Sebuah awal kehidupan baru yang baru dimulai Alesya sebagai nyonya di keluarga Alensky. Di atas ranjang berukuran king size ia menatap langit-langit ruangan dengan sorot nanar. Alesya menggerakkan tubuhnya ke samping, memeluk guling di sisi tubuhnya dengan erat.
Begitu erat sampai matanya terpejam kuat, beberapa tetes air bening menguar seiring dengan isak tangis yang kian terdengar. Dada Alesya sesak, hatinya berantakan."Alesya, kau kurang ajar!" kilas suara Zen mulai bolak-balik memenuhi gendang telinganya. Alesya serasa terus diserang dengan nada geram yang Zen ucapkan padanya sewaktu pria itu melihat dirinya masuk ke rumah megah tempat dimana keluarga Alensky tinggal.Alesya lelah, ia ingin kali ini saja ia benar-benar bisa menikmati pelayanan di rumah istana ini. Tubuh jenjangnya terbalut dress bermodel kaftan berwarna merah jambu. Rambutnya masih terurai berantakan, Alesya kemudian menghela napas cukup panjang.Wanita itu bangkit dan terduduk. Ia bersyukur karena semalam bisa terbebas dari Frengky. Awalnya, Frengky menarik tubuhnya ke kamar utama, namun saat akan melakukan hubungan, seseorang meneleponnya dan mengabarkan ada masalah yang terjadi di kantor.Alesya membasuh wajahnya dengan air di wastafel, ia memandang bayangan wajahnya disana. Tidak berubah banyak, Alesya masih terlihat cantik meski tanpa make up yang melapisi wajahnya."Aku tidak tahu, seberapa banyak perusahaan yang dimiliki oleh Tuan Frengky. Tapi, aku senang karena aku selalu punya celah untuk menghindari tua bangka bau ketiak itu!" monolog Alesya di depan cermin.Alesya membalikkan tubuhnya. Tangannya terlipat di depan dada, tiba-tiba ia kembali mengingat Zen lagi."Zen, dimana dia" gumamnya. Mereka sudah serumah, Frengky benar-benar mengabulkan permintaan dirinya. Sepertinya, Alesya harus sesekali berterima kasih pada laki-laki berusia 50an itu, dia cukup pengertian."Selamat pagi, Nona kupu-kupu!"Zen datang membawa sebilah nampan dengan satu piring berisi hidangan roti dan segelas susu putih. Ia berdiri dengan mimik datar serta tatapan manik tajamnya menatap Alesya kesal namun ia tahan."Nona kupu-kupu?" ulang Alesya yang baru ia mengerti maknanya. Oh, baiklah, Alesya tak terlalu bermasalah dengan panggilan itu. Terdengar manis di telinganya."Kau bisa menyimpannya di atas nakas, Zen" titah Alesya yang justru membuat Zen mematung. Percayalah, saat ini Zen tengah berusaha menahan emosi yang membuncah di dadanya.Zen dengan gerakan kaku menaruh nampan itu di atas nakas sesuai dengan perintah nona kupu-kupu yang ia sebut.Zen kemudian kembali menatap Alesya. Bibirnya bergerak muak melihat wanita itu. "Dengar, nikmati waktumu yang tidak lama ini. Ingat posisimu hanya sebagai wanita yang dibayar oleh ayahku. Kau tak akan bisa memiliki apa-apa setelah ini" pesan Zen sarkastik.Alesya menelan ludahnya, ia hanya menatap datar kepergian Zen dari kamar tidurnya. Sampai, pria itu menutup pintu dengan suara yang membuat Alesya berjengit.Brak!Alesya mengambil duduk di tepi ranjang. Ia memejamkan matanya cukup lama, menghilangkan rasa sesak yang bergumul di kepalanya. "Tenang Lesya.." ucapnya mengangkat tangan setengah tubuh seolah menekan udara di depannya.Alesya sudah membersihkan diri, ia pun sedikit merias wajahnya agar tidak terlalu pucat. Perempuan itu sudah berada di lantai dasar, matanya melihat ke arah Zen yang sepertinya terlihat akan pergi lantaran tas ransel yang menyampir di salah satu bahunya."Kamu mau kemana, Zen?" tanyanya tiba-tiba saja tercetus saat pria itu tengah membuka lemari pendingin dan mengambil sebuah minuman isotonik lalu meminumnya.Zen menghentikan aktivitasnya lalu memicing melirik Alesya. Dengan