Sepeninggalan Erik dan Antony. Ivan dan Axton dipuaskan oleh para wanita yang ada di ruangan itu. Terlihat Axton begitu menikmati tiap belaian yang memanjakannya.
Ivan juga tak henti-hentinya mengerang dalam kenikmatan yang diberikan oleh para wanita dewasa yang kini duduk di pinggulnya, menggoyangkan miliknya kuat.
“Akan kutorehkan namamu di tubuhku, Sayang,” ucap Axton memegangi pinggul wanita berambut pirang yang kini sudah tak berbusana sedang duduk dalam pangkuan Axton di sofa.
“Oh, kau akan mentato tubuhmu dengan namaku?” tanya Vira dengan peluh sudah membanjiri kulit mulusnya.
“Yes! Kau wanita pertama yang mengambil keperjakaanku. Itu harus diabadikan,” jawab Axton meraih wajah Vira dan menciumnya ganas.
“Oh, dia benar-benar cepat belajar,” ucap wanita berambut cokelat memuji kemampuan bercinta Axton.
“Aku mau jadi pacarnya. Aku tak peduli jika dia 10 tahun lebih muda dariku,” sahut wanita berambut hitam mendekap punggung Axton dan menenggelamkan wajahnya di tengkuknya.
“Hei! Axton milikku! Cari saja pemuda lainnya!” bentak wanita rambut pirang mendorong wajah wanita berambut hitam hingga dia jatuh terlentang.
“Hei, hei, jangan berebut. Axton milik kalian semua. Aku bisa menjadwalkan kencan dengan kalian, Nona-nona,” jawab Axton dengan terengah-engah karena sudah tak sanggup menahan semburannya lagi.
“Aku harus jadi kekasihmu yang pertama, Axton. Aku harus menjadi prioritas,” ucap Vira memegang wajah Axton dan pemuda 17 tahun itu mengangguk pelan sembari menggigit bibir bawahnya.
“Oh, Axton. I love you,” ucapnya terlena dengan wajah tampan Axton yang baginya sangat mengairahkan.
Hingga tiba-tiba, wanita berambut pirang itu terkejut saat Axton mendorongnya dan membalik tubuhnya.
Axton kembali memposisikan dirinya dengan gagah dan menyodokkan miliknya ke liang wanita itu dari belakang.
Wanita itu tertegun saat Axton begitu bersemangat menggempurnya hingga ia mencengkeram kuat sandaran sofa menahan kenikmatan itu.
“Oh, dia sangat kuat! Liatlah bagaimana dia menggoyangkan pinggulnya. Aku ingin merasakannya,” ucap wanita berambut merah melihat Axton memegangi kuat pinggul si wanita pirang dan terus menyodokknya kuat.
“Axtoonnn!” teriak wanita itu saat ia sudah tak bisa menahannya lagi begitu pula Axton.
Axton mengeluarkan miliknya di punggung wanita yang sedang menggelinjang hebat di sofa saat Axton menekan tubuhnya agar tak banyak bergerak.
“Wow! Dia keluar banyak sekali,” ucap wanita yang berdiri dan melihat cairan milik Axton menggenangi punggung wanita itu.
Axton langsung duduk dengan nafas tersengal sembari memegangi kepalanya kuat karena merasa pusing.
Ini pertama kalinya ia bercinta dengan dengan seorang wanita yang tak dikenal bahkan tanpa pengaman dan kehilangan keperjakaannya.
Para wanita lainnya membantu si wanita pirang membersihkan cairan Axton di punggungnya dengan jijik.
Axton yang tergolek lemas di hampiri oleh wanita berambut pirang untuk membersihkan kejantanannya yang mulai mengerut dengan penuh perhatian. Axton meliriknya dengan nafas mulai tenang.
“Hei, aku Casandra. Boleh aku minta nomor teleponmu, Tampan?” bisiknya menatap Axton penuh godaan.
Axton tersenyum merekah dan berbisik di telinganya. Wanita itu segera mengambil lipstick dari dalam tasnya dan menuliskannya di tisu lalu melipatnya.
“I will call you, Handsome,” ucap wanita itu meninggalkan ciuman di pipi Axton.
Axton tertegun dan tersenyum lebar. Ia melihat wanita berambut merah yang tak disadarinya ada di sana sedari tadi, kini beranjak darinya sembari membuang tisu yang ia gunakan untuk membersihkan kejantanannya.
