“Wisuda?”
“Ya Jen, minggu depan. Jangan bilang kamu lupa,” sahut Tamara.
Jeni mengangguk membenarkannya.
“Kamu harus ikut Jen, kamu kan sudah melahirkan sekarang. Lagipula mereka semua sudah tahu kalau kamu sudah menikah.”
“Itu dia masalahnya, aku dan Louis sudah tidak bersama meski belum resmi bercerai, tapi mereka tahunya aku dan Louis baru beberapa bulan menikah. Haruskah aku berpura-pura di depan mereka semua? Itu tidak mungkin, jadi sepertinya lebih baik aku tidak ikut yudisium ataupun wisuda.”
Tania dan Tamara melenguh nafas berat.
“Hubungan kamu dan Louis boleh berakhir, tapi tidak dengan masa depanmu. Come on Jen!”
Jeni memandang haru kedua sahabatnya yang selama ini ada untuknya, hatinya terenyuh dan ia mengangguk setuju.
“Ada kami bersamamu Jen, jadi jangan pedulikan siapapun itu! Fokus dengan masa depanmu agar bisa memberikan kehidupan yang baik untuk Aluna.” Timpal Tamara.
Jeni berkali-kali menganggu
Kira-kira maminya Louis mau pergi kemana ya?
PlakJeni tercengang begitu membuka pintu apartemennya dan langsung mendapat tamparan keras dari mamanya Louis. Rasanya sangat sakit hingga pipi Jeni memerah, Jeni pun memegangi pipinya dan mendesis geram.“Apa Nyonya Saloka sudah kehilangan sopan santun?” sindirnya.“Aku tidak peduli, orang sepertimu memang pantas mendapatkannya.” Ujarnya penuh kebencian.Steven yang sore itu ada di apartemen Jeni pun langsung maju menghampiri mereka berdua setelah mendengar keributan.“Apa yang Tante lakukan? Bukannya datang baik-baik dan menengok cucu, tapi Tante justru membuat keributan.”“Seharusnya Tante yang bertanya padamu, kenapa kamu ada di apartemennya? ada hubungan apa kamu dengan perempuan ini?”Steven seolah terkena skakmat, selama ini tidak ada yang tahu kalau ia diam-diam memiliki peasaan terhadap Jeni hingga ia yang membantu Jeni selama ini. Mereka hanya tahu bahwa Steven mengenal Jeni h
Hati Jeni bergemuruh ketika menyadari semua itu, hingga ia menitihkan air mata yang mungkin bisa disebut kebahagiaan sementara.“Kenapa melamun? Ayo dimakan dong, itu makanan kesukaanmu dulu, hanya saja tidak pedas karena aku tahu kamu menyusui Aluna.”Jeni tersentak ke dunia nyata dan ia hanya memaksakan tersenyum dan menyambar makanan yang dibawa oleh Louis, dan karena ia sangat lapar Jeni langsung menghabiskannya tanpa memikirkan apapun lagi, apalagi itu makanan kesukaannya.Begitu Jeni selesai makan, bel pintu kembali berbunyi. Entah kenapa Jeni jadi merasa deg-degan dan pikirannya langsung terbersit sosok Steven.Benar saja, Steven lah yang datang dan ia membawa makan malam untuk Jeni.“Jen, kamu belum makan kan? Aku bawakan makanan kesukaan kamu.” Ujarnya dengan senyum manis di wajahnya.Jeni memaksakan senyum dan ia menerima makanan dari Steven dengan canggung, ia tidak bisa menolaknya meski perutnya kali ini s
Steven ikut tertawa mendengarnya seraya berkata, “Tidak masalah, hanya butuh waktu saja untuk menjadi kenyataan.”Jeni tersenyum dan ia tak menanggapi apapun lagi, ia membiarkan Steven pergi ke kamar mandi agar bisa sarapan bersama secepatnya.“Kalau Aluna tidur, kamu bisa menidurkannya dulu di tempat tidurku,” seru Steven begitu ia keluar dari kamar mandi.Jeni mengangguk dan ia menuruti perintah Steven, menidurkan Aluna ke tempat tidur dan setelahnya ia menyiapkan piring dan lainnya untuk sarapan bersama.“By the way, aku sudah menyiapkan pengacara untukmu. Dua minggu lagi kan?”Jeni mengangguk mengiyakannya.“Kamu sudah siap dengan semuanya?”“Maksudnya?”“Emm, kamu tidak akan menyesal kan berpisah dari Louis?”Jeni menggeleng dengan tegas, “Aku dan Louis sudah membicarakannya kemarin dan memang kita lebih baik bercerai karena sampai detik i