setelan halter top disambung kulot senada Alesya tampil modis nan seksi. Zen tidak menampik kalau perempuan itu memang cantik, sangat cantik."Kemanapun saya, bukan urusan kamu nona Kupu-kupu!" sarkasnya membuat Alesya menghela napas pelan. Kata-kata Zen selalu saja menohok, tidak bisakah berbicara lebih pelan padanya. Paling tidak, Zen saat ini adalah pelayan untuk dirinya, kenapa jadi Zen yang berperilaku seenaknya pada Alesya."Baiklah, tapi aku harus menjawab apa kalau Ayahmu datang dan bertanya," kilah Alesya."Dia tidak akan datang, dia orang sibuk!" balas Zen ketus."Bagaimana kalau menelepon?""Kau tidak seistimewa itu untuk ayahku kabari. Dia hanya perduli pada uangnya, yang ayahku gunakan untuk membelimu. Dia hanya perlu harga dirimu, dan sedikit belaian tubuhmu. Bukan keberadaan apalagi hatimu, nona kupu-kupu malang." Zen tertawa kecut, menyayangkan nilai perempuan di hadapannya yang hanya senilai beberapa dolar."Aku tidak perduli, aku hanya ingin kemewahan dan kebebasan saja. Asal kau tahu Zen, aku bahkan sudah tidak perduli dengan nilai harga diriku sendiri!" Alesya membalas dengan tak kalah sengit, ia menghambur menaiki tangga seiring dengan mulut Zen yang tak berhenti tertawa setelah mendengar penuturan sang Nyonya Alensky yang baru itu."Oh, God. Aku tak percaya ada wanita serendah ini" katanya berkelakar.Alesya menutup telinganya. Ia mempercepat langkahnya menaiki tangga yang entah mengapa terasa semakin berat saat perkataan Zen menggema di rumah itu."Zen, andai kau tahu perasaanku.."BRAKK!Alesya menutup pintu kamarnya kencang. Sedangkan, setelah itu Zen terdiam dan merasa begitu kacau.Frengky menyambar sabuknya, lalu pria itu pecutkan dengan tak berperasaan pada paha mulus Alesya. CUT!"AAA"CUTT!"AAAAA Tolong jangan sakiti aku... Hiks!" Semakin kencang pecutan yang diberikan Frengky padanya, membuat jeritan Alesya semakin kencang pula. Sampai ia berada di titik amat sakit namun ia letih untuk berteriak meminta ampunan pada Frengky yang terus menyiksanya. "Aku telah membelimu jutaan dollar, rasanya aneh kalau tidak berkesan untukmu, sayangku!" kata Frengky berujar gila. Berkesan apanya, menyakitkan iya. Frengky memang sudah gila, rutuk Alesya sepanjang malam padanya. Awalnya, Alesya diseret ke atas ranjang lantaran ia selalu mengelak saat Frengky mengajaknya untuk berhubungan. Frengky tidak terima karena ia sudah menggelontorkan banyak dana untuk membeli perempuan itu tapi justru ia mengecewakannya."Enak saja, Mami mu itu sudah kenyang dengan uangku. Masa aku tidak terpuaskan oleh peliharaannya" pria itu tergelak karena ucapannya sendiri. Apakah ia menganggap
Ruang cukup besar dipenuhi para penikmat dunia yang sedang berjoget penuh gairah diiringi dentuman musik DJ menjadi fenomena zaman. Lekuk tubuh para wanita seksi disana membuat air liur para pria bercucuran. Bau alkohol yang menyeruak di sepanjang indera penciuman sudah seperti bau surga. Satu diantara para penikmat dunia fana itu adalah Christine Alesya. Perempuan muda bertubuh tinggi semampai dengan lekuk tubuh sempurna. Matanya yang selalu menarik perhatian. Sedikit sayu dengan eye shadow berwarna dark yang menarik perhatian siapa saja yang meliriknya.Wajah Alesya benar-benar cantik. Hidung mancung nan mata lentiknya akan membuat siapapun yang melihatnya terpesona. "Dia anakku. Kau bisa pakai dia semalam dengan harga terjangkau" Seorang wanita berpenampilan seksi bermake up tebal disertai ciri khas yang memakai lipstik merah cabai sedang berbincang dengan seorang pria berkepala plontos yang terus memperhatikan Alesya berdansa. "Berapa yang kau minta?" Ujar pria itu menatap Gra