Tiba-tiba, “AXTON! IVAN! APA KALIAN BAIK-BAIK SAJA?! BUKA PINTUNYA!”
“Oh, Erik!” pekik Axton tertegun.
Semua orang kembali berpakaian dengan tergesa termasuk Axton. Saking terburu-buru, ia tak memakai celana dalam karena benda itu sudah hilang entah kemana.
Axton asal memakai pakaiannya karena tak mau melihat Erik dan orang-orang yang datang bersamanya memergokinya bercinta.
Axton khawatir jika kakek dan ayahnya nanti mencoretnya dari daftar warisan keluarga. Axton menjanjikan kemewahan untuk calon kekasihnya nanti. Ia harus menjadi anak baik untuk mewujudkannya.
“Ivan! Ivan! Are you oke?” tanya Axton menghampirinya di mana Ivan terlihat juga berantakan sepertinya.
“Well, yeah. Oh, Axton. Kepalaku pusing dan ah … shit! Junior-ku sakit,” rintihnya telanjang.
Axton melirik para wanita yang tadi bercinta dengannya dan mereka hanya meringis. Axton hanya menghela nafas dan membantu Ivan berpakaian.
“Oke, oke, kalian ingat sandiwara kita ‘kan? Ingin menjadi kekasih kami, jangan sampai kami berdua dicoret dari calon penerus kursi dewan. Oke?” ucap Axton menunjuk semua wanita yang ada di ruangan itu.
Para wanita itu mengangguk dan wanita berambut hitam yang mendampingi Axton membuka pintu dengan tenang.
“Oh, hai,” sapanya dengan logat Inggris kental.
“Apa yang terjadi? Kenapa pintunya ditutup dan ….” tanya Theresia yang pada akhirnya ucapannya terputus saat melihat Axton dan Ivan bersulang wine terlihat mabuk.
“Axton! Ivan!” teriak Robert lantang mengejutkan semua orang di ruangan itu.
“Oh, hai, Paman. Ini … ugh, wine ini enak sekali. Apa namanya? Apa kita punya ini di rumah? Aku suka rasanya,” sahut Ivan berlagak mabuk sedang duduk di karpet dengan Axton bersamanya memegang gelas wine dan tertawa entah apa yang lucu.
“Kalian mabuk?” tanya Erik cemas.
“Kau kenapa kabur? Kau juga. Pengecut,” tunjuk Ivan ke arah Erik dan Antony yang berdiri dengan wajah panik di belakang Theresia.
Theresia menatap para wanita yang tak berani menatapnya. Mereka menundukkan wajah dan terlihat gugup.
“Oke. Sudah selesai bersenang-senangnya. Waktunya makan malam,” ucap Theresia meminta para wanita itu keluar.
Para wanita itu mengangguk dan segera keluar dari ruangan tersebut. Saat wanita berambut pirang mengambil tasnya, mata Axton terbelalak saat melihat celana dalamnya ada di tas wanita itu.
“Ingin milikmu kembali, temui aku,” bisik Vira sembari menutup tasnya. Ia sengaja menunjukkan pada Axton di mana celana dalamnya berada.
Axton mendesis karena merasa dipermainkan. Para wanita itu pergi meninggalkan Axton dan Ivan.
Seketika, ruangan yang tadinya begitu penuh orang kini hanya di tempati dua pemuda yang telah kehilangan keperjakaannya.
Namun, Axton dan Ivan terlihat gugup seketika saat Theresia mendekati mereka berdua dengan sorot mata tajam. Jantung keduanya berdebar kencang tak karuan saat Theresia seperti mencurigai mereka berdua.
“Hm … kalian tahu siapa wanita-wanita itu?” tanya Theresia menaikkan kedua alisnya saat ia membungkukkan tubuhnya di depan dua pemuda yang berwajah tegang tersebut.
Axton dan Ivan menggeleng cepat, Theresia tersenyum licik.
“Mereka pelacur. Aku harap kalian memeriksa kesehatan setelah ini. Jangan sampai kabar memalukan tersebar karena calon penerus dewan tewas terkena penyakit HIV AIDS. Oh, malangnya …,” ucapnya menyindir dengan wajah pura-pura iba.
Mulut Axton dan Ivan menganga seketika. Theresia terkekeh penuh kemenangan saat berbalik dan berjalan ke arah orang-orang yang menunggunya di pintu.
