Sebuah mansion mewah yang bertempat di Boston, Amerika Serikat. Sebuah hunian yang memiliki halaman luas dengan pintu gerbang hitam yang kokoh dan cet tembok warna putih mendominasi rumah tersebut.
Terlihat di ruang tengah, seorang lelaki tua sedang menghisap cerutu ditemani lelaki berumur 40 tahunan menikmati hangatnya perapian di tengah musim dingin yang menyelimuti Amerika pada hari itu di mana natal akan segera tiba.
“Grand Pa!” panggil seorang anak lelaki berumur 17 tahun yang terlihat ceria sembari memakai topi Santa Claus.
“Oh hallo, Axton. Wow kau terlihat keren sekali. Mau kemana?” tanya Kakek itu dengan senyum merekah.
“Kencan,” jawabnya santai.
Sontak dua pria dewasa itu tertegun akan ucapan Axton barusan. Axton sudah terlihat rapi dengan setelan ekslusif miliknya yang pernah dipakai ketika acara ulang tahun pernikahan ayah ibunya kala itu.
“Di luar salju sedang lebat, banyak tempat bermain yang tutup,” sahut lelaki berumur 40 tahunan.
“Aku hanya berkunjung ke rumah Serena dan mungkin akan menginap di sana semalam. Tak usah menungguku, esok aku baru pulang. Itu juga kalau aku bisa bangun pagi, hehe,” jawabnya santai sembari merapatkan jasnya.
Dua lelaki dewasa itu saling melirik terlihat shock akan ucapan pemuda 17 tahun tersebut.
Lelaki berumur 40 tahunan itupun segera beranjak dari dudukkannya dan menarik kerah jas Axton saat ia sudah melangkah menuju pintu.
“Ah! Ayah! Apa yang kau lakukan? Kau membuat bajuku kusut!” teriaknya berusaha melepaskan cengkraman sang Ayah di kerah belakang jasnya.
Kakek Axton hanya menghala nafas panjang sembari memadamkan bara api di cerutunya. Ia kini menikmati secangkir teh hangat yang disajikan di atas meja depan ia duduk.
KLEK!
“Kenapa ditutup pintunya? Aku nanti terlambat!” pekiknya lantang terlihat kesal karena ia dibawa kembali ke kamar.
“Kemarin Jessika, sekarang Serena, besok siapa lagi? Apa kau berkencan dengan semua gadis-gadis itu?” tanya Tuan Monroe Leighton Giamoco.
“Memang kenapa? Ayah juga memiliki banyak wanita, kenapa aku tidak?”
PLAK!!
Axton tertegun saat Ayahnya tiba-tiba menamparnya kuat. Wajah Axton sampai berpaling dan pipinya merah terkena tamparan kuat sang Ayah.
Tuan Leighton menatap Axton tajam dengan nafas menderu. Axton terlihat untuk tetap tenang dan tak menangis, bahkan masih sigap membenarkan jasnya yang berantakan.
“Sekali lagi kau menamparku, aku akan pergi dari rumah ini dan tak akan kembali,” sahutnya dengan suara bergetar seperti akan menangis.
“Kau melangkah keluar dari rumah ini, kau bukan anakku lagi,” jawab Tuan Leighton tajam menunjuk wajah anaknya.
Nafas Axton menderu. Ia mendorong Ayahnya kuat dan mengusirnya keluar dari kamar.
Tuan Leighton diam saja saat Axton meneteskan air mata ketika menutup pintunya setelah ia sudah berhasil diusir keluar dari kamar.
“Kau jahat! Kau Ayah paling egois di seluruh dunia! Kau jahat!” teriak Axton lantang dari balik pintu menyumpahi Ayahnya.
Tuan Leighton menarik nafas dalam dan terlihat ia seperti tertegun akan ucapan anaknya barusan. Terdengar Axton mengumpat berulang kali di dalam kamarnya.
Tuan Leighton diam saja mendengar anaknya mengamuk seperti memecahkan beberapa barang untuk meluapkan amarahnya.
Lama Tuan Leighton berdiri di depan pintu kamar anaknya hingga suara teriakan dan makian tak terdengar lagi. Perlahan, Tuan Leighton membuka pintu kamar Axton dan terlihatlah pemandangan buruk di sana.
Axton meringkuk di bawah kolong tempat tidurnya. Terlihat sepatu fantovel yang dipakainya. Tuan Leighton berjongkok di samping kaki anaknya dan terdengar isak tangis anak semata wayangnya itu.
