa Zahra ke kamarnya untuk menenangkan diri. Ia lupa bahwa Zahra belum menggunakan hijab. Dirinya langsung membuka pintu lemari dan mengambil hijab berwarna hijau serta tak lupa gamis dengan warna senada.
"Kamu pakai ya gamis dan hijab ini.""Aku tak bisa memakainya.""Kalau begitu aku bantu cara memakainya."Marisa membantu memakaikan semuanya untuk Zahra. Perempuan itu bangga bertemu dengan sosok seorang Zahra yang kuat untuk menghadapi cobaan demi cobaan yang ada. Tak lama, semuanya telah selesai."Makasih, Marisa. Kamu sudah membantu aku memakainya.""Sama-sama, Zahra." Marisa tampak tersenyum bahagia."Apakah aku terlihat cantik?" tanya Zahra."Iya, kamu sungguh cantik, Zahra."*****
Magrib telah tiba, saatnya santri dan satriwati pergi ke masjid. Sementara didalam kamar Zahra mondar-mandir memikirkan hal yang mungkin menakutkan bagi dirinya. Sungguh, ini adalah hal yang paling membuatnya gugup sepenjang hidupnya. Kini, ia diminta untuk membaca 1 halaman Al-Qur'an di hadapan semua santriwati lainnya. Dirinya tidak pernah menyentuh sekalipun kitab dari Allah SWT itu.
"Aku harus bagaimana?"Kemudian datanglah Marisa kehadapannya. Heran dengan raut wajah Zahra yang terlihat ketakutan."Kenapa kamu ketakutan begitu, Zahra?""Anu ... aku ....""Kenapa? Coba kamu cerita sama aku?" Marisa mencoba untuk membujuk Zahra."Jadi begini ...."*****
Zahra keluar dari kamar miliknya dan Marisa. Ia bingung dan ingin mencari temannya itu. Lalu, ia berjalan menelusuri setiap pesantren, tetapi hasilnya nihil. Dirinya mencoba bertanya kepada beberapa santriwati, tetap saja ia tidak menemukan petunjuk sedikipun."Nak Zahra ...."Zahra menoleh ke belakang. Disana ada Uztadzah Khasanah. Ia mendatangi orang yang usianya sekitar 40 tahun itu. Zahra mencium tangannya dan tersenyum. Sudah lama senyum itu tidak terlintas didalam hidupnya."Nak, kamu sedang apa? Celingak-celinguk kaya mencari sesuatu.""Hmm ... saya mencari Marisa, Uztadzah." ya, kata-kata yang sopanlah ia bisa belajar dari Marisa."Dia dimana ya, hmm ...." Uztadzah sedang mengingat sesuatu."Oh, dia tadi disuruh sama Uztad Imam memeriksa jurnal kegiatan karena dia menjadi ketua pelaksanaan kegiatan di sana.""Marisa itu sangat baik lho, bahkan ia suka membagi makanan ke orang yang membutuhkan. Makanya saya suka sekali membelikannya sayur." Uztadzah memuji Marisa. Zahra tampak sangat kagum mendengarnya."Terus? Apalagi kelebihan dia, Uztadzah?""Dia itu pintar soal akademik. Makanya Marisa menjadi murid terbaik di pesanten ini dan masih banyak lagi lah kelebihan dia.""Wah, banyak banget kelebihannya.""Huum." Uztadzah mengiyakan perkataan Zahra."Hmm ... maaf, saya permisi dulu ya, Uztadzah. Karena saya mau cari Marisa lagi." Zahra pamit hendak pergi, tetapi dicegah oleh Uztadzah Khasanah."Oh iya, lupa, ada yang mau saya sampaikan.""Apa itu, Uztadzah?""Kamu bisa ngaji, 'kan? Kamu nanti ikut pengajian ya sehabis magrib di masjid. Nanti kamu akan ditemani sama Marisa dan kawan-kawan.""Tapi, Uztadzah ....""Pokonya harus, titik!""Baiklah Uztadzah."*****
"Jadi, begitulah ceritanya." Zahra selesai menceritakan dan rasa takut itu semakin bertambah.
