"Pensil, pensil warna, buku, buku gambar, pulpen, penghapus, penggaris, kotak pensil, serutan pensil. Emmm... apa lagi, ya? Kayaknya udah." Nanda lalu beralih ke almari dan mengeluarkan barang-barang yang ada di dalam sana. "Papa, menurut Papa tas ransel yang bagus yang mana?"
"Semuanya juga bagus."
Nanda mengembungkan pipinya. "Papa lihat, dong! Jangan lihatin laptop terus."
Arjuna mengalihkan sebentar perhatiannya dari layar laptop. "Mmmm... yang warna merah bagus. Sesuai hari pertama masuk sekolah, harus pakai warna yang cerah biar semangat."
"Oke, deh!"
Tangan kecil Nanda kembali sibuk. "Kaos kaki... yang mana, ya? Yang putih aja, deh." Nanda menyimpan kembali koleksi kaus kaki berbagai macam warna. "Sepatunya yang mana, Pa?"
"Yang warna hitam aja, yang minggu lalu baru dibeli."
"Nggak ah, Pa. Yang dulu aja. Masih bagus, kok. Masih kinclong."
Saking semangatnya untuk bersekolah besok, Nanda hampir tidak bisa tidur. Akibatnya ketika pagi hari, Nanda kantuk berat tidak bisa bangun dan sedikit agak demam. Meskipun begitu, Nanda tetap memaksa untuk pergi ke sekolah barunya.
"Papa, kenapa aku nggak boleh pakai baju seragam?" Nanda cemberut ketika rambutnya disisir oleh ayahnya.
"Karena Nanda mulai masuk sekolahnya besok, hari Selasa. Hari ini kita jalan-jalan keliling sekolah. Kalau kamu pakai seragam, nanti bajunya kotor. Nanti ibu gurunya nggak mau mau deketin kamu gimana, lho?"
"Kan masih ada baju seragam yang lain, Papa!"
"Kalau kamu nggak mau nurut, nanti Papa nggak mau ajak kamu ke kebun binatang, lho."
"Iya, deh." Nanda berhenti merengek.
Ketika semuanya sudah siap dan rapi, mereka berdua masuk ke dalam mobil dan mulai pergi ke sekolah untuk pendaftaran Nanda sebagai murid TK baru.
TK Cempaka Kuning adalah TK tempat Arjuna bersekolah saat kecil. Ketika sekolah dasar pun Arjuna masih bersekolah di sana, dan saat sekolah menengah, Arjuna memilih untuk bersekolah di luar kota untuk mendapatkan pengalaman.
Saat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, Arjuna kos jadi sejak kecil ia sudah terbiasa hidup mandiri.
Sengaja Arjuna memasukan Nanda ke TK Cempaka Kuning karena dulu Arjuna pernah berjanji pada kepala sekolahnya kalau sudah besar dan punya anak, Arjuna akan menyekolahkannya di sana. Jadi, Arjuna menepatinya sekarang. Padahal dulu saat awal-awal, Arjuna menyekolahkan Nanda di TK khusus orang-orang elite. Tapi karena Nanda tidak betah, Nanda pun keluar dan lebih sering menghabiskan waktunya di kantor, saat waktu luang, Arjuna selalu mengajarkan Nanda membaca, menulis dan menghitung alias calistung.
Lima belas menit perjalanan, mereka sudah sampai di TK Cempaka Kuning. Karena sekarang sudah jam tujuh lebih sepuluh menit, jadi kegiatan belajar mengajar sudah berlangsung dan tidak ada terlihat para murid yang berkeliaran di luar sekolah kecuali kelas para murid yang tengah dalam pelajaran pendidikan jasmani.
Arjuna mengamati tiap sudut bangunan TK yang tidak banyak berubah. Bahkan ruang guru dan TU masih berada tempat yang sama, Arjuna pikir ruangan tersebut sudah dialihkan ke ruangan yang lebih besar.