SRETTT!!
“Agh! Pergi! Mau apa kau? Pergi!” teriak Axton saat kakinya ditarik Sang Ayah hingga ia keluar dari kolong tempat tidur.
Tuan Leighton diam saja saat Axton memukuli lengannya dengan sangat kuat. Axton masih meluapkan amarahnya kepada sang Ayah dengan air mata menetes dan wajah merah padam.
Tuan Leighton menatap wajah Axton seksama yang terlihat seperti begitu membencinya. Hingga akhirnya Axton berhenti memukuli Ayahnya dan terlihat lelah.
“Kau jahat, hiks … pergi … aku tak mau melihatmu lagi. Kau jahat,” ucap Axton sembari menjauh dari Ayahnya.
Namun, lagi-lagi Tuan Leighton menarik kaki Axton saat anaknya itu merangkak di atas lantai ingin kembali ke kolong tempat tidur.
“Menyebalkan! Apa yang kau lakukan?!” teriaknya menendang Ayahnya mencoba melepaskan cengkramannya.
Namun, tubuh Tuan Leighton yang begitu besar dan tinggi tak bisa dilawan Axton. Tuan Leighton malah mengangkat kedua kaki Axton hingga kepala anaknya itu terbalik hampir menyentuh lantai.
“Ayah! Ayah! Turunkan aku!” teriak Axton semakin menjerit dengan topi Santa Claus sudah terlepas dari kepalanya.
Tuan Leighton tak peduli dan malah mendekap kedua kaki anaknya kuat menuju jendela. Axton panic saat Ayahnya mengikat kedua kakinya dengan sebuah ikat pinggang yang dililitkan di dua pergelangan kakinya.
Axton merasakan tubuhnya diangkat ke atas dengan kepala masih berada di bawah. Ia memegangi bingkai jendela saat dirinya digantung terbalik oleh Ayahnya di jendela.
Axton meraung-raung minta agar dilepaskan, tapi Tuan Leighton malah menarik sebuah kursi dan duduk merapat ke dinding menjauh dari jendela.
Nafas Axton terengah dan kepalanya pusing karena ia merasa darahnya menumpuk di kepalanya. Ia melihat Ayahnya duduk dengan santai sembari menyalakan cerutu dan menghisapnya.
CEKLEK! WUSSS!
“Ayah! Dingin! Kenapa kau buka jendelanya?” pekik Axton yang merasa dirinya seperti tak terbalut pakaian karena udara dingin menembus kulitnya.
“Mungkin udara dingin bisa menjernihkan pikiranmu,” ucap Tuan Leighton lirih sembari menghembuskan asap rokok dari bibirnya.
“Kau sinting,” hina Axton.
“No, kau yang sinting. Lihatlah sekelilingmu, Axton. Kau menghancurkan kamarmu dan membuang barang-barang yang sudah kuberikan padamu seakan semua … tak ada artinya,” ucap Tuan Leighton pelan.
“Hah, kau kaya. Kau bisa mengganti barang-barang yang rusak itu dengan uangmu. Jangan sok miskin,” gerutu Axton.
“Jadi … kau berpikir jika aku juga bisa digantikan seperti barang-barangmu itu? Hem?”
Axton tertegun mendengar ucapan Ayahnya barusan. Axton melihat seluruh isi kamarnya yang berserakan seperti diterjang angin tornado.
Hanya ranjangnya saja yang masih utuh lengkap dengan selimut, bantal dan guling tersusun rapi di atasnya.
“Jawabanmu melenceng jauh,” dalih Axton memalingkan wajah.
“Tidak, kau yang selalu menyangkal Axton. Ayah tahu kau sangat merindukan ibumu, sama sepertiku. Aku juga sangat mencintainya dan merindukannya,” ucapnya terlihat sedih.
“Oh, benarkah? Wajah dan suaramu mungkin memang menyedihkan. Sayangnya, kenyataan yang kulihat tak seperti itu,” sahut Axton mendesis.
“Berapa banyak wanita yang kau lihat bersamaku?” tanya Tuan Leighton melirik anaknya yang kini menatapnya tajam.
“Sepuluh,” jawabnya penuh penekanan.
“Apakah ada dari kesepuluh wanita itu yang menjadi isteriku? Adakah aku bilang jika aku mencitainya? Hem?” tanya Tuan Leighton menatap Axton dengan cerutu dalam apitan jemarinya.
