*****
Yuni mengajak Zahra ke suatu tempat. Gelap, suasana yang agak menyeramkan, dan ada satu lampu redup di gubuk kecil paling belakang pesantren yang jarang untuk didatangi oleh siapapun. Mereka berdua menuju gubuk itu, berjalan cepat dan tergesa-gesa seperti dikejar sesuatu. Sesampainya di sana, Yuni mengatakan semuanya.
"Kamu tau kenapa aku ajak kesini?""Kenapa?""Sebenarnya, aku sangat benci sama kamu. Aku muak dengan sandiwaramu!"Zahra sangat terkejut. Padahal ia tidak berbuat apa-apa, tapi kenapa malah disalahkan."Kenapa kamu salahkan aku, Yuni?""Kamu sudah merebut kebahagiaanku! Kamu ngerebut Marisa, Uztadzah Khasanah bahkan Fadli pun diambil. Dasar nggak tau diri! Kamu bukan manusia, Zahra!""Aku nggak merebut siapapun dari kamu. Aku hanya ingin berkenalan saja, sebagai pembimbing. Cuma itu, nggak lebih, Yuni.""Halah, nggak usah ngeles deh kamu! Aku tau kok niat awalmu kesini.""Aku hanya niat belajar.""Kamu berniat untuk merebut semuanya dariku!" Yuni langsung memotong pembicaraan.Yuni lalu menyerangnya. Zahra pun berusaha menangkis setiap perlawanan yang mengarah kepadanya. Sampai pada akhirnya tangan Yuni mencekik leher Zahra."Kamu harus mati! Tidak ada yang tau bahwa aku pembunuhnya.""Aku minta maaf, Yuni," ucap Zahra dengan napas yang tersengal."Tidak ada kata maaf! Aku akan balas dendam ke kamu, Zahra!"Tiba-tiba seseorang datang dan itu adalah Marisa. Ia sudah curiga sedari tadi di aula pesantren. Perasaanya sangat kuat hingga bisa membawanya ke tempat itu untuk menyelamatkan Zahra."Lepaskan Zahra!" Marisa tampak sangat marah melihat perilaku Yuni yang hendak mencelakai perempuan itu."Marisa, kamu lebih memilih dia ya?" Yuni menoleh ke arah lawannya. "Kamu, Zahra! Aku nggak akan bisa memaafkan kesalahanmu!"Yuni dengan dendam yang besar bisa melakukan berbagai cara agar saingannya tersebut hilang dari kehidupannya. Dari memfitnah hingga berani menyakiti orang lain dengan caranya sendiri."Kalau kamu nggak melepaskan dia, aku akan melapor ke pihat pesantren untuk memproses pengeluaranmu dari sini."Ucapan Marisa tampaknya tak main-main. Seketika Yuni melepaskan tangannya dari leher Zahra. Zahra pun jatuh lalu terduduk lemas. "Lihat saja, Zahra. Tunggu pembalasanku!"Yuni beringsut pergi dari tempat itu. Perasaan lega terpancar di wajah Marisa. Ia segera menolong Zahra."Kamu nggak papa, Zahra?""Aku ... sakit ...." sambil mengerang kesakitan di lehernya, Zahra mampu berbicara dengan pelan."Ayo kita kembali ke kamar." Marisa cepat-cepat membawa Zahra ke kamar mereka berdua.*****
Sesampainya di kamar, Marisa membantu Zahra untuk tidur terlentang. Ia sangat kasihan dengan temannya itu. Rasanya, ia ingin memukul Yuni sepuas hatinya bila dirinya dan sahabatnya itu tidak sedang berada di pesantren.
Marisa menghampiri meja dan membuka laci mejanya. Ia berniat mencari obat penghilang rasa sakit tetapi dirinya menemukan amplop surat berwarna merah. Marisa segera membukanya dan isinya adalah :~Dear Zahra Yang Paling Aku Benci~
**Kamu nggak tau rasanya jadi aku. Ketika bisa mendapatkan sahabat seperti Marisa. Ketika bisa dekat sama Fadli dan bisa menjadi murid kesayangan Uztadzah Khasanah. Tapi semuanya direbut olehmu! Bagaimana rasanya? Sangat sakit, bahkan aku ada dendam denganmu. Aku nggak akan ikhlas kamu bisa memiliki semuanya. Aku nggak akan rela jika kamu mendapat hati semua orang di pesantren ini. Aku berjanji akan mengeluarkanmu dari sini. Camkan itu, Zahra!**Marisa sangat terkejut melihat isi pesannya. Ia tidak mau memberitahukan temannya tentang isi surat itu, takut-takut terjadi apa-apa dengan kesehatannya.