"Arjuna!"
Bibir Arjuna langsung tersenyum cerah ketika seseorang yang sangat dikenalnya dan sudah lama tidak ditemui memanggil namanya. Arjuna menghampiri orang tersebut lalu mencium tangannya. "Selamat pagi, Bu Eni."
"Selamat pagi," balas Bu Eni sambil tersenyum.
"Ibu gimana kabarnya?"
"Kabar Ibu sehat, Jun. Tapi cuman lutut suka agak sakit kalau terlalu banyak berjalan, Ibu juga sering encok."
Arjuna hanya tersenyum samar, tidak mungkin ia tertawa terbahak, biasanya dulu waktu masih kecil jika Bu Eni berbicara seperti itu dan Arjuna tidak tertawa beliau selalu menggelitik perut Arjuna. "Nanda, cium tangan sama Bu Eni. Bu Eni ini yang punya sekolah ini, Bu Eni juga nantinya jadi guru kamu."
Nanda langsung mencium tangan Bu Eni sesuai perintah dari ayahnya. "Selamat pagi, Bu Guru. Nama aku Abimanyu Nandana Giandra."
"Selamat pagi juga, Ganteng!"
"Ibu Guru, nama aku bukan Ganteng, tapi Abimanyu. Ibu Guru bisa panggil aku Nanda, jangan panggil Ganteng, ya!"
Bu Eni tertawa kecil. "Nanda ini persis banget sama kamu, Jun. Emang ya, buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya." Bu Eni mengelus kepala Nanda. "Ayo, masuk!"
Arjuna mengangguk. Mereka masuk ke ruang guru. Arjuna dan Nanda duduk di kursi yang sudah disediakan di ruangan kepala sekolah.
"Kenapa kamu pindahin Nanda ke sekolah ini, Jun?" tanya Bu Eni. Ia sedikit membetulkan posisi selendang berwarna putih yang menutup sanggul dan kepalanya. Lengan baju batik berwarna hitam putih itu sedikit ditarik ke atas saat Bu Eni mulai membuka lembaran demi lembaran berkas tentang kepindahan Nanda.
"Di sekolah lamanya Nanda di rundung, Bu."
"Dirundung? Kenapa bisa begitu?"
Arjuna melirik ke arah Nanda lalu menepuk kepalanya pelan. "Karena Nanda nggak punya mama, Bu."
Bu Eni tidak menanyakan lebih lanjut.
"Setiap pergi atau pulang sekolah, saya yang selalu mengantar Nanda, dan jika ada kegiatan di sekolah, saya yang selalu menemani. Sementara yang lain selalu apa-apa ditemani oleh ibunya. Ada satu murid yang nakalnya minta ampun, dia selalu mengejek Nanda nggak punya mama. Yang lainnya malah ikut-ikutan mengejek Nanda karena terpengaruh."
"Malang sekali nasib Nanda, Jun. Ibu jadi prihatin. Tapi kamu tenang aja, Jun. Ibu jamin di sini Nanda tidak akan diperlakukan seperti itu. Kalau ada anak yang mengejek Nanda, bakal Ibu tegur dan kalau bisa Ibu akan keluarkan anak itu dari sekolah. Baru kecil akhlak-nya sudah seperti itu, bagaimana jika dia besar nanti? Nanda, kamu jangan takut buat sekolah di sini, ya?"
"Iya, Bu. Terima kasih."
Setelah selesai mengecek berkas-berkas kepindahan sekolah Nanda, Bu Eni mengajak anak juga ayah itu pergi mengelilingi sekolah. Bu Eni dan Arjuna banyak berbicara, menceritakan kembali masa lalu ketika Arjuna sedang bersekolah di TK Cempaka Kuning ini.
Mereka bertiga pun sampai di tempat favorit Bu Eni, apalagi kalau bukan taman sekolah. Berbagai macam bunga ada di taman tersebut, pot-pot berjajar rapi di setiap sisi taman. Di tengah-tengah taman tersebut ada kolam kecil yang diatasnya terdapat tanaman bunga teratai yang bunganya sudah mekar tiga.