Axton menggeleng pelan.
“Susah payah aku mencari pengganti seperti ibumu, Axton. Wanita yang tak pernah mengeluh akan segala keegoisanku. Kau tahu aku seperti apa. Lelaki brengsek yang menyebalkan bahkan aku tahu, kau tak pernah mengakuiku sebagai Ayahmu di luar sana. Kau hanya mengakui kakekmu saja. Aku tahu yang kau lakukan di luar sana, Axton. Ayah tahu,” ucapnya dengan suara mulai bergetar.
Axton diam saja menatap Ayahnya yang terlihat seperti orang tertekan. Wajahnya tegang dan ia buru-buru mematikan bara api di cerutunya.
“Sampai saat ini, aku tak pernah menemukan wanita yang bisa menggantikan ibumu. Jika kau menemukannya, beritahu Ayah. Ayah … sangat membutuhkan sosok wanita itu,” ucap Tuan Leighton lirih dan beranjak dari dudukkannya.
Ia berjalan begitu saja meninggalkan Axton yang terbalik dan kini diam menatap kepergian sang ayah.
Axton memikirkan ucapan ayahnya di mana sudah 5 tahun ibunya wafat meninggalkan mereka karena kecelakaan, tapi tak pernah jujur hingga ajal menjemputnya.
Axton meneteskan air mata ketika teringat pesan terakhir dari ibunya beberapa hari sebelum ia wafat.
“Cintailah wanita seperti kau mencintai dirimu sendiri, Axton. Hargai dan sayangilah kekasihmu seperti kau mengasihi Ibu.”
Axton masih tak paham dengan pesan terakhir dari sang ibu, tapi ia berspekulasi jika ia harus memanjakan semua wanita yang berada di dekatnya dan ikut merasakan kebahagiaan yang sama seperti yang ia rasakan setiap harinya.
Axton diam mengenang masa-masa saat bersama ibunya dulu ketika masih hidup.
Ia teringat, bagaimana sikap ayahnya yang selalu mengabaikan ibunya dan lebih mementingkan pekerjaan daripada menghabiskan waktu bersama keluarga.
“Menyesal, Ayah? Rasakan!” geram Axton.
***
Ini adalah novel pertama Lele di app ini. Kalau nemu typo di tiap epsnya tinggalkan koreksian yak biar segera diperbaiki.
Mohon dukungannya dengan selalu berikan komen positif kepada author. Mengingat tiap kata akan menguras koin kalian, jadi setelah di lock, Lele akan jarang ksh catatan.
Lele akan sempetin buat balas tiap komenan sebelum Tuhan yg balas. kwkwkw. Tengkiyuw Lele padamu~
Cukup lama Axton tergantung dan ia mulai mual. Kepalanya pusing dan rasanya ingin muntah hingga ia melihat pintu kamarnya di buka.Ia menyadari sosok itu, tapi ia terlalu pusing untuk mengeluarkan suaranya apalagi memanggil orang tersebut.“Hei. Apa kau sedang berevolusi menjadi seekor kelelawar?” tanya Giamoco, Kakek Axton.“Help …,” panggilnya lirih.Giamoco akhirnya mendekati Axton. Remaja 17 tahun itu memegangi tubuh bagian bawah Kakeknya erat agar tak jatuh hingga akhirnya pemuda itu digeletakkan perlahan di lantai.Giamoco tersenyum meledek, melihat cucunya memegangi kepalanya yang pusing.“Kau berhasil membuat ayahmu marah. Jadi, apa aksimu kali ini, Jagoan?” ledeknya sembari memasukkan kedua tangan dalam saku celana kain.“I hate him, Grand Pa,” desis Axton mulai bangkit dan perlahan merayap menuju ranjang.Axton merebahkan dirinya di atas ka
Saat Axton dan Antony menghabiskan waktunya di ruang perapian dengan membahas hal-hal tentang dunia remaja, keduanya spontan menoleh ke arah jendela saat sebuah mobil datang ke kediaman itu.Mereka berjalan mendekati jendela dan terlihat dua orang pemuda yang memakai pakaian sama, tapi parasnya berbeda. Axton dan Antony saling melirik.Dua pemuda itu berjalan menuju ke mansion dengan seorang lelaki tua merangkul kedua pundak mereka.Axton dan Antony kembali duduk di sofa karena merasa jika dua pemuda itu akan ikut bergabung bersama mereka.CEKLEK!“Wow, masih dalam posisi yang sama. Baiklah, ini tamu terakhir kita pada hari ini. Perkenalkan, lelaki berambut pirang ini adalah Ivan Benedict dan yang berambut cokelat adalah Erik Benedict,” ucap Tuan Lawrence memperkenalkan.“Kalian … bersaudara?” tanya Axton menebak.Lelaki bernama Erik mengangguk, tapi Ivan memalingkan wajah. Axton melihat jika du