Axton dan Ivan saling melirik, mereka terlihat pucat seketika. Giamoco dan Robert mendatangi dua pemuda yang memalingkan wajah tak berani melihat dua orang tua itu.
“Kita pulang,” ucap Robert dan Giamoco serempak.
“Aw! Aw! Aw! Grand Pa sakit!” teriak Axton saat Kakeknya mencubit keperkasaannya dengan wajah datar.
“Kau bahkan tak memakai celana dalam! Memalukan!” geramnya menatap Axton tajam.
“AAAAA! Grand Pa sakit! Kau akan kehilangan keturunan terhebat dalam sejarah mafia jika sampai milikku hancur!” teriaknya sembari melepaskan cubitan telunjuk dan jempol Kakeknya di celananya yang mengenai keperkasaannya.
“Keturunan terhebat ya? Kau memberikan keturunan terhebat? Dengan sikapmu yang seperti ini, Kakek tak yakin, Axton. Bahkan Kakek tak yakin kau layak jadi penerus kursi dewan,” ucapnya sembari melepaskan cubitannya.
Axton memegangi miliknya yang terasa nyeri. Ivan dan Robert terlihat miris dengan sikap dingin Giamoco pada cucunya.
“Aku layak! Bahkan sangat layak! Memang kenapa jika aku kehilangan keperjakaanku di tangan seorang pelacur, hah?”
PLAK!
Semua orang tertegun saat Giamoco menampar pipi Axton kuat hingga Axton jatuh tersungkur. Tamparan Giamoco lebih kuat dan menyakitkan ketimbang ayahnya.
“Kau, sangat, tidak layak menjadi penerusku, Axton,” geram Giamoco penuh penekanan menatap tajam cucunya.
Nafas Axton menderu hingga kedua tangannya mengepal. Semua orang menatap Axton dan Giamoco seksama tak berani mencampuri urusan antara cucu dan kakek tersebut.
“I HATE YOU! KAU SAMA SAJA DENGAN AYAH! MEMUAKKAN!” teriaknya lantang dan mendorong sang Kakek kuat hingga Giamoco hampir jatuh, tapi segera ditangkap oleh Robert.
Axton pergi begitu saja meninggalkan ruangan dengan nafas menderu dan langkah gusar.
Antony, Erik dan Ivan menatap kepergian Axton yang terlihat begitu marah hingga wajahnya merah padam.
“AXTON!” teriak Giamoco menggelegar, tapi Axton malah berlari kencang meninggalkan semua orang hingga ia tak terlihat lagi saat berbelok di tikungan.
“Kejar dia!” perintah Theresia ikut terkejut karena Axton kabur dari kediamannya.
“Axton! Axton!” teriak Erik memanggil kawannya di luar mansion saat semua orang ikut mencari keberadaan Axton yang tiba-tiba menghilang.“Periksa dari kamera CCTV,” perintah Lawrence cepat kepada bodyguard yang menjaga kediamannya.Para bodyguard dan semua orang sibuk mencari keberadaan Axton. Antony melihat jejak kaki yang menuju ke halaman samping mansion.“Tuan Antony,” panggil Red asisten kepercayaannya.Antony tak menjawab dan terus mengikuti jejak itu hingga ia menemukan sebuah sepatu fantovel yang tersangkut di sebuah tumpukan salju di atas rumput taman.“Itu … sepatu Axton?” tanya Red saat Antony memungut sepatu itu dan melihat sekeliling.Antony diam sejenak seperti berpikir hingga ia kembali berjalan dan membawa sepatu yang diyakini milik Axton.Hingga akhirnya, Antony kehilangan jejak sepatu dan kaki di atas salju. Ia berdiri di samping sebuah mobil ba
