Suara sirine ambulans dan mobil polisi terdengar begitu ramai memekakkan telinga.
Para polisi sedang sibuk menjauhkan orang-orang yang berkerumun dari posisi kejadian. Terlihat, seorang polisi wanita mendatangiku.
“Maaf, Anda harus menjauh dari posisi ini,” ujar seorang polisi wanita itu dalam bahasa Inggris.
“S-saya b-bersama s-seorang p-pria yang b-berada di m-mobil i-itu,” tunjukku dengan berurai air mata dan tubuh yang masih gemetaran.
Mengerti yang aku maksudkan, seorang polisi wanita itu menuntunku masuk ke dalam mobil ambulans, di mana para perawat sedang berusaha menolong Finn. Entah kapan mereka membawa Finn, mataku yang tertutup air mata ini tidak sempat melihatnya.
Aku melihat sekujur tubuh Finn yang penuh dengan darah akhirnya kembali menangis histeris.
“Finn, maafkan aku! Maafkan aku!” ucapku tidak bisa berhenti meminta maaf.
Beberapa saat kemudian, aku melihat Finn membuka matanya sangat lemah dan melihat ke arahku. Aku tahu dia sedang memaksakan diri untuk tersenyum sambil menggerakkan bibirnya tanpa suara. “I love you.”
“I love you, Finn. Aku mohon, jangan tinggalkan aku! Maafkan aku!” Aku terus berkata sambil menangis.
‘Seandainya aku tidak memaksamu untuk mampir ke toko, mungkin kecelakaan ini tidak akan pernah terjadi. Maafkan aku, Finn.’ Aku melanjutkan perkataanku di dalam hati karena sudah tidak kuasa mengatakan semuanya. Lidahku terlalu kelu untuk berbicara.
Dengan tangan yang gemetaran, aku berusaha meraih tangan Finn. Dan Finn juga membalas genggaman tanganku. Namun, tiba-tiba tangan Finn terkulai lemas melepaskan pegangannya.
Deg!
“Finn! Jangan tinggalkan aku! Aku mohon!” seruku panik.
Salah seorang perawat yang duduk di samping Finn buru-buru melakukan pertolongan Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau CPR, dan seorang perawat yang lain menenangkanku, sambil tetap fokus memeriksa seluruh peralatan yang digunakan.
“Tolong Finn!” pintaku dalam bahasa Inggris sambil menangis tersedu-sedu.
Begitu mobil ambulans tiba di depan rumah sakit, beberapa orang perawat pun bergegas menolong Finn dan membawanya ke ruang operasi.
“Tunggulah di sini, Nona!” perintah seorang perawat.
Aku sudah tidak bisa berpikir dengan jernih, jadi aku hanya bisa mengangguk dan terus menangis.
‘Tuhan, tolong Finn! Beri kesempatan untukku meminta maaf padanya saat sudah sadar nanti. Aku mohon,’ doaku dalam hati.
“Permisi.” Seorang perawat yang lain menghampiriku.
“Ya?” sahutku.
“Apa kami boleh meminta data pasien?” tanya seorang perawat itu.
“Ah, i-iya,” jawabku.
Dengan tangan yang masih gemetaran, aku meraih ponsel di dalam tas lalu memberikan nomor ponsel Finn dan orang tua Finn pada seorang perawat itu. “M-maaf, h-hanya i-ni yang a-aku t-tahu. A-aku t-tidak m-menyimpan k-kartu i-identitasnya.”
Mungkin karena melihatku sangat gemetaran, seorang perawat itu mengangguk dan membantuku menulis di sebuah formulir.
“Apa saya boleh tahu, apa hubunganmu dengan korban?” tanya seorang perawat itu.
“S-saya k-kekasihnya,” jawabku tidak bisa kalau tidak terbata-bata.
“Baik, kalau begitu, apa saya boleh membantumu menghubungi orang tua korban?” tanya seorang perawat itu.
Meskipun ragu, namun aku mengangguk. Saat ini, aku sudah siap kalau kedua orang tua Finn akan marah atau menuntutku, yang penting Finn kembali sadar.