Sepeninggalan Erik dan Antony. Ivan dan Axton dipuaskan oleh para wanita yang ada di ruangan itu. Terlihat Axton begitu menikmati tiap belaian yang memanjakannya.Ivan juga tak henti-hentinya mengerang dalam kenikmatan yang diberikan oleh para wanita dewasa yang kini duduk di pinggulnya, menggoyangkan miliknya kuat.“Akan kutorehkan namamu di tubuhku, Sayang,” ucap Axton memegangi pinggul wanita berambut pirang yang kini sudah tak berbusana sedang duduk dalam pangkuan Axton di sofa.“Oh, kau akan mentato tubuhmu dengan namaku?” tanya Vira dengan peluh sudah membanjiri kulit mulusnya.“Yes! Kau wanita pertama yang mengambil keperjakaanku. Itu harus diabadikan,” jawab Axton meraih wajah Vira dan menciumnya ganas.“Oh, dia benar-benar cepat belajar,” ucap wanita berambut cokelat memuji kemampuan bercinta Axton.“Aku mau jadi pacarnya. Aku tak peduli jika dia 10 tahun lebih muda dari
“Axton! Axton!” teriak Erik memanggil kawannya di luar mansion saat semua orang ikut mencari keberadaan Axton yang tiba-tiba menghilang.“Periksa dari kamera CCTV,” perintah Lawrence cepat kepada bodyguard yang menjaga kediamannya.Para bodyguard dan semua orang sibuk mencari keberadaan Axton. Antony melihat jejak kaki yang menuju ke halaman samping mansion.“Tuan Antony,” panggil Red asisten kepercayaannya.Antony tak menjawab dan terus mengikuti jejak itu hingga ia menemukan sebuah sepatu fantovel yang tersangkut di sebuah tumpukan salju di atas rumput taman.“Itu … sepatu Axton?” tanya Red saat Antony memungut sepatu itu dan melihat sekeliling.Antony diam sejenak seperti berpikir hingga ia kembali berjalan dan membawa sepatu yang diyakini milik Axton.Hingga akhirnya, Antony kehilangan jejak sepatu dan kaki di atas salju. Ia berdiri di samping sebuah mobil ba
Perkelahian sengit itu ternyata terjadi cukup lama hampir 15 menit lamanya. Meski kaki Erik keseleo, tapi ia tak menunjukkan dirinya lemah di hadapan sang Kakak. Malah diam-diam, Axton dan Antony bertaruh."Aku menjagokan Ivan," ucap Antony setelah memperhatikan teknik berkelahi pria berambut pirang itu."Yah, karena hanya ada dua orang, tersisa Erik saja. Oke, aku Erik walaupun aku yakin dia akan kalah. Hempf, taruhan ini sungguh tak adil. Tak adakah kandidat lain?" gerutu Axton yang merasa jika ia akan rugi banyak.Antony tersenyum. Ia melirik Axton yang terus menyoraki Erik agar menang melawan kakanya.Namun, baik Axton ataupun Antony, mereka sudah melihat jika Erik tak sanggup bertarung lagi karena sudah berdarah hebat di hidung dan mulutnya."Sudahlah, menyerah saja, Erik. Kau tak kasihan dengan ketampananmu?" tanya Axton meringis iba membayangkan sakit di wajah sahabat barunya itu."Diam! Lelaki sejati tak akan mundur dari pertarungan