Perkelahian sengit itu ternyata terjadi cukup lama hampir 15 menit lamanya. Meski kaki Erik keseleo, tapi ia tak menunjukkan dirinya lemah di hadapan sang Kakak. Malah diam-diam, Axton dan Antony bertaruh."Aku menjagokan Ivan," ucap Antony setelah memperhatikan teknik berkelahi pria berambut pirang itu."Yah, karena hanya ada dua orang, tersisa Erik saja. Oke, aku Erik walaupun aku yakin dia akan kalah. Hempf, taruhan ini sungguh tak adil. Tak adakah kandidat lain?" gerutu Axton yang merasa jika ia akan rugi banyak.Antony tersenyum. Ia melirik Axton yang terus menyoraki Erik agar menang melawan kakanya.Namun, baik Axton ataupun Antony, mereka sudah melihat jika Erik tak sanggup bertarung lagi karena sudah berdarah hebat di hidung dan mulutnya."Sudahlah, menyerah saja, Erik. Kau tak kasihan dengan ketampananmu?" tanya Axton meringis iba membayangkan sakit di wajah sahabat barunya itu."Diam! Lelaki sejati tak akan mundur dari pertarungan
Selama di dalam ruangan, Axton, Erik, Antony dan Ivan saling mengobrol akrab. Erik diobati lukanya oleh Antony yang ternyata cukup ahli dalam merawat luka."Aduh, agh," rintih Erik saat Antony membersihkan noda darah dengan kapas berisi air hangat dalam baskom."Berhenti mengeluh atau obati sendiri," tegas Antony menatapnya tajam.Erik kembali diam dan kali ini menahan sakit di wajahnya yang babak belur. Sedang Ivan, terlihat cuek meski wajahnya juga lebam dan berdarah.Ia duduk di kursi meja makan dan menaikkan kedua kakinya di atas meja, menikmati sajian biskuit cokelat dengan lahap."Jadi ... kita akan di sini berapa lama?" tanya Axton penasaran yang masih betah dengan posisinya di atas karpet beruang kutub."Entahlah. Setidaknya tempat ini lebih baik ketimbang berada di luar," sahut Ivan sembari mengunyah biskuit di mulutnya."Em ... jujur. Sebenarnya, aku merasa kita ini cocok. Lihatlah tadi, meski kita ketakutan saat melawan anj
"What? Camp militer? Tempat pelatihan super kejam dengan Instruktrur bernama Zeno?" pekik Axton panik. "Ya. Begitulah. Kenapa? Kalian takut?" ledek Lawrence. Keempat pemuda itu saling memandang terlihat gugup. "A-aku belum menyelesaikan sekolahku. Aku akan ke sana begitu lulus sekolah nanti. Akademis legal itu penting, Tuan Lawrence," dalih Axton dan diangguki oleh Ivan, Erik dan Antony yang ternyata satu pemikiran. Lawrence menahan senyumnya. Keempat pemuda itu terlihat pucat entah mereka membayangkan seperti apa tempat yang dikatakan Camp Militer itu. "Hem, kau benar. Legalitas itu penting, meski kita ini mafia. Well, kalau begitu sebaiknya kalian membersihkan diri. Dokter akan segera datang untuk memeriksa kalian. Aku khawatir kalian terkena rabies dari anjing yang menyerang tad. Selain itu, kulihat kaki Erik semakin bengkak. Kembalilah ke dalam, di luar dingin," ucap Lawrence dan keempat pemuda itu mengangguk pah
Terlihat orang-orang berseragam hitam khas The Shadow sudah menunggu di sebuah kapal kecil untuk mengangkut orang-orang tersebut.Erik dipapah masuk ke dalam kapal dan terlihat, ia menatap orang-orang yang tak ia kenali meski menggunakan seragam The Shadow.Mereka bicara dalam bahasa Inggris."Kalian The Shadow? Siapa yang merekrut?" tanya Erik to the point menatap para lelaki yang umurnya lebih dewasa darinya."Nyonya Theresia," jawab salah seorang pria tegas."Di mana anggota yang lain?" tanya Erik seakan tidak puas."Kau ada masalah dengan itu, Anak muda?" tegasnya."Anak muda? Hah, anak muda di depanmu ini adalah pendiri The Shadow. Jaga mulutmu, Anak baru," balas Erik menghina.Kening para lelaki berseragam hitam itu berkerut. Red yang berdiri di belakang Erik mengangguk seperti membenarkan. Para lelaki itu terkejut."Maafkan kami, Tuan. Anda pasti Erik Benedict.