Cukup lama aku menunggu para Dokter menolong Finn di dalam ruang operasi hingga kedua orang tua Finn tiba.
Finn dan kedua orang tuanya berasal dari Indonesia. Jadi, mereka bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
“Lilian, apa yang terjadi dengan Finn?” tanya Tante Iva, Mama Finn.
Aku menceritakan semua kejadiannya pada orang tua Finn, tanpa menutupi apa pun, dengan tubuh yang masih gemetaran.
Om Danendra, Papa Finn, hanya menghela napas ketika aku selesai menceritakan semuanya. Demikian juga Tante Iva, hanya bisa ikut menangis bersamaku.
“Tenang ya, Lilian, kami orang tua Finn akan melakukan apa pun untuk menolong Finn,” kata Tante Iva. Padahal dirinya juga pasti sangat khawatir.
Tepat ketika Tante Iva selesai bicara, seorang Dokter keluar dari ruang operasi.
“Apa saya bisa bicara dengan keluarga pasien bernama Finn?” tanya seorang Dokter itu dengan menggunakan bahasa Inggris.
Om Danendra, Tante Iva, dan aku praktis bangkit berdiri dan menghampiri Dokter itu.
“Ya, kami orang tuanya. Bagaimana kondisi Finn, anak kami?” tanya Om Danendra.
“Hm, ketika tiba di sini tadi, Finn sudah tidak sadarkan diri dan pendarahannya tidak bisa dihentikan lagi. Kami sudah melakukan semua yang terbaik tetapi—“
Belum selesai mendengar perkataan Dokter, aku merasa sekelilingku mendadak gelap, dan sudah tidak sadarkan diri.
*****
Keenan POV
Saat ini aku sedang berkeliling mengitari jalan-jalan di Singapura dengan mobil sedan berwarna biru kesayanganku. Aku tidak berniat ingin jalan-jalan, tetapi hanya sekadar menghabiskan waktu sambil menunggu Erina yang katanya sedang pergi bersama temannya.
Setelah merasa cukup lama berjalan-jalan, akhirnya aku memutuskan untuk ke apartment Erina dan menunggunya di sana saja. Aku tahu password-nya untuk masuk. Jadi, aku bisa menunggu sambil menonton televisi.
Baru saja mobilku berhenti dengan sempurna di tempat parkir gedung apartment yang menjadi tempat tinggal Erina, entah mengapa, mendadak perasaanku tidak enak.
Aku pun segera meraih ponsel dan menghubungi Erina, khawatir terjadi sesuatu dengannya. Erina tidak menjawab panggilanku namun dia mengirimiku pesan yang mengatakan agar aku sabar menunggu.
“Ha!” Aku menghela napas lega. Tapi, aku tetap saja berdebar-debar seakan sesuatu yang buruk sedang terjadi.
Kini pikiranku tertuju pada keluarga yang tinggal di Bali.
Aku bergegas mengirimkan pesan pada Papa Mario, dan Kei, adikku, untuk menanyakan kabar mereka.
Cukup lama aku menunggu hingga ponselku kembali berbunyi tanda pesan balasan masuk.
“Kami baik-baik saja di sini. Bagaimana denganmu, Nak?” balas Papa.
“Kabar baik, Pa. Syukurlah kalau begitu. Aku hanya ingin menanyakan kabar saja,” jawabku tak ingin membuat Papa kepikiran.
Tak lama kemudian, ada pesan lain yang masuk.
“Kabar baik, Kak. Mama juga baik-baik saja. Ada apa?” balas Kei.
“Tidak ada apa-apa. Kebetulan aku sedang menunggu Erina dan ingat kalian di Bali. Jadi, aku menanyakan kabar saja,” jawabku.
“Titip salam buat kak Erina ya,” balas Kei lagi, membuatku tersenyum senang. Adik kesayanganku itu selalu mampu membuatku merasa lebih tenang.
“Terima kasih,” ucapku.
Setelah memastikan pesanku terkirim, aku turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam lift, menuju ke lantai sepuluh. Unit apartment Erina nomor B1003.
Setibanya di lantai sepuluh, aku berjalan sambil berdebar-debar. Hanya saja, aku terus berusaha mengabaikannya.