Selama di dalam ruangan, Axton, Erik, Antony dan Ivan saling mengobrol akrab. Erik diobati lukanya oleh Antony yang ternyata cukup ahli dalam merawat luka."Aduh, agh," rintih Erik saat Antony membersihkan noda darah dengan kapas berisi air hangat dalam baskom."Berhenti mengeluh atau obati sendiri," tegas Antony menatapnya tajam.Erik kembali diam dan kali ini menahan sakit di wajahnya yang babak belur. Sedang Ivan, terlihat cuek meski wajahnya juga lebam dan berdarah.Ia duduk di kursi meja makan dan menaikkan kedua kakinya di atas meja, menikmati sajian biskuit cokelat dengan lahap."Jadi ... kita akan di sini berapa lama?" tanya Axton penasaran yang masih betah dengan posisinya di atas karpet beruang kutub."Entahlah. Setidaknya tempat ini lebih baik ketimbang berada di luar," sahut Ivan sembari mengunyah biskuit di mulutnya."Em ... jujur. Sebenarnya, aku merasa kita ini cocok. Lihatlah tadi, meski kita ketakutan saat melawan anj
"What? Camp militer? Tempat pelatihan super kejam dengan Instruktrur bernama Zeno?" pekik Axton panik. "Ya. Begitulah. Kenapa? Kalian takut?" ledek Lawrence. Keempat pemuda itu saling memandang terlihat gugup. "A-aku belum menyelesaikan sekolahku. Aku akan ke sana begitu lulus sekolah nanti. Akademis legal itu penting, Tuan Lawrence," dalih Axton dan diangguki oleh Ivan, Erik dan Antony yang ternyata satu pemikiran. Lawrence menahan senyumnya. Keempat pemuda itu terlihat pucat entah mereka membayangkan seperti apa tempat yang dikatakan Camp Militer itu. "Hem, kau benar. Legalitas itu penting, meski kita ini mafia. Well, kalau begitu sebaiknya kalian membersihkan diri. Dokter akan segera datang untuk memeriksa kalian. Aku khawatir kalian terkena rabies dari anjing yang menyerang tad. Selain itu, kulihat kaki Erik semakin bengkak. Kembalilah ke dalam, di luar dingin," ucap Lawrence dan keempat pemuda itu mengangguk pah
Terlihat orang-orang berseragam hitam khas The Shadow sudah menunggu di sebuah kapal kecil untuk mengangkut orang-orang tersebut.Erik dipapah masuk ke dalam kapal dan terlihat, ia menatap orang-orang yang tak ia kenali meski menggunakan seragam The Shadow.Mereka bicara dalam bahasa Inggris."Kalian The Shadow? Siapa yang merekrut?" tanya Erik to the point menatap para lelaki yang umurnya lebih dewasa darinya."Nyonya Theresia," jawab salah seorang pria tegas."Di mana anggota yang lain?" tanya Erik seakan tidak puas."Kau ada masalah dengan itu, Anak muda?" tegasnya."Anak muda? Hah, anak muda di depanmu ini adalah pendiri The Shadow. Jaga mulutmu, Anak baru," balas Erik menghina.Kening para lelaki berseragam hitam itu berkerut. Red yang berdiri di belakang Erik mengangguk seperti membenarkan. Para lelaki itu terkejut."Maafkan kami, Tuan. Anda pasti Erik Benedict.
Axton terlihat begitu bersemangat untuk menyelesaikan misinya. Raganya terasanya panas dengan keinginan membunuh begitu tinggi. Ia mengendarai bus untuk membawanya ke target berikutnya. Sayangnya, tempat tinggal Clara sedikit jauh, begitupula para wanita Leighton lainnya. Tujuan Axton kini ke Connecticut. Clara anak seorang pengusaha penangkapan dan pengalengan ikan di kota tersebut. Hanya saja, kabar menyebutkan jika keluarga Clara mengalami kebangkrutan. Axton memanfaatkan keterpurukan wanita itu yang sedang berjuang agar bisa menguasai pangsa pasar ikan di Amerika, dengan menikahi seorang duda beranak dua yang kaya raya. Sore itu, Axton tiba di kota New Heaven. Pemuda itu mencari kediaman Clara yang disinyalir memiliki sebuah mansion dekat pantai di mana keluarganya mulai merintis usaha baru berupa Resort. Dengan mudah, Axton menemukan Resort tersebut karena papan iklannya memenuhi beberapa jalanan besar yang ia lewati. Seringai A