Karena permintaan Alesya, Zen terpaksa membawa wanita itu keluar. Awalnya Zen menolak. Pertama, ia sama sekali tidak mengenal Alesya. Kedua, ia tidak ingin dikira telah menyewa perempuan itu. Enak saja, dirinya adalah pria terpelajar, mana mungkin ia bermain-main dengan wanita malam di club ini.Alesya tidak lagi memakai lingerie, melainkan helaian kain dress yang masih tidak cukup membalut tubuh mulus nan jenjangnya. Panjang dres hitam itu bahkan tidak sampai menutupi lutut, hanya sebatas paha mulus wanita itu. Karena risih, Zen melepas jaketnya kemudian membalurkannya pada tubuh wanita itu. "Tubuhmu itu sangatlah indah, cobalah untuk menjaganya dari kucing-kucing liar disini" Pungkas Zen tanpa menatap ke arah Alesya. Wanita itu mendengarkan dengan sedikit malas, ia menarik helaian rambut yang jatuh ke wajahnya dengan jari jemarinya ke belakang telinga. Alesya berhutang budi pada Zen, karena pria itu telah menyelamatkannya dari pria tua yang haus dengan birahinya. Padahal, pria y
Zen menekan rem mobilnya. Ia menghentikan kuda besi mewah miliknya saat wanita disampingnya ini tak kunjung mengatakan letak kediamannya.Zen menatap tajam pada Alesya yang masih menatap lurus ke depan. Wanita dengan rambut cokelat lembutnya itu membalas tatapan Zen. "Kenapa berhenti?" tanya Alesya dengan nada pelan. "Mau sampai kapan aku membawa mobilku? Dimana rumahmu sebenarnya?" balas Zen. Sejak tadi ia bertanya perihal rumah tempat Alesya tinggal, namun wanita itu selalu berkata, "jalan saja, nanti juga kau akan tahu".Alesya tertawa pelan, ia lantas menjawab. "Aku tidak memiliki rumah" ucap wanita itu dengan sorot datar. Percayalah, saat ini pikiran dan perasaan Zen mulai banyak berspekulasi kacau. Rentetan pemikiran mulai mengganggu konsentrasinya. Jangan-jangan, wanita ini bukan manusia, pikir Zen. Zen bergidik ia lantas mengusir Alesya dari mobilnya. "Keluar kau! Keluar sekarang juga!" usir Zen dengan rasa takut yang mulai menggerayanginya. Berbeda dengan Zen, Alesya justr
Matahari menyingsing menembus jendela yang terbalut kain gorden putih tipis pada sebuah bangunan kecil terpencil yang jauh dari pemukiman itu. Alesya membuka matanya kemudian dengan cepat menutup dengan lengannya. "Ish, kenapa terik sekali" keluhnya. Hari itu memang langit lumayan terik, matahari meninggi semakin lama semakin panas. Alesya bergerak menyenderkan tubuhnya yang sudah kepalang pegal di tembok yang sudah rapuh tersebut. Alesya mulai mencerna yang terjadi padanya. Namun, kepalanya masing terasa kunang-kunang sehingga harus membuatnya memijit pelipis yang terasa cenat-cenut.Saat sudah lebih mendapatkan ingatannya, Alesya lantas menengok ke segala sisi. Alih-alih menemukan seseorang, ia justru hanya mendapatkan sebuah syal kecil berwarna hijau di sebelahnya."Aku bisa ingat, semalam itu Zen, 'kan?" gumam Alesya mempertanyakan ingatannya sendiri. Telunjuknya mengetuk-ngetuk dagunya memperkirakan.Ingatan Alesya perlahan kembali berangsur-angsur. Zen sebelumnya telah mengusir
Alesya menghambur diantara para penikmat dunia yang tengah sibuk berdansa dengan pasangan masing-masing. Alesya bergoyang erotis setelah menghabiskan satu gelas penuh Vodka disana. Malam ini, ia ingin menghabiskan malamnya dengan kesenangan saja. Sebelum keberadaannya benar-benar enyah dari tempat itu."Uuh.. menggiurkan sekali wanita ini" tutur seorang pria yang disambut riuhan orang-orang disana. Alesya tak perduli dengan desas-desus yang berkata iri pada tubuh indahnya. Ia juga masa bodoh dengan makian para wanita disana yang membuat para lelaki mereka beralih pandang padanya. "Dasar wanita kotor. Berhenti bergoyang seperti itu, aku tidak akan membiarkan pelangganku pergi lagi" ketus mereka yang terdengar sangat membenci Alesya. Padahal, Alesya hanya memutar pinggulnya sedikit. Namun, tak dipungkiri tubuh seksi nan wangi membuat indera siapapun terasa ingin memiliki Alesya.Alesya tertawa pelan, "kau pikir kau bukan wanita kotor, teman? Kau pun sama menjijikkannya dari aku, dasar