Begitu masuk di dalam ruang apartment, aku melangkah mendekati sofa hendak duduk. Namun, tiba-tiba aku mendengar suara yang berasal dari kamar Erina.
Aku segera meraih botol yang kebetulan ada di atas meja lalu perlahan melangkah menuju ke kamar Erina.
“Ahh ... sshhh ... ahh ... iya, di sana enak banget! Lebih cepat! Ahh ...!” Mendengar suara seorang wanita yang sedang mendesah sambil berbicara dalam bahasa Inggris membuatku sedikit ragu. Namun, tanganku tetap saja membuka pintu kamar.
Deg!
“Erina?” panggilku pelan. Sudah tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata suasana hatiku saat ini.Erina yang sepertinya sudah hampir mencapai titik klimaks kenikmatan membuka matanya dan menoleh ke arahku dengan mata yang terbelalak dan mulut menganga.Sedangkan seorang pria yang tangannya masih berada di ... dalam lubang kenikmatan milik Erina juga ikut menoleh dan perlahan menarik tangannya.“Siapa dia? Apa dia saudara kamu?” tanya seorang pria itu dalam bahasa Inggris.“Bukan,” jawab Erina, tak mengalihkan tatapannya padaku.“Maaf mengganggu. Selesaikan dulu aktivitas kalian. Aku akan menunggu di luar,” ujarku dingin.Kebanyakan orang yang berada di posisiku saat ini pasti akan pergi begitu saja. Namun, berbeda denganku yang masih ingin memberi Erina kesempatan untuk bicara. Aku hanya ingin tahu alasannya berbuat itu di belakangku, bukan ingin kembali dengannya. Statusnya sudah bukan kekasi
“Li, sudah donk nangisnya,” bujuk Cheryl.Entah sudah berapa lama aku menangis dan tidak bisa berhenti. Badanku gemetaran, antara takut dan perasaan kehilangan.Jadi, tadi, begitu Tante Iva memberi tahu kalau Finn sudah ... tiada ... ah, aku benci harus mengatakan hal ini. Yang pasti, tadi aku langsung menangis dan tidak berhenti mengucapkan kata maaf.Aku benar-benar tidak percaya kalau Finn sudah pergi untuk selamanya. Aku merindukan Finn. Kami baru saja bertemu di kampus dan dia ... dia ... dia mengantarkanku ke toko baju. Ah, aku benar-benar menyesal telah mengajak Finn ke toko baju. Tuhan ... aku hanya ingin membelikan baju untuknya sebagai rasa terima kasih atas cinta yang dia berikan untukku.Melihatku menangis, Om Danendra meminta Cheryl mengantarkanku kembali ke kamar. Di sinilah aku sekarang, di ruang perawatan.“Aku harus bagaimana agar Finn kembali, Ryl?” tanyaku sambil menangis.Aku sungguh-sungguh ingin
“Apa yang terjadi?” tanyaku keheranan saat melihat Cheryl sibuk melakukan serangkaian tes dan menanyakan banyak hal padaku.Cheryl hanya diam dan tak memberikan jawaban apa pun.“Ryl, aku baik-baik saja. Kita kembali ke kamar, yuk!” ajakku.“Ayo, sudah waktunya untuk istirahat,” jawab Cheryl.Aku mengangguk lega.Setibanya di kamar ...Cheryl membantuku naik ke atas brankar kemudian dia menatapku lurus, seakan ada sesuatu yang ingin dikatakannya.“Aku ingin bicara sesuatu. Apa boleh?”Benar, ‘kan dugaanku?Aku pun mengangguk ragu. Sepertinya ini berkaitan dengan kesehatanku. Apa ada masalah?“Post-traumatic stress disorder atau PTSD adalah sebuah kondisi mental di mana seseorang mengalami serangan panik, yang dipicu oleh trauma.” Cheryl menjelaskan, membuatku mengernyitkan kening.Cheryl menghela napas sejenak sebelum lanjut bicara.&l
“Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk datang,” ucap seorang pria paruh baya itu dalam bahasa Inggris.Aku hanya membungkukkan badan sekali lagi sebagai tanggapan.Kemudian seorang pria dan seorang wanita paruh baya, serta dua orang gadis itu melanjutkan langkah mereka, meninggalkan aku seorang diri.Aku pun memberikan penghormatan terakhir di hadapan makam seseorang yang tidak kukenal, lalu aku kembali ke mobil.Untuk beberapa saat aku masih diam di dalam mobil untuk mengingat-ingat wajah seorang gadis yang sedari tadi menangis itu. Hm ..., aku tidak ingat pernah bertemu dengan seorang gadis itu tetapi wajahnya tidak asing.Perlahan aku mulai melajukan kendaraan, keluar dari area pemakaman.Hatiku sedikit merasa lega setelah menangis tadi.Jujur, tadinya aku merasa menjadi orang yang paling menyedihkan. Mama kandungku sendiri tidak mau bicara denganku. Ditambah, kekasih
Krek!Aku yang saat ini sedang duduk di dekat jendela kamar, menoleh begitu mendengar pintu dibuka.Cheryl membawa nampan dan berjalan mendekat ke arahku. Lalu dia duduk di sisi tempat tidur, di sebelahku, sambil meletakkan nampan di atas tempat tidur.“Aku sudah masak susah-susah, tidak boleh tidak di makan ya,” ujar Cheryl.“Aku belum lapar,” sahutku, kembali melihat ke arah luar jendela.Saat ini gorden memang sedang aku buka. Sedari tadi aku terus menatap ke arah langit biru, seakan sedang mencari sosok Finn di sana.“Enggak silau apa, Li, lihat langit terus?” tanya Cheryl sambil menengadah ke arah langit.“Hm,” gumamku, tak berniat memberikan jawaban.Dari sudut mataku, aku bisa melihat kalau Cheryl memerhatikanku.“Li, dari kemarin hanya hotdog yang masuk di dalam perutmu—““Sudah keluar sih tadi pagi,” potongku dengan pandangan ma
Pesan yang baru saja aku baca datang dari Erina. Dua kali aku membaca pesannya hingga aku menghela napas panjang dan mengusap kasar wajahku.Bagaimana bisa tiba-tiba Erina mengirimkan pesan, ketika aku sempat mengingatnya sekilas, seakan kami masih punya ikatan batin?“Aku harus bagaimana?” gumamku bingung.Di satu sisi, tidak ada gunanya kami bertemu. Di sisi lain, aku tahu bagaimana rasanya memiliki perasaan bersalah dan harapan untuk bisa mendapatkan pengampunan.Sering kali orang lebih suka menghukum dengan membiarkan seseorang hidup dengan perasaan bersalah tanpa memberikan maaf. Padahal memaafkan itu bukan menghapus kesalahan. Dan sekalipun kita sudah memaafkan, tidak semua orang bisa dengan mudah melepaskan perasaan bersalah.Bagiku, memaafkan itu sebuah langkah maju. Hidup kita dan orang lain harus terus berjalan.Ha! Lagi-lagi aku menghembuskan napas kasar.Setelah berpikir sejenak, aku bergerak merapikan barang-b
Lilian POVBeberapa saat yang lalu, usai menghabiskan bubur ayam buatan Cheryl, aku mengajak sahabatku itu jalan-jalan keluar sebentar.Meskipun Cheryl tak berhenti menggangguku agar aku berhenti melamun, tetapi aku tetap merasa sepi.Di Singapura, selalu ada orang-orang yang berlalu lalang di jalanan, dan aku ingin merasakan kehadiran banyak orang. Dengan demikian, aku berharap, bisa melupakan Finn walau hanya sebentar saja.Pikiranku benar-benar penuh hingga membuat kepalaku terasa sangat sakit. Dadaku sesak menahan rindu. Hatiku teramat sedih. Aku hanya perlu sebentar saja keluar dari unit apartment ini.Beruntung Cheryl menyetujui keinginanku. Kebetulan dia ingin makan nasi lemak. Jadi, kami bergegas bersiap dan berjalan keluar dari unit apartment.Ketika kami sudah dekat dengan tempat makan yang menjual nasi lemak, tiba-tiba ada suara sirine yang begitu nyaring, memekakkan telinga.Suara sirine itu mengingatkanku pada kejadian di mana aku melihat mobil Finn ditabrak dan … dan … da
