Jgeeerrr! Jgeeerrr! Suara petir sedari tadi seperti bom yang meledak menghasilkan kilatan cahaya di langit. Hujan deras sudah berlangsung selama satu jam. Orang-orang mulai menerobos hujan karena terlalu lama menunggu. Zefanya, anak kecil berusia 11 tahun sedang menjajakan payung yang dia pegang. Di saat orang lain bisa menikmati selimut tebal dan makanan hangat, anak laki-laki itu justru menunggu di depan mol berharap ada orang yang menggunakan jasa payungnya.
Jika cuaca sedang cerah maka Zefa akan berjualan tissue di area parkiran. Tetapi jika panas berganti dengan air hujan, maka anak malang itu akan mengambil dua payung dan beralih profesi menjadi ojek payung.
“Anak kecil sini!” Seorang wanita berusia 40 tahun memanggil Zefa yang kedinginan karena tidak menggunakan jacket.
“Nyonya mau pakai jasa payung saya?” Zefa langsung menghampiri mengabaikan tubuh mungilnya yang kedinginan.
“Iya. Tolong antar ibu ke mobil ya.”
Zefanya membuka satu payung hitam hingga mengembang dan siap digunakan. Dia memberikan satu pada wanita itu lalu menggunakan payung yang lain untuk mengikuti ibu itu dari belakang.
“Berapa nak?” tanya ibu tadi setelah dia duduk di bagian belakang mobil grand max miliknya.
“Terserah nyonya saja. Saya tidak pernah mematok harga.” Wanita itu memperhatikan baju Zefanya. Bulu roma di tubuh kecil itu berdiri pertanda jika dia kedinginan.
“Masuklah nak. Ibu akan mengantarmu pulang.” Wanita itu membuka pintu mobil supaya Zefanya masuk.
“Saya masih harus cari uang nyonya. Jika tidak saya tidak bisa makan.” Antara ingin dikasihani atau memang lapar tetapi faktanya Zefa membutuhkan uang untuk menyambung hidup.
“Nanti saya akan ganti rugi. Masuklah! Kamu bisa sakit kalau seperti ini.”
“Sebentar nyonya.” Zefanya berlari ke sebuah pondok dan mengambil sebuah kotak berisi tumpukan tissue kering. Kemudian dia kembali dan masuk ke mobil. “Maaf sudah merepotkan nyonya.” Zefa melihat tetesan air yang berasal dari celana pendeknya. Karpet mobil menjadi basah. Dia pun tidak mau bersandar karena baju bagian belakangnya juga terkena air.
“Tidak masalah. Apa kamu sudah makan?”
“Su-sudah nyonya.” Sebenarnya perut kecil Zefa sudah minta diisi. Tadi pagi dia hanya makan dua biji gorengan.
“Pak, kita berhenti di warung nasi padang langganan saya ya.” Wanita yang belum diketahui namanya itu memberi perintah pada sopir pribadinya.
Butuh waktu 15 menit untuk mereka tiba di tempat yang diinginkan. Jakarta memang selalu macet tidak perduli lagi hujan atau panas terik. Itu sudah menjadi keunikan tersendiri di ibu kota.
“Pak, tolong siapkan dua nasi padang dengan lauk rendang ya. Jangan lupa teh manis panasnya dua.”
“Baik bu.”
Setelah memesan dua porsi makanan, wanita itu menghampiri Zefa yang sudah duduk manis di atas kursi kayu. Matanya memperhatikan setiap pelanggan yang sedang mengobrol sambil menyantap makanan khas sumatera barat itu.
“Siapa nama kamu nak?” Pertanyaan itu menyadarkan Zefa yang melamun. Mimpi apa dia tadi malam hingga bisa makan enak di tempat nyaman seperti ini?”
“Zefanya nyonya.”
“Apa kamu sekolah?”
“Pernah sekolah nyonya. Tapi setelah papa meninggal aku tidak bisa melanjutkannya lagi.”
“Papa?”