"Kamu jangan khawatir. Masih ada kok yang seperti kamu. Dia gigih banget belajar dan sekarang sudah bisa membaca Al-Qur'an." Marisa menjelaskan apa yang ia ingin katakan untuk menyemangati Zahra."Permulaan yang bagus.""Maka dari itu, kamu nggak usah takut lagi. Ikut aja nggak papa. Hal itu wajib untuk diikuti semua santri.""Hmm ... oke, aku akan ikut." Zahra mengiyakan ajakan Marisa."Tok! Tok! Tok!" suara ketukan pintu mengemakan ruang kamar mereka berdua."Buka aja, nggak kekunci kok," ucap Marisa mempersilahkan seseorang itu masuk.Yani, dengan gamis bewarna coklat dengan hijab yang senada pula menambah kesan indah. Ia ingin mengutarakan maksud kedatangannya. "Marisa, bolehkah aku membawa Zahra ke suatu tempat?""Hmm ... dalam hal apa?" tanya Marisa penasaran."Ada deh, kejutan. Aku mau minta maaf sama dia soalnya," jawaban Yani dengan senyuman licik yang disembunyikan."Aku setuju aja. Aku sudah maafin kamu kok," ucap Zahra."Kalau begitu kita ke masjid sekarang. Soalnya kan mau shalat magrib." Yani mengajak mereka berdua ke masjid untuk shalat magrib dan diiyakan oleh keduanya.*****
Setelah shalat magrib, santriwati berkumpul di aula pesantren untuk melaksanakan pengajian. Mereka bertiga memilih barisan kedua paling depan sebagai tempat duduknya. Zahra tampak bingung melihat banyaknya santriwati yang hadir dalam pengajian tersebut.
Di depan, tampak berdiri Uztadzah Khasanah yang memimpin pengajian kali ini. Ia kemudian berkata, "Siapa santriwati yang tidak bisa mengaji angkat tangan."Mereka semua berbisik, mungkin membicarakan hal itu."Saya!" Zahra mengangkat tangannya dan seketika semua santriwati tertawa kecuali Marisa. Ia terdiam, kemudian berkata, "Jangan hina Zahra! Dia wajarkan karena baru belajar agama. Saya juga begitu, sama seperti dia dan sekarang kalian menghinanya? Berarti kalian sama saja menghina saya."Semuanya terdiam. Tak bisa berkata apa-apa. Keheningan pun seketika pecah oleh suara Uztadzah Khasanah. "Benar kata Marisa. Kalian jangan menghina Zahra yang masih belajar. Ayo, Nak, maju ke depan."Zahra berdiri dan maju ke depan dengan perintah Uztadzah Khasanah. Mereka masih tampak terdiam. Marisa menampakkan senyum tipisnya, sedangkan Yani tampak geram dengan semua ini."Huh, gagal deh rencana aku!"*****
Yuni berjalan-jalan sambil memegang kipas untuk mengipasi dirinya yang sedang panas. Disana, ia melihat Fadli sedang berbicara bersama santriawan lainnya. Ia ingin kesana menyapanya."Aku kesana nggak ya?" Yuni tampak bingung. Selama beberapa lama ia memikirkannya. Setelah berpikir, jawabannya adalah dengan mendatanginya dan menyapanya dengan ramah.Langkah demi langkah pelan ia mendatangi Fadli. Setelah lelaki idamannya itu sampai di depannya, ia menyapa. "Hay, Fadli!"Fadli tampak terkejut dengan perempuan itu di depannya. " Yuni, datang-datang tak ngucap salam." seketika ia geleng-geleng kepala."Oh, iya, Assalamu'alaikum Fadli.""Wa'alaikumsalam, ada apa kamu kesini?""Aku cuma pengen ketemu kamu aja, hehehe," jawab Yuni tanpa ada rasa malu membuat teman Fadli terkekeh geli."Hadeuh, Yuni. Kamu tuh ya, nggak punya rasa malu sama sekali atau gimana sih? Masa kamu godain lelaki, hahaha."
