"Kak, mau ke mana?" Tanya Silvi begitu melihat kakaknya yang sudah rapi dan hendak keluar."Mau ke tempatnya Zaha." Jawab Anna singkat."Eh, ke tempat kak Zaha? Aku ikut dong, Kak!" Ucap Silvi bersemangat."Loh-loh, siapa yang mau ngajakin kamu, dek." Ucap Anna protes."Gak mau tahu, pokoknya tungguin! Silvi juga mau ikut." Teriak Silvi dari atas tangga. Dia langsung buru-buru ke kamarnya buat ganti pakaian.Sekarang, jadilah Silvi menempel di sebelahnya Anna, mengikutinya ke tempat Zaha.Padahal Anna berharap akan menemui Zaha sendirian. Tapi saat berangkat tadi, malah adiknya ngotot meminta untuk ikut.Dulunya, Silvi terlihat ilfeel pada Zaha. Entah kenapa, sejak ditolong oleh Zaha tempo hari, Silvi terlihat bersemangat kalau membahas tentang Zaha.Bahkan kalau Anna pulang dari sekolah, pasti Silvi selalu bertanya, "Bagaimana kabar kak Zaha ?", Lalu ia berkomentar tentang perubahan fisik Zaha juga, "Hmn, kak Zaha sudah semakin berisi tubuhnya sekarang loh, kak! Udah gak kurus ceking
Keesokan siangnya.Para petinggi Kelompok Selatan sedang berkumpul di sebuah ruko yang masih dalam tahap pembangunan, tidak jauh dari pasar Tanah Kuda.Tampak para petinggi senior seperti Cak Timbul, Cak Nawi, Hiukali, Jarwo, Kobang, Mang Lipay, dan para pimpinan junior yang sudah mulai memiliki anggotanya masing-masing, ada Virangel, Alex, Acera, Hari, Sam, Indra, Kulup, Inggek, Rio dan Arman (mantan anak buahnya Codet dulu, yang memilih bergabung dengan kelompoknya Zaha. Setelah dikalahkan oleh Zaha, keduanya memutuskan setia pada Zaha. Terakhir, ada Zulham yang mewakili preman di komplek Zaha tinggal. Walau sebenarnya masih ada preman senior lainnya, tapi Zulham dipilih memimpin daerah komplek karena faktor kedekatannya dengan Zaha dan keluarganya."Cak, cerita dong tentang pemimpin pertama di kota ini sebelum terpecah seperti sekarang?" Tanya Acera pada Cak Timbul begitu mereka selesai rapat siang itu."Memang dulu kita gak terpecah-pecah kayak sekarang, bang?" Tanya Inggek penasa
Kring, Kring! Saat mereka sedang asik berdiskusi saat itu, tiba-tiba ponselnya Zulham berdering. Zulham menatap ragu pada para senior, takut dikira lancang jika mengangkat telpon saat mereka sedang bicara. "Udah, angkat aja! Siapa tahu penting." Izin Cak Timbul. Mendapat ijin, Zulham langsung menjawab panggilan telpon tersebut. Entah siapa yang menelponnya, tiba-tiba wajah Zulham terlihat tegang dan emosi. "Bangsat! Kalian tunggu disitu, kami segera kesana!" Kata Zulham dengan penuh emosi, membuat yang lainnya jadi penasaran tentang siapa yang menelpon. "Ada apa, Jul?" Tanya Acera begitu Zulham menutup panggilan telponnya. Napas Zulham terlihat memburu karena emosi yang sedang memenuhi dadanya, ia berkata, "Pos Ronda komplek diserang oleh sekelompok orang tidak dikenal barusan." "Anjing! Siapa yang berani cari gara-gara dengan kita? Bangsat!" Ujar Indra ikut emosi mendengarnya. Indra bahkan sampai langsung berdiri dari tempat duduknya. Begitupun dengan yang lainnya. Komplek p
Siang itu tampak seorang wanita paruh baya keluar dari sebuah ruang VIP lantai atas di sebuah hotel yang terkenal dengan bisnis esek-eseknya, Axelis Hotel.Di belakangnya menyusul keluar seorang laki-laki paruh baya, berperut sedikit buncit.Hari masih siang, tapi sudah ada saja laki-laki hidung belang yang datang untuk mendapatkan jasanya. Usia wanita itu sendiri sudah hampir 45 tahun. Tapi, wanita yang mudanya dulu pernah jadi biduan terkenal di ibu kota itu masih tampak cantik.Kecantikan seorang wanita dewasa yang sudah matang.Dengan memaksakan sebuah senyum tipis di wajahnya, wanita tersebut melepas kepergian pria hidung belang yang setia memakai jasanya tersebut. Setelah sebelumnya sang pria sempat memasukan beberapa lembar uang ratusan di sela pakaian atasnya yang sedikit terbuka."Eh, bang Komar?" Sapa wanita tersebut terkejut ketika melihat seorang pria telah berdiri di depan pintu kamarnya. Begitupun dengan pria langganannya, yang langsung bergegas pergi begitu melihat pria