“Iya nyonya. Saya tinggal bersama papa. Sewaktu hidup papa jadi pemulung dan selalu bekerja keras supaya saya bisa sekolah. Tetapi sekarang papa sudah tidak ada. Saya belum mampu untuk mencari uang seperti papa. Itu sebabnya saya putus sekolah.”
“Keluarga kamu yang lain di mana?”
“Saya nggak punya keluarga lagi nyonya. Dari kecil saya hanya punya papa saja.”
“Nama saya Tabita. Kamu bisa memanggilku bunda Tabita. Sejak kapan kamu berhenti sekolah nak?”
“Setahun yang lalu nyonya.”
“Apa kamu punya raport sekolah?”
“Punya nyonya.”
“Baik kalau begitu. Cepat habiskan makananmu dan tunjukkan raportmu pada saya!”
Dua piring nasi padang dan dua gelas teh hangat tersajikan di atas meja. Zefa langsung meraih gelasnya dan meneguk minuman manis itu sampai habis. Setelah mencuci tangan dia pun menyantap nasi rendang itu dengan lahap. Rasanya kuah bersantan itu sudah seperti makanan surga untuknya.
“Apa masih lapar?” Bunda Tabita bertanya lagi.
“Sangat kenyang nyonya.” Jawab Zefa setelah menghabiskan dua porsi makanan. Ya, setelah menghabiskan nasi rendang dia juga memesan nasi ayam gulai. Mumpung ada kesempatan. Belum tentu besok dia bisa bertemu dengan malaikat baik seperti bunda Tabita.
“Karena kamu sudah kenyang, sekarang bunda akan mengantarmu pulang.”
“Tapi rumahku kumuh dan bau nyonya.”
“Kamu kan sudah janji akan menunjukkan raport sekolahmu padaku. Sekarang tunjukkan arah ke rumahmu biar sopir bisa membawa kita ke sana.”
Sesuai arahan Zefa mereka berhenti di sebuah pemukiman kumuh. Mobil tidak bisa masuk karena menuju rumah Zefa, mereka harus melewati gang sempit. Bau air selokan yang hitam pekat sangat menyeruak hingga Tabita hampir muntah.
Mereka tiba di sebuah kotak kecil dengan dinding triplek tipis. Zefa ingin mempersilahkan masuk tetapi dia bingung harus menyuruh mereka duduk di mana. Terpaksa anak kecil itu membiarkan malaikat penolongnya menunggu di luar. Tidak lama kemudian Zefa keluar dengan buku raport tipis di tangannya.
“Ini nyonya.”
Setelah raport itu berada di tangan bunda Tabita, dia membuka setiap lembaran dan melihat setiap nilai pelajaran yang tertera di sana. Fantastis! Semua nilainya hampir sempurna. Tidak ada nilai yang lebih rendah dari delapan. Puas memeriksa buku itu, Tabita menatap wajah Zefa.
“Apa kamu ingin sekolah lagi?”
“Mau nyonya. Tapi aku nggak punya uang.”
“Tinggallah di panti asuhan tempat bunda. Di sana kamu akan memiliki banyak teman dan kamu bisa melanjutkan sekolah. Kamu akan menyia-nyiakan kepintaran kamu jika waktumu dihabiskan di depan mol tadi. Bunda akan minta izin pada rt dan rw di sini supaya kamu bisa ikut bunda. Kamu mau kan?”
“Benaran aku bisa sekolah lagi?” Sorot mata Zefa memancarkan kebahagiaan. Artinya dia bisa mewujudkan keinginan ayahnya.
“Iya sayang. Berjanjilah pada bunda kalau kamu akan rajin belajar supaya kamu bisa mendapatkan beasiswa dan kamu melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah.”
“Zefa janji nyonya.”
“Jangan panggil nyonya lagi ya. Semua anak-anak di panti selalu memanggilku bunda Tabita.”
“I-i-iya bunda.” Zefa masih canggung namun dia harus membiasakan diri.
***
Tubuh kecil dibalut dengan kaos kucel, celana pendek, serta kakinya yang dihiasi sendal jepit sedang berdiri di depan sebuah gedung panti asuhan bernama Abba Love. Inilah rumah barunya. Mulai hari ini Zefanya akan tinggal di sana dan memulai kehidupan yang baru. Dia ingin menjadi pengusaha yang sukses seperti keinginan ayahnya.