Sepertinya kolam tersebut dibuat ketika Arjuna sudah keluar dari sekolah karena dulu belum ada. Yang masih ada sampai sekarang adalah pohon bunga kertas juga pohon jeruk lemon. Arjuna ingat siapa yang menanam pohon jeruk lemon tersebut, dia adalah anak dari salah satu guru di sini dan satu kelas dengan Arjuna.
Sejak dulu baik murid TK atau murid sekolah dasar selalu diwajibkan untuk membawa tanaman hidup ke sekolah. Bu Eni bilang supaya sekolah terlihat cantik dan asri, tapi jika Bu Eni menemukan satu bunga yang bagus dan menarik perhatiannya, bunga itu akan langsung di bawa pulang ke rumah, bukan ditanam di sekolah. Maklum lah, Bu Eni ini orangnya pecinta bunga dan tanaman. Katanya, kalau dirinya tidak menjadi guru, Bu Eni ingin menjadi petani saking cintanya pada tumbuhan.
"Pa, ini hewan apa? Kok di kebun binatang aku nggak pernah lihat yang kayak gini? Apa ini anak putri duyung?" Nanda berjongkok dan menunjuk ke dalam kolam.
"Itu namanya kecebong, anak katak bukan anak putri duyung, Abimanyu," jawab Bu Eni sambil terkekeh kecil.
"Oh... gitu, ya? Tapi kenapa nggak ada di kebun binatang, Bu Guru?"
"Karena yang ada di kebun binatang itu hewan-hewan yang besar, sulit untuk ditemui dan sudah langka."
"Oh...." Kepala Nanda mengangguk-angguk.
Mereka bertiga kembali berkeliling. Raut wajah Nanda terlihat sangat bahagia ketika melihat murid-murid yang sedang berolahraga di luar melambaikan tangannya pada Nanda.
"Pa..., aku boleh ikut gabung ke sana, gak?"
Arjuna melirik ke arah Bu Eni, meminta persetujuan.
Bu Eni kemudian mengangguk.
"Boleh, tapi kamu janji ya jangan ganggu dan jangan nakal."
"Janji!" Nanda mengangkat jari kelingkingnya lalu menautkannya ke jari kelingking Arjuna.
"Ganteng banget!"Arjuna yang mendengarnya hanya tersenyum kecil. Sejak lima menit yang lalu ia selalu mendengar orang-orang berbisik sambil mengamatinya. Tentu saja mereka mengagumi ketampanan wajah Arjuna, bahkan ibu guru yang sedang hamil berharap anaknya nanti ketika lahir wajahnya akan tampan seperti Arjuna dan ibu guru yang masih single berharap menemukan calon suami seperti ayahnya Nanda itu, atau mereka berharap menikah dengan Arjuna?"Guru baru?""Bukan, tapi mas-mas ganteng itu katanya ayah dari murid baru yang mau bersekolah di sini. Itu lho, yang waktu itu diceritakan sama Bu Eni.""Aduh! Gagal buat saya gebet, dong, Bu? Tadinya mas-mas ganteng itu mau saya bawa pulang terus dikenalkan ke kedua orang tua saya."Dua ibu guru yang sedang bergosip itu tertawa kecil. Mata mereka masih belum lepas pandangannya dari sosok Arjuna."Saya mau ke kantin dulu, Bu." Ibu guru yang masih single dan masih muda berusia sekitar dua puluh empat ta