Satu tahun kemudian.Jeni dan Louis sudah resmi bercerai, namun hubungan keduanya justru semakin membaik, hal itu membuat Renata tidak senang, ia takut Louis akan jatuh cinta lagi pada Jeni dan kembali menikah demi putri mereka, apalagi Louis sangat sering mengunjungi apartemen Jeni hanya untuk menemui Aluna, maka malam ini Renata memutar otak untuk menghentikan itu semua.Renata yang saat ini sedang duduk di sofa kamar apartemennya, tampak kesal menunggu panggilan Louis yang tak kunjung diangkatnya.“Sialan, Louis pasti sedang di apartemen Jeni,” tuduh Renata murka.Ia membanting ponselnya ke tempat tidur dan ia meraup wajahnya frustasi, namun pada saat itu ponselnya berdering, Renata segera kembali menyambarnya dan ekspresinya berubah senang begitu tahu Louis yang menghubunginya.“Halo Sayang, ada apa?” terdengar suara Louis yang maskulin dan penuh kasih sayang.“Aku tunggu di apartemenku sekarang, ada yang pe
***Sebelum berangkat ke kantor, Louis tampak menyempatkan datang ke Victory Apartemen untuk bertemu putrinya, meski semalam Renata sudah melarangnya, namun Louis tidak bisa fokus kerja kalau sehari saja ia tidak bertemu Aluna. Louis belakangan ini tiba-tiba sangat mencintai putrinya karena hal itu juga sangat berimbas pada pekerjaannya.Ya, kebaikan Louis pada Jeni selama ini dipantau oleh Aditya Saloka, jadi ia berhenti menghukum Louis dengan kejam, jabatan Louis naik meski tidak menjadi direktur utama.Saat ini Louis sedang sibuk memencet bel pintu apartemen Jeni berkali-kali, namun tidak seperti biasa Jeni langsung membukakan untuknya.“Apa dia tidak ada di apartemennya? Tapi kemana dia pagi-pagi seperti ini?” batinnya.Louis merogoh ponsel yang ada di dalam saku jasnya dan ia menghubungi Jeni, namun Jeni juga tak kunjung menerima panggilannya.Hingga satu menit kemudian muncul pesan dari Jeni.[Aku pergi ke Lond
“Tentu saja dia pasti akan bahagia, lebih bahagia daripada ketika bersamamu.”Sindiran Steven membuat telinga Louis semakin panas, maka ia mematikan sambungan telepon tanpa permisi, ia melenguh nafas berat dan menyesali semua yang telah terjadi padanya dan Jeni.***“Siapa yang menghubungimu Stev?” tanya Jeni yang baru saja keluar dari kamar mandi.“Louis, dia menanyakan Aluna.”Jeni tidak terlalu terkejut, ia sudah terbiasa dengan sikap posesive Louis akhir-akhir ini kepada putrinya.“Lalu kamu bilang apa?”“Aku bilang saja dia tidur, memang kenyataannya seperti itu kan?”Jeni hanya mengangguk dan melanjutkan mengeringkan rambutnya, lalu duduk di tepi tempat tidur, dan Steven ikut duduk di samping Jeni.“Aku tidak sabar memilikimu Jen.”Jeni yang sudah selesai mengeringkan rambutnya pun membalas genggaman tangan Steven.“Aku juga
Louis mengangguk dan ia memaksakan senyuman pada ayahnya.“Kamu menyesal?”“Sedikit menyesal karena Aluna, Pi.”Aditya Saloka menarik sudut bibirnya membentuk senyuman mengejek.“Semua sudah berjalan sesuai keinginan kamu Louis, jadi Papi rasa tidak ada yang perlu disesali.”Louis mengatupkan bibirnya dan ia mengangguk, ia pun memilih untuk mengganti topik pembicaraan.“By the way Papi ada perlu apa? Apa ada pekerjaan yang harus aku bantu?”“Ya, temani Papi bertemu clien penting nanti sore.”Louis terlihat mengangguk-angguk dan ia menyetujuinya, “Baik Pi, dimana?”“Panorama Resto, nanti kita berangkat bersama.”“Baik Pi.”“Ya, Papi permisi dan lanjutkan pekerjaanmu.”Louis kembali mengangguk dan membiarkan papinya keluar dari ruangannya, sementara ia masih tertegun dan terngiang perkataan papin
Waktu berlalu begitu cepat, Jeni dan Steven sudah tiba di Jakarta, mereka datang ke Victory hotel untuk cek seberapa jauh persiapan yang sudah dilakukan EO untuk pertunangan mereka, namun pada saat itu Felix datang dan menyerahkan undangan untuk mereka berdua.“Maaf Pak Steven, ini ada undangan untuk kalian berdua dari Pak Louis.”Steven menerima dua undangan yang diberikan Felix dan kemudian menyerahkan satu undangan tersebut pada Jeni.Jeni pun menerima undangan tersebut dengan hati yang berdesir, ada sedikit kecemburuan ketika melihat undangan yang tercetak dengan sangat sempurna dan elegan, Jeni jadi membayangkan ketika dirinya yang menikah dengan Louis, tidak ada undangan sebagus ini dan resepsi, semuanya serba mendadak dan penuh luka karena ia sampai detik ini masih saja menjadi musuh Monica, mantan ibu mertuanya.Jeni menghela nafas kasar mencoba mengusir kecemburuannya.“Kamu kenapa Jen?”“Tidak, undanga