Yuni tampak geram dengan ucapan teman fadli tersebut. "Kamu jangan ikut campur!""Maaf nona, kamu sudah melanggar ketentuan pesantren ini," ucap seseorang bernama Yusuf."Biarin! Terserah aku dong!""Emang ini pesantrenmu apa, hah?!""Sudah-sudah! Kalian jangan bertengkar." Fadli meleraikan mereka berdua yang sedang bertengkar."Huh, mending aku pergi aja!" Yuni langsung meninggalkan mereka berdua tanpa permisi.Sementara itu, mereka berdua yang ditinggalkan tampak kebingungan."Yuni kenapa ngejar kamu sih, Fadli?""Aku tidak tau. Yang pasti, aku tidak menyukainya."Yuni berjalan tergesa-gesa hingga menabrak Uztadzah Khasanah."Eh, Uztadzah. Maaf-maaf, Assalamu'alaikum." Yuni mencium tangan orang di depannya itu."Wa'alaikumsalam. Yuni, nanti kamu beritahukan seluruh santriwati ya untuk melakukan pengajian di aula pesantren."Seketika niat jahatnya muncul. "Iya, Uztadzah. Nanti akan saya sampaikan."Setelah berpamitan, Yuni pergi dari hadapan Uztadzah Khasanah.Ia lalu mendatangi setiap santriwati dan memberitahukan kegiatan pengajian itu. Ia mendatangi sekumpulan satriwati yang duduk di bangku taman.
"Eh, nanti datang ke pengajian ya.""Oke deh. Oh ya, aku mau tanya kamu nih," ucap salah satu santriwati."Ada apa tuh?" tanya Yuni penasaran."Kenapa sih si anak berandalan itu masuk ke pesantren ini?""Entahlah, mungkin dia tersesat. Selain itu ya, dia udah ngerebut sahabat aku si Marisa. Gimana nggak gereget coba!" Yuni mencoba memfitnah Zahra dihadapan semua orang didepannya."Nggak tau diri emang orang itu," ucap salah satu santriwati menyikapi hal tersebut.Mereka saling berbisik, Yuni tampak puas dengan aktingnya."Untung aja Uztadzah nyuruh aku sampaikan. Terima kasih Uztadzah," pikirnya."Nanti kalau dia Uztadzah nanya siapa yang nggak bisa ngaji kan pasti dia angkat tangan tuh. Kalian semua ketawain aja dan kasih tau yang lain juga soal Zahra.""Oke-oke," ucap semua santriwati yang ada dihadapannya.*****
Setelah acara selesai, semua santriwati meninggalkan aula kecuali Uztadzah Khasanah, Zahra, Marisa, dan Yuni."Bagaimana, Zahra? Kamu sudah tau 'kan semuanya yang ada di pesantren?" tanya Uztadzah Khasanah."Sudah, Uztadzah," jawab Zahra dengan senyum mengembang yang jarang dimilikinya."Oh iya, aku lupa soal janji kita, Zahra!" Yuni teringat sesuatu tentang janji itu. Janji yang akan membuat hidup Zahra sengsara."Iya ya, janji itu." Zahra juga mengingatnya. Marisa tampak curiga dengan semua ini."Bolehkah aku ikut?" Marisa ingin ikut untuk memastikan bahwa kecurigaannya pun tidak benar."Jangan, cuma kami berdua saja." Yuni tampak serius.Marisa terdiam dam mengizinkan mereka berdua untuk pergi.*****Yuni mengajak Zahra ke suatu tempat. Gelap, suasana yang agak menyeramkan, dan ada satu lampu redup di gubuk kecil paling belakang pesantren yang