"Penculik?" Bu Eni menatap ke arah yang ditunjuk oleh Arjuna. "Penculik yang kamu maksud siapa, Jun?""Itu, Bu. Itu penculiknya yang lagi di depan dispenser."Bu Eni sekarang mengerti, beliau kemudian tertawa. "Jadi orang yang kamu ceritakan sebagai penculik di kebun binatang itu Nismara, Jun? Hahaha... dan orang tua menyebalkan dan tidak bisa mengurus anak maksud kamu Arjuna, Nis? Kok bisa kebetulan seperti ini, ya?""Iya, Bu, dia penculiknya. Kenapa penculik seperti dia bisa berada di sini? Apalagi jadi seorang guru. Awas, Bu, hati-hati, siapa tahu ini hanya sebuah kedok saja supaya dia bisa leluasa untuk menculik anak-anak tanpa satu orang pun yang curiga."Bu Eni dan Bu Mia tertawa."Heh, Pak, jangan ngomong sembarangan, ya. Saya bukan penculik, benar-benar bukan seorang penculik.""Mana ada penculik ngaku. Bu, Ibu harus percaya sama saya, perempuan itu bukan perempuan baik-baik, dia orang jahat, buktinya dia mau culik Nanda, Bu." Arjuna mencoba meyakinka
Entah untuk yang keberapa kalinya Nanda bercermin, membetulkan posisi dasi dan baju seragamnya juga rambut yang sudah disisir rapi oleh ayahnya."Pa, aku sudah keren, belum?" tanya Nanda sambil memutar tubuhnya."Sudah, dong. Sudah rapi, wangi, ganteng lagi." Arjuna menjawabnya sambil merapikan dasi lalu memakai jas hitam."Berarti Bu Nis bakal makin suka sama aku, dong, Pa?"Arjuna mengerutkan kening. "Apa hubungannya sama Bu Nismara?""Kan Bu Nis itu suka sama aku, Pa. Papa gak tahu, ya?"Iya, suka nyulik, ucap Arjuna dalam hati.Setelah selesai sarapan, mereka berdua langsung berangkat ke TK Cempaka Kuning. Arjuna berpesan kalau nanti ketika Nanda pulang, ia akan menjemputnya walaupun agak sedikit terlambat.Arjuna juga mewanti-wanti untuk menunggu di dalam sekolah, jangan mengikuti siapa pun, apalagi mengikuti Nismara, pokoknya Arjuna tidak mau hal itu terjadi. Siapa tahu Nismara memang benar-benar seorang penculik, kan?Arjuna ini memang tipe orang yang tidak mudah percaya kepada
Nanda, Nismara dan Bu Darmaya menatap wajah Arjuna dengan lekat sebab sudah hampir dua menit Arjuna tidak bereaksi sama sekali."Kayaknya racun yang saya kasih sudah bereaksi, ya? Bapak jadi nggak cerewet seperti biasanya," ucap Nismara.Sial! Aku dikerjai, ucap Arjuna dalam hati.Bu Darmaya terkekeh pelan. "Maafkan kelakuan anak saya ya, Pak Arjuna. Nismara itu orangnya memang tidak bisa bercanda, jadi sekalinya bercanda nggak lucu kayak komedian di televisi.""Tidak apa-apa, Bu. Saya juga minta maaf karena sudah berpikiran yang buruk.""Seharusnya Bapak minta maaf pas pertama kali kita berdua bertemu di kebun binatang. Kenapa cuma minta maafnya ke ibu saya saja?" Nismara mulai menunjukkan kekesalannya tetapi Arjuna tidak menggubris sama sekali."Nanda, Sayang ayo kita pulang."Nanda menggeleng. "Nggak mau, Pa.""Lho? Kenapa? Kamu jangan gitu, dong. Malu dong sama Bu Darmaya. Kita pulang, ya? Jangan bikin repot orang-orang.""Nggak mau, Pa!" Seka