"Apa yang kamu pegang, Marisa?""Aku memegang obatnya, Zahra." Marisa bohong dan cepat-cepat surat itu ia masukkan ke kantong gamisnya.Marisa duduk di tepi ranjang dan membantu Zahra meminum obat. Tak lama, Zahra tertidur pulas. Ia sangat prihatin melihat orang yang ada di depannya itu."Aku berjanji akan melingdungimu sampai kamu dipertemukan oleh keluargamu, Zahra."*****
Pagi harinya semua orang yang ada di pesatren digegerkan dengan kejadian kehilangan barang berharga seperti handphone, jam tangan, uang saku, dan lainnya. Mereka semua panik mencari barangnya yang hilang.
Zahra kehilangan perhiasannya sedangkan Marisa kehilangan uang sebesar 500 ribu saat berada di dalam tasnya. Kini, mereka berdua juga panik dengan hal tersebut."Harap perhatikan bagi seluruh santriawan dan santriwati yang ada di pesantren segera berkumpul di aula!" pemberitahuan terdengar jelas disetiap sudut. Mereka semua lalu berkumpul."Kita sudah kehilangan banyak sekali barang berharga. Kita harus waspada. Siapa tau orang yang telah mengambilnya ada di sini sekarang. Mengaku lah kepada kami wahai maling," teriak penjaga pesantren dengan jelas."Wah, maling mana ada yang ngaku, Pak!" teriak salah satu santriawan kemudian disusul tawa dari semua orang.Wajah penjaga pesantren tampak geram. Ia berkata, "Tidak semua maling seperti itu, Nak.""Seringnya begitu, Pak!" teriak santriawan itu lagi.Semua orang kembali tertawa hingga Uztad Syarif pun datang. Mereka lalu diam dalam keheningan."Hay, anak muda." tunjuk Uztad Syarif ke santriawan yang dimaksud. Lalu ia menurunkan tangannya."Kenapa kamu mengatakan hal seperti itu kepada orang tua?" tanyanya."Karena ... tidak mungkin maling itu mengaku, Uztad. Benar nggak, Teman-teman?""Benar itu," jawab semua orang serempak."Memang, orang itu tidak akan mengaku. Tapi setidaknya, jangan kau jadikan lelucon perkataanya."Santriawan itu pun terdiam, tak berani bicara. Sementara semua santriawan dan santriwati pun sama."Dengan baik-baik. Jika perkataan kalian yang serius menjadi lelucon orang lain apakah kalian marah?"Semua orang mengangguk pelan tanda mengiyakan."Apakah itu termasuk melawan perkataan orang yang lebih tua?"Semuanya tertunduk dan merasa bersalah."Jadi?""Saya mengaku salah, Uztad," jawab salah satu santriawan itu dan diikuti anggukan oleh semua orang."Begitulah seseorang mengakui kesalahannya, dengan cara membicarakannya secara baik-baik." Keheningan terjadi beberapa saat."Saya berharap ini tidak akan terulang lagi, mengerti?""Mengerti, Uztad!" teriak semua orang di aula pesantren.Tak lama, semua orang keluar dari aula. Ada yang kembali ke kamar, ada yang pergi bermain, ada yang bergosip, dan ada yang mengikuti kegiatan lainnya.Zahra dan Marisa keluar dan memilih kembali ke kamar. Berjalan-jalan seraya bercerita dipilihnya sebagai pengusir keheningan. Mereka berdua melewati Yuni dan beberapa santriwati lainnya yang bersantai sambil bergosip."Lihat tuh, pasti anak berandalan itu pencurinya!" Yuni langsung menunjuk Zahra sebagai pelakunya."Aku nggak ngambil apa-apa, kok. Barangku juga hilang entah siapa yang mengambilnya." Zahra menjelaskan kebenarannya kepada semua orang."Halah, maling mana ada yang ngaku sih," ucap salah satu santriwati dan seketika Zahra berlari meninggalkan Marisa."Kalian keterlaluan!" Marisa pergi menyusul Zahra sementara Yuni tersenyum licik. "Lihat, siapa yang akan menang, Zahra?"*****