Di tempat lainnya, Silvi baru saja membuka pintu kamarnya dan tepat di saat bersamaan pintu kamar kakaknya yang berada tepat di sebelah kamarnya juga terbuka. Mata keduanya masih sembab, sehabis menangis karena apa yang terjadi pada mereka sehari sebelumnya. Dan alasan dibalik kesedihan mereka adalah karena orang yang sama, Zaha."Eh, ka-kakak?""Adek?."Ujar mereka bersamaan. Keduanya tampak sama-sama canggung. Terutama karena yang menjadi penyebab kesedihan mereka adalah orang yang sama. Mereka berdua duduk di sofa ruang tamu, tanpa bersuara. Sepertinya, apa yang terjadi kemarin, telah membuat mereka susah tidur. Setelah terdiam beberapa saat lamanya, Silvi tiba-tiba bersuara, "Kak, aku baru sadar satu hal.. Ini tentang kak Zaha.""Hmn, kakak juga." Ucap Anna terkejut.Keduanya saling bertatapan dan seperti memiliki pikiran yang sama."Iya, kak. Kakak pasti mikir ada yang aneh juga, 'kan? Tentang sikap kak Zaha kemarin." Ucap Silvi sambil memikirkan sesuatu.Anna mengangguk, "Iya,
"Hmn, tapi jangan bahas itu dulu sekarang! Terus, sekarang kita harus bagaimana dong, dek?" Tanya Anna gelisah. Ia tidak ingin Zaha kembali menjauhi dirinya. Pengalaman beberapa waktu lalu, cukup membuat Anna merasa tersiksa, ia tidak mau lagi berjauhan dengan Zaha. Zaha seakan sudah menjadi candu tersendiri bagi Anna. Berada dekat dengan Zaha, membuat Anna merasa aman dan nyaman. Hal yang tidak pernah ia dapatkan dari cowok manapun yang pernah ia kenal."Entahlah, kak. Aku juga belum tahu harus bagaimana! Sepertinya, kita harus cari tahu sendiri, apa yang menyebabkan kak Zaha bersikap seperti ini dan terkesan menjauhi kita. Bisa jadi, kak Zaha bersikap seperti itu agar kita tidak terlibat dalam masalahnya." Ucap Silvi lirih, coba menganalisa semua petunjuk yang ada di kepalanya. Dibanding dengan Anna, mungkin Silvi lebih berbakat untuk meneruskan profesi ayah mereka yang merupakan seorang perwira tinggi dan sekarang dipercaya sebagai salah satu petinggi di Badan Intelelijen
Pasar Tanah Kuda yang biasanya ramai, mendadak berubah menjadi pasar yang mencekam, ketika pasar di tutup paksa siang itu. Setiap gerbang yang menjadi akses masuk ke dalam pasar dijaga ketat oleh preman bertubuh kekar dan berwajah sangar. Bahkan setiap akses jalan menuju kasar juga dijaga ketat oleh sekelompok preman. Mereka tampak berjaga dengan sangat awas dan memeriksa setiap orang yang hendak masuk ataupun keluar dari pasar. Siang itu, saat Anna dan Silvi sampai di pasar tersebut. Mereka melihat seorang gadis sedang ribut-ribut di depan gerbang masuk pasar. Alasannya sederhana, karena gadis remaja cantik yang masih berseragam sekolah tersebut, tidak diijinkan masuk ke dalam pasar oleh para preman yang sedang berjaga. "Cih, cewek itu lagi.." Lirih Anna tampak kesal. "Loh, kakak kenal?" Tanya Silvi heran melihat reaksi Anna. Anna tidak menjawab pertanyaan adiknya dan langsung menghampiri gadis yang sedang terlibat adu mulut dengan para preman tersebut. "Cintya, ada apa?" Tanya
Dua kelompok besar saling berhadapan di depan salah satu gedung tua yang ada di Wilayah Timur ibu kota. Gedung yang terdiri dari dua lantai itu sendiri merupakan peninggalan jaman Belanda yang kini beralih fungsi menjadi markas utama dari Kelompok Timur. Gedung itu sangat besar dan sanggup menampung ratusan orang di setiap lantainya, karena pada jaman dulu memang difungsikan sebagai gedung pertemuan untuk acara-acara besar.Orang-orang yang tinggal di wilayah timur mengenal gedung itu sebagai gedung hitam, karena semua transaksi gelap terjadi di dalam sana dan orang biasa tidak akan pernah berani mendekati gedung itu. Jangankan orang biasa, aparat saja tidak berani mendekatinya. Kecuali mereka yang menjadi antek dan kaki tangan para petinggi dalam gedung tersebut.Gedung itulah yang akan menjadi saksi sebuah pertempuran besar hari ini.Zaha datang dengan diikuti oleh ratusan anggotanya dari Kelompok Selatan. Wajah mereka tampak dingin, karena kedatangan mereka kali ini adalah untuk pe