“Ayo masuk nak. Ayah Charles sudah menunggu di dalam.” Ajak Tabita ketika wanita turun dari mobil. Dirangkulnya bahu anak itu lalu mereka masuk ke sebuah ruangan. Di sana ada pria dewasa menunggu yang tak lain adalah ayah Charles suami dari bunda Tabita.
“Bunda sudah menceritakan tentang kamu nak. Saya Charles. Mulai hari kamu bisa memanggilku ayah Charles. Mari ayah kenalkan dengan teman-temanmu.”
“Ini punyaku!”“Punyaku!”“Bukan ini punyaku!”“Kata mami ini punyaku Abira.”Dua anak gadis sedang rebutan boneka panda di kamar. Mereka adalah Ziona dan Abira. Kakak adik yang terpaut usia hanya setahun.“Mami!” Abira anak paling besar berteriak memanggil maminya yang sedang menyiapkan makan malam.“Apa sih ribut-ribut?” Wanita berusia 35 tahun masuk ke kamar.“Ziona rebut boneka pandaku mi. Ini kan dibelikan untukku.” Abira mengadu pada maminya.“Biar mami ngobrol sama adik kamu dulu ya sayang.” Mengusap kepala Abira dan mengajak Ziona keluar kamar.“Mami, boneka panda itu punyaku. Papi yang membelinya kemarin.” Ziona berusaha membela diri meskipun dia tahu harapannya sangat kecil untuk dibela.“Zio, mami sudah bilang kan untuk ngalah pada kakakmu. Memang papi membeliny
Seorang anak laki-laki berusia 19 tahun berteriak-teriak memanggil bundanya. Di tangannya ada surat pengumuman. “Bunda aku diterima kuliah di salah satu kampus di Singapura. Bukan hanya itu saja. Aku lulus tes untuk mendapatkan beasiswa.” “Wah selamat ya Nak.” Bunda Tabita memeluk anak remaja yang berdiri di depannya. Anak laki-laki yang menawarkan jasa payung padanya kini sudah tumbuh tinggi dan sangat pintar. “Dari awal bunda yakin kalau kamu pasti lulus. Cepat ke ruangan ayah kamu. Pasti dia juga senang mendengarnya.” Zefanya berubah total dari kehidupannya yang dulu. Sangat pintar dan tampan. Tidak ada lagi kesan gelandangan karena kulit dan tubuhnya terawat dengan baik. Zefanya mengetuk pintu dan dia masuk ke sebuah ruangan. “Ayah aku lulus.” Anak remaja itu memberikan kertas di tangannya pada pria paruh baya yang duduk di kursinya. “Selamat ya nak.” Charles bangkit dari ku
Bandara Soekarno Hatta menjadi salah satu tempat yang tidak akan pernah mati. Selama 24 jam lokasi itu selalu terisi dengan orang-orang yang berlalu Lalang. Baik itu kru pesawat, setiap staff yang bekerja atau pekerja restoran yang bertengger di sana. “Ayah sudah menghubugi teman di sana. Katanya kamu boleh tinggal di apartemennya dan membantunya di cafe miliknya. Dia akan memberimu uang tambahan tanpa mendaftarkan kamu sebagai pelayan di restorannya. Anggab saja kamu ngebantu sebagai saudara.” Charles menjelaskan sebelum anak asuhnya itu terbang ke nagara tetangga. “Makasih ayah. Aku pasti kembali dan membuat ayah bangga.” “Harus itu.” Charles memberikan amplop berisi uang dolar Singapore. “Bijak-bijaklah mengelola uangmu. Kalau ayah ada rejeki pasti akan ayah kirimkan untukmu.” Charles memeluknya erat. Zefanya tidak tahu harus bilang apa lagi selain ucapan terima kasih. Dia berjanji kelak akan me