Axton diberikan kamar sendiri oleh sang Kekek. Namun, malam itu, Axton tak bisa tidur dan memilih untuk tidur bersama Giamoco.TOK! TOK!"Grand Pa. Apa kau sudah tidur?" tanya Axton setelah mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban.Axton mendesah panjang dan kembali ke kamar dengan lesu. Namun, saat ia memasuki kamar, betapa terkejutnya ketika sang Kakek sudah berada di kamarnya sedang berbaring."Sejak kapan kau di sini, Grand Pa?" tanya Axton bingung.Giamoco hanya tersenyum. Ia mengayunkan tangan kirinya, memanggil cucu semata wayangnya untuk ikut berbaring di sampingnya.Dengan senyum merekah, Axton segera menghampiri sang Kakek dan bermanja-manja di sampingnya. Giamoco tersenyum sembari mengelus kepada Axton lembut."Jujur, Adry. Kakek sebenarnya marah padamu. Kau dengan begitu mudahnya menyerahkan benda berhargamu pada wanita tak dikenal. Terlebih, mereka itu pelacur. Aduh," keluh Giamoco mengelus dahinya
Malam natal terasa begitu hangat bagi Axton yang selama ini berselisih dengan sang ayah semenjak kepergian Iva, sang ibu untuk selama-lamanya.Axton menghabiskan natal bersama kakek dan ayahnya, menyusuri kota Boston dengan membeli banyak barang untuk kesenangan mereka pribadi.Hingga akhirnya, mereka dalam perjalanan pulang ke rumah setelah udara dingin di malam yang larut mulai mengusik. Axton tertidur lelap di paha sang ayah."Dia terlihat senang sekali malam ini, Leighton," ucap Giamoco tersenyum saat melihat cucunya tidur dengan mantel barunya."Ya. Aku merindukan pelukan dan senyumannya saat bersamaku, Ayah. Aku tak menyangka, jika Axton bisa menerimaku lagi. Aku rasa, sudah cukup bagiku untuk mencari wanita pengganti Iva. Axton prioritasku," jawab Leighton sembari mengelus lembut kepala sang anak dengan senyum terkembang.Giamoco ikut tersenyum dan bernafas lega. Namun, saat mobil melaju di persimpangan jalan di mana jalanan sudah sepi, tiba
Pagi itu. Kediaman Giamoco, Boston, Amerika. Mereka bicara dalam bahasa Inggris. "Tuan Muda, Tuan Muda," panggil seorang lelaki. "Emph. Oh, hai, Jeff," jawab Axton mulai terbangun dari tidurnya. Jefferson. Tiga dari salah satu asisten kepercayaan Giamoco, sedang berjongkok di samping Axton. Axton terlihat masih mengantuk. Namun, ia mulai membuka kelopak matanya perlahan hingga terlihatlah warna hitam kecokelatan pada pupil matanya. Jeff tersenyum. "Good morning, Sir. Ayo, kita sarapan. Di luar sangat dingin dan Anda malah tidur di lantai," ucap Jeff ramah sembari memegangi lengan Tuan mudanya yang perlahan duduk meski matanya masih sayu. Jeff membantu Axton melepaskan mantel baru yang dipakainya, kado natal pemberian sang kakek. Jeff melipatnya dan meletakkan mantel tebal warna biru tua terang di samping Tuan mudanya. Namun, saat Axton mulai berdiri dan siap melangkah, ia memeg
Axton terlihat begitu bersemangat untuk menyelesaikan misinya. Raganya terasanya panas dengan keinginan membunuh begitu tinggi. Ia mengendarai bus untuk membawanya ke target berikutnya. Sayangnya, tempat tinggal Clara sedikit jauh, begitupula para wanita Leighton lainnya. Tujuan Axton kini ke Connecticut. Clara anak seorang pengusaha penangkapan dan pengalengan ikan di kota tersebut. Hanya saja, kabar menyebutkan jika keluarga Clara mengalami kebangkrutan. Axton memanfaatkan keterpurukan wanita itu yang sedang berjuang agar bisa menguasai pangsa pasar ikan di Amerika, dengan menikahi seorang duda beranak dua yang kaya raya. Sore itu, Axton tiba di kota New Heaven. Pemuda itu mencari kediaman Clara yang disinyalir memiliki sebuah mansion dekat pantai di mana keluarganya mulai merintis usaha baru berupa Resort. Dengan mudah, Axton menemukan Resort tersebut karena papan iklannya memenuhi beberapa jalanan besar yang ia lewati. Seringai A