Zahra langsung membuka pintunya dan berjalan ke ranjang kemudian menangis dengan menutup wajahnya memakai bantal. Ia tak terima dengan fitnah yang diberikan oleh Yuni. Sangat sakit hatinya jika semua orang tidak percaya dengannya."Sudahlah, jangan menangis, Zahra." Marisa berusaha menenangkan."Aku nggak sanggup lagi, Marisa. Apakah aku nggak pantas menjadi orang yang baik?""Kamu pantas, Zahra. Sangat pantas."Zahra kemudian duduk dan mengusap air matanya."Apakah kamu yakin?""Sangat yakin!"Mereka saling berpelukan. Zahra melepaskan pelukan dari Marisa dan berkata, "Apakah kamu mau jadi sahabat aku, Marisa?"Marisa kemudian tersenyum dan menjawab, "Sungguh, aku sangat menginginkannya, Zahra."Mereka berdua berpelukan lagi. Persahabatan mereka akan dimulai. Berjuang bersama menghadapi fitnah ya
Adzan subuh berkumandang, Marisa terbangun dari tidurnya. Ia terkejut mendapati Zahra tidak ada di kamar."Tidak biasanya ia seperti ini. Mungkin dia lagi ke kamar mandi," pikir Marisa.Dirinya mencoba ke kamar mandi tetapi pintunya terbuka dan tidak ada orang di sana. Ia mecoba mencari ke sekitar kamar asrama tetapi hasilnya nihil."Mungkin dia sudah duluan ke masjid," pikirnya lagi.Marisa bersiap-siap hendak ke masjid untuk shalat subuh. Setelah siap, ia pergi seraya mencari keberadaan Zahra. Sesampainya di masjid, ia bertanya kepada seseorang bernama Rita."Hey, Rita. Kamu tadi lihat Zahra nggak?"Rita menoleh dan berkata, "Aku nggak lihat Zahra tuh. Emangnya kenapa?""Nggak papa, kok. Makasih ya."Dirinya mencoba bertanya kepada santriwati lainnya tetapi jawabannya tetap sama, bahwa tidak ada seorang pun ya
Lampu diskotik memeriahkan pesta di rumah Zahra, seorang gadis yang jauh dari agama. Ia hidup di lingkungan pergaulan bebas. Ayah dan Ibunya sibuk bekerja di kantor sehingga tak terlalu mengurus anak gadisnya itu.Pintu tiba-tiba didobrak. Mereka semua yang ada didalam terkejut. Ada beberapa warga dengan wajah geram tampak sangat marah."Pergi!" teriak salah satu warga. Mereka yang ada didalam pun pergi kocar-kacir dengan keadaan mabuk. Tersisa hanyalah Zahra, yang mabuk seraya memegang botol minuman keras."Kenapa kalian merusah pestaku, hah!" teriak Zahra yang mengejutkan semua orang."Karena hal yang kamu dan teman-temanmu lakukan sudah merusak ketenangan warga serta hal itu sangat merusak diri," jelas salah satu warga."Kalian tidak tau cara bersenang-senang," ucap Zahra.Tak lama kemudian, orang tua Zahra datang. Mereka terkejut mel
Adzan subuh berkumandang, Marisa terbangun dari tidurnya. Ia terkejut mendapati Zahra tidak ada di kamar."Tidak biasanya ia seperti ini. Mungkin dia lagi ke kamar mandi," pikir Marisa.Dirinya mencoba ke kamar mandi tetapi pintunya terbuka dan tidak ada orang di sana. Ia mecoba mencari ke sekitar kamar asrama tetapi hasilnya nihil."Mungkin dia sudah duluan ke masjid," pikirnya lagi.Marisa bersiap-siap hendak ke masjid untuk shalat subuh. Setelah siap, ia pergi seraya mencari keberadaan Zahra. Sesampainya di masjid, ia bertanya kepada seseorang bernama Rita."Hey, Rita. Kamu tadi lihat Zahra nggak?"Rita menoleh dan berkata, "Aku nggak lihat Zahra tuh. Emangnya kenapa?""Nggak papa, kok. Makasih ya."Dirinya mencoba bertanya kepada santriwati lainnya tetapi jawabannya tetap sama, bahwa tidak ada seorang pun ya