Arjuna menopang dagu sambil menatap layar laptop yang masih menyala. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari tetapi mata Arjuna masih enggan untuk terpejam walau sebentar. Pekerjaan kantor benar-benar menyita waktu istirahatnya.Air kopi di dalam gelas susah habis, tinggal ampasnya saja. Arjuna berjalan ke dapur untuk membuat kopi lagi, bukan kopi dengan gula melainkan kopi yang hanya kopi saja, alias kopi pahit. Entah sudah berapa tahun Arjuna menjadi kecanduan kopi pahit yang jarang disukai banyak orang.Di wastafel, piring dan gelas kotor belum dicuci saking sibuknya Arjuna dengan pekerjaan kantornya. Arjuna melirik sekilas rantang susun milik Nismara yang isinya sudah kosong karena tadi malam Arjuna dan Nanda menghangatkan kembali makanan pemberian dari bu guru tersebut. Arjuna akui kalau masakan Nismara memang sangat lezat, pantas saja ketika makan siang tadi Nanda terus menerus meminta untuk menambah. Sebenarnya Arjuna ingin menambah juga, tapi geng
Nismara menahan diri untuk tidak tergiur, apalagi tergoda dengan aroma harum dari rendang yang sedang dihangatkan oleh Bu Darmaya. Sedangkan sekotak martabak, sepotong pun Nismara tidak menyentuhnya, apalagi memakannya."Mbak, jangan dipelototi terus, dong. Kalau mau ambil aja, nanti keburu kita abisin, lho." Adik pertama Nismara, adik perempuannya yang bernama Novi menegur kakaknya itu yang sedari tadi seolah ingin menghabisi martabak tak bersalah tanpa ampun.Adik bungsu Nismara, Dayyan adik laki-laki yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas kejuruan yang sekarang masih belajar di kelas sebelas jurusan teknik mesin itu menyetujui ucapan Novi. "Bener, Mbak Nis, nanti kita berdua yang ngabisin, lho."Nismara masih meyakini kalau makanan pemberian dari Arjuna itu ada peletnya. Makanya Nismara tidak mau dan malah memberikan makanan tersebut untuk keluarganya sebagai bahan uji coba.Ampun deh, jahat banget.Mata Nismara masih tidak berhenti memperhatikan ked
Hari Jumat pagi Arjuna kerepotan karena Nanda tiba-tiba sakit demam. Arjuna sudah menelepon Bude Marni tetapi Bude Marni sedang pergi ke luar kota untuk tiga hari ke depan, jadi dengan terpaksa Arjuna harus mengurus Nanda seorang diri.Arjuna sudah berpakaian rapi, sebelum ke kantor Arjuna terlebih dahulu membawa Nanda ke klinik langganannya setelah itu ia pergi ke sekolah TK untuk memberi tahu pada Bu Eni kalau hari ini Nanda tidak bisa masuk."Terus Abimanyu di rumah sama siapa, Jun?" tanya Bu Eni. Beliau begitu khawatir dengan keadaan Nanda sekarang, soalnya bocah itu tidak ada yang mengurusi."Saya bawa ke kantor, Bu. Kalau saya tinggal di rumah malah saya tidak tega, beda kalau Nanda sudah remaja. Hari ini saya tidak bisa libur pergi ke kantor karena nanti ada rapat dengan perusahaan lain.""Apa nantinya Abimanyu tidak akan mengganggu kamu?"Arjuna menggeleng. "Tidak, Bu. Justru saya merasa senang. Nanti di sana dia akan ditemani oleh office boy.""Oh..." Bu Eni mengangguk paham.