Demi bisa mengunjungi Finn, aku menikmati makan malamku dengan semangat, walau aku sebenarnya belum berselera makan. Dan itu sukses membuat Cheryl terus menampilkan raut wajah bahagia.“Sudah ya, aku menepati janjiku,” kataku pada Cheryl yang hanya mengangguk-angguk.“Istirahatlah! Biar aku yang mencuci piring,” ujar Cheryl usai menelan suapan terakhir.“Terima kasih, Dokter Cheryl kesayangan,” ucapku riang.Rencana untuk mengunjungi makam Finn besok, sungguh membuatku lebih bersemangat. Mungkin terdengar berlebihan, tapi aku merasa hatiku tertinggal di sana bersama Finn.Setelah membantu Cheryl meletakkan peralatan makan di tempat cucian, aku bergegas masuk ke dalam kamar untuk membersihkan tubuhku dan beristirahat. Ah, aku tidak sabar menunggu besok.Tok tok tok!Aku mendengar suara pintu kamar diketuk namun terlalu banyak menangis membuatku sulit membuka mata.Hingga tak lama kemudian, akhirnya aku berhasil membuka mata dan melihat seseorang datang menghampiriku.Tunggu dulu!“Finn
Aku melihat ke sekeliling ruang kamar VVIP, tempat aku dirawat sekarang. Hingga pandanganku berakhir pada sosok bayi perempuan mungil di dalam pelukanku.Namanya Gina, yang berarti wanita kuat. Aku ingin anakku tumbuh menjadi wanita kuat, tidak seperti aku yang suka menangis dan selalu terlihat lemah.Masih teringat rasa sakit saat kontraksi dan tak kunjung melahirkan. Namun, semuanya itu terbayarkan dengan rasa bahagia yang membuatku seketika melupakan rasa sakitnya.Saat ini, Keenan, Papa Mario, Mama Louisa, Papa, Mama, Tante Iva, dan Om Danendra sedang berada di dalam kamar, tempat aku dirawat.Begitu tahu aku merintih kesakitan, Mama Louisa mengajakku ke rumah sakit dan di dalam perjalanan beliau menghubungi semua orang terdekat.Aku tahu kalau keinginanku untuk melahirkan di Singapura memang tidak mungkin menjadi kenyataan karena Keenan tidak mengizinkanku bepergian. Meskipun demikian, aku tetap menaruh harapan bisa pergi ke Singapura di detik-detik menjelang mau melahirkan.Aku h
Untungnya, aku tidak sampai memuntahkan makan siangku. Namun, rasa mual membuatku sedikit lemas.Ketika aku keluar dari salah satu toilet yang ada di dalam mall ini, Keenan ternyata sudah menungguku di dekat pintu masuk toilet.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Keenan terlihat khawatir.“Baik. Hanya saja, bagaimana dengan Om Danendra dan Tante Iva? Mereka di mana?” Aku bertanya dengan sedikit perasaan tidak enak.“Mereka masih makan. Kita kembali, yuk!” ajak Keenan.Aku hanya mengangguk mengikuti Keenan.“Jangan dimakan kalau tidak selera, Li!” tegur Tante Iva.Aku memandangi makanan di atas piring yang ada di hadapanku dengan perasaan bersalah. Tapi, aku sungguh-sungguh tidak mampu memakannya lagi.“Maaf, Om, Tante,” ucapku lirih.“Eh, tidak apa-apa. Sudah … jangan dilihat terus! Nanti mual lagi.” Tante Iva menarik piringku.Sesudah Keenan, Om Danendra, dan Tante Iva menghabiskan makanan, kami segera beranjak dari tempat itu.“Li, kamu belum makan lho,” ujar Keenan.“Tidak apa-apa. Ta