Keesokan harinya, Giamoco berhasil menyulut emosi Axton karena permintaannya tak diindahkan. Axton kembali ke kamarnya dengan nafas menderu, ia mengunci dirinya di dalam sana. Giamoco meminta kepada seluruh penjaga agar mengawasi pergerakan Axton selama di rumah jika ia tak ada. Gerry, Jeff, dan Paul dibuat kerepotan karena ancaman pemuda itu. Ternyata diam-diam, Axton menyelinap keluar dari kamarnya melalui jendela. Ia mengunci pintu kamarnya dari dalam dan sengaja menyalakan musik untuk mengelabui para penjaga. Usaha Axton berhasil. Ia menggendong sebuah tas ransel, memakai pakaian serba hitam, topi, kacamata, masker wajah, dan sarung tangan karet. Axton yang sudah mempelajari strategi bertarung, bertahan, menyelinap, dan menggunakan senjata berkat ajaran di Camp Militer serta mendiang Mister, membuatnya tak kesulitan melakukan hal mudah ini. SYUUT! TAP! Axton berhasil memanjat pohon cemara yang memiliki jarak paling dekat d
Mata Paul terbelalak. Ia shock melihat Axton menembak mati Mister tepat di keningnya. Axton meneteskan air mata tanpa isak tangis keluar dari mulutnya. Ia menurunkan tangannya yang menggenggam pistol tersebut dengan pandangan kosong. "Axton!" panggil Paul berusaha bangun dengan susah payah. Ia langsung mendatangi Axton dengan tergopoh. "Kau gila?! Apa kau sadar yang kaulakukan?" tanyanya dengan nafas tersengal. "Mister bilang, dia tak bisa disembuhkan. Tak perlu kutembak, suatu saat nanti ia pasti akan mati. Aku ... hanya mempercepat kematiannya. Ia pasti bisa menerima kematiannya di alam sana," jawabnya dengan pandangan tertunduk. Mulut Paul menganga lebar. Ia merasa jika yang bicara barusan seperti bukan Axton yang ia kenal. Pemuda itu berbalik dan kembali masuk ke kamar lalu menutup pintu. Semua penjaga yang tergeletak di lantai dengan tubuh penuh luka ikut terkejut, tapi mereka tak bisa melakukan apapun. Semua sudah berakhir.
Selama di Swiss, Axton dan Mister menjadi pengusaha legal yang bergerak dibidang perkebunan. Awalnya, mereka menikmati rutinitas tersebut, termasuk Axton yang bersekolah di sana. Namun, sudah 8 bulan berlalu, Axton mulai bosan, begitupula dengan Mister. "Mister. Ini tidak menyenangkan. Sekolah tidak seru. Sudah tak ada lagi gadis di kelasku yang bisa kuajak kencan," ucapnya kesal yang berbaring di atas rumput samping peternakan sapi milik Giamoco. "Aku juga merasa demikian, Axton. Aku seperti tukang kebun dan peternak hewan. Kakekmu benar-benar tahu bagaimana menyingkirkan kita. Yah, kabar baiknya, aku tak mengamuk selama di sini bersamamu," sahutnya seraya duduk sembari memegang ranting kayu yang ia dapat dekat pohon tempat ia menggembala sapi. "Apa kau tahu, perkembangan para mafia di luar sana?" tanya Axton menoleh, tapi Mister menggeleng. Saat keduanya semakin merasa bosan, tiba-tiba .... "Axton! Mister! Segera masuk ke dalam! Di luar tidak aman.
Hati Axton sedih begitu mendengar pengakuan dari Mister. Axton mendekati pria malang itu dan duduk di samping ranjang, tak terlihat takut lagi. "Kau akan baik-baik saja, Mister. Kau pria kuat, tangguh, dan tampan. Tak perlu obat, kau pasti bisa bertahan. Aku akan selalu di sampingmu," ucap Axton mantap. Mister tersenyum lebar. Ia menggenggam tangan Axton erat. "Jadi ... bagaimana Camp Militer? Kau dipulangkan, pasti kau berbuat nakal," tanya Mister masih memegang tangan Axton erat. Axton meringis. Ia pun menceritakan pengalamannya di tempat pelatihan ala militer khusus para mafia itu. Mister terbengong setelah mengetahui kenapa Axton sampai dimarahi Zeno dan diusir. Mister menghela nafas. "Hem, kali ini aku sependapat dengan Zeno. Kau memang nakal," ucapnya menatap Axton tajam, tapi pemuda itu terlihat tak peduli. "Lalu ... aku mendengar kau membuat keributan di Light Angel. Memang, apa yang kaulakukan? Aku lebih percaya mulutmu yang bicara."