Hampir satu setengah jam Nismara menunggu Arjuna di parkiran sekolah, karena tidak ada tanda-tanda mobil mewah lelaki itu akan datang, juga ia sedari tadi tidak melihat Nanda, Nismara berasumsi kalau Arjuna sudah menjemput pulang Nanda.Nismara kembali pergi ke ruang guru, ia menanyakan alamat rumah Arjuna pada Bu Eni, tetapi Bu Eni malah memberikan alamat kantor milik Arjuna. Bu Eni juga memberi tahu kalau hari ini Nanda tidak masuk sekolah karena sakit. Pantas saja sedari tadi Nismara menunggu Arjuna tidak datang juga. Jadi sia-sia Nismara menunggu dengan sabar, buang-buang waktu saja."Kamu ini perhatian sekali dengan Nanda ya, Nis?" Bu Eni tersenyum.Nismara menggeleng cepat. Bukan, bukan itu maksudnya. Nismara enggan memberi tahu kejadian yang sebenarnya kenapa dirinya mencari rumah Arjuna.Dengan tekad bulat, Nismara pergi ke kantor Arjuna dengan menaiki bus. Sebenarnya tadi Nismara pergi dengan motornya, tetapi karena ban belakang motornya pecah, jadi ia harus
"Yan, tolong ambilin popok di toko, gih.""Nanti aja, Mbak. Tanggung, nih." Dayyan masih terfokus pada layar televisi yang sedang menayangkan acara kartun di hari Minggu pagi.Di rumah keluarga Pak Gumilar sekarang orang-orang sedang sibuk. Bu Darmaya dan Novi sibuk mencuci dan membereskan rumah, Nirmala sibuk mengasuh si kembar dan Dayyan juga ikut menjadi babysitter, menjaga Nanda dan Juni."Cepetan, Yan.""Suruh bang Wowo aja bawa ke sini.""Di toko lagi rame, Mbak tadi udah telepon katanya bang Wowo lagi ngaterin barang, bang Deri lagi sibuk soalnya di toko sekarang lagi banyak pembeli.""Bentar lagi atuh, Mbak. Sabar. Nunggu dulu iklan." Baru saja Dayyan bilang begitu, tiba-tiba tayangan berubah menjadi iklan komersial.Dayyan beranjak dari posisi rebahannya. Ia berjalan gontai mengambil kunci motor yang menggantung di dekat saklar lampu."Om Day, aku ikut." Nanda berlari menuju Dayyan."Sekalian sambil bawa Juni juga, Yan.""Iya, iya." Dayyan menggerutu. Ia menggendong Juni, sem
Nismara saat ini seperti orang yang hendak melakukan sebuah tindak kejahatan. Kepalanya celingukan dan ia terus mengatur napasnya yang memburu, bahkan jantungnya berdetak tidak karuan.Setelah menunggu beberapa saat. Nismara mengambil sebuah benda panjang berwarna putih itu dari dalam gelas yang berisi air berwarna kekuningan dan berbau pesing.Dengan harap-harap cemas, Nismara perlahan mengintip hasil dari benda panjang berwarna putih tersebut. Dan sesaat kemudian napasnya tercekat dan mulutnya menganga. Ia sangat tidak percaya dengan hasil yang ditunjukkan oleh alat tes kehamilan tersebut.Nismara langsung teringat, ia tidak boleh merasa puas dan senang dulu, soalnya kata Bu Mia, kalau ingin tahu hasil yang akurat itu tes harus dilakukan lebih dari sekali.Sebelum Arjuna bangun, Nismara buru-buru menyembunyikan alat tes kehamilan tersebut dan membuang air urinenya.Beberapa hari kemudian, Nismara mencoba mengecek kembali dan hasilnya tetap sama, dua garis merah yang artinya Nismara