Keesokan harinya, Giamoco berhasil menyulut emosi Axton karena permintaannya tak diindahkan. Axton kembali ke kamarnya dengan nafas menderu, ia mengunci dirinya di dalam sana. Giamoco meminta kepada seluruh penjaga agar mengawasi pergerakan Axton selama di rumah jika ia tak ada. Gerry, Jeff, dan Paul dibuat kerepotan karena ancaman pemuda itu. Ternyata diam-diam, Axton menyelinap keluar dari kamarnya melalui jendela. Ia mengunci pintu kamarnya dari dalam dan sengaja menyalakan musik untuk mengelabui para penjaga. Usaha Axton berhasil. Ia menggendong sebuah tas ransel, memakai pakaian serba hitam, topi, kacamata, masker wajah, dan sarung tangan karet. Axton yang sudah mempelajari strategi bertarung, bertahan, menyelinap, dan menggunakan senjata berkat ajaran di Camp Militer serta mendiang Mister, membuatnya tak kesulitan melakukan hal mudah ini. SYUUT! TAP! Axton berhasil memanjat pohon cemara yang memiliki jarak paling dekat d
Mata Paul terbelalak. Ia shock melihat Axton menembak mati Mister tepat di keningnya. Axton meneteskan air mata tanpa isak tangis keluar dari mulutnya. Ia menurunkan tangannya yang menggenggam pistol tersebut dengan pandangan kosong. "Axton!" panggil Paul berusaha bangun dengan susah payah. Ia langsung mendatangi Axton dengan tergopoh. "Kau gila?! Apa kau sadar yang kaulakukan?" tanyanya dengan nafas tersengal. "Mister bilang, dia tak bisa disembuhkan. Tak perlu kutembak, suatu saat nanti ia pasti akan mati. Aku ... hanya mempercepat kematiannya. Ia pasti bisa menerima kematiannya di alam sana," jawabnya dengan pandangan tertunduk. Mulut Paul menganga lebar. Ia merasa jika yang bicara barusan seperti bukan Axton yang ia kenal. Pemuda itu berbalik dan kembali masuk ke kamar lalu menutup pintu. Semua penjaga yang tergeletak di lantai dengan tubuh penuh luka ikut terkejut, tapi mereka tak bisa melakukan apapun. Semua sudah berakhir.
Selama di Swiss, Axton dan Mister menjadi pengusaha legal yang bergerak dibidang perkebunan. Awalnya, mereka menikmati rutinitas tersebut, termasuk Axton yang bersekolah di sana. Namun, sudah 8 bulan berlalu, Axton mulai bosan, begitupula dengan Mister. "Mister. Ini tidak menyenangkan. Sekolah tidak seru. Sudah tak ada lagi gadis di kelasku yang bisa kuajak kencan," ucapnya kesal yang berbaring di atas rumput samping peternakan sapi milik Giamoco. "Aku juga merasa demikian, Axton. Aku seperti tukang kebun dan peternak hewan. Kakekmu benar-benar tahu bagaimana menyingkirkan kita. Yah, kabar baiknya, aku tak mengamuk selama di sini bersamamu," sahutnya seraya duduk sembari memegang ranting kayu yang ia dapat dekat pohon tempat ia menggembala sapi. "Apa kau tahu, perkembangan para mafia di luar sana?" tanya Axton menoleh, tapi Mister menggeleng. Saat keduanya semakin merasa bosan, tiba-tiba .... "Axton! Mister! Segera masuk ke dalam! Di luar tidak aman.
Hati Axton sedih begitu mendengar pengakuan dari Mister. Axton mendekati pria malang itu dan duduk di samping ranjang, tak terlihat takut lagi. "Kau akan baik-baik saja, Mister. Kau pria kuat, tangguh, dan tampan. Tak perlu obat, kau pasti bisa bertahan. Aku akan selalu di sampingmu," ucap Axton mantap. Mister tersenyum lebar. Ia menggenggam tangan Axton erat. "Jadi ... bagaimana Camp Militer? Kau dipulangkan, pasti kau berbuat nakal," tanya Mister masih memegang tangan Axton erat. Axton meringis. Ia pun menceritakan pengalamannya di tempat pelatihan ala militer khusus para mafia itu. Mister terbengong setelah mengetahui kenapa Axton sampai dimarahi Zeno dan diusir. Mister menghela nafas. "Hem, kali ini aku sependapat dengan Zeno. Kau memang nakal," ucapnya menatap Axton tajam, tapi pemuda itu terlihat tak peduli. "Lalu ... aku mendengar kau membuat keributan di Light Angel. Memang, apa yang kaulakukan? Aku lebih percaya mulutmu yang bicara."