Keesokan harinya, Erik terbangun karena mendengar suara ribut di luar pondok tempatnya beristirahat. Ia duduk perlahan, dan tak mendapati Axton berada di ranjangnya. Erik diam senjenak untuk mengumpulkan nyawanya, hingga ia menyadari suara pertengkaran di luar adalah orang yang ia kenal. CEKLEK! "Kau sungguh memalukan! Kau tak diterima lagi di sini. Kau akan dikirim pulang hari ini juga!" teriak Komandan Zeno melotot tajam pada Axton di lapangan dengan para prajurit mengelilingi mereka. "Kau pikir aku suka di sini, hah?! Baguslah, aku tak perlu lulus untuk bisa keluar dari sini. Tahu seperti ini, aku lakukan sejak lama agar bisa pergi!" jawabnya balas berteriak. PLAK!! "Oh!" pekik orang-orang terkejut saat Komandan Zeno menampar Axton kuat. Axton sampai terhuyung dan jatuh di atas rumput. Tamparan Komandan Zeno sungguh kuat hingga ia merasakan seperti hilang kesadaran dalam sepersekian detik. "Aku bisa
Axton terlihat sigap. Ia termotivasi dari Erik yang lebih muda darinya, dan sudah lebih dulu berada di sana. Hari itu, latihan berat ala militer ia jalani. Tepat pukul 7 pagi, latihan dimulai dengan lari keliling kawasan di pedalaman sepanjang 10 km. Jika mereka haus, satu-satunya air minum adalah dari aliran sungai. Axton awalnya jijik, tapi melihat ia sudah tak sanggup dan akan pingsan, ia nekat meminumnya, bahkan sangat banyak. Orang-orang terkekeh geli melihat kelakuan Axton saat mulut dan sikapnya bertolak belakang. "Hoah, rasanya dunia berputar, Erik. Aku mau pingsan," ucap Axton yang larinya sudah seperti bebek di jalanan tanah tengah hutan. "Kau sudah mengatakan hal itu sejak 30 menit yang lalu, tapi buktinya kau masih bisa berlari. Sidikit lagi," jawab Erik yang berlari di belakangnya dengan keringat bercucuran, termasuk anggota di regunya. Akhirnya, mereka tiba di lapangan titik kumpul menjelang makan siang. Axton langsung terkapar d
Mata Axton terbelalak lebar, mulutnya menganga, dan tubuhnya mematung melihat pemandangan di sekitarnya. Seketika, Axton tersentak saat seorang pria berwajah garang mendorong punggungnya dan memintanya untuk masuk ke sebuah rumah yang terbuat dari kombinasi bambu, kayu, dan beratap rumbia. Axton memeluk koper yang dibawanya dan tak bisa memberontak, saat pintu rumah pondok itu ditutup rapat dari luar. Axton shock melihat ruangan itu sangat sederhana dan jauh dari kata mewah. Bercahaya redup dari sebuah lampu baterai. Memiliki dua buah kasur busa ukuran kecil yang hanya muat untuk satu orang dengan kerangka terbuat dari kayu. CEKLEK! "Eh?" kejut seorang remaja yang baru saja keluar dari kamar mandi di dalam Pondok itu. "Erik?!" pekik Axton dengan mata melebar karena mengenali kawan mafia-nya saat di Rusia dulu. "Kau Axton 'kan?" tanya Erik memastikan dengan menunjuknya. Axton memangguk cepat. Ia merasa Erik sep
Perlahan, Axton membuka mata saat ia mulai bisa merasakan tangannya menyentuh benda halus di sampingnya. Axton menyadari, jika ia terbaring di kasur berselimut tebal. Axton diam untuk beberapa saat hingga akhirnya ia duduk perlahan. Rona keceriaan yang biasa ia pancarkan tak terlihat lagi. Axton perlahan turun dari ranjang dengan wajah datar. Langkahnya mendatangi ruangan tempat ia menyimpan koleksi pakaiannya. Namun setibanya di sana, pemuda itu terdiam. Axton mengambil sebuah koper kecil dan memasukkan beberapa benda ke dalam tas hitam tersebut. Ia keluar dari ruangan dengan mengenakan sebuah jaket berwarna merah maroon sepanjang lutut, sepatu boots cokelat, dan topi rajutan warna hitam yang senada dengan kaos panjang yang ia kenakan. Axton menenteng tas itu keluar dari kamar. Ia berjalan dengan wajah datar saat menyusuri koridor hingga bertemu anak tangga dan menuruninya satu persatu. Para pelayan yang melihat sosok Axton