Resepsi pernikahan selesai ketika menjelang malam hari. Di kamar pengantin, Nismara dilanda insomnia dan serangan panik yang membuat jantung berdetak abnormal.Jari-jari tangan Nismara saling meremas satu sama lain, tubuhnya juga bergetar hebat."Ini malam pertama! Ini malam pertama! Ini malam pertama!" ucapnya berkali-kali dengan suara yang sangat lirih.Nismara sudah selesai mandi dari setengah jam yang lalu, sekarang wajahnya full tanpa ada riasan, rambutnya juga basah sehabis keramas."Kenapa gak datang bulan sekarang, sih? Kan aku gak bakal tegang kayak gini. Please, datang bulan datang lagi, dong. Tolongin aku, lah."Meskipun berdoa seperti itu tidak akan terkabul karena baru lima hari yang lalu Nismara selesai masa menstruasinya.Nismara berlari ke arah tas selempang yang tergeletak di atas meja rias. Diam-diam ia mengeluarkan obat tidur lalu meminumnya. Semoga dengan ini ia bisa tidur dan tidak ingat apa-apa.Buru-buru ke atas tempat tidur dan bersembunyi di balik selimut, Nis
"Jangan tegang begitu dong, Nis. Rileks, rileks."Nismara mengembuskan napas panjang, berulang kali sampai rasa gugupnya sedikit menghilang."Bayangin aja pas kamu kemarin lagi siraman, gugup gak? Tegang gak? Rileks. Santai, Nis." Reona kembali menenangkan Nismara karena tubuh gadis itu gemetaran dan wajahnya sangat tegang."Siraman sama akad sekarang beda nuansanya, Miss. Aku gugup banget, nih. Nov, tolong ambilkan obat penenang punya Mbak, dong."Novi mendelik kesal. "Kemarin, kan, udah dihabiskan sama Mbak. Obat penenangnya buat sekeluarga, bukan buat Mbak doang. Emangnya Mbak mau overdosis? Kalau diminum sekarang nanti pas naik ke pelaminan gimana, Mbak? Yang tegang bukan Mbak aja, kita semua sekeluarga juga tegang, aku aja yang bukan pengantin aja ikut tegang, merasakan sensasi jika suatu saat nanti aku mau nikah jadi gini rasanya."Pegawai Reona memberikan air minum untuk Nismara dan langsung diminum sampai tandas."Miss, aku mau ke toilet lagi."Reona berkacak pinggang. "Ini ya
Setelah rangkaian pre-wedding dan antek-anteknya, hari ini hari terakhir Nismara mengajar sebelum menghitung hari menuju ke hari yang berbahagia. Saat hari pernikahan Nismara nanti, Andin juga akan ijin cuti selama dua hari, bukan ijin cuti untuk menikah, tetapi Andin ditunjuk sebagai penerima tamu alias pagar ayu bersama dengan Novi dan sepupu Nismara yang lain."Kalau nikahnya di Bogor sekalian kita jalan-jalan, ya. Untungnya kamu ngambil akad hari Minggu, jadi kita-kita semua gak harus bolos massal," ujar Bu Tari.Nismara hanya tersenyum menanggapinya."Omong-omong, ini yang mendesain kartu undangan siapa, Nis? Bagus banget, deh," puji Bu Mia."Itu saya sendiri yang mendesainnya, Bu.""Ih ternyata kamu hebat banget, ya. Keren banget, lho, ini. Simple tapi elegan. Nanti saya promosikan kamu ke para tetangga, kolega dan saudara saya buat desain undangan bisa gak, Nis? Eh, tapi sebentar lagi kamu, kan, jadi nyonya CEO, dibolehin gak, nih, kamu kerja? Jangan-jangan ini hari terakhir
Reona meneguk secangkir kopi hitamnya yang sudah dingin dan tinggal setengah. Ia mengembuskan napas panjang kemudian tersenyum puas. Akhirnya setelah penantian yang panjang dirinya berhasil menyelesaikan tiga gaun pengantin untuk Nismara dan Arjuna. Satu untuk akad dan dua lagi gaun untuk resepsi. Para pegawai yang membantu Reona juga terlihat sangat puas akan hasil kerja sama mereka."Besok kalian boleh libur. Tenang saja, nominal gajian tetap sama, kok," ucap Reona.Para pegawainya bersorak gembira. Mereka mengucapkan terima kasih pada bosnya itu kemudian pamit pulang karena hari sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Ketika para pegawainya sudah pulang, Reona masih berada di dalam ruang kerjanya, menatap lurus ke arah patung manekin yang sudah dipasangi sepasang gaun pengantin yang baru saja selesai dibuatnya.Reona mengembuskan napas panjang, pikirannya berkecamuk, di saat para sahabatnya sudah menikah dan bertunangan, dan masih ada yang berpacaran, hanya dirinya saja yang masih s