Zahra langsung membuka pintunya dan berjalan ke ranjang kemudian menangis dengan menutup wajahnya memakai bantal. Ia tak terima dengan fitnah yang diberikan oleh Yuni. Sangat sakit hatinya jika semua orang tidak percaya dengannya."Sudahlah, jangan menangis, Zahra." Marisa berusaha menenangkan."Aku nggak sanggup lagi, Marisa. Apakah aku nggak pantas menjadi orang yang baik?""Kamu pantas, Zahra. Sangat pantas."Zahra kemudian duduk dan mengusap air matanya."Apakah kamu yakin?""Sangat yakin!"Mereka saling berpelukan. Zahra melepaskan pelukan dari Marisa dan berkata, "Apakah kamu mau jadi sahabat aku, Marisa?"Marisa kemudian tersenyum dan menjawab, "Sungguh, aku sangat menginginkannya, Zahra."Mereka berdua berpelukan lagi. Persahabatan mereka akan dimulai. Berjuang bersama menghadapi fitnah ya
Adzan subuh berkumandang, Marisa terbangun dari tidurnya. Ia terkejut mendapati Zahra tidak ada di kamar."Tidak biasanya ia seperti ini. Mungkin dia lagi ke kamar mandi," pikir Marisa.Dirinya mencoba ke kamar mandi tetapi pintunya terbuka dan tidak ada orang di sana. Ia mecoba mencari ke sekitar kamar asrama tetapi hasilnya nihil."Mungkin dia sudah duluan ke masjid," pikirnya lagi.Marisa bersiap-siap hendak ke masjid untuk shalat subuh. Setelah siap, ia pergi seraya mencari keberadaan Zahra. Sesampainya di masjid, ia bertanya kepada seseorang bernama Rita."Hey, Rita. Kamu tadi lihat Zahra nggak?"Rita menoleh dan berkata, "Aku nggak lihat Zahra tuh. Emangnya kenapa?""Nggak papa, kok. Makasih ya."Dirinya mencoba bertanya kepada santriwati lainnya tetapi jawabannya tetap sama, bahwa tidak ada seorang pun ya
Lampu diskotik memeriahkan pesta di rumah Zahra, seorang gadis yang jauh dari agama. Ia hidup di lingkungan pergaulan bebas. Ayah dan Ibunya sibuk bekerja di kantor sehingga tak terlalu mengurus anak gadisnya itu.Pintu tiba-tiba didobrak. Mereka semua yang ada didalam terkejut. Ada beberapa warga dengan wajah geram tampak sangat marah."Pergi!" teriak salah satu warga. Mereka yang ada didalam pun pergi kocar-kacir dengan keadaan mabuk. Tersisa hanyalah Zahra, yang mabuk seraya memegang botol minuman keras."Kenapa kalian merusah pestaku, hah!" teriak Zahra yang mengejutkan semua orang."Karena hal yang kamu dan teman-temanmu lakukan sudah merusak ketenangan warga serta hal itu sangat merusak diri," jelas salah satu warga."Kalian tidak tau cara bersenang-senang," ucap Zahra.Tak lama kemudian, orang tua Zahra datang. Mereka terkejut mel
Marisa membawa Zahra ke kamarnya untuk menenangkan diri. Ia lupa bahwa Zahra belum menggunakan hijab. Dirinya langsung membuka pintu lemari dan mengambil hijab berwarna hijau serta tak lupa gamis dengan warna senada."Kamu pakai ya gamis dan hijab ini.""Aku tak bisa memakainya.""Kalau begitu aku bantu cara memakainya."Marisa membantu memakaikan semuanya untuk Zahra. Perempuan itu bangga bertemu dengan sosok seorang Zahra yang kuat untuk menghadapi cobaan demi cobaan yang ada. Tak lama, semuanya telah selesai."Makasih, Marisa. Kamu sudah membantu aku memakainya.""Sama-sama, Zahra." Marisa tampak tersenyum bahagia."Apakah aku terlihat cantik?" tanya Zahra."Iya, kamu sungguh cantik, Zahra."*****Magrib telah tiba, saatnya santri dan satriwati pergi ke masjid. Sementara didalam kamar Zahra mondar-mandir memikirkan hal yang mungkin mena
Adzan subuh berkumandang, Marisa terbangun dari tidurnya. Ia terkejut mendapati Zahra tidak ada di kamar."Tidak biasanya ia seperti ini. Mungkin dia lagi ke kamar mandi," pikir Marisa.Dirinya mencoba ke kamar mandi tetapi pintunya terbuka dan tidak ada orang di sana. Ia mecoba mencari ke sekitar kamar asrama tetapi hasilnya nihil."Mungkin dia sudah duluan ke masjid," pikirnya lagi.Marisa bersiap-siap hendak ke masjid untuk shalat subuh. Setelah siap, ia pergi seraya mencari keberadaan Zahra. Sesampainya di masjid, ia bertanya kepada seseorang bernama Rita."Hey, Rita. Kamu tadi lihat Zahra nggak?"Rita menoleh dan berkata, "Aku nggak lihat Zahra tuh. Emangnya kenapa?""Nggak papa, kok. Makasih ya."Dirinya mencoba bertanya kepada santriwati lainnya tetapi jawabannya tetap sama, bahwa tidak ada seorang pun ya