Keesokan harinya, Erik terbangun karena mendengar suara ribut di luar pondok tempatnya beristirahat. Ia duduk perlahan, dan tak mendapati Axton berada di ranjangnya. Erik diam senjenak untuk mengumpulkan nyawanya, hingga ia menyadari suara pertengkaran di luar adalah orang yang ia kenal. CEKLEK! "Kau sungguh memalukan! Kau tak diterima lagi di sini. Kau akan dikirim pulang hari ini juga!" teriak Komandan Zeno melotot tajam pada Axton di lapangan dengan para prajurit mengelilingi mereka. "Kau pikir aku suka di sini, hah?! Baguslah, aku tak perlu lulus untuk bisa keluar dari sini. Tahu seperti ini, aku lakukan sejak lama agar bisa pergi!" jawabnya balas berteriak. PLAK!! "Oh!" pekik orang-orang terkejut saat Komandan Zeno menampar Axton kuat. Axton sampai terhuyung dan jatuh di atas rumput. Tamparan Komandan Zeno sungguh kuat hingga ia merasakan seperti hilang kesadaran dalam sepersekian detik. "Aku bisa
Axton terlihat sigap. Ia termotivasi dari Erik yang lebih muda darinya, dan sudah lebih dulu berada di sana. Hari itu, latihan berat ala militer ia jalani. Tepat pukul 7 pagi, latihan dimulai dengan lari keliling kawasan di pedalaman sepanjang 10 km. Jika mereka haus, satu-satunya air minum adalah dari aliran sungai. Axton awalnya jijik, tapi melihat ia sudah tak sanggup dan akan pingsan, ia nekat meminumnya, bahkan sangat banyak. Orang-orang terkekeh geli melihat kelakuan Axton saat mulut dan sikapnya bertolak belakang. "Hoah, rasanya dunia berputar, Erik. Aku mau pingsan," ucap Axton yang larinya sudah seperti bebek di jalanan tanah tengah hutan. "Kau sudah mengatakan hal itu sejak 30 menit yang lalu, tapi buktinya kau masih bisa berlari. Sidikit lagi," jawab Erik yang berlari di belakangnya dengan keringat bercucuran, termasuk anggota di regunya. Akhirnya, mereka tiba di lapangan titik kumpul menjelang makan siang. Axton langsung terkapar d
Mata Axton terbelalak lebar, mulutnya menganga, dan tubuhnya mematung melihat pemandangan di sekitarnya. Seketika, Axton tersentak saat seorang pria berwajah garang mendorong punggungnya dan memintanya untuk masuk ke sebuah rumah yang terbuat dari kombinasi bambu, kayu, dan beratap rumbia. Axton memeluk koper yang dibawanya dan tak bisa memberontak, saat pintu rumah pondok itu ditutup rapat dari luar. Axton shock melihat ruangan itu sangat sederhana dan jauh dari kata mewah. Bercahaya redup dari sebuah lampu baterai. Memiliki dua buah kasur busa ukuran kecil yang hanya muat untuk satu orang dengan kerangka terbuat dari kayu. CEKLEK! "Eh?" kejut seorang remaja yang baru saja keluar dari kamar mandi di dalam Pondok itu. "Erik?!" pekik Axton dengan mata melebar karena mengenali kawan mafia-nya saat di Rusia dulu. "Kau Axton 'kan?" tanya Erik memastikan dengan menunjuknya. Axton memangguk cepat. Ia merasa Erik sep
Perlahan, Axton membuka mata saat ia mulai bisa merasakan tangannya menyentuh benda halus di sampingnya. Axton menyadari, jika ia terbaring di kasur berselimut tebal. Axton diam untuk beberapa saat hingga akhirnya ia duduk perlahan. Rona keceriaan yang biasa ia pancarkan tak terlihat lagi. Axton perlahan turun dari ranjang dengan wajah datar. Langkahnya mendatangi ruangan tempat ia menyimpan koleksi pakaiannya. Namun setibanya di sana, pemuda itu terdiam. Axton mengambil sebuah koper kecil dan memasukkan beberapa benda ke dalam tas hitam tersebut. Ia keluar dari ruangan dengan mengenakan sebuah jaket berwarna merah maroon sepanjang lutut, sepatu boots cokelat, dan topi rajutan warna hitam yang senada dengan kaos panjang yang ia kenakan. Axton menenteng tas itu keluar dari kamar. Ia berjalan dengan wajah datar saat menyusuri koridor hingga bertemu anak tangga dan menuruninya satu persatu. Para pelayan yang melihat sosok Axton