Arjuna terkejut ketika tiba-tiba dirinya ditarik ke belakang saat hendak masuk ke dalam mobil. Arjuna juga panik saat orang yang menariknya tersebut tiba-tiba duduk di kursi kemudi dan menutup pintunya dengan rapat."Hei, buka pintunya!" Arjuna tidak mengetahui dengan jelas siapa pelaku tersebut.Saat ini Arjuna benar-benar panik karena tidak mau hartanya diambil, apalagi di dalam ada Nanda yang sudah masuk ke dalam mobil.Jangan-jangan orang yang mau menculik sekaligus mengambil mobil Arjuna? Kalau begitu sebodoh amat dengan mobil, yang Arjuna khawatirkan sekarang yaitu Nanda, anak semata wayangnya yang tidak bisa diganti dan ditukarkan dengan apa pun.Kaca jendela mobil terbuka, menampilkan wajah pelaku yang menarik Arjuna sampai jatuh tersungkur."Cepat masuk ke dalam mobil, Mas."Pelaku tersebut yang tidak lain dan tidak bukan ialah Nismara mengedikkan sebelah bahunya, memberikan isyarat pada Arjuna supaya duduk di jok belakang."Turun kamu dari mobil saya!""Tidak mau.""Turun!"
"Kamu kemarin habis dari mana?"Dada Nismara mendadak sesak. Kalau Arjuna sudah bertanya dengan nada serius seperti ini, berarti itu artinya Arjuna sudah tahu tentang kejadian kemarin sore saat Nismara dan Sella ketemuan di restoran Cina."Aku kemarin gak habis dari mana-mana, kok, Mas. Memangnya kenapa?""Jangan coba-coba bohong, kamu! Kamu pikir aku gak tahu kalau kamu habis bertemu dengan Sella."Arjuna mendadak mengerem mobilnya sampai tubuh Nismara terhuyung ke depan."Kenapa kamu berbohong, Nis?""I-itu...""Kamu gak mencoba untuk mempertemukan Nanda dengan Sella, kan?"Lawan, Nis. Lawan! Kamu jangan diam saja. Kamu harus meluruskan dan memperbaiki hubungan antara Arjuna dengan Sella."I-itu... sebenarnya... aku..., aku memang sengaja ketemuan sama Mbak Sella supaya dia bisa bertemu dengan Nanda, Mas."Mata Arjuna membelalak. Ia menatap Nismara tidak percaya. "Kamu mengkhianati aku, Nis?""Aku gak mengkhianati kamu, Mas. Aku hanya mencoba mempersatukan lagi seorang ibu dan anak
"Jadi, Pak Arjuna ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, gitu?""Sepertinya." Nismara mengembuskan napas. Ia memainkan kuku-kuku jari tangannya."Memangnya kamu gak tanya alasan kenapa Pak Arjuna bercerai?" Andin sibuk mengunyah keripik singkong yang baru saja di belinya tadi sehabis pulang dari pasar malam."Katanya sih dia itu diceraikan sama istrinya dan ditinggalkan, mungkin karena istrinya gak bisa hidup lebih lama dengan orang yang tidak dicintainya sama sekali. Soalnya kalau Mas Arjuna yang menggugat cerai, gak mungkin reaksinya bakal emosional kayak gitu.""Bisa jadi kalau Pak Arjuna itu sedang berbohong, Nis. Dia sebenarnya yang menceraikan mantan istrinya karena ketahuan selingkuh di belakangnya."Nismara menggeleng. "Nggak, Din. Aku yakin Mas Arjuna gak akan melakukan hal tersebut. Mas Arjuna itu tipe anak yang sangat berbakti pada orang tua, Mas Arjuna pasti gak akan mengecewakan kedua orang tuanya, apalagi itu pesan terakhir dari ibunya. Mas Arjuna juga bukan tipe orang yan