“Dari mana kamu?” Suara Alana menggelegar hingga memekakkan telinga Ziona yang mendengar.“Mi, ngomongnya jangan terlalu kenceng. Sakit nih telinga Zio.”“Kamu dari mana Ziona? Nggak usah mengalihkan pertanyaan mami.”“Habis ketemu teman mi.”“Laki-laki atau perempuan.”“Mati aku!” dalam hati Ziona merutuki dirinya sendiri. Bisa bahaya kalau dia berkata jujur. Bukan fasilitas saja yang akan diambil darinya tetapi selama seminggu dia tidak akan bisa melakukan apapun selain sekolah. “Perempuan kok mi.” Terpaksa lidahnya berbohong. Sepertinya dia harus membiasakan lidah tak bertulangnya itu untuk berkata dusta.“Cepat masuk kamar. Kalau papi sampai tahu kamu pulang jam segini pasti kamu akan dimarahin.” Tangan Alana bersedekap memberi peringatan.“Jangan laporin ke papi ya mi. Zio janji akan melakukan
Mordekhai meminta salah satu bawahannya untuk menemani Ziona mendaftarkan diri di kampus barunya. Jangan harap Mordekhai akan meluangkan waktu untuk mendaftarkan putri bungsunya itu. Masih banyak hal yang harus dia urus. Padahal jika menyangkut Abira pasti dia rela meninggalkan urusannya sepenting apapun itu. Lagi-lagi alasannya usia Abira yang tidak tahu sampai kapan.“Non, isi formnya dulu.” Laki-laki bernama Mandala memberikan pulpen tinta hitam dan tiga lembar kertas yang dia terima dari pihak kampus.Meski berat hati Ziona tetap mengisinya. Satu tujuannya hanya untuk mendapatkan perhatian. Tetapi apa yang dia terima? Ayah biologisnya itu justru meminta Mandala untuk menemaninya. Sebenarnya salah satu teman SMPnya juga tinggal di negara itu dan memberi kabar jika dia akan mengunjunginya di sana. Kebetulan atau tidak, temannya itu juga kuliah di tempat yang sama dengannya.“Man, aku mau ke toilet dul
“Di mana?” Suara cempreng dari seorang perempuan terdengar melalui ponsel yang menempel di telinga Ziona. “Aku udah kirim alamatnya kan? Aku di 1000 tasty restaurant. Cepat ke sini! GPL. Gak pake lama! Buruan!” “Sabar dong! Memangnya aku bisa menerbangkan MRT nya? Tungu! 10 menit lagi aku nyampe.” Temannya itu mematikan panggilan tanpa minta izin terlebih dahulu. “Nggak pernah berubah dari dulu.” Gerutu Ziona. “Gimana hari pertama masuk kampus?” Zefa yang baru keluar dari dapur langsung duduk di depannya. “Kamu nggak kerja?” Ziona memperhatikan pakaian laki-laki itu. Seingat dia, kemarin Zefa memakai kaos kuning dengan tulisan 1000 tasty restaurant. Namun kali ini laki-laki itu memakai kaos putih dibalut jacket denim dan celana jeans. “Sebentar lagi aku ada kelas. Makanya aku berpakaian seperti ini. Lagipula aku di sini hanya bantu-bantu aja.” Riko memang
“Kenapa kamu menghindariku?” Ziona memdekat dan memukul dada laki-laki itu. Air mata pun mengalir di pipinya. “Kamu jahat! Kamu yang mengajakku berteman. Tapi kamu yang menghindar kayak gini.” Ziona seakan dipermainkan apalagi dia tidak punya siapa-siapa di Singapura.“Zi, jangan kayak gini! Kenapa kamu nangis?” Menahan tangan Ziona yang terus memukulnya.“Aku ke sini untuk minta maaf. Tapi kamu sengaja menyuruh orang lain yang melayaniku.” Isak tangis menemani setiap kata yang terucap dari mulut manis Ziona.“Iya-iya. Aku yang salah.” Zefanya langsung menarik tubuh perempuan itu ke dalam dekapannya. “Maafin aku. Nggak seharusnya aku tersinggung sama ucapan kamu.” Masih memeluk dan tangannya mengusap lembut rambut gadis itu.“Kalau aku salah bilang!” kesal Ziona namun tangannya mempererat pelukannya di tubuh Zefa.“Iya