Zahra langsung membuka pintunya dan berjalan ke ranjang kemudian menangis dengan menutup wajahnya memakai bantal. Ia tak terima dengan fitnah yang diberikan oleh Yuni. Sangat sakit hatinya jika semua orang tidak percaya dengannya."Sudahlah, jangan menangis, Zahra." Marisa berusaha menenangkan."Aku nggak sanggup lagi, Marisa. Apakah aku nggak pantas menjadi orang yang baik?""Kamu pantas, Zahra. Sangat pantas."Zahra kemudian duduk dan mengusap air matanya."Apakah kamu yakin?""Sangat yakin!"Mereka saling berpelukan. Zahra melepaskan pelukan dari Marisa dan berkata, "Apakah kamu mau jadi sahabat aku, Marisa?"Marisa kemudian tersenyum dan menjawab, "Sungguh, aku sangat menginginkannya, Zahra."Mereka berdua berpelukan lagi. Persahabatan mereka akan dimulai. Berjuang bersama menghadapi fitnah ya
Setelah acara selesai, semua santriwati meninggalkan aula kecuali Uztadzah Khasanah, Zahra, Marisa, dan Yuni."Bagaimana, Zahra? Kamu sudah tau 'kan semuanya yang ada di pesantren?" tanya Uztadzah Khasanah."Sudah, Uztadzah," jawab Zahra dengan senyum mengembang yang jarang dimilikinya."Oh iya, aku lupa soal janji kita, Zahra!" Yuni teringat sesuatu tentang janji itu. Janji yang akan membuat hidup Zahra sengsara."Iya ya, janji itu." Zahra juga mengingatnya. Marisa tampak curiga dengan semua ini."Bolehkah aku ikut?" Marisa ingin ikut untuk memastikan bahwa kecurigaannya pun tidak benar."Jangan, cuma kami berdua saja." Yuni tampak serius.Marisa terdiam dam mengizinkan mereka berdua untuk pergi.*****Yuni mengajak Zahra ke suatu tempat. Gelap, suasana yang agak menyeramkan, dan ada satu lampu redup di gubuk kecil paling belakang pesantren yang
Marisa membawa Zahra ke kamarnya untuk menenangkan diri. Ia lupa bahwa Zahra belum menggunakan hijab. Dirinya langsung membuka pintu lemari dan mengambil hijab berwarna hijau serta tak lupa gamis dengan warna senada."Kamu pakai ya gamis dan hijab ini.""Aku tak bisa memakainya.""Kalau begitu aku bantu cara memakainya."Marisa membantu memakaikan semuanya untuk Zahra. Perempuan itu bangga bertemu dengan sosok seorang Zahra yang kuat untuk menghadapi cobaan demi cobaan yang ada. Tak lama, semuanya telah selesai."Makasih, Marisa. Kamu sudah membantu aku memakainya.""Sama-sama, Zahra." Marisa tampak tersenyum bahagia."Apakah aku terlihat cantik?" tanya Zahra."Iya, kamu sungguh cantik, Zahra."*****Magrib telah tiba, saatnya santri dan satriwati pergi ke masjid. Sementara didalam kamar Zahra mondar-mandir memikirkan hal yang mungkin mena
Lampu diskotik memeriahkan pesta di rumah Zahra, seorang gadis yang jauh dari agama. Ia hidup di lingkungan pergaulan bebas. Ayah dan Ibunya sibuk bekerja di kantor sehingga tak terlalu mengurus anak gadisnya itu.Pintu tiba-tiba didobrak. Mereka semua yang ada didalam terkejut. Ada beberapa warga dengan wajah geram tampak sangat marah."Pergi!" teriak salah satu warga. Mereka yang ada didalam pun pergi kocar-kacir dengan keadaan mabuk. Tersisa hanyalah Zahra, yang mabuk seraya memegang botol minuman keras."Kenapa kalian merusah pestaku, hah!" teriak Zahra yang mengejutkan semua orang."Karena hal yang kamu dan teman-temanmu lakukan sudah merusak ketenangan warga serta hal itu sangat merusak diri," jelas salah satu warga."Kalian tidak tau cara bersenang-senang," ucap Zahra.Tak lama kemudian, orang tua Zahra datang. Mereka terkejut mel