Frengky menyambar sabuknya, lalu pria itu pecutkan dengan tak berperasaan pada paha mulus Alesya. CUT!"AAA"CUTT!"AAAAA Tolong jangan sakiti aku... Hiks!" Semakin kencang pecutan yang diberikan Frengky padanya, membuat jeritan Alesya semakin kencang pula. Sampai ia berada di titik amat sakit namun ia letih untuk berteriak meminta ampunan pada Frengky yang terus menyiksanya. "Aku telah membelimu jutaan dollar, rasanya aneh kalau tidak berkesan untukmu, sayangku!" kata Frengky berujar gila. Berkesan apanya, menyakitkan iya. Frengky memang sudah gila, rutuk Alesya sepanjang malam padanya. Awalnya, Alesya diseret ke atas ranjang lantaran ia selalu mengelak saat Frengky mengajaknya untuk berhubungan. Frengky tidak terima karena ia sudah menggelontorkan banyak dana untuk membeli perempuan itu tapi justru ia mengecewakannya."Enak saja, Mami mu itu sudah kenyang dengan uangku. Masa aku tidak terpuaskan oleh peliharaannya" pria itu tergelak karena ucapannya sendiri. Apakah ia menganggap
Sebuah awal kehidupan baru yang baru dimulai Alesya sebagai nyonya di keluarga Alensky. Di atas ranjang berukuran king size ia menatap langit-langit ruangan dengan sorot nanar. Alesya menggerakkan tubuhnya ke samping, memeluk guling di sisi tubuhnya dengan erat. Begitu erat sampai matanya terpejam kuat, beberapa tetes air bening menguar seiring dengan isak tangis yang kian terdengar. Dada Alesya sesak, hatinya berantakan."Alesya, kau kurang ajar!" kilas suara Zen mulai bolak-balik memenuhi gendang telinganya. Alesya serasa terus diserang dengan nada geram yang Zen ucapkan padanya sewaktu pria itu melihat dirinya masuk ke rumah megah tempat dimana keluarga Alensky tinggal.Alesya lelah, ia ingin kali ini saja ia benar-benar bisa menikmati pelayanan di rumah istana ini. Tubuh jenjangnya terbalut dress bermodel kaftan berwarna merah jambu. Rambutnya masih terurai berantakan, Alesya kemudian menghela napas cukup panjang.Wanita itu bangkit dan terduduk. Ia bersyukur karena semalam bisa
Alesya menghambur diantara para penikmat dunia yang tengah sibuk berdansa dengan pasangan masing-masing. Alesya bergoyang erotis setelah menghabiskan satu gelas penuh Vodka disana. Malam ini, ia ingin menghabiskan malamnya dengan kesenangan saja. Sebelum keberadaannya benar-benar enyah dari tempat itu."Uuh.. menggiurkan sekali wanita ini" tutur seorang pria yang disambut riuhan orang-orang disana. Alesya tak perduli dengan desas-desus yang berkata iri pada tubuh indahnya. Ia juga masa bodoh dengan makian para wanita disana yang membuat para lelaki mereka beralih pandang padanya. "Dasar wanita kotor. Berhenti bergoyang seperti itu, aku tidak akan membiarkan pelangganku pergi lagi" ketus mereka yang terdengar sangat membenci Alesya. Padahal, Alesya hanya memutar pinggulnya sedikit. Namun, tak dipungkiri tubuh seksi nan wangi membuat indera siapapun terasa ingin memiliki Alesya.Alesya tertawa pelan, "kau pikir kau bukan wanita kotor, teman? Kau pun sama menjijikkannya dari aku, dasar