Zahra langsung membuka pintunya dan berjalan ke ranjang kemudian menangis dengan menutup wajahnya memakai bantal. Ia tak terima dengan fitnah yang diberikan oleh Yuni. Sangat sakit hatinya jika semua orang tidak percaya dengannya."Sudahlah, jangan menangis, Zahra." Marisa berusaha menenangkan."Aku nggak sanggup lagi, Marisa. Apakah aku nggak pantas menjadi orang yang baik?""Kamu pantas, Zahra. Sangat pantas."Zahra kemudian duduk dan mengusap air matanya."Apakah kamu yakin?""Sangat yakin!"Mereka saling berpelukan. Zahra melepaskan pelukan dari Marisa dan berkata, "Apakah kamu mau jadi sahabat aku, Marisa?"Marisa kemudian tersenyum dan menjawab, "Sungguh, aku sangat menginginkannya, Zahra."Mereka berdua berpelukan lagi. Persahabatan mereka akan dimulai. Berjuang bersama menghadapi fitnah ya
Setelah acara selesai, semua santriwati meninggalkan aula kecuali Uztadzah Khasanah, Zahra, Marisa, dan Yuni."Bagaimana, Zahra? Kamu sudah tau 'kan semuanya yang ada di pesantren?" tanya Uztadzah Khasanah."Sudah, Uztadzah," jawab Zahra dengan senyum mengembang yang jarang dimilikinya."Oh iya, aku lupa soal janji kita, Zahra!" Yuni teringat sesuatu tentang janji itu. Janji yang akan membuat hidup Zahra sengsara."Iya ya, janji itu." Zahra juga mengingatnya. Marisa tampak curiga dengan semua ini."Bolehkah aku ikut?" Marisa ingin ikut untuk memastikan bahwa kecurigaannya pun tidak benar."Jangan, cuma kami berdua saja." Yuni tampak serius.Marisa terdiam dam mengizinkan mereka berdua untuk pergi.*****Yuni mengajak Zahra ke suatu tempat. Gelap, suasana yang agak menyeramkan, dan ada satu lampu redup di gubuk kecil paling belakang pesantren yang
Marisa membawa Zahra ke kamarnya untuk menenangkan diri. Ia lupa bahwa Zahra belum menggunakan hijab. Dirinya langsung membuka pintu lemari dan mengambil hijab berwarna hijau serta tak lupa gamis dengan warna senada."Kamu pakai ya gamis dan hijab ini.""Aku tak bisa memakainya.""Kalau begitu aku bantu cara memakainya."Marisa membantu memakaikan semuanya untuk Zahra. Perempuan itu bangga bertemu dengan sosok seorang Zahra yang kuat untuk menghadapi cobaan demi cobaan yang ada. Tak lama, semuanya telah selesai."Makasih, Marisa. Kamu sudah membantu aku memakainya.""Sama-sama, Zahra." Marisa tampak tersenyum bahagia."Apakah aku terlihat cantik?" tanya Zahra."Iya, kamu sungguh cantik, Zahra."*****Magrib telah tiba, saatnya santri dan satriwati pergi ke masjid. Sementara didalam kamar Zahra mondar-mandir memikirkan hal yang mungkin mena
Lampu diskotik memeriahkan pesta di rumah Zahra, seorang gadis yang jauh dari agama. Ia hidup di lingkungan pergaulan bebas. Ayah dan Ibunya sibuk bekerja di kantor sehingga tak terlalu mengurus anak gadisnya itu.Pintu tiba-tiba didobrak. Mereka semua yang ada didalam terkejut. Ada beberapa warga dengan wajah geram tampak sangat marah."Pergi!" teriak salah satu warga. Mereka yang ada didalam pun pergi kocar-kacir dengan keadaan mabuk. Tersisa hanyalah Zahra, yang mabuk seraya memegang botol minuman keras."Kenapa kalian merusah pestaku, hah!" teriak Zahra yang mengejutkan semua orang."Karena hal yang kamu dan teman-temanmu lakukan sudah merusak ketenangan warga serta hal itu sangat merusak diri," jelas salah satu warga."Kalian tidak tau cara bersenang-senang," ucap Zahra.Tak lama kemudian, orang tua Zahra datang. Mereka terkejut mel