Bandara Soekarno Hatta menjadi salah satu tempat yang tidak akan pernah mati. Selama 24 jam lokasi itu selalu terisi dengan orang-orang yang berlalu Lalang. Baik itu kru pesawat, setiap staff yang bekerja atau pekerja restoran yang bertengger di sana.
“Ayah sudah menghubugi teman di sana. Katanya kamu boleh tinggal di apartemennya dan membantunya di cafe miliknya. Dia akan memberimu uang tambahan tanpa mendaftarkan kamu sebagai pelayan di restorannya. Anggab saja kamu ngebantu sebagai saudara.” Charles menjelaskan sebelum anak asuhnya itu terbang ke nagara tetangga.
“Makasih ayah. Aku pasti kembali dan membuat ayah bangga.”
“Harus itu.” Charles memberikan amplop berisi uang dolar Singapore. “Bijak-bijaklah mengelola uangmu. Kalau ayah ada rejeki pasti akan ayah kirimkan untukmu.” Charles memeluknya erat.
Zefanya tidak tahu harus bilang apa lagi selain ucapan terima kasih. Dia berjanji kelak akan membuat kedua orang itu bangga dan bahagia di masa tuanya. Tak terasa air mata lolos di wajahnya. Sangat enggan untuk melepaskan pelukan itu.
“Masuklah! Nanti kamu terlambat.”
Zefanya melambaikan tangan pada pria yang menjadi ayah kedua dalam hidupnya. Beruntung dalam hidupnya dia dipertemukan dengan dua laki-laki hebat. Yang pertama ayah kandungnya. Meski hanya pemulung namun dia belajar banyak dari ayah biologisnya itu. Yang kedua adalah Charles. Dia sudah seperti guardian angel yang selalu menjaga, menjawab kebutuhan, dan mengorbankan banyak hal untuknya. Termasuk perhiasan istrinya. Ya, tidak sengaja Zefanya mendengar pembicaraan Charles dan Tabita ketika pasangan suami istri itu baru saja mendapatkan uang dari hasil pegadaian.
***
Secara sembunyi-sembunyi Ziona keluar dari rumah. Dia sengaja tidak izin dari Alana karena wanita itu tidak akan pernah mengizinkannya pergi. Tadi jam 11 Semuel mengirim pesan jika malam ini mereka akan menonton film di bioskop. Kesempatan tidak akan dilewatkan oleh Ziona karena Mordekhai sedang ada urusan bisnis di luar kota.
“Gimana caranya kamu keluar?” Tanya Semuel ketika Ziona sudah berhasil menemuinya. Gadis itu meminta Semuel untuk menunggu di ujung jalan karena tidak mau kehadirannya di depan rumah menarik perhatian.
“Nanti aja nanyanya. Ayo berangkat!” Ziona naik ke atas motor gede milik Semuel. Laki-laki itu sudah lama tinggal di Jakarta meskipun dia adalah orang Inggris. Papanya memiliki perusahaan besar di ibu kota Indonesia itu. Hal itulah yang memaksa mereka untuk pindah dari London.
***
Zefa keluar dan menginjakkan kakinya di bandara internasional Changi Singapura. Masih tidak menyangka betapa Tuhan sangat menganugerahinya dengan banyak kemurahan. Anak kumuh yang bertahan hidup dengan menjual tissue kering dan menjadi ojek payung bisa menginjakkan kaki di luar negeri. Meski hanya Singapora tetapi itu satu kebanggaan untuknya.
Dia sudah menghubungi Riko teman ayah Charles. Tetapi laki-laki itu membalas supaya dia menikmati bandara dulu saja. Zefa memang tahu dari internet jika bandara Changi adalah salah satu bandara termegah di dunia. Dia pun menarik koper dan bertanya pada petugas bagaimana caranya menuju jewel waterfall. Jika singgah di Singapore jangan pernah lewatkan pemandangan satu ini. Orang Singapore saja rela datang ke bandara hanya untuk melihat air terjun buatan ini.
Zefanya mendengar orang berbicara dari beragam bahasa. Ada yang menggunakan bahasa inggris, bahasa mandarin, bahasa india, bahkan bahasa Indonesia. Jika bahasa ibunya terdengar maka dia tidak akan sungkan untuk meminta tolong supaya dirinya difoto. Bukan karena tidak bisa bahasa inggris. Tetapi dia hanya tahu bahwa orang Indonesia masih baik dan ramah. Sementara orang luar negeri dia belum tahu watak mereka seperti apa.
Merasa ada panggilan alam dari perutnya yang lapar, Zefa membuka ponsel dan mencari informasi. Siapa tahu di bandara ada warung makan yang menjual makanan dengan harga murah. Tadinya dia ingin menahan lapar sampai Riko menjemput. Tetapi para penghuni di perutnya sudah tidak mau berkompromi lagi.
“Ini dia!” Soraknya kegirangan membuat orang di sekitarnya menoleh ke arahnya. “Staff canteen di terminal 2.” Dia bergumam dan memilih untuk mengabaikan orang-orang yang melihatnya. Tangannya kembali menarik koper dan siap menuju terminal 2 untuk mencari staff canteen. Jika orang bilang makan di Singapore mahal maka bermodalkan internet dia bisa menemukan warung yang murah di bandara internasional itu. Meskipun hitungannya tak semurah warteg di ibu kota Indonesia karena dia harus mengeluarkan 3 keping dolar Singapore. Dia menikmati nasi lemak dengan lauk nugget, telur, dan sambal. Meski harganya jauh di atas warteg Indonesia, tetapi lumayanlah ketimbang harus merogoh kocek hingga 7 dolar sampai 10 dolar. Memang sepanjang Zefa menarik koper menuju staff canteen matanya melirik setiap menu yang dipajang di restoran. Berpura-pura mencari restoran yang tepat padahal hanya penasaran dengan harganya.
Ponsel Zefanya berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk menanyakan keberadaannya.
“Kamu tunggu saja di situ. Biar aku yang ke sana.” Balasan pesan dari Riko. Laki-laki itu tidak mau jika Zefanya tersesat mencari keberadaannya. Mengingat ini pertama kalinya bocah remaja itu menginjakkan kaki di Singapore. Tak heran dia berpikir seperti itu karena luasnya bandara Changi.
“Kamu pasti Zefanya kan?” Seorang laki-laki dewasa menepuk punggung Zefa yang asyik menikmati teh hangat yang di beli.
“Kamu namanya Riko?” Dahi Zefa mengerut bingung. Pasalnya dia berpikir jika Riko adalah teman ayah Charles. Pastilah laki-laki itu seusia ayah asuhnya itu. Tetapi yang berdiri di depannya ini masih terlihat muda. Bisa ditebak usianya sekitar tiga puluh tahunan.
“Iya aku Riko. Memang paman Charles nggak cerita?”
“Ayah cuma bilang kalau kamu temannya.”
“Paman Charles bilang gitu?” Riko tertawa. Ada-ada saja kelakuan pamannya. “Aku Riko anak asuh paman Charles. Bedanya dulu aku nggak tinggal di panti karena aku masih punya orang tua. Paman Charles hanya membimbingku saja. Dia bilang kemampuan masakku luar biasa. Dia mendaftarkan aku di sebuah kursus memasak.”
“Lalu kenapa kamu bisa di sini?”
“Aku sempat menjadi koki di sebuah restoran besar. Lalu aku mulai menabung dan buka restoran kecil di sekitar kampus. Lumayanlah bisa mencukupi kebutuhan di sini.”
“Ohhh.” Zefa membulatkan mulut tanda mengerti.
“Ayo pulang. Aku sudah masak untukmu.” Charles mengambil alih koper Zefa seakan-akan Zefa anak kecil yang harus dibantu.
Mereka naik MRT agar lebih hemat dan cepat menuju restoran. Riko harus merelakan satu pelayannya saja yang bekerja karena dirinya harus menjemput Zefanya di bandara.
“Apa istrimu nggak marah kalau aku tinggal di apartemenmu?” Zefa yang melihat Riko asyik dengan ponselnya bertanya.
“Masih terlalu muda untuk menikah di usia 30 tahun. Tinggal di Singapura nggak murah.”
***
Ziona dan Semuel sangat menikmati waktu berdua. Mereka nonton, makan, dan berbelanja. Ketika asyik menyantap pasta yang ada di depannya, gadis itu tersadarkan ketika ponselnya berbunyi. Dia sengaja memasang pengingat waktu agar tak kebablasan.
“Sem, udah jam 9. Aku harus pulang.” Ucap Ziona dengan wajah tak bersemangat seolah mereka tak bisa bertemu lagi.
“Hei,” Telapak tangan Semuel mengusap pipi Ziona. “Jangan sedih! Kita kan masih bisa ketemuan di sekolah. Sekarang sudah waktunya kamu pulang. Aku nggak mau kamu ketahuan dan dimarahin sama mami kamu. Kita pulang sekarang ya.” Ucapnya dengan lembut.
“Hmmm.” Ziona menjawab dengan menganggukkan kepala.
Semuel ingin mengantar Ziona sampai depan rumah. Tentu saja dia tidak tega membiarkan gadis remaja berjalan sendirian dari depan kompleks ke rumah. Meskipun katanya itu tempatnya aman karena banyak pos satpam, tetap saja dia tidak tega.
“Kalau gitu aku akan menitipkan motor di sini dan berjalan di belakangmu. Aku harus memastikan kalau kamu selamat sampai rumah.” Solusi terakhir dari Semuel setelah gadis di depannya berulang kali menolak tawarannya.
“Baiklah. Tapi kamu jalannya jangan terlalu dekat. Aku nggak mau ada orang yang melihatku jalan sama laki-laki lalu mengadu kepada mami. Rata-rata penghuni di sini teman-teman arisannya mami. Mulut mereka ember.”
Benar saja, Semuel mengawasi Ziona dari belakang membuat gadis itu merasa terlindungi. Perlahan-lahan dia berjalan dan memanggil satpam rumahnya yang berjaga-jaga di halaman.
“Nona dari mana saja?” Satpam itu bingung karena ini kali pertama majikannya itu pulang jam 10 malam. Tangannya buru-buru membuka pintu gerbang.
“Apa mami dan kakak sudah tidur?” Seakan takut ketahuan, Ziona berbicara pelan pada satpam rumahnya.
“Sudah nona. Cepat masuk sebelum ketahuan.”
Baru saja Ziona membuka pintu depan, sebuah suara langsung mengintimidasinya.
“Dari mana kamu?” Suara Alana menggelegar hingga memekakkan telinga Ziona yang mendengar.“Mi, ngomongnya jangan terlalu kenceng. Sakit nih telinga Zio.”“Kamu dari mana Ziona? Nggak usah mengalihkan pertanyaan mami.”“Habis ketemu teman mi.”“Laki-laki atau perempuan.”“Mati aku!” dalam hati Ziona merutuki dirinya sendiri. Bisa bahaya kalau dia berkata jujur. Bukan fasilitas saja yang akan diambil darinya tetapi selama seminggu dia tidak akan bisa melakukan apapun selain sekolah. “Perempuan kok mi.” Terpaksa lidahnya berbohong. Sepertinya dia harus membiasakan lidah tak bertulangnya itu untuk berkata dusta.“Cepat masuk kamar. Kalau papi sampai tahu kamu pulang jam segini pasti kamu akan dimarahin.” Tangan Alana bersedekap memberi peringatan.“Jangan laporin ke papi ya mi. Zio janji akan melakukan
Mordekhai meminta salah satu bawahannya untuk menemani Ziona mendaftarkan diri di kampus barunya. Jangan harap Mordekhai akan meluangkan waktu untuk mendaftarkan putri bungsunya itu. Masih banyak hal yang harus dia urus. Padahal jika menyangkut Abira pasti dia rela meninggalkan urusannya sepenting apapun itu. Lagi-lagi alasannya usia Abira yang tidak tahu sampai kapan.“Non, isi formnya dulu.” Laki-laki bernama Mandala memberikan pulpen tinta hitam dan tiga lembar kertas yang dia terima dari pihak kampus.Meski berat hati Ziona tetap mengisinya. Satu tujuannya hanya untuk mendapatkan perhatian. Tetapi apa yang dia terima? Ayah biologisnya itu justru meminta Mandala untuk menemaninya. Sebenarnya salah satu teman SMPnya juga tinggal di negara itu dan memberi kabar jika dia akan mengunjunginya di sana. Kebetulan atau tidak, temannya itu juga kuliah di tempat yang sama dengannya.“Man, aku mau ke toilet dul
“Di mana?” Suara cempreng dari seorang perempuan terdengar melalui ponsel yang menempel di telinga Ziona. “Aku udah kirim alamatnya kan? Aku di 1000 tasty restaurant. Cepat ke sini! GPL. Gak pake lama! Buruan!” “Sabar dong! Memangnya aku bisa menerbangkan MRT nya? Tungu! 10 menit lagi aku nyampe.” Temannya itu mematikan panggilan tanpa minta izin terlebih dahulu. “Nggak pernah berubah dari dulu.” Gerutu Ziona. “Gimana hari pertama masuk kampus?” Zefa yang baru keluar dari dapur langsung duduk di depannya. “Kamu nggak kerja?” Ziona memperhatikan pakaian laki-laki itu. Seingat dia, kemarin Zefa memakai kaos kuning dengan tulisan 1000 tasty restaurant. Namun kali ini laki-laki itu memakai kaos putih dibalut jacket denim dan celana jeans. “Sebentar lagi aku ada kelas. Makanya aku berpakaian seperti ini. Lagipula aku di sini hanya bantu-bantu aja.” Riko memang
“Kenapa kamu menghindariku?” Ziona memdekat dan memukul dada laki-laki itu. Air mata pun mengalir di pipinya. “Kamu jahat! Kamu yang mengajakku berteman. Tapi kamu yang menghindar kayak gini.” Ziona seakan dipermainkan apalagi dia tidak punya siapa-siapa di Singapura.“Zi, jangan kayak gini! Kenapa kamu nangis?” Menahan tangan Ziona yang terus memukulnya.“Aku ke sini untuk minta maaf. Tapi kamu sengaja menyuruh orang lain yang melayaniku.” Isak tangis menemani setiap kata yang terucap dari mulut manis Ziona.“Iya-iya. Aku yang salah.” Zefanya langsung menarik tubuh perempuan itu ke dalam dekapannya. “Maafin aku. Nggak seharusnya aku tersinggung sama ucapan kamu.” Masih memeluk dan tangannya mengusap lembut rambut gadis itu.“Kalau aku salah bilang!” kesal Ziona namun tangannya mempererat pelukannya di tubuh Zefa.“Iya
Ziona benar -benar tertidur hingga Zefa tidak tega untuk membangunkannya. Makanan sudah ada di atas meja. Tadinya dia ingin pulang setelah makanan itu datang. Dia memperhatikan wajah yang terlelap itu.“Kamu benar-benar cantik.” Menyelipkan sulur rambut Ziona yang berantakan ke belakang telinga.Zefanya duduk di karpet berbulu sambil terus memandangi wajah perempuan itu. Hatinya senang dan damai melihat Ziona tertidur pulas. Tanpa sadar dia juga tertidur dengan kepala bertumpu di sofa sementara posisi tubuhnya duduk di depan sofa. Tenaganya terkuras habis ketika menggendong tubuh Ziona dari stasiun MRT Bugis sampai ke kondonium.“Rasanya capek banget.” Ziona menggeliat setelah kedua matanya terbuka. Baru sadar jika dirinya tidur di sofa dan dia tidak sendirian.“Zefa,” Dia mengoyang bahu Zefa dengan pelan. “Zef bangun! Ini sudah malam.” Sekali lagi
Ziona mengantuk lagi setelah mereka memutuskan untuk menonton film. Jelas dia mengantuk. Energinya terkuras habis hanya untuk bergadang dan menyelesaikan satu judul drama korea.“Aku tidur duluan ya. Kamu tidur di sofa. Awas kalau sampai masuk kamar!” Ziona mengancam dengan jari telunjuknya membuat laki-laki itu tertawa melihat kelucuannya.“Ya sudah tidur sana! Mata kamu udah merah.”Ziona masuk kamar dan langsung tidur terlentang. Tetapi dia ingat jika di luar belum ada selimut. Ziona menurunkan kakinya lagi dan beranjak ke lemari. Mengeluarkan selimut putih tebal dan mengambil satu bantal dari ranjang.“Kenapa kamu keluar lagi?” tanya Zefanya ketika perhatiannya teralihkan dari layar televisi.“Kamu nggak punya selimut. Cuaca lagi dingin. Pakai ini ya!” Sambil menguap Ziona meletakkan bantal dan selimut di sofa.“Makasih Zi. C
Ziona dan Zefanya masuk ke super market dan kaki langsung tertuju pada bahan-bahan makanan. Kedua orang itu sudah sepakat jika mereka akan masak sop buntut. Laki-laki itu juga mengambil beberapa jenis sayuran. Dia berencana akan mengajari Ziona cara memasak yang sederhana. Setidaknya wanita itu tak selalu mengandalkan makanan restoran.Seperti kesetanan mahluk rakus, tangan Ziona mengambil banyak sekali cemilan dan minuman kemasan. Jika di Indonesia minuman bersoda atau manis lebih mahal daripada air mineral, maka berbanding terbalik dengan Singapore. Air mineral lebih mahal daripada minuman tak sehat itu.“Ngapain kamu beli cemilan sebanyak itu?” Zefanya mengening karena bingung dengan apa yang dilakukan wanita itu. Trolley hampir penuh dengan belanjaannya.“Sekali ini saja. Aku ingin menikmati hidup tanpa merasa terkekang.” Seperti narapida yang baru keluar dari penjara, Ziona membeli apap
Ini adalah hari pertama Ziona akan belajar bersama Zefanya. Mereka memilih belajar di restoran saja. Terlalu sering berduaan di kondonium tidak akan bagus untuk kedekatan mereka berdua. Di selah-selah mereka lagi belajar, ponsel Ziona berbunyi. Panggilan masuk dari Abira.“Angkat saja! Aku akan ke dapur menyiapkan makanan untukmu.” Mendapat izin dari Zefanya, jari Ziona langsung menggeser tanda telepon warna hijau.“Hai kak.” Sapa Zio tatkala wajah kakaknya muncul di layar ponselnya.“Hai dek. Kamu apa kabar?”“Baik. Apa kamu masih suka makan coklat? Ingat apa kata dokter. Harus mengurangi makanan manis.” Ziona lupa jika dulu dia yang sering memberikan coklat untuk kakaknya. Abira selalu merengek karena mami mereka tidak pernah memberikannya izin untuk menyantap makanan manis itu.“Tidak pernah sama sekali. Aku kangen sama kamu karena k
Duka yang begitu dalam membuat Ziona dan Zefanya menunda bulan madu mereka. Mungkin mereka akan melakukannya setelah Ziona benar-benar siap secara mental. “Hidup adalah kesempatan dan mati adalah keuntungan bagi setiap orang yang percaya kepada Tuhan.” Pendeta mengucapkan kalimat terakhir sebelum menurunkan peti Abira ke liang lahat.Ziona tak berhenti menangis, demikian juga dengan orangtuanya. Zefanya memeluk Ziona, tidak melarang ketika istrinya menangis di pelukannya. “Kamu nggak sendirian, sayang. Kamu memilikiku dan orangtuamu. Kami akan selalu menjagamu.” Zefanya menenangkan Ziona sambil mengusap punggungnya.***Tiga bulan telah berlalu,Zefanya sedang mengancing kemejanya ketika Ziona mendekatinya sambil membawa blazer. Mereka akan berangkat ke kantor di pagi hari dan saat sore Zefanya akan mengontrol kedainya. Dia sudah memiliki beberapa cabang dan dia harus membagi pikirannya antara perusahaan dan kedai.Mereka turun ke lantai satu, Alana dan Mordekhai telah menungg
Dua hari sebelum pernikahan, penjahit handal kepercayaan keluarga Ziona menunjukkan hasil jahitannya. Gambar Ziona telah berubah wujud menjadi sesuatu yang nyata.“Mau mencobanya sekarang?” tanya penjahit dan anggukan Ziona menunjukkan antusiasnya. “Karyawanku akan membantu kalian untuk memakainya.”Zefanya dan Ziona masuk ke ruangan terpisah. Setelah mengenakan tuxedo, Zefanya keluar dari ruangan dan dia harus menunggu karena Ziona masih sibuk di ruang gantinya.Beberapa menit menunggu, akhirnya Ziona keluar dengan gaun pengantin hasil rancangannya. Zefanya bergeming, pandangannya tidak berpindah ke tempat lain, seakan-akan tidak ada pemandangan yang lebih indah daripada calon istrinya. Padahal wajah dan rambut Ziona belum dirias layaknya seorang pengantin.“Kenapa?” tanya Ziona ketika Zefanya hanya bergeming saja. Zefanya tersadarkan karena pertanyaan Ziona dan dia geleng-geleng untuk mengembalikan pikirannya. “Kamu sangat cantik, sayang. Kamu sangat cantik mengenakan gaun h
Zefanya dan Ziona segera masuk ke dalam mobil. Sebelum Zefanya menyalakan mesin mobil, dia melihat ke samping dan memegang tangan Ziona. “Sayang, kita harus siap dengan apa pun yang akan terjadi. Aku tahu ini nggak mudah, tapi kuatkan hatimu. Aku akan selalu ada untuk kamu.”Ziona menggenggam tangan Ziona. Mendadak ketakutan membuat tanganya dingin dan berkeringat. “Bagaimana kalau Abira nggak bisa bertahan, Zef. Aku sangat takut.”Zefanya mendekat dan dia memeluk Ziona lagi. “Kita berdoa saja, sayang. Tuhan pasti akan melakukan yang terbaik untuk Abira.”Sesampainya di rumah sakit, Ziona dan Zefanya berlari ke ruangan Abira. Ketika masuk, mereka melihat Alana menangis sambil menciumi tangan Abira.“Mami, bagaimana keadaan Abira? Dia baik-baik saja, kan?” Ziona mendekati Alana dan ibunya segera berdiri. “Apa yang terjadi, Mi?”Alana tidak menjawab dengan kata-kata, tetapi dia memeluk Ziona. Alana menangis dan Ziona mengusap punggungnya untuk menenangkannya. “Abira pasti a
Tiga bulan berlalu setelah Zefanya menerima investasi dana dari Mordekhai. Akhirnya Zefanya memiliki dua cabang di Jakarta. Dia tidak hanya memiliki satu karyawan, tetapi sekarang dia telah mempekerjakan beberapa pelayan, satu manager, dan tiga supervisor yang ditempatkan di setiap kedai.Hari ini Zefanya tidak ke perusahaan dan Ziona ingin menemuinya di kedai. “Lex, tolong antar aku ke kedai. Aku nggak bawa mobil karena tadi pagi Zefanya yang menjemputku,” pinta Ziona pada sekretarisnya.“Baik, Nona.”Alex mengambil kunci mobilnya, dan dia mengantar Ziona ke kedai. Sesampainya di sana, seorang pelayan memberi tahu mereka jika Zefanya masih rapat dengan manajer dan supervisor. “Nggak apa-apa. Kami akan menunggu di sini. Tolong siapkan dua potong martabak dan milk shake saja untuk kami,” ucap Ziona pada pelayan.Setengah jam menunggu, akhirnya Zefanya menemui mereka. “Kamu pasti menunggu lama,” ucap Zefanya sambil mengusap kepala Ziona. “Aku memperbaharui kontrak kerja dengan
Zefanya duduk di sofa, tepat di depan Mordekhai dan Alana. Saat ini mereka sedang duduk di ruang kerja Mordekhai. Zefanya masih diam, takut salah bicara saat bersama mereka. Dia hanya menunggu apa yang ingin mereka katakan padanya.Zefanya meremas celananya ketika Mordekhai berdeham. Calon ayah mertuanya lebih menakutkan dibandingkan puluhan preman di luar sana. Zefanya masih takut mereka akan menghalangi cintanya dengan Ziona meskipun mereka telah makan malam bersama.“Kapan kau akan menikahi Ziona?” tanya Mordekhai. Suaranya serius dan dia melihat ketegangan Zefanya. “Saya harus mengumpulkan uang sebelum menikah dengannya. Meskipun saya nggak bisa memberikan pernikahan mewah kepada Ziona tapi saya aku harus bertanggung jawab untuk membiayainya.”Alana tersenyum ketika melihat kesungguhan Zefanya tetapi dia belum mengatakan apa-apa. Sementara Mordekhai masih mempertahankan wibawanya di depan calon menantunya. Sebenarnya dia menginginkan menantu yang derajat kekayaannya bisa
“Aku sudah mendengar semuanya dari Alex,” ucap Abira ketika adiknya masih saja diam sejak tadi. “Kenapa kamu nggak menceritakannya padaku, Zi? Apa kamu nggak menganggap aku sebagai kakakmu lagi?”Ziona tidak langsung menjawab. Dia memerlukan waktu untuk mengatur kata-katanya. Meskipun dia tidak tega ketika melihat wajah pucat Abira, namun dia harus kuat demi dirinya sendiri. Merasa sudah siap untuk menyampaikan isi hatinya, Ziona menarik napas dan melihat Abira. “Apa situasinya akan berubah kalau aku menceritakan semuanya sama kamu?”Abira terdiam karena pertanyaan Ziona. Dia kehilangan kehangatan yang selama ini dia dapatkan dari Ziona. Beberapa detik kemudian Abira menemukan jawabannya. “Situasinya pasti akan berbeda kalau kamu menceritakannya sama aku. Aku pasti akan membelamu di depan papi dan mami.”“Benarkah kakak akan membelaku? Bukankah selama ini kakak selalu protes kepada papi dan mami? Kakak selalu merasa kalau aku lebih beruntung karena bisa melakukan banyak hal.
Ziona dan Mordekhai duduk di mobil. Sebelum mereka berbicara, Mor meminta sopirnya keluar dari mobil.“Baik, Tuan.” Sopir itu keluar dan Mordekhai melihat ke samping.“Bagaimana keadaanmu, Nak? Apakah kamu makan dengan baik?”“Bagaimana keadaan Abira?” Ziona menolak untuk menjawab pertanyaan Mordekhai. Dia tidak mau termakan oleh bujukan sang ayah. Dia sering mengalaminya saat kecil. Ketika dia merajuk, Mordekhai atau Alana akan memberikan sesuatu padanya agar dia tidak merajuk lagi. Perlahan Ziona berubah karena apa pun yang dilakukan orangtuanya pasti karena Abira.“Abira di rumah, Nak. Bagaimana denganmu? Papi ingin tahu tentang keadaanmu.”Ziona mengembuskan napas panjang karena Mordekhai tidak menyerah dengan pertanyaannya. “Apakah seorang anak akan baik-baik saja saat keluar dari rumahnya? Aku rasa papi sudah tahu jawabannya.”“Kalau kamu nggak baik-baik saja, seharusnya kamu pulang ke rumah, Nak. Mami dan Abira sangat menginginkanmu di rumah.”“Menginginkanku?” Nada sua
Ziona melihat Zefanya sedang menghitung hasil penjualan hari ini. Zefanya hanya memiliki satu karyawan yang membantunya karena dia belum bisa membayar lebih banyak orang. Ziona menarik kursi dan duduk di sampingnya.“Aku memiliki tabungan, Zef. Kalau kamu mau memakai uangku untuk mengembangkan bisnismu, aku nggak keberatan untuk memberikannya,” ucap Ziona.Zefanya tersenyum sambil memasukkan uang ke dalam tas penyimpanan. Dia telah memisahkan sebagian uang untuk belanja dan kebutuhan harian, sisanya dia akan setor ke bank untuk disimpan. Jika dulu Zefanya akan tersinggung setiap kali Ziona menawarkan bantuan, sekarang dia mulai percaya diri dengan kehidupannya. Zefanya juga mempercayai calon istrinya.Zefanya menarik kursi lain dan dia duduk di depan sang kekasih. Dia menarik tangan Ziona, menggenggamnya dengan lembut, dan dia menatap wanita itu sambil tersenyum. “Kamu harus menyimpan uangmu, sayang. Lagipula usaha ini masih baru dan aku nggak mau gegabah dengan mengeluarkan
Tanpa sepengetahuan Ziona, Zefanya pergi ke rumah mewah milik Mordekhai. Kendaraan roda duanya hampir tidak bisa masuk karena satpam tidak memberikan izin kepada Zefanya.“Apakah Anda benar-benar sudah membuat janji dengan Tuan Mor?” satpam bertanya sebelum membuka gerbang karena dia tidak mau memasukkan sembarangan orang ke dalam rumah. Beberapa tahun lalu dia pernah melakukannya, ternyata orang itu adalah penguntit yang sangat terobsesi kepada Ziona. Sejak saat itu orangtua Ziona memberikan peraturan tegas kepada setiap tamu yang hendak masuk ke rumah mereka.“Saya sudah membuat janji dengan orangtua Ziona,” jawab Zefanya.Satpam masih belum percaya, akhirnya Zefanya menghubungi Alex. “Satpam tidak mengizinkanku masuk,” ucap Zefanya saat ponsel menempel di telinganya.“Biarkan aku berbicara dengannya,” balas Alex.Zefanya memberikan ponselnya kepada satpam, dan dia melihat satpam itu manggut-manggut ketika berbicara dengan Alex.Satpam mengembalikan ponsel Zefanya, lalu dia mene