Tiga bulan kemudian …Sejak menikah, selain menjadi istri dan ibu rumah tangga, status aku berubah menjadi pengangguran akut.Dalam sebulan, hanya sesekali saja aku merancang desain untuk produk mainan anak yang dibuat oleh Keenan. Sisa waktu yang lain, aku gunakan untuk membersihkan rumah, masak, pergi ke cafe terdekat, dan melakukan perjalanan ke Singapura.Biasanya, aku melakukan perjalanan ke Singapura kalau Keenan ada pekerjaan di Jakarta dan Singapura. Jadi, aku sengaja menghindari bertemu keluargaku dengan melakukan perjalanan ke Singapura terlebih dahulu. Nanti aku pulang ke Pulau Bali bersama Keenan.Di Singapura, aku membersihkan unit apartmentku dan mengunjungi Tante Iva. Bersama Tante Iva, aku jalan-jalan dan wisata kuliner.Seperti sekarang, aku dan Tante Iva sedang mencicipi hidangan laut yang ada di salah satu pujasera.“Huaaa … ini enak sekali, Li! Kamu tahu nggak, Tante sudah lama ingin makan di sini. Hm, sepertinya sejak sebelum kamu menikah, tapi Om tidak pernah mau,
“Eee ….”Aku bahkan belum mulai bicara, tiba-tiba Keenan kembali melumat bibirku dan beralih menghisap leher bagian bawah. Itu sangat geli hingga membuatku tertawa kecil.Jangan lupakan tangannya yang mulai meremas kedua benda kenyal milikku! Pun ciumannya semakin turun sampai tulang selangka miliku.“Kee …! Aaaaahh.” Akhirnya lolos juga desahanku ketika merasakan lumatan di ujung salah satu bukit kembarku.Tubuhku benar-benar terasa tegang dan sepertinya Keenan bisa merasakan itu.“Maaf,” ucap Keenan tepat di telingaku, “tapi, aku sudah boleh melakukannya, bukan?”“Boleh,” sahutku singkat.Suamiku ini lucu juga. Sudah melakukan sampai sejauh ini baru minta maaf. Lagipula, aku bukannya keberatan, melainkan lebih ke arah malu dan khawatir karena belum pernah melakukannya.Di dalam hati, aku terus mencoba mengingat-ingat perkataan Cheryl agar tetap santai walaupun kenyataannya praktik itu sangat susah.“Baik. Kamu yang santai, Sayang!” ujar Keenan sambil mengusap-usap kepalaku.“Pelan-p
Keenan dan aku memang memilih untuk membuat acara pernikahan yang sederhana karena kami adalah pribadi yang tidak menyukai acara-acara besar.Jadi, kesederhanaan yang kami putuskan tidak ada sangkut pautnya dengan sikap Mama.Berhubung acara kami sangat sederhana, usai makan dan berbincang, kebanyakan tamu langsung pamit sehingga tidak sampai malam, keseluruhan acara sudah selesai.“Terima kasih untuk semua tim event organizer, tim dekorasi, salon, bridal, fotografer, video, pembawa acara, souvenir, dan semua tim yang terlibat. Kalian sudah bekerja keras hingga acara pernikahan saya dan istri dapat berjalan dengan lancar,” ucap Keenan sebelum mereka semua pulang.Mendengar Keenan menyebutku sebagai istri, membuatku sedikit tersipu. Status yang baru ini masih terdengar aneh di telingaku.“Sebelum pulang, jangan lupa makan dulu, ya!” sambungku.Keenan dan aku lantas pamit untuk masuk ke kamar hotel.Wah, iya … aku hampir saja lupa. Sekarang aku dan Keenan sudah akan tinggal di satu kama
Aku melihat Mama Louisa meletakkan tas di atas meja. Beliau lantas mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari dalam tasnya dan duduk di sebelahku.“Lilian, Mama minta maaf karena sewaktu pertama kali kita bertemu, Mama terkesan tidak menyukaimu, pun Mama menolak membuat gaun pengantin untukmu. Itu semua bukan karena Mama membencimu,” jelas Mama Louisa.“Iya, Ma ….”“Mama juga tidak pernah membenci Keenan,” potong Mama dengan suara pelan, “mungkin Keenan sudah menceritakan semuanya padamu.”Aku hanya diam karena tidak tahu harus berkata jujur atau tidak.“Tidak apa-apa. Jangan khawatir! Mama tidak marah,” sambung Mama Louisa sambil tersenyum.Cantik!Astaga! Mama mertuaku cantik sekali kalau tersenyum begini. Hidungnya mancung. Kulitnya masih kencang. Beliau bahkan tidak memiliki kantong mata.“Ma, Keenan sangat sedih ….” Aku tidak melanjutkan perkataanku karena tidak ingin salah bicara. Aku tidak mau memanfaatkan suasana.“Mama tahu dan di sini Mama memang sudah melakukan k
“Apa yang bisa Papa lakukan sekarang? Papa ingin bertanggung jawab dan ingin marah karena kalian menolak. Akan tetapi, Papa bisa memaklumi keputusan kalian,” ujar Papa Mario.Aku dan Keenan diam-diam saling berpandangan. Namun, kami tidak memberikan tanggapan. Kami tetap pada pendirian kami untuk menjalani semuanya sendiri sampai akhir.Ting!Papa Mario, aku, dan Keenan praktis menoleh ke arah ponsel milik Keenan yang dia letakkan di atas meja. Itu tanda ada pesan yang masuk.Keenan meraih ponsel dan membuka layarnya.“Dari Mama,” ujar Keenan, “katanya di hari pernikahan kita sudah ada yang memesan gaun pengantin.”“Baik, tidak apa-apa. Aku sudah punya alternatif. Nanti aku akan membuat janji,” jawabku sambil tersenyum.Sebenarnya, aku sudah bisa menduga jawaban ini. Mama Louisa pasti tidak ingin mencampuri urusan kami.Kecewa itu pasti. Aku masih manusia. Ada rasa nyeri di hati karena merasa diabaikan. Namun, melihat raut wajah Keenan yang jelas terlihat sedih, membuatku praktis memb
Keenan terlihat tidak enak hati saat melihat mamanya tidak menyapaku dengan benar. Namun, aku tetap mempertahankan senyum dan sikapku yang tenang sebagai bentuk dukungan.Seperti yang aku katakan bahwa ini adalah realita yang harus kami hadapi. Baik calon mama mertua maupun mamaku sendiri sama-sama memiliki luka yang tidak mungkin disembuhkan oleh aku dan Keenan.Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku dan Keenan tidak melakukan kesalahan apa pun. Tante Louisa dan Mama terluka karena diri mereka sendiri. Namun, satu-satunya cara agar kami tetap dapat melangkah adalah menerima keadaan diri sendiri.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini anak-anak yang menyebalkan.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini penyebab luka yang mereka alami.“Apa kalian sudah makan siang?” tanya Om Mario.Aku melirik ke arah jam dengan rantai emas yang melingkar di pergelangan tanganku. Saat ini sudah lewat jam makan siang.“Sudah,
“Sebenarnya, kedatangan saya dan Lilian kemari mau sekalian pamit, Om,” jelas Keenan saat melihat raut wajah bingung Om Danendra.“Lho … nanti kalian pasti akan kembali juga, ‘kan?” tanya Om Danendra.“Iya, tapi kami akan lebih sering berada di Indonesia,” jawab Keenan.“Tidak apa-apa. Selagi kita masih berpijak di bawah langit yang sama maka artinya kita belum berpisah. Om dan Tante pasti akan mengunjungi kalian. Sebaliknya kalian tidak boleh lupa mengunjungi Om dan Tante.” Om Danendra berkata.“Kami tidak mungkin lupa sama Om dan Tante,” jawabku masih terisak.“Bukankah Om dan Tante sudah menganggap Lilian sebagai anak kandung sendiri? Pun Lilian sudah menganggap Om dan Tante sebagai orang tuanya. Mudah-mudah saya bisa sering-sering mengajak Lilian main ke Singapura,” ujar Keenan.“Saya juga masih punya unit apartment di sini. Jadi, kami pasti bisa sering datang berkunjung,” sambungku dengan sok yakin.Keenan hanya mengangguk setuju.“Tante merasa bahagia melihat kalian akan segera