Matahari menyingsing menembus jendela yang terbalut kain gorden putih tipis pada sebuah bangunan kecil terpencil yang jauh dari pemukiman itu. Alesya membuka matanya kemudian dengan cepat menutup dengan lengannya. "Ish, kenapa terik sekali" keluhnya. Hari itu memang langit lumayan terik, matahari meninggi semakin lama semakin panas. Alesya bergerak menyenderkan tubuhnya yang sudah kepalang pegal di tembok yang sudah rapuh tersebut. Alesya mulai mencerna yang terjadi padanya. Namun, kepalanya masing terasa kunang-kunang sehingga harus membuatnya memijit pelipis yang terasa cenat-cenut.Saat sudah lebih mendapatkan ingatannya, Alesya lantas menengok ke segala sisi. Alih-alih menemukan seseorang, ia justru hanya mendapatkan sebuah syal kecil berwarna hijau di sebelahnya."Aku bisa ingat, semalam itu Zen, 'kan?" gumam Alesya mempertanyakan ingatannya sendiri. Telunjuknya mengetuk-ngetuk dagunya memperkirakan.Ingatan Alesya perlahan kembali berangsur-angsur. Zen sebelumnya telah mengusir
Zen menekan rem mobilnya. Ia menghentikan kuda besi mewah miliknya saat wanita disampingnya ini tak kunjung mengatakan letak kediamannya.Zen menatap tajam pada Alesya yang masih menatap lurus ke depan. Wanita dengan rambut cokelat lembutnya itu membalas tatapan Zen. "Kenapa berhenti?" tanya Alesya dengan nada pelan. "Mau sampai kapan aku membawa mobilku? Dimana rumahmu sebenarnya?" balas Zen. Sejak tadi ia bertanya perihal rumah tempat Alesya tinggal, namun wanita itu selalu berkata, "jalan saja, nanti juga kau akan tahu".Alesya tertawa pelan, ia lantas menjawab. "Aku tidak memiliki rumah" ucap wanita itu dengan sorot datar. Percayalah, saat ini pikiran dan perasaan Zen mulai banyak berspekulasi kacau. Rentetan pemikiran mulai mengganggu konsentrasinya. Jangan-jangan, wanita ini bukan manusia, pikir Zen. Zen bergidik ia lantas mengusir Alesya dari mobilnya. "Keluar kau! Keluar sekarang juga!" usir Zen dengan rasa takut yang mulai menggerayanginya. Berbeda dengan Zen, Alesya justr
Karena permintaan Alesya, Zen terpaksa membawa wanita itu keluar. Awalnya Zen menolak. Pertama, ia sama sekali tidak mengenal Alesya. Kedua, ia tidak ingin dikira telah menyewa perempuan itu. Enak saja, dirinya adalah pria terpelajar, mana mungkin ia bermain-main dengan wanita malam di club ini.Alesya tidak lagi memakai lingerie, melainkan helaian kain dress yang masih tidak cukup membalut tubuh mulus nan jenjangnya. Panjang dres hitam itu bahkan tidak sampai menutupi lutut, hanya sebatas paha mulus wanita itu. Karena risih, Zen melepas jaketnya kemudian membalurkannya pada tubuh wanita itu. "Tubuhmu itu sangatlah indah, cobalah untuk menjaganya dari kucing-kucing liar disini" Pungkas Zen tanpa menatap ke arah Alesya. Wanita itu mendengarkan dengan sedikit malas, ia menarik helaian rambut yang jatuh ke wajahnya dengan jari jemarinya ke belakang telinga. Alesya berhutang budi pada Zen, karena pria itu telah menyelamatkannya dari pria tua yang haus dengan birahinya. Padahal, pria y
Ruang cukup besar dipenuhi para penikmat dunia yang sedang berjoget penuh gairah diiringi dentuman musik DJ menjadi fenomena zaman. Lekuk tubuh para wanita seksi disana membuat air liur para pria bercucuran. Bau alkohol yang menyeruak di sepanjang indera penciuman sudah seperti bau surga. Satu diantara para penikmat dunia fana itu adalah Christine Alesya. Perempuan muda bertubuh tinggi semampai dengan lekuk tubuh sempurna. Matanya yang selalu menarik perhatian. Sedikit sayu dengan eye shadow berwarna dark yang menarik perhatian siapa saja yang meliriknya.Wajah Alesya benar-benar cantik. Hidung mancung nan mata lentiknya akan membuat siapapun yang melihatnya terpesona. "Dia anakku. Kau bisa pakai dia semalam dengan harga terjangkau" Seorang wanita berpenampilan seksi bermake up tebal disertai ciri khas yang memakai lipstik merah cabai sedang berbincang dengan seorang pria berkepala plontos yang terus memperhatikan Alesya berdansa. "Berapa yang kau minta?" Ujar pria itu menatap Gra