Ziona benar -benar tertidur hingga Zefa tidak tega untuk membangunkannya. Makanan sudah ada di atas meja. Tadinya dia ingin pulang setelah makanan itu datang. Dia memperhatikan wajah yang terlelap itu.“Kamu benar-benar cantik.” Menyelipkan sulur rambut Ziona yang berantakan ke belakang telinga.Zefanya duduk di karpet berbulu sambil terus memandangi wajah perempuan itu. Hatinya senang dan damai melihat Ziona tertidur pulas. Tanpa sadar dia juga tertidur dengan kepala bertumpu di sofa sementara posisi tubuhnya duduk di depan sofa. Tenaganya terkuras habis ketika menggendong tubuh Ziona dari stasiun MRT Bugis sampai ke kondonium.“Rasanya capek banget.” Ziona menggeliat setelah kedua matanya terbuka. Baru sadar jika dirinya tidur di sofa dan dia tidak sendirian.“Zefa,” Dia mengoyang bahu Zefa dengan pelan. “Zef bangun! Ini sudah malam.” Sekali lagi
Duka yang begitu dalam membuat Ziona dan Zefanya menunda bulan madu mereka. Mungkin mereka akan melakukannya setelah Ziona benar-benar siap secara mental. “Hidup adalah kesempatan dan mati adalah keuntungan bagi setiap orang yang percaya kepada Tuhan.” Pendeta mengucapkan kalimat terakhir sebelum menurunkan peti Abira ke liang lahat.Ziona tak berhenti menangis, demikian juga dengan orangtuanya. Zefanya memeluk Ziona, tidak melarang ketika istrinya menangis di pelukannya. “Kamu nggak sendirian, sayang. Kamu memilikiku dan orangtuamu. Kami akan selalu menjagamu.” Zefanya menenangkan Ziona sambil mengusap punggungnya.***Tiga bulan telah berlalu,Zefanya sedang mengancing kemejanya ketika Ziona mendekatinya sambil membawa blazer. Mereka akan berangkat ke kantor di pagi hari dan saat sore Zefanya akan mengontrol kedainya. Dia sudah memiliki beberapa cabang dan dia harus membagi pikirannya antara perusahaan dan kedai.Mereka turun ke lantai satu, Alana dan Mordekhai telah menungg
Dua hari sebelum pernikahan, penjahit handal kepercayaan keluarga Ziona menunjukkan hasil jahitannya. Gambar Ziona telah berubah wujud menjadi sesuatu yang nyata.“Mau mencobanya sekarang?” tanya penjahit dan anggukan Ziona menunjukkan antusiasnya. “Karyawanku akan membantu kalian untuk memakainya.”Zefanya dan Ziona masuk ke ruangan terpisah. Setelah mengenakan tuxedo, Zefanya keluar dari ruangan dan dia harus menunggu karena Ziona masih sibuk di ruang gantinya.Beberapa menit menunggu, akhirnya Ziona keluar dengan gaun pengantin hasil rancangannya. Zefanya bergeming, pandangannya tidak berpindah ke tempat lain, seakan-akan tidak ada pemandangan yang lebih indah daripada calon istrinya. Padahal wajah dan rambut Ziona belum dirias layaknya seorang pengantin.“Kenapa?” tanya Ziona ketika Zefanya hanya bergeming saja. Zefanya tersadarkan karena pertanyaan Ziona dan dia geleng-geleng untuk mengembalikan pikirannya. “Kamu sangat cantik, sayang. Kamu sangat cantik mengenakan gaun h
Zefanya dan Ziona segera masuk ke dalam mobil. Sebelum Zefanya menyalakan mesin mobil, dia melihat ke samping dan memegang tangan Ziona. “Sayang, kita harus siap dengan apa pun yang akan terjadi. Aku tahu ini nggak mudah, tapi kuatkan hatimu. Aku akan selalu ada untuk kamu.”Ziona menggenggam tangan Ziona. Mendadak ketakutan membuat tanganya dingin dan berkeringat. “Bagaimana kalau Abira nggak bisa bertahan, Zef. Aku sangat takut.”Zefanya mendekat dan dia memeluk Ziona lagi. “Kita berdoa saja, sayang. Tuhan pasti akan melakukan yang terbaik untuk Abira.”Sesampainya di rumah sakit, Ziona dan Zefanya berlari ke ruangan Abira. Ketika masuk, mereka melihat Alana menangis sambil menciumi tangan Abira.“Mami, bagaimana keadaan Abira? Dia baik-baik saja, kan?” Ziona mendekati Alana dan ibunya segera berdiri. “Apa yang terjadi, Mi?”Alana tidak menjawab dengan kata-kata, tetapi dia memeluk Ziona. Alana menangis dan Ziona mengusap punggungnya untuk menenangkannya. “Abira pasti a
Tiga bulan berlalu setelah Zefanya menerima investasi dana dari Mordekhai. Akhirnya Zefanya memiliki dua cabang di Jakarta. Dia tidak hanya memiliki satu karyawan, tetapi sekarang dia telah mempekerjakan beberapa pelayan, satu manager, dan tiga supervisor yang ditempatkan di setiap kedai.Hari ini Zefanya tidak ke perusahaan dan Ziona ingin menemuinya di kedai. “Lex, tolong antar aku ke kedai. Aku nggak bawa mobil karena tadi pagi Zefanya yang menjemputku,” pinta Ziona pada sekretarisnya.“Baik, Nona.”Alex mengambil kunci mobilnya, dan dia mengantar Ziona ke kedai. Sesampainya di sana, seorang pelayan memberi tahu mereka jika Zefanya masih rapat dengan manajer dan supervisor. “Nggak apa-apa. Kami akan menunggu di sini. Tolong siapkan dua potong martabak dan milk shake saja untuk kami,” ucap Ziona pada pelayan.Setengah jam menunggu, akhirnya Zefanya menemui mereka. “Kamu pasti menunggu lama,” ucap Zefanya sambil mengusap kepala Ziona. “Aku memperbaharui kontrak kerja dengan
Zefanya duduk di sofa, tepat di depan Mordekhai dan Alana. Saat ini mereka sedang duduk di ruang kerja Mordekhai. Zefanya masih diam, takut salah bicara saat bersama mereka. Dia hanya menunggu apa yang ingin mereka katakan padanya.Zefanya meremas celananya ketika Mordekhai berdeham. Calon ayah mertuanya lebih menakutkan dibandingkan puluhan preman di luar sana. Zefanya masih takut mereka akan menghalangi cintanya dengan Ziona meskipun mereka telah makan malam bersama.“Kapan kau akan menikahi Ziona?” tanya Mordekhai. Suaranya serius dan dia melihat ketegangan Zefanya. “Saya harus mengumpulkan uang sebelum menikah dengannya. Meskipun saya nggak bisa memberikan pernikahan mewah kepada Ziona tapi saya aku harus bertanggung jawab untuk membiayainya.”Alana tersenyum ketika melihat kesungguhan Zefanya tetapi dia belum mengatakan apa-apa. Sementara Mordekhai masih mempertahankan wibawanya di depan calon menantunya. Sebenarnya dia menginginkan menantu yang derajat kekayaannya bisa
“Aku sudah mendengar semuanya dari Alex,” ucap Abira ketika adiknya masih saja diam sejak tadi. “Kenapa kamu nggak menceritakannya padaku, Zi? Apa kamu nggak menganggap aku sebagai kakakmu lagi?”Ziona tidak langsung menjawab. Dia memerlukan waktu untuk mengatur kata-katanya. Meskipun dia tidak tega ketika melihat wajah pucat Abira, namun dia harus kuat demi dirinya sendiri. Merasa sudah siap untuk menyampaikan isi hatinya, Ziona menarik napas dan melihat Abira. “Apa situasinya akan berubah kalau aku menceritakan semuanya sama kamu?”Abira terdiam karena pertanyaan Ziona. Dia kehilangan kehangatan yang selama ini dia dapatkan dari Ziona. Beberapa detik kemudian Abira menemukan jawabannya. “Situasinya pasti akan berbeda kalau kamu menceritakannya sama aku. Aku pasti akan membelamu di depan papi dan mami.”“Benarkah kakak akan membelaku? Bukankah selama ini kakak selalu protes kepada papi dan mami? Kakak selalu merasa kalau aku lebih beruntung karena bisa melakukan banyak hal.
Ziona dan Mordekhai duduk di mobil. Sebelum mereka berbicara, Mor meminta sopirnya keluar dari mobil.“Baik, Tuan.” Sopir itu keluar dan Mordekhai melihat ke samping.“Bagaimana keadaanmu, Nak? Apakah kamu makan dengan baik?”“Bagaimana keadaan Abira?” Ziona menolak untuk menjawab pertanyaan Mordekhai. Dia tidak mau termakan oleh bujukan sang ayah. Dia sering mengalaminya saat kecil. Ketika dia merajuk, Mordekhai atau Alana akan memberikan sesuatu padanya agar dia tidak merajuk lagi. Perlahan Ziona berubah karena apa pun yang dilakukan orangtuanya pasti karena Abira.“Abira di rumah, Nak. Bagaimana denganmu? Papi ingin tahu tentang keadaanmu.”Ziona mengembuskan napas panjang karena Mordekhai tidak menyerah dengan pertanyaannya. “Apakah seorang anak akan baik-baik saja saat keluar dari rumahnya? Aku rasa papi sudah tahu jawabannya.”“Kalau kamu nggak baik-baik saja, seharusnya kamu pulang ke rumah, Nak. Mami dan Abira sangat menginginkanmu di rumah.”“Menginginkanku?” Nada sua
Ziona melihat Zefanya sedang menghitung hasil penjualan hari ini. Zefanya hanya memiliki satu karyawan yang membantunya karena dia belum bisa membayar lebih banyak orang. Ziona menarik kursi dan duduk di sampingnya.“Aku memiliki tabungan, Zef. Kalau kamu mau memakai uangku untuk mengembangkan bisnismu, aku nggak keberatan untuk memberikannya,” ucap Ziona.Zefanya tersenyum sambil memasukkan uang ke dalam tas penyimpanan. Dia telah memisahkan sebagian uang untuk belanja dan kebutuhan harian, sisanya dia akan setor ke bank untuk disimpan. Jika dulu Zefanya akan tersinggung setiap kali Ziona menawarkan bantuan, sekarang dia mulai percaya diri dengan kehidupannya. Zefanya juga mempercayai calon istrinya.Zefanya menarik kursi lain dan dia duduk di depan sang kekasih. Dia menarik tangan Ziona, menggenggamnya dengan lembut, dan dia menatap wanita itu sambil tersenyum. “Kamu harus menyimpan uangmu, sayang. Lagipula usaha ini masih baru dan aku nggak mau gegabah dengan mengeluarkan
Tanpa sepengetahuan Ziona, Zefanya pergi ke rumah mewah milik Mordekhai. Kendaraan roda duanya hampir tidak bisa masuk karena satpam tidak memberikan izin kepada Zefanya.“Apakah Anda benar-benar sudah membuat janji dengan Tuan Mor?” satpam bertanya sebelum membuka gerbang karena dia tidak mau memasukkan sembarangan orang ke dalam rumah. Beberapa tahun lalu dia pernah melakukannya, ternyata orang itu adalah penguntit yang sangat terobsesi kepada Ziona. Sejak saat itu orangtua Ziona memberikan peraturan tegas kepada setiap tamu yang hendak masuk ke rumah mereka.“Saya sudah membuat janji dengan orangtua Ziona,” jawab Zefanya.Satpam masih belum percaya, akhirnya Zefanya menghubungi Alex. “Satpam tidak mengizinkanku masuk,” ucap Zefanya saat ponsel menempel di telinganya.“Biarkan aku berbicara dengannya,” balas Alex.Zefanya memberikan ponselnya kepada satpam, dan dia melihat satpam itu manggut-manggut ketika berbicara dengan Alex.Satpam mengembalikan ponsel Zefanya, lalu dia mene