Adrian Axton terlahir di keluarga mafia dalam jajaran 13 Demon Heads. Sebuah kerajaan mafia terbesar di seluruh dunia, berisikan orang-orang buangan Pemerintah dan mereka kini berkumpul untuk menuntut balas atas ketidakadilan yang mereka terima di sisa hidup. Dalam menjalani kehidupannya, Axton yang kehilangan sosok Ibu serta cinta kasih dari ayah dan kakeknya, membuatnya hilang arah. Hidup sebatang kara dengan warisan harta yang berlimpah malah menjadikan hidupnya berantakan. Axton melampiaskan kesedihannya dengan membunuh siapapun yang merusak kesenangannya. Hingga Axton bertemu sang Bibi, Delwyn. Namun, Delwyn malah memperparah perilaku menyimpang Axton dengan menjadikannya seorang playboy dengan maksud mendapatkan kebahagiaan dengan para wanita di sekelilingnya, tapi ternyata itu hanya sementara. Ia menjadi lelaki angkuh, penuh percaya diri, psikopat dan memiliki slogan "Ketampanan Nomor Satu!" Hingga suatu ketika, Axton bertemu dengan Dewa Kematian yang menginginkan nyawanya, tapi Axton malah mengajak kesepakatan dengannya. Dari kesepakatan itu, Axton mendapatkan julukan sang Casanova dari orang-orang yang mengenalnya. Apa isi kesepakatan itu hingga Axton disebut Casanova? Apakah kematian tetap merenggut nyawanya meski Axton sudah melakukan perjanjian? *** Cerita ini hanya fiktif belaka. Latar belakang mulai tahun 90-an menuju tahun 2000-an. Ditujukan hanya kepada pembaca bermental baja. Baper berlebih jika pingsan atau jantungan bukan salah author karena sudah diperingatkan. Selamat membaca, Lele padamu
View MoreAxton terlihat begitu bersemangat untuk menyelesaikan misinya. Raganya terasanya panas dengan keinginan membunuh begitu tinggi. Ia mengendarai bus untuk membawanya ke target berikutnya. Sayangnya, tempat tinggal Clara sedikit jauh, begitupula para wanita Leighton lainnya. Tujuan Axton kini ke Connecticut. Clara anak seorang pengusaha penangkapan dan pengalengan ikan di kota tersebut. Hanya saja, kabar menyebutkan jika keluarga Clara mengalami kebangkrutan. Axton memanfaatkan keterpurukan wanita itu yang sedang berjuang agar bisa menguasai pangsa pasar ikan di Amerika, dengan menikahi seorang duda beranak dua yang kaya raya. Sore itu, Axton tiba di kota New Heaven. Pemuda itu mencari kediaman Clara yang disinyalir memiliki sebuah mansion dekat pantai di mana keluarganya mulai merintis usaha baru berupa Resort. Dengan mudah, Axton menemukan Resort tersebut karena papan iklannya memenuhi beberapa jalanan besar yang ia lewati. Seringai A
Keesokan harinya, Giamoco berhasil menyulut emosi Axton karena permintaannya tak diindahkan. Axton kembali ke kamarnya dengan nafas menderu, ia mengunci dirinya di dalam sana. Giamoco meminta kepada seluruh penjaga agar mengawasi pergerakan Axton selama di rumah jika ia tak ada. Gerry, Jeff, dan Paul dibuat kerepotan karena ancaman pemuda itu. Ternyata diam-diam, Axton menyelinap keluar dari kamarnya melalui jendela. Ia mengunci pintu kamarnya dari dalam dan sengaja menyalakan musik untuk mengelabui para penjaga. Usaha Axton berhasil. Ia menggendong sebuah tas ransel, memakai pakaian serba hitam, topi, kacamata, masker wajah, dan sarung tangan karet. Axton yang sudah mempelajari strategi bertarung, bertahan, menyelinap, dan menggunakan senjata berkat ajaran di Camp Militer serta mendiang Mister, membuatnya tak kesulitan melakukan hal mudah ini. SYUUT! TAP! Axton berhasil memanjat pohon cemara yang memiliki jarak paling dekat d
Mata Paul terbelalak. Ia shock melihat Axton menembak mati Mister tepat di keningnya. Axton meneteskan air mata tanpa isak tangis keluar dari mulutnya. Ia menurunkan tangannya yang menggenggam pistol tersebut dengan pandangan kosong. "Axton!" panggil Paul berusaha bangun dengan susah payah. Ia langsung mendatangi Axton dengan tergopoh. "Kau gila?! Apa kau sadar yang kaulakukan?" tanyanya dengan nafas tersengal. "Mister bilang, dia tak bisa disembuhkan. Tak perlu kutembak, suatu saat nanti ia pasti akan mati. Aku ... hanya mempercepat kematiannya. Ia pasti bisa menerima kematiannya di alam sana," jawabnya dengan pandangan tertunduk. Mulut Paul menganga lebar. Ia merasa jika yang bicara barusan seperti bukan Axton yang ia kenal. Pemuda itu berbalik dan kembali masuk ke kamar lalu menutup pintu. Semua penjaga yang tergeletak di lantai dengan tubuh penuh luka ikut terkejut, tapi mereka tak bisa melakukan apapun. Semua sudah berakhir.
Selama di Swiss, Axton dan Mister menjadi pengusaha legal yang bergerak dibidang perkebunan. Awalnya, mereka menikmati rutinitas tersebut, termasuk Axton yang bersekolah di sana. Namun, sudah 8 bulan berlalu, Axton mulai bosan, begitupula dengan Mister. "Mister. Ini tidak menyenangkan. Sekolah tidak seru. Sudah tak ada lagi gadis di kelasku yang bisa kuajak kencan," ucapnya kesal yang berbaring di atas rumput samping peternakan sapi milik Giamoco. "Aku juga merasa demikian, Axton. Aku seperti tukang kebun dan peternak hewan. Kakekmu benar-benar tahu bagaimana menyingkirkan kita. Yah, kabar baiknya, aku tak mengamuk selama di sini bersamamu," sahutnya seraya duduk sembari memegang ranting kayu yang ia dapat dekat pohon tempat ia menggembala sapi. "Apa kau tahu, perkembangan para mafia di luar sana?" tanya Axton menoleh, tapi Mister menggeleng. Saat keduanya semakin merasa bosan, tiba-tiba .... "Axton! Mister! Segera masuk ke dalam! Di luar tidak aman.
Hati Axton sedih begitu mendengar pengakuan dari Mister. Axton mendekati pria malang itu dan duduk di samping ranjang, tak terlihat takut lagi. "Kau akan baik-baik saja, Mister. Kau pria kuat, tangguh, dan tampan. Tak perlu obat, kau pasti bisa bertahan. Aku akan selalu di sampingmu," ucap Axton mantap. Mister tersenyum lebar. Ia menggenggam tangan Axton erat. "Jadi ... bagaimana Camp Militer? Kau dipulangkan, pasti kau berbuat nakal," tanya Mister masih memegang tangan Axton erat. Axton meringis. Ia pun menceritakan pengalamannya di tempat pelatihan ala militer khusus para mafia itu. Mister terbengong setelah mengetahui kenapa Axton sampai dimarahi Zeno dan diusir. Mister menghela nafas. "Hem, kali ini aku sependapat dengan Zeno. Kau memang nakal," ucapnya menatap Axton tajam, tapi pemuda itu terlihat tak peduli. "Lalu ... aku mendengar kau membuat keributan di Light Angel. Memang, apa yang kaulakukan? Aku lebih percaya mulutmu yang bicara."
Keesokan harinya, Erik terbangun karena mendengar suara ribut di luar pondok tempatnya beristirahat. Ia duduk perlahan, dan tak mendapati Axton berada di ranjangnya. Erik diam senjenak untuk mengumpulkan nyawanya, hingga ia menyadari suara pertengkaran di luar adalah orang yang ia kenal. CEKLEK! "Kau sungguh memalukan! Kau tak diterima lagi di sini. Kau akan dikirim pulang hari ini juga!" teriak Komandan Zeno melotot tajam pada Axton di lapangan dengan para prajurit mengelilingi mereka. "Kau pikir aku suka di sini, hah?! Baguslah, aku tak perlu lulus untuk bisa keluar dari sini. Tahu seperti ini, aku lakukan sejak lama agar bisa pergi!" jawabnya balas berteriak. PLAK!! "Oh!" pekik orang-orang terkejut saat Komandan Zeno menampar Axton kuat. Axton sampai terhuyung dan jatuh di atas rumput. Tamparan Komandan Zeno sungguh kuat hingga ia merasakan seperti hilang kesadaran dalam sepersekian detik. "Aku bisa
Axton terlihat sigap. Ia termotivasi dari Erik yang lebih muda darinya, dan sudah lebih dulu berada di sana. Hari itu, latihan berat ala militer ia jalani. Tepat pukul 7 pagi, latihan dimulai dengan lari keliling kawasan di pedalaman sepanjang 10 km. Jika mereka haus, satu-satunya air minum adalah dari aliran sungai. Axton awalnya jijik, tapi melihat ia sudah tak sanggup dan akan pingsan, ia nekat meminumnya, bahkan sangat banyak. Orang-orang terkekeh geli melihat kelakuan Axton saat mulut dan sikapnya bertolak belakang. "Hoah, rasanya dunia berputar, Erik. Aku mau pingsan," ucap Axton yang larinya sudah seperti bebek di jalanan tanah tengah hutan. "Kau sudah mengatakan hal itu sejak 30 menit yang lalu, tapi buktinya kau masih bisa berlari. Sidikit lagi," jawab Erik yang berlari di belakangnya dengan keringat bercucuran, termasuk anggota di regunya. Akhirnya, mereka tiba di lapangan titik kumpul menjelang makan siang. Axton langsung terkapar d
Mata Axton terbelalak lebar, mulutnya menganga, dan tubuhnya mematung melihat pemandangan di sekitarnya. Seketika, Axton tersentak saat seorang pria berwajah garang mendorong punggungnya dan memintanya untuk masuk ke sebuah rumah yang terbuat dari kombinasi bambu, kayu, dan beratap rumbia. Axton memeluk koper yang dibawanya dan tak bisa memberontak, saat pintu rumah pondok itu ditutup rapat dari luar. Axton shock melihat ruangan itu sangat sederhana dan jauh dari kata mewah. Bercahaya redup dari sebuah lampu baterai. Memiliki dua buah kasur busa ukuran kecil yang hanya muat untuk satu orang dengan kerangka terbuat dari kayu. CEKLEK! "Eh?" kejut seorang remaja yang baru saja keluar dari kamar mandi di dalam Pondok itu. "Erik?!" pekik Axton dengan mata melebar karena mengenali kawan mafia-nya saat di Rusia dulu. "Kau Axton 'kan?" tanya Erik memastikan dengan menunjuknya. Axton memangguk cepat. Ia merasa Erik sep
Perlahan, Axton membuka mata saat ia mulai bisa merasakan tangannya menyentuh benda halus di sampingnya. Axton menyadari, jika ia terbaring di kasur berselimut tebal. Axton diam untuk beberapa saat hingga akhirnya ia duduk perlahan. Rona keceriaan yang biasa ia pancarkan tak terlihat lagi. Axton perlahan turun dari ranjang dengan wajah datar. Langkahnya mendatangi ruangan tempat ia menyimpan koleksi pakaiannya. Namun setibanya di sana, pemuda itu terdiam. Axton mengambil sebuah koper kecil dan memasukkan beberapa benda ke dalam tas hitam tersebut. Ia keluar dari ruangan dengan mengenakan sebuah jaket berwarna merah maroon sepanjang lutut, sepatu boots cokelat, dan topi rajutan warna hitam yang senada dengan kaos panjang yang ia kenakan. Axton menenteng tas itu keluar dari kamar. Ia berjalan dengan wajah datar saat menyusuri koridor hingga bertemu anak tangga dan menuruninya satu persatu. Para pelayan yang melihat sosok Axton
Sebuah mansion mewah yang bertempat di Boston, Amerika Serikat. Sebuah hunian yang memiliki halaman luas dengan pintu gerbang hitam yang kokoh dan cet tembok warna putih mendominasi rumah tersebut.Terlihat di ruang tengah, seorang lelaki tua sedang menghisap cerutu ditemani lelaki berumur 40 tahunan menikmati hangatnya perapian di tengah musim dingin yang menyelimuti Amerika pada hari itu di mana natal akan segera tiba.“Grand Pa!” panggil seorang anak lelaki berumur 17 tahun yang terlihat ceria sembari memakai topi Santa Claus.“Oh hallo, Axton. Wow kau terlihat keren sekali. Mau kemana?” tanya Kakek itu dengan senyum merekah.“Kencan,” jawabnya santai.Sontak dua pria dewasa itu tertegun akan ucapan Axton barusan. Axton sudah terlihat rapi dengan setelan ekslusif miliknya yang pernah dipakai ketika acara ulang tahun pernikahan ayah ibunya kala itu.“Di luar salju sedang lebat